Jingga senja telah lenyap, gelap menguasai buana. Awan tipis merundung di langit tenggara, berarak perlahan dihembus sang bayu. Ditemani sang luna, cahaya pucatnya menerangi langkah remaja 16 tahun itu.
Mimik wajahnya kontras menunjukan rasa lelah juga kedinginan. Panggil saja Taufan, atau lebih lengkapnya Boboiboy Taufan.
Dengan menggendong tas besar di punggungnya, ia terus berjalan menyusuri trotoar seorang diri. Malam terlalu larut, kendaraan yang melintas di jalananpun bisa dihitung dengan jari, begitu ia menghabiskan langkah dalam hening hingga kakinya mulai memasuki halaman bangunan lantai 2 bercat jingga.
Sosoknya telah berhadapan dengan pintu, namun jemarinya ragu untuk memutar knop pintu tersebut.
'It's fine Taufan, do it like usually.'
Cklek...
"Aku pulang!" Suara cemprengnya memecah ketenangan rumah itu, tapi tak ada sahutan, tak ada jawaban atas salamnya. Seperti rumah tak berpenghuni.
Kecewa...
Sedih...
Senyuman itu masih bertahan di sana, meski pahit. Ia salah mengharapkan sapaan hangat ketika ia pulang, harusnya ia tahu itu. Melakukan hal sama setiap hari, namun tak ada yang berubah itu menyakitkan.
Langkahnya beralih menaiki tangga menuju lantai 2, dimana kamarnya berada, dimana ia bisa mengistirahatkan tubuh, pikiran juga batinnya.
Sebuah ruangan berwarna softblue menampakan tiap sudutnya ketika lampu menyala. Tak begitu luas, namun cukup nyaman untuk dihuni. Sebuah tempat tidur dan lemari di ruangan sudut ruangan menjadi furniture yang mengisi kamar itu. Meja belajar ditemani rak-rak kecil berisi komik menghadap langsung ke luar jendela. Gitar tua dan kumpulan foto memoriable menjadi pemanis dinding.
Dinginnya malam berhembus spoi melewati jendela, sudah Taufan duga, kamarnya tak pernah terjamah selama ia pergi. Tak mau ikut membeku bersama udara, ia segera menutup jendela setelah meletakan tasnya.
Sebuah frame mencuri pandangan si pemilik iris biru itu, jemarinya menyapu permukaan berselimut debu sembari bergumam tak jelas. Sambil berbaring memandang foto di dalamnya, liquid bening mengalir dari ujung mata.
"Ayah~Ibu, kenapa kalian meninggalkanku? Bahkan kakek juga, aku- benar-benar sendiri." ~
Highest Life
Boboiboy ©Animonsta Studio
Rating : K+
Happy Reading & RnR please!
Chapter 1 : My Life
"Bangun kesiangan lagi, kak?" Tanya lelaki beriris emas yang telah siap dengan seragam putih abu-abunya. "Hari ini aku juga kesiangan, jadi hanya ini yang bisa kusiapkan." Ujarnya lagi sambil mengoleskan selai cokelat diatas roti tawar.
"Ada tugas yang harus dikumpulkan besok, jadi mau tidak mau harus lembur." Balas sang kakak yang terfokus pada tablet ditangannya.
"Heh, jadi anak kuliah itu ribet ya. Setidaknya tetap jaga kesehatan, kalau kak Hali sakit, aku juga yang susah. Sudah cukup satu orang yang tak berguna di rumah ini." Kata sinis terlontar begitu saja.
Iris ruby Halilintar sekilas melirik pada adik bungsunya yang masih duduk di bangku SMA tahun pertama, Gempa. Tangannya menggenggam erat gelas kaca berisi susu. Entah apa yang membuatnya emosi hingga geram, tapi sepertinya Halilintar tau penyebabnya.
Pandangan Halilintar kembali pada tabletnya, ia sudah paham mengapa Gempa begitu, bahkan dirinyapun juga sering kelepasan jika mengingat 'masa lalu' dan 'juga orang itu'.
Derap langkah menuruni tangga mulai terdengar, lelaki beriris biru dengan seragam yang masih berantakan nampak menyampirkan tas disalah satu bahunya.
"Selamat pagi!~" suara baritone dari lelaki itu sudah cukup menghancurkan suasana di meja makan pagi itu.
