Title : Freedom (Prolog/?)

Author : skadihelias

Rating : PG-13 (mungkin lebih tinggi di chapter-chapter berikutnya :P)

Characters/Pairings : Indonesia-cetered, Netherlands x Indonesia

Warnings : Slash/shounen-ai/yaoi

Disclaimer : Hetalia belongs to Himaruya Hidekazu.

Summary : Kisah hubungan antara Netherlands dan Indonesia sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia.


PROKLAMASI

Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno - Hatta


1945

"Saya belum pernah mendengarmu berkomentar tentang hal ini." Pimpinan barunya berkata dengan nada santai, tetapi Indonesia bisa merasakan pertanyaan yang dilantunkan dengan hati-hati dibalik kalimat tersebut. Hanya sekedar keingintahuan biasa, namun mengandung tuntutan akan jawaban. Malam itu adalah malam setelah Soekarno ditunjuk sebagai presiden pertama Indonesia. Mereka berdua sedang duduk berhadapan di kursi-kursi rotan di teras rumah presiden. Udara malam itu terasa hangat seperti biasanya. Terselubung tipis oleh asap dari rokok sang presiden yang menyala.

Indonesia. Akhirnya, ia sekarang dapat menggunakan nama itu dengan bebas. Pemuda itu telah dipanggil dengan begitu banyak nama sebelumnya. Indian Archipelago, Malayan Archipelago, Maleische Archipel, Nederlandsch Oost Indië dan mungkin masih banyak lagi yang tidak penting baginya untuk diingat. Tak ada satupun dari semua nama itu yang lebih disukainya dari nama 'Indonesia'. Sejak pertama kali terucapkan oleh rakyatnya, ia sudah mengakui nama itu sebagai namanya. Rakyatnya, putra dan putrinya mencintai nama itu. Para pelajar dan pemudanya menuliskan nama itu setiap kali mereka menulis tentangnya.

Netherlands membenci nama itu. Netherlands dan rakyatnya tidak pernah dan menolak untuk menggunakannya. Apakah karena nama itu mengingatkannya bahwa suatu saat aku akan lepas dari tangannya dan tidak akan lagi menjadi miliknya? Indonesia merasakan sakit di dalam dadanya. Seharusnya hal itu tidak sebegini mengganggunya.

"Ini yang diinginkan rakyat." Indonesia menjawab. "Ini yang saya inginkan." ujarnya pasti, tetapi di akhir kalimat ia menelan paksa ludahnya. Ia tidak tahu siapakah yang ingin ia yakinkan, pimpinannya atau dirinya sendiri.

Soekarno memandang pemuda di depannya dengan ekspresi yang tidak terbaca. "Tapi kau tidak membencinya." Itu bukanlah sebuah pertanyaan, bukan pula sebuah tuduhan. Hanya pernyataan singkat yang disimpulkan dari observasi panjang. Dan Indonesia tahu pimpinannya tidak sedang berbicara tentang Jepang.

Jepang, yang selama tiga tahun penjajahannya yang singkat tidak meninggalkan apapun kecuali rasa pahit di mulutnya dan luka-luka di sekujur tubuhnya. Negara sial dengan propaganda 'kakak besar Asia' bodohnya yang membawa perang sial ke Indonesia yang seharusnya sama sekali tidak terlibat. Masih teringat jelas di benaknya, nyeri di badannya ketika ribuan laki-lakinya mati dan masih pula terdengar olehnya jeritan wanita-wanitanya yang dinodai.

"Ya, saya memang tidak membencinya." Bukan dia. Bukan Netherlands. Tidak akan mampu dirinya membenci lelaki tinggi besar itu. Dan ia pun tak akan pernah menyangkal kenyataan itu. "Tapi itu bukan berarti saya tidak ingin bebas darinya."

Mereka pun diam sesaat. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Indonesia menatap kedua tangannya yang terlipat rapi di pangkuannya, dan menggerakkan jari-jarinya yang ramping dan berkulit kasar. Ia selalu bebas, mandiri, tapi tidak sendiri. Ia adalah sebuah negara. Sebuah personifikasi dari daratan dan lautan yang luas. Ia adalah terbitnya matahari di Gunung Bromo dan terbenamnya matahari di Tanah Lot, pohon-pohon yang tinggi menjulang di Borneo dan kehidupan liar yang beragam di Celebes, hutan-hutan rimbun Papua dan bukit-bukit serta lembah-lembah Sumatra, hijaunya sawah-sawah di Jawa dan harumnya rempah-rempah Moluccas. Semuanya bebas, berada di bawah langit yang tidak berbatas. Tetapi ia juga darah dan daging rakyatnya. Rakyat yang diperbudak oleh imperialisme Belanda. Apakah itu membuat dirinya sama tidak bebasnya sebagaimana yang dirasakan rakyatnya?

