Vocaloid © Crypton Future Media, Internet, Yamaha, et cetera. No copyright infringement is intended.

Warning unedited, stress relief fic, plotless, diksi pergi ke laut, cliché, et cetera. Kesamaan ide harap dimaklumi.


morning

by devsky


Di sela kesibukan paginya: menata piring-piring dan makanan untuk sarapan yang waktunya tinggal sebentar lagi, Luka bisa mendengar, melalui ujung telinga, suara kaki kecil yang mengambil langkah hati-hati turun dari tangga.

Saat itu terjadi, maka dia akan langsung mengelap tangan ke apron dan berjalan menuju tangga. Mengabaikan sejenak desis air mendidih dan setoples penuh kopi hitam, hanya untuk menemukan Luki berdiri di tangga dengan piyama biru langit kebesaran. Mata birunya mengerjap-ngerjap, masih digelayuti kantuk.

Luka tersenyum melihat anak enam tahun itu menguap sembari mengusap mata untuk mengusir sisa-sisa kantuk. Tangan kirinya memegang selimut―yang ia seret dengan langkah terseok dari kamar ke mari.

Warna selimut itu biru dengan motif bintang dan planet memenuhi permukaan, seperti galaksi imitasi. Luka membeli selimut itu ketika pergi bersama Meiko ke Kyoto musim semi tahun lalu. Liburan singkat yang menyenangkan. Dan ketika Luka kembali ke rumah, Luki langsung berlari memeluknya. Sementara itu suaminya, Yuuma, berdiri di tengah ruangan, yang berantakan tak tertolong. Mata pria itu berkaca-kaca seperti siap menangis kapan pun jika Luka terlambat datang.

"Selamat pagi, Ma…," anak itu menyapa setelah kuapan yang ke sekian.

Luka segera merendahkan badan untuk mengusap rambut Luki. Membuat rambutnya jadi terlihat lebih berantakan dari sebelumnya. "Pagi…."

Hidung Luki bisa mencium bau telur yang baru diangkat dari dapur memenuhi seisi rumah. Mama hampir selesai menyiapkan sarapan, pikirnya.

Mata anak laki-laki itu kemudian menyisir seluruh ruangan yang terasa sepi kemudian bertanya dengan alis saling bertautan, "Mana Papa?"

Luka menegakkan tubuh, menyunggingkan senyum sambil telunjuknya menunjuk ke atas. "Dia akan terlambat untuk sarapan."

Butuh beberapa sekon bagi Luki untuk memproses informasi barusan, mengaitkan dengan suasana rumah yang sepi, sebelum berbalik dan cepat-cepat memanjat naik ke lantai atas. Papa-nya pastilah masih tidur!

"Tidak boleh! Papa tidak boleh terlambat sarapan!"

Dengan gesit, Luki berbalik dan mulai memanjat tangga. Luka tak melakukan apa pun. Hanya membiarkan sosok Luki menghilang ke lantai dua. Setelah mendengar derap kaki kecil sampai di atas, ia kembali ke dapur. Menaruh atensinya pada bubuk kopi dan air panas yang sempat terlupakan.

Yuuma memang tidak begitu mudah bangun pagi. Pekerjaannya yang sering menuntut lembur kerap memangkas jam tidurnya, membuatnya bangun lebih siang hingga kadang melewatkan sarapan. Sedangkan Luki, yang kini duduk di bangku taman kanak-kanak, tak pernah senang duduk di meja makan dengan sosok papa yang absen.

Jadi, entah sejak kapan, Luki punya kebiasaan berlari dengan gaduh ke kamar mereka (Luka dan Yuuma) untuk membangunkan sang papa yang penidur. Anak itu akan melompat ke ranjang, melakukan apa pun yang perlu untuk membuat pria itu membuka mata. Mulai dari mengguncang-guncang tubuhnya, menarik selimut, sampai menjambaki rambut.

Dia tidak akan berhenti sebelum sang papa bangun. Dan Yuuma, yang menyerah atas gangguan Luki, pada akhirnya akan bangun. Meski tentu saja, tak jarang ia mencuri-curi kesempatan untuk kembali ke atas tempat tidur, memeluk bantal.

Di antara denting-denting piring yang bersentuhan dengan permukaan meja, Luka mendengar kisruh dari lantai atas. Yuuma dan Luki, tentu saja.

"Bangun, bangun! Papa bangun!"

"Aaaarrgh! Luki—!"

"Bangun! Ayo, bangun!"

Di ruang makan, Luka tersenyum dan kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Ini sudah menjadi semacam ritual pagi di keluarga kecil itu. Dan Luka selalu membiarkannya.


Fin