"..."
"Kak Hali aku berangkat duluan," Gempa bangkit kemudian meraih tas dan berlalu begitu saja usai menghabiskan setengah gelas susunya.
"Hm, hati-hati." Halilintar mengangguk kecil kemudian ikut melenggang pergi dari meja makan sembari menenteng sarapan menuju kamarnya.
Hening...
Angin pagi berhembus, hanya tinggal Taufan seorang di sana. Rasanya sesak. Sekali lagi luka mereka torehkan padanya. Andaikan perasaan itu mampu diperlihatkan, hatinya pasti sudah terkoyak dipenuhi luka. Ia sampai menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakitnya.
Kemana perginya kehangatan keluarga dipagi hari? Ingin ia berteriak dan bertanya, apa salahnya hingga ia diperlakukan seperti anjing rabies seperti ini? Diasingkan dan tak ada yang peduli. Namun di satu waktu ia sadar akan posisinya dan hanya menghela nafas berat. Bodohnya dia berharap bisa makan semeja dengan keluarganya secara utuh. Apa hal seperti itu terlalu berat untuk menjadi kenyataan, Tuhan?
Ia hanya menatap kosong meja makan yang menyisakan sepotong roti dan susu diatasnya. Ah lupakan, ia tak lagi mood untuk menyantapnya.
"Aku disini dan aku masih hidup, memiliki hati dan perasaan seperti manusia lain. Bisakah kalian melihatku, bisakah kita kembali seperti dulu? Ataukah harus aku sendiri yang mengakhiri ikatan ini." ~ Taufan
~LucKyra~
Hari Senin, dan banyak orang masih malas beraktivitas setelah libur sehari. Mengapa menuju hari Minggu saja butuh 6 hari, sedangkan dari Minggu ke Senin seperti menggeser jarum jam ke angka berikutnya?
Jika kalian ingin tahu, itulah hal yang tengah dipikirkan oleh seorang murid ditengah barisan upacara yang baru berjalan 15 menit. Ia menguap lebar, merutuki dirinya sendiri yang mengabiskan hari liburnya di alam bebas dan mengabaikan waktu istirahatnya. Siapa lagi kalau bukan Taufan, manusia 'hyperactive' penghuni kelas 11 IPS 2.
Langit biru dan gumpalan awan putih berarak tenang di tiup angin. Di bawah paparan sang surya juga terlalu bermurah hati untuk membagi kehangatannya yang terlampau terik, raut wajah Taufan berubah menjadi cemas dan mulai gelisah. Ia merasa baik-baik saja beberapa menit yang lalu sebelum ia merasa ada yang mengganjal di pernafasannya, membuat dirinya sedikit kesulitan memasok oksigen ke paru-paru.
Sekilas ia melirik dimana para petugas PMR tengah bertugas di belakang barisan. Apa sebaiknya ia mundur dan istirahat di UKS saja, bisa bolos upacara juga, lagipula yang jadi pembina itu kepala sekolah, pasti pidatonya akan sangat lama. Tapi masak ia mundur Cuma gara-gara sesak nafas, atau pura-pura pingsan? Tapi gengsi juga kalau cowok tumbang saat upacara.
Bodoh! Lupakan semua itu. Sudah cukup Taufan mendapat predikat 'tukang bikin onar, tukang bolos' dan ia tak mau mendapat predikat baru, 'tukang tipu'.
Dan akhirnya setelah berdebat dengan pikirannya sendiri, niatnya kembali kokoh untuk tetap berdiri di sana hingga upacara selesai meski ia mengumpat beberapa kali karena pidato kepsek yang terlalu panjang..
.
.
"Ah, aku merasa hidup kembali." Desah Taufan seraya merebahkan kepala di meja.
Angin yang berhembus kala langit berwarna biru terasa lebih menyejukkan menerpa paras lelaki itu. Surainya ikut dipermainkan oleh sang bayu, dengkuran halus terdengar lirih ketika nafas terhembus.
Sangat damai...
Sayangnya tak ada yang namanya kedamaian abadi di dunia ini...
"Hei! Cepat bangun dan ganti baju sana!"
Tubuh Taufan sedikit tersentak, terkejut akan kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja muncul di depannya.
"Ck, kenapa sih kau selalu datang di waktu yang menenangkan dalam hidupku?" Decaknya kesal.