Dikepalkannya kedua tangannya itu kuat-kuat. Seharusnya ia merasa malu. Begitu banyak rakyatnya mengorbankan diri mereka demi kemerdekaan ini. Tapi apa yang ia lakukan? Hanya duduk di sini, merindukan sentuhan kasar, pandangan mengejek dan bau keju memuakkan yang didapatkannya dari bangsa yang pernah menjajahnya itu. Kenapa dirinya begitu meresahkan hal ini? Harusnya ia membenci bajingan yang orang-orangnya memperlakukan rakyat Indonesia tidak lebih dari budak dan anjing itu. Tidak, kemerdekaan ini adalah jalan yang terbaik. Ini yang terbaik bagi rakyat dan tanah airnya. Jadi ini pasti yang terbaik baginya juga.

"Kau belum pernah memberitahu namamu pada saya." Kata pimpinannya lagi, menarik Indonesia dari pikirannya, dan sebelum Indonesia bisa menjawab, Soekarno berkata lagi, "Nama manusiamu."

"...saya Eka." Anak pertama, artinya. Dan Soekarno tertawa kecil.

"Seharusnya saya sudah menebak itu dari dulu..."


1500

Sepanjang yang diingatnya, ia tidak punya siapa-siapa, namun tidak pernah pula benar-benar sendirian. Tidak seperti bocah-bocah lain yang sering dilihatnya di desa-desa, ia tidak memiliki 'ayah' dan 'ibu'. Tidak ada siapapun yang memanggilnya untuk pulang ke rumah ketika matahari terbenam. Tidak ada siapapun yang melindunginya dari raungan binatang-binatang buas di hutan ataupun menaunginya dari hujan badai yang mengamuk.

Tak satupun dari hal ini mengganggunya, tentu saja. Binatang-binatang buas itu, meskipun memiliki mata yang tajam dan gigi yang begitu runcing, tidak pernah sekalipun mencoba untuk menyakitinya. Bahkan bisa dikatakan mereka sangat akrab dengannya – menemaninya tidur di dalam gua-gua atau membawakannya buah-buahan hutan dan daging segar untuk dimakan. Suara raungan badai bagi dirinya terasa sama menenangkan sebagaimana nyanyian burung-burung di atas kepalanya.

Hal yang mengganggunya adalah kenyataan bahwa dirinya, jika digambarkan sesederhana mungkin, berbeda. Ia pertama kali menyadari hal ini ketika dirinya sedang bermain bersama sekelompok bocah di sebuah desa di tepi laut. Mereka menahan kepala mereka di dalam air, mencoba mengetahui siapa di antara mereka yang dapat menahan nafas paling lama, dan ia selalu menang. Ia tidak tahu mengapa ia harus menahan nafasnya di dalam air, karena ia dapat bernafas di dalam air sebagaimana ia bernafas di udara seperti biasanya.

Salah satu dari bocah-bocah tersebut, seorang anak perempuan yang tampak tidak lebih tua darinya, meminta untuk mengajarkan bagaimana ia bisa menahan nafas begitu lama di dalam air. Ia mengajak anak perempuan itu ke bagian pantai yang lebih dalam, lebih dalam dari tinggi badan mereka, dan membantu anak perempuan itu agak tetap berada di dalam air sepenuhnya dengan menggenggam tangannya. Ia menatap, terpana, ketika gelembung-gelembung udara menyembul dari mulut anak perempuan itu. Ia memperhatikan wajah anak perempuan itu mengerut kesakitan, dan tangan yang digenggamnya mulai mengejang, mencoba memberontak dengan panik. Ia masih tetap memandang ketika wajah anak perempuan itu berubah pucat membiru dengan mata membelalak, lebar dan kosong. Ia menatap ketika anak perempuan itu mulai mengambang lemas tanpa pernah melepaskan genggaman tangannya sendiri. Bukankah ia sudah berjanji untuk membantu anak perempuan itu bertahan di dalam air?

Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba sepasang tangan yang lebar dan kuat menarik mereka berdua ke tepi pantai. Ia mengenali laki-laki yang menariknya itu sebagai salah seorang nelayan di desa itu. Seorang wanita, yang diketahuinya adalah ibu dari anak perempuan tadi, menjerit dan menangis sambil memeluk anaknya yang tidak bergerak. Aneh, kenapa sekarang anak itu tidak bernafas?

Orang-orang desa yang berkumpul di sekitar mereka memandang dirinya, ketakutan, kemarahan dan kebencian di mata mereka yang gelap. Ia masih merasa bingung ketika batu pertama menghantam kepalanya. Diikuti sebuah batu lain. Dan satu lagi, sampai hampir seluruh orang desa itu melemparinya. Ia berteriak kepada mereka, memohon kepada mereka untuk berhenti sambil mengangkat kedua lengannya untuk melindungi kepalanya yang berdarah-darah. Ia bisa mendengar teriakan-teriakan mereka, memanggilnya setan, iblis. Ia tidak pernah merasa setakut itu sepanjang hidupnya.

Ia berputar dari mereka, berlari dan berenang ke tengah laut, membiarkan air yang dingin menyelimuti tubuhnya dan melindunginya dari lemparan batu yang tiada henti. Air laut yang asin menyengat luka-lukanya. Rasa perihnya membuat ia menangis untuk pertama kalinya. Air matanya melebur ke dalam laut, dan ia tidak berhenti berenang.


To be continued...