"Memang kapan hidupmu tenang?" Balas orang itu setengah mengejek.
"Kalau aku udah mati kali," Jawab Taufan sekenanya, kembali beranjak merebahkan kepalanya diatas tumpukan tangan.
"Hish, aku menyuruhmu bangun, bukan tidur lagi!"
"Ah, kau ini berisik sekali Fang seperti emak-emak! Capek tau semalem baru pulang dari naik gunung. Kenapa juga olahraganya itu abis upacara, mana upacaranya tadi lama banget. Tau gini aku bolos aja." Dengus Taufan, entah memaki pada siapa.
Bletak..
Jitakan manis dari Fang sukses membuat sahabatnya bangun dari kemalasannya, meski disertai umpatan kecil.
"Kau sudah janji untuk tidak bolos lagi, kelas 1 kemarin saja kau nyaris tinggal kelas gara-gara absensimu kurang. Lagipula itu salahmu juga, libur sehari bukan buat istirahat malah tracking."
"Biarin aja napa sih, hidup juga hidupku, tubuh sakit juga tubuhku, kenapa malah kau yang bawel? Hidup itu Cuma sekali Fang, nikmatin aja." Taufan mengelus benjolan kecil akibat jitakan satu-satunya sahabatnya itu.
"Huft, lagian apa enaknya sih hari Minggu di rumah melulu. Ngga bisa kumpul bersama keluarga juga." Desis Taufan terdengar samar.
Lelaki berkacamata itu hanya menghela nafas panjang, "Sudahlah! Nih pakai baju olahragaku. Aku tau kau sengaja ngga bawa kaos biar bisa bolos. Aku ada bimbingan LCC, mungkin aku akan balik abis jam istirahat."
"Hah, enak ya ikut LCC bisa bolos pelajaran yang lain." Komentar Taufan dengan polosnya.
"Enak gundulmu! Aku tetap harus ngejar materi pelajaran yang tertinggal tau!" sembur Fang tersulut emosi.
"Kenapa ngga bolos aja? Kayaknya di atap sekolah enak kalo buat tiduran."
"Ah, aku tak paham jalan pikiranmu. Sudah ya, pastikan kau mencucinya sebelum mengembalikannya. Dan awas kalau kau sampai bolos!" Ancam Fang sambil memamerkan kepalan tangannya.
Dan ia pun berlalu begitu saja, meninggalkan Taufan seorang diri di kelas yang telah sepi, mungkin murid yang lain sudah lebih dulu ke lapangan. Kepalanya mendongak, irisnya menerawang jauh pada langit biru.
"Yah sudahlah, anggap saja refreshing."
~LucKyra~
[08.23 a.m at Lapangan Basket]
37 menit menuju jam istirahat juga mengakhiri jam pelajaran pertama, Taufan baru muncul di lapangan.
"Dari mana aja kamu jam segini baru sampai!? Teman-temanmu udah mulai tanding, kamu malah baru datang."
Tanpa menunjukan rasa bersalah, Taufan justru memamerkan cengiran khas dirinya. Yah sebenarnya cukup untuk merutuki betapa menyebalkannya hari Senin. Satu lagi yang menghancurkan harinya, udah kena sembur di jam pertama, apa setelah ini ada hal yang lebih buruk lagi?
"Maaf pak, dari kamar mandi, ada panggilan alam." Jawab Taufan asal.
"Ya sudah, ini terakhir kali kamu terlambat di jam saya. Sekali lagi kamu terlambat, tak usah ikut jam saya lagi. Sekarang pemanasan sendiri sana, mulai dari lari keliling lapangan 7 kali." Perintah guru yang mengampu di jam itu.
"Siap pak." Cengir Taufan memasang pose hormat.
Ia mulai mempercepat langkahnya dan mulai berlari. 3 putaran ia lalui dengan cepat, namun mulai menginjak putaran ke-4 ia mulai merasa ada aneh. Mungkin wajar seseorang terengah-engah saat berlari karena metabolisme tubuh menjadi lebih cepat dan lebih banyak oksigen yang dihirup.
Tapi berbeda dengan Taufan, nafasnya mulai tidak teratur bahkan cenderung berat dan dadanya nyeri. Meski begitu ia tetap berlari, entah apa yang membuatnya enggan untuk menghentikan larinya yang mulai gontai.
'Hosh... Hosh... Hosh... Apa nafasku biasanya seberat ini?' pikir Taufan usai menyelesaikan putaran terakhirnya meski dengan susah payah, terduduk lemas sembari menormalkan nafasnya.
'Sial! Dadaku sesak sekali.' Umpatnya, sesekali tangan kanannya memukul pelan dadanya. Apa karena ia belum cukup istirahat setelah pulang dari mendaki gunung kemarin?
"Oi, Taufan! Kelas kita mau sparing sama kelas Ipa 2, kau ikut ya!?" Seru seseorang di sela istirahat Taufan.
"Hah!? Sparing? Ngga deh, ngga kuat aku." Jawab Taufan susah payah.
"Lah, baru lari segitu aja capek. Ayolah Taufan, cowok itu harus strong, challenge your limit!" Imbuh yang lain.
"Jadi segini aja tenagamu Taufan, katanya sering naik gunung. Masak tenaga pendaki Cuma segitu?" seru seseorang lagi memprovokasi.
Sebuah perempatan merah muncul di pelipis lelaki pecinta musik dan hobby mendaki gunung itu, ia paling benci di remehkan. "Oke! Ayo kita akhiri di lapangan! Kita liat siapa yang paling banyak mencetak point!" tantang Taufan mengabaikan kondisi tubuhnya yang sedang tidak baik.
-Jump ball-
Bola pertama diperoleh kelas ipa-2, meski hanya latih tanding biasa, tapi tidak terlihat begitu. Kedua kelas terlihat serius memperebutkan bola dan berusaha mencetak angka sebanyak mungkin.
"Woops, aku ambil ya bolanya." Cengir Taufan ketika berhasil merebut bola dari lawan.
Dia memang tidak jago basket, tapi soal olahraga dia tak pernah kalah. Dan benar saja setelah bola berpindah tangan, 3 point sekaligus diperoleh kelas ips-2.
"Yosha!"
"Boleh juga kau!" Seru rekan satu timnya sambil mengacak rambut Taufan.
GYUUUT...
"Heh~Ugh.."
"Taufan?~Kau mengatakan sesuatu?"
"Hah, tidak. Ayo kembali defense." Elak Taufan, tanpa sadar meremas dadanya yang terasa agak nyeri sambil berjalan ke daerahnya. "Ugh, nafasku..." Desisnya menahan sakit.
Ipa-2 memperbaiki posisi offense mereka, seseorang bertubuh besar menyerang dengan cepat, namun Taufan berusaha memblock jalur tembakan. Melihat kemungkinan bola masuk nyaris 0%, ia menghentikan dribble namun tetap mempertahankan bola dengan men-push Taufan.
"Ugh dasar keras kepala." Geram karena tak mampu lolos dari penjagaan Taufan, ia memaksa menembak dengan membuat sedikit jarak dengan Taufan. Tapi tak sengaja tangannya menyikut dada Taufan cukup keras hingga ia goyah dan jatuh.
BRUGH...
"TAUFAN!?"
"Woy! Santai dong mainnya! Ngga usah pake dorong-dorongan segala!" Seru rekan tim Taufan. Beberapa orang mengerumuni Taufan yang masih tumbang di lapangan.
"Taufan, kau baik-baik saja?"
"Hah..."
Nafas Taufan mulai tak teratur, tangan kanannya mencengkram kaus yang ia kenakan, matanya tepejam erat menahan sesuatu yang membuncah di dadanya.
"Taufan!?"
"Akh! Haahah... Ss-sesa..ak... Hhaah... Hahhh..." Taufan sulit berkata.
Dalam satu momen, dunia Taufan menjadi gelap. Keringat dingin mulai membanjiri pelipisnya, dadanya naik turun tak beraturan seolah paru-parunya telah lupa cara untuk bernafas.
"Hei, kau bisa mendengarku kan? Buka matamu Taufan!"
Perlahan, meski berat, ia membuka matanya, pandangannya sayu berembun menatap kosong. Kesadarannya kian menipis seiring pening yang mulai menjalari kepalanya karena darah yang kekurangan oksigen. Pasokan udara semakin sulit ia dapatkan.
"Taufan, tenanglah! Bernafaslah perlahan!"
Tidak bisa! A-aku tidak bisa bernafas. Rasanya seperti tenggelam, gravitasi seolah terus menarikku ke dasar perairan, sama sekali tak mengijinkanku naik kepermukaan.
Semakin dalam,semakin gelap, semakin sesak. Lemas dan tak berdaya. Tubuhku menjadi di luar kendali,pandanganku kabur,samar-samar namaku dipanggil, tapi percuma, aku tak bisa menggapainya. Dan semua itu, menghilang..
Gelap
.
.
.
~Luckyra~
"Ugghh..."
Sebuah lenguhan kecil lolos dari bibir lelaki itu, perlahan iris biru mulai nampak dari balik tirai kelopak mata yang sudah beberapa jam terpejam. Ia merintih pelan merasakan kepalanya yang terasa berat dan berdenyut.
"Sudah sadar?"
Pemilik suara itu menjadi objek pertama yang menarik perhatian Taufan. Gadis berhijab dengan sweater merah membalut seragam putihnya tengah duduk di sampingnya, menunggu dirinya hingga sadar.
Taufan berusaha mengubah posisinya menjadi duduk, tapi dadanya kembali terasa nyeri dan pening masih menyelimuti kepalanya ketika ia melepas masker oksigen yang entah sejak kapan menutupi sebagian wajahnya, membuatnya kesulitan berkata.
"Kalau masih sakit jangan dipaksakan!" Ujar gadis dengan nada sedikit khawatir.
Taufan menggeleng singkat, "Tidak, aku baik-baik saja." Katanya lirih sambil meringis menahan sakit.
Perempuan itu membantu memindahkan bantal untuk sandaran dan melepas masker oksigen yang sepertinya sangat menganggu bagi Taufan.
"Terima kasih. Oh ya, ngomong-ngomong-" Ia menggantungkan kalimatnya sekedar menatap lekat gadis berhijab itu.
"-kamu siapa ya? Rasanya aku sering melihatmu, tapi ngga tau namamu." Pertanyaan yang pertama kali nyangkut di otak Taufan setelah melihat perempuan itu.
Iris hazel gadis itu menatap lelaki di depannya-tak percaya, "Kau bercanda kan?"
Sebelah alisnya terangkat, mengoreksi hal yang salah dalam kalimatnya, "Tidak." Singkat kata Taufan lontarkan.
Ia menghela nafas panjang, lelaki itu tidak bercanda. "Sungguh mengejutkan kau tak tau aku, padahal 2 tahun kita satu sekolahan, aku juga sering masuk kelasmu untuk bertemu Fang, lagian saat pemilihan ketua OSIS kau tidak membaca profil kandidatnya apa? Yah, kurasa wajar sih kau tak mengenalku, kau kan sering bolos." celoteh gadis itu.
"..."
Tangan gadis itu terulur, "Kalau begitu, perkenalkan namaku Yaya. Anak Ipa-2, wakil ketua OSIS dan ketua PMR, karena kebetulan dokter yang jaga ada urusan mendadak, jadi aku yang menunggumu sampai sadar."
Sesaat Taufan memandang gadis itu kemudian beralih ke tangannya yang masih terulur dan menjabatnya, "Namaku Ta-"
"Boboiboy Taufan kan? Murid yang sering bolos sekolah dan pernah berkelahi dengan kakak kelas waktu masih kelas 1." Potong gadis bernama Yaya itu.
ZONK..
"..."
"A-apa ada hal baik yang membuatmu mengingatku? Maaf, tapi ternyata sakit juga kalau mendengar langsung orang lain mengatai kita" Ujar Taufan dengan ekspresi 'sakit tapi tak berdarah.
"Ahaha, maaf. Bukan maksudku memberi image buruk." Balas Yaya sweatdrop berat. "Eum, bagaimana perasaanmu? Masih sesak?" imbuhnya merubah topik pembicaraan.
"Huft, rasanya sedikit nyeri saat menarik nafas, tapi tidak terlalu berat seperti tadi. Hanya saja tubuhku rasanya masih lemas." Jawab Taufan usai menarik nafas panjang.
"Apa keluargamu pernah punya riwayat penyakit asma atau TBC?"
Pandangan Taufan menerawang, "Hm, aku tidak tau. Orang tuaku meninggal saat aku masih kelas 5 SD, tapi sepertinya keluargaku tidak memiliki riwayat penyakit pernafasan. Memangnya kenapa?"
"..."
"Hm? Yaya?"
"Kau- yatim piatu?"
Taufan tersenyum miris, "Jangan bersimpati padaku, aku benci dikasihani seperti itu. Setidaknya aku masih punya saudara kandung, yah meski hubungan kami tidak terlalu baik."
Hening...
Yaya terdiam, nampak tengah bergelut dengan pikirannya sendiri. Mungkin ia berpikir kalau kehidupan lelaki ini seperti drama FTV, kehidupan tanpa orang tua di umur yang masih sangat muda pasti sangat sulit. Tapi orang di depannya masih hidup dengan kehidupan yang bisa dikatakan wajar hingga saat ini. Hanya itu yang Yaya ketahui dari cover Taufan.
Tiba-tiba ia bangkit dari duduknya mengundang tanya Taufan, "Ayo pulang!"
"Hah?"
Hazel milik Yaya melepas pandang dari iris biru itu, "Aku akan mengantarmu pulang agar kau bisa istirahat."
"Tapi bagaimana dengan pelajarannya?" tanya Taufan ambigu.
"Orang yang sering bolos sepertimu masih memikirkan pelajaran?" Satu kali lagi perkataan Yaya yang berhasil menohok jantung Taufan. Namun kemudian gadis itu tersenyum manis, "Akan aku ijinkan, kau tunggu disini sebentar. Aku akan mengambil tasmu dikelas." Tanpa menunggu jawaban Taufan, Yaya melesat begitu saja meninggalkan UKS dengan Taufan yang hanya melongo melihat tingkah gadis yang baru dikenalnya. Dia manis tapi omongannya tajam.
.
.
"Haha, rasanya memalukan terlihat lemah seperti ini dihadapan seorang perempuan." Celoteh Taufan terkulai lemas dalam papahan Yaya.
Gadis itu membaringkan Taufan perlahan dikasurnya setelah memapahnya dari mobil menuju kamarnya di lantai 2. Tanpa sepatah kata, ia meninggalkan Taufan namun tak berselang lama ia kembali dengan nampan berisi bubur, segelas air putih dan obat yang sepertinya ia bawa dari UKS.
"Makanlah," sesendok bubur di tangan Yaya siap disuapkan.
"Kenapa kau sampai susah-susah membuatkan bubur, aku baik-baik saja. Kau bisa pulang sekarang." Desis Taufan memperbaiki duduknya.
"Setelah sesak seperti tadi, kau tak bisa dikatakan baik-baik saja. Jangan banyak bicara atau aku akan membawamu ke rumah sakit. Sekarang makanlah!" Tegas Yaya masih memaksa untuk merawat Taufan.
Ya, memang ketika perjalanan menuju parkiran tadi sesak dada Taufan sempat kambuh, membuat Yaya panik dan berniat membawanya ke rumah sakit tapi ditolak dengan alasan ia hanya kelelahan. Yah, sebenarnya bukan alasan yang begitu logis untuk bisa ditangkap Yaya, walau pada akhirnya ia tetap mengantarnya pulang.
Taufan mempoutkan bibirnya, ia tidak suka diperintah dan diperlakukan seperti anak kecil meski dirinya sendiri sering bertingkah seperti anak kecil.
"Aku bisa makan sendiri!" Kemudian merebut mangkuk dan sendok dari Yaya dan melahap perlahan bubur itu sesuap demi suap.
Yaya harus menahan tawa mati-matian melihat tingkah laku Taufan yang berubah layaknya anak berumur 5 tahun yang ngambek. Ia pikir Taufan memiliki kepribadian yang keras mengingat ia sering berkelahi dan biangnya onar, tapi semua itu hanya ekspektasinya. Ia juga memiliki sisi kekanak-kanakan.
Hampir setengah porsi Taufan habisnya, namun pada suapan berikutnya ia meletakan sendoknya, "Terima kasih makanannya tapi aku sudah kenyang."
"Kalau begitu minum obatnya dan istirahatlah." kata Yaya sembari menyiapkan obatnya.
"Hei, bagaimana bisa kau bisa sebaik ini pada orang yang baru pertama kau kenal?" tanya Taufan yang kini kembali berbaring dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya usai menelan obat yang Yaya berikan.
Yaya yang tengah membereskan nampan menoleh sejenak dan memasang pose seolah memikirkan sesuatu, "Hm, mengataimu sebagai orang yang baru ku kenal, sebenarnya tidak juga. Aku sudah mengenalmu bahkan sejak ospek, kamunya aja yang tak mengenalku."
"Haha, benar juga." Taufan tertawa garing, rasa kantuk mulai menyerang dirinya, matanya terasa berat. "Tapi aku berterima kasih untuk orang yang pertama kali ku kenal, sudah merawatku sampai seperti ini, kau ini benar-benar orang baik ya Yaya."
Mungkin memang hanya istirahat yang ia butuhkan saat ini, dalam hitungan menit dengkuran halus mulai terdengar dari deru nafas yang teratur. Membiarkan semua yang ia rasakan naik kepermukaan dan menenggelamkan kesadarannya.
Yaya tersenyum simpul, ia berjalan mendekati sosok yang telah terlelap dalam damai. Tangannya mendarat di kening Taufan yang terasa hangat, baru ia sadari kalau Taufan tengah demam. Dari saku rok abunya, ia mengambil plester pereda demam yang biasa dia bawa ketika cuaca sedang panas.
"GWS ya Taufan,"
~Luckyra~
Taufan mengeryap perlahan, rambutnya sedikit basah akan keringat karena cuaca hari itu yang terlampau terik mengingat waktu telah lewat tengah hari, ditambah tubuhnya yang terbalut selimut. Dikeningnya masih tertempel manis plester pereda demam yang entah sejak kapan tertempel.
Sebuah catatan kecil di atas meja mencuri perhatian Taufan yang dalam sekejap mengundang senyum tipis di bibirnya.
~Get Well Soon ~
Jika menggali lagi ingatannya, kapan ya terakhir kali ada yang merawatnya saat sakit? Menyuapinya? Mengopresnya? Yah meski dia bukan anak kecil lagi, tapi masa-masa seperti itulah yang sangat dirindukannya.
Matanya mulai terasa panas, pandangannya semakin kabur terhalang cairan yang menumpuk di pelupuk mata ketika memadang foto keluarganya ketika masih utuh. Dan air mata lolos begitu saja tanpa ia inginkan.
"Tck, apa-apaan sih aku ini?" Tangannya menghapus kasar jejak liquid yang membasahi pipi.
Sudah lama sekali...
Sejak hari itu...
Taufan bangkit, melepas plester di dahinya dan meletakannya sembarang tempat. Kakinya berpijak pada lantai putih, langkahnya gontai menuju salah satu sisi ruangan dimana gitar tua tergantung di sana.
"Maaf." Gumamnya entah kepada siapa.
Jemarinya meraih gitar jenis akustik, ia kembali duduk di tepi ranjangnya. Menghadap jendela, meninggalkan bayangannya di belakang.
Jari-jarinya sudah bersiap memasang kunci C pada senar, diikuti petikan gitar lembut yang mengawali sebuah lagu yang akan ia nyanyikan.
"I'm telling you.. O yeah
I softly whisper
Tonight... Tonight...
You're my angel
Aishiteru yo.. O yeah
Futari wa hitotsu ni
Tonight... Tonight... I just say,
Wherever you are, I'll always make you smile
Wherever you are, I'll always by your side
Wherever you are, kimi wo omou kimochi
I promise you forever right now-"
*One Ok Rock -Wherever You Are
Chord demi chord berlalu, suaranya semakin lirih dan akhirnya hilang seperti angin yang mempermainkan helai rambut hitam Taufan. Pita suaranya tak mencapai nada berikutnya karena nafasnya yang keburu habis.
"Sial, dadaku sesak lagi." Desisnya sedikit merintih, mencoba menormalkan nafasnya yang tiba-tiba menjadi cepat. Kenapa akhir-akhir ini rasa sakit terlalu sering mendera dadanya, dan itu membuat Taufan muak karena seperti kakek-kakek yang kecanduan rokok.
Gitar yang belum diselesaikan mainkan chordnya, ia letakan di ranjang. Ia beranjak meninggalkan kamarnya, mungkin segelas lemon tea hangat bisa ikut melegakan paru-parunya. Bisa dilihat tubuh lemas Taufan menuruni tangga dengan perlahan dan hati-hati.
Rumah sangat sepi, sekilas ia melirik pada jam dinding di ruang keluaga. Masih menunjukan pukul 1 siang, jam sekolah bahkan baru berakhir jam 4 sore. Gempa biasanya baru sampai di rumah jam 5 karena masih mengurusi beberapa hal di OSIS, sedangkan Kak Hali mungkin akan pulang sore karena kerja partime di studio foto dekat kampusnya.
Kalau dipikir-pikir semua orang dengan kegiatannya masing-masing, sedangkan hidupku. Aku hidup untuk apa? Untuk siapa? Sampai saat ini aku belum menemukan jawaban atas keberadaanku sendiri. Selama ini hanya hidup dalam hal-hal konyol dan tak berguna, sudah berapa banyak waktu kubuang? Entah, aku sendiri juga tak sadar akan hal itu.
.
Taufan sedikit meniup uap yang mengepul dari permukaan air yang telah berubah warna menjadi teh kemudian menyesapnya perlahan. Tiba-tiba nafas Taufan tercekat ketika sesuatu yang membuncah dalam dadanya melesak keluar.
PYAAAR
Tangan yang awalnya menahan gelas kini beralih membekap mulutnya sendiri yang sedari tadi tak berhenti terbatuk. Dadanya terasa sangat sakit di setiap tarikan nafas, tenggorokan perih karena batuknya kian menjadi.
UHUK...
Tiba-tiba dari mulut Taufan suatu cairan yang mendesak keluar, segera ia berlari menuju wastafel dan mengeluarkan semuanya di sana. Namun betapa terkejutnya ketika darah segar yang jumpai.
"Uhuuukk uhuuk.. D-darah?"
Lagi-lagi Taufan terbatuk kencang dan semakin banyak darah yang mengotori wastafel dan keramik sekitarnya. Tangannya mencoba memutar keran dan air pun langsung menyapu darah yang menutupi permukaan stainless steel.
Ia nyaris limbung, tubuhnya gemetar hebat melihat darahnya sendiri di wastafel. Ia memang bukan hemophobia tapi ia tak sanggup melihat banyak darah, bahkan darahnya sendiri. Sekarang pikiran Taufan kalang kabut, wajahnya kini menjadi pucat pasi, jejak-jejak darah masih tersisa di bibir dan tangan Taufan.
"Uhuukk... Uhuuk... Ughh.."
Masih dengan nafas tersenggal, ia menyandarkan tubuhnya yang masih shock. Batuk masih mendera meski tak sehebat tadi. Dan kini ia tak punya tenaga lagi, hanya terfokus untuk menetralkan nafas dan nyeri yang menusuk rongga dadanya.
'Apa ini juga termasuk gejalanya?'
To Be Continue...
Continue or discontinue..?
Tadaima reader sekalian... Hampir setahun ya aku ngga nongol di fanfiction, aku bahkan bingung mau bilang apa lagi pas balik lagi.
Ah, aku ini nulis apa sih.. Bahasa absurd, ending gantung, tulisan kaya cekeran ayam.
Sebenernya Kyra mah pengen, pengen banget balik nulis lagi.. Tapi apa daya, tiap mau nulis lagi selalu ada halangan, mana yang malas, sakit, capek, ngga ada waktu.. Seringnya sih males dan ngga ada waktu, juga kurang inspirasi sih.
Tapi berkat dorongan Salsabila Tasnim yang bahkan sampe ngechat via FB, akhirnya terkumpullah niat meski terkadang berat.. *Lah ini nulis kok ngga ikhlas..
Ngga beneran! Ikhlas kok..
Kalian bisa kok kasih aku saran dan aku pasti berterima kasih banget apapun review kalian. Karena, entah tanpa aku sadari skillku buat nulis cerita ngilang lagi, dan waktu balik nulis.. Ya ampun, ini bahasanya gimana? Klise banget! Apaan nih? Tulisan kaya anak SD. Sekarang jadi susah banget merubah adegan yg udah tergambar di otak menjadi tulisan di atas kertas. Udah berasa pengen jempalitan aja..
Yang terpenting, Kyra mohon dukungan dan semangatkan biar tetep masih bisa lanjutin.
Your support is my power!
Oh ya dan untuk fanfic 'Pugnacity' akan didiscontinue dan diremake ulang setelah cerita yang ini selesai. Kenapa? Karena seiring waktu banyak ide nyangkut yang bisa buat nambahin serunya plot jalan ceritanya.
Sekian dan terima kasih
