Judul : The Romance of Four High Schools

Rating : K

Genre : humor, general

Warning : geje, keabalan tiada tara, humor nggak lucu, OOC berat dari semua chara, dll dkk

Disclaimer : Dynasty Warriors series bukan punya author, tapi punya Koei & Omega Force, tapi kalau cerita abal ini emang punya author, sih ;D

A.N.: Haaaaai semua yang udah nge-klik cerita ini! XD Makasih ya udah mau ke sini en baca cerita geje ini! Author berusaha mengeluarkan ke-humoris-annya lewat cerita ini, semoga bisa menghibur deh... ;D Mungkin apdet-nya bakal agak lama, soalnya author lagi skripsi nih (iya, masa kegalauan absolut seorang mahasiswa), mohon maklum... ( _ _ ) Anyway, enjoy ceritanya! Happy reading! Jangan lupa review kalau sempat, yaaaa~ :DD


Chapter 1-1: Ayo~ Sekolah~! (dinyanyikan)

Di suatu pagi yang cerah, di sebuah daerah di Cina, terdapat sebuah kompleks perumahan besar, di mana di tengahnya ada empat sekolah besar yang berderet, yaitu Sekolah Terakreditasi (ST) Shu, Akademi Kependidikan (AK) Wu, Institusi Pendidikan Menengah ke Atas (IPMA) Wei (sombong banget yak namanya), dan Sarana Pengajaran Terpadu (SPT) Jin. Semuanya punya TK, SD, SMP, dan SMU, dan biasanya murid yang dari TK di Shu tetap di Shu sampai SMU, begitu pula di sekolah lainnya, sampai-sampai mereka semua sudah saling mengenal baik satu sama lain di dalam lingkungan sekolah.

Keempat sekolah ini merupakan sekolah terbaik di Cina, tetapi keempat sekolah yang entah kenapa berderet tetanggaan ini saling bersaing sejak zaman dulu kala, dari yang paling berprestasi, paling mewah, paling aduhai, paling asoy, paling geboy... apapun itu, pasti dijadiin pertandingan. Murid-muridnya pun ikut-ikutan – apapun yang terjadi nggak boleh kalah sama tetangga-tetangga itu! Hidup atau mati! Merdeka! ...sekian kilasan dari tahun '45.

Masing-masing sekolah itu tentu punya keunikan dan karakteristik tersendiri. Shu, misalnya, terkenal dengan anak-anaknya yang cinta keadilan dan pembela kebenaran. Mulai dari membantu orang tua menyebrang di jalan raya, mungutin sampah yang dibuang sembarangan, nolongin anak hilang, sampai demo demi membela rakyat miskin dilakukan! Namun, mereka juga terkenal akan kenaifan (dan kebloonan) mereka, jadi sering juga mereka dikadalin orang. Misalnya, ada seorang murid yang merelakan makan siangnya demi seorang kakek tua kelaparan (yang sebetulnya cuma kakek mesum abis selingkuh terus diusir dari rumah), atau nolongin anak yang lagi dikejar-kejar penculik (yang kemudian diketahui sang 'penculik' itu adalah orangtua anak itu sendiri, mau nyeret sang anak ke dokter gigi, tapi fakta tersebut baru diketahui setelah orangtua anak itu babak belur diberi pelajaran sama sang murid tersebut), dan sejenisnya. Cita-cita mereka pun menjadi tentara, polisi, guru, dokter, dan semua profesi yang mendukung perkembangan dan kemajuan umat manusia di muka bumi ini, hidup! Begitulah, anak-anak Shu memang sangat bersemangat.

Kemudian, AK Wu yang terkenal akan kuatnya solidaritas antar murid-muridnya. Apapun yang terjadi, tidak akan ada yang bisa memutuskan tali persahabatan dan kekeluargaan mereka selain kematian! Mereka selalu gotong royong membantu satu sama lain, mengerjakan segalanya bersama-sama. Mulai dari belajar bareng, olahraga bareng, siskamling bareng, bangun rumah bareng, bolos bareng (sampai kepala sekolah dan guru-gurunya juga bolos), bahkan mandi pun bareng! (Tapi tolong dipisah sesuai jenis kelamin, yang bukan muhrimnya silakan minggat) Begitulah, tali kekeluargaan yang begitu kuat mengikat mereka.

Sementara itu, di IPMA Wei, kalangan murid-murid kaya nan borjuis mengisi sekolah itu. Mereka biasa menggunakan sutra dan bordiran perak di seragam mereka, makan masakan chef khusus, dan interior sekolah yang begitu mewah dan wah. Mereka juga dikenal dengan sifat individualisme yang tinggi. Satu senang, yang lain tidak merasakan. Yang satu sedih, yang lain senang melihat dia sedih. Sedikit egois memang, tapi mereka juga pintar (nyerempet licik) dan agak sedikit sadis berlebihan.

Dan yang terakhir, SPT Jin. Sekolah ini yang paling terakhir berdiri di banding ketiga sekolah lainnya, tapi juga paling bermacam-macam isinya – bisa dibilang percampuran ketiga sekolah lainnya. Pembela keadilan, ada; yang ikatan kekeluargaannya erat, ada; yang kaya dan narsis, ada; yang mana pun oke! Tapi, mereka terkenal oportunis, dan menghalalkan segala cara demi keuntungan mereka. Ada apa saja, akan mereka manfaatkan. Ada kondangan, mereka bawa plastik pembungkus. Ada bagi-bagi obat generik gratis, mereka bolak-balik antrian beberapa kali dengan dandanan berbeda. Ada workshop gratis, mereka bawa handycam biar nanti bisa dibuat CD terus dijual lagi. Itulah makhluk-makhluk Jin, agak nggak tahu malu.

Pagi ini, awal bulan Juli, merupakan tanggal masuknya para murid-murid keempat sekolah tersebut di semester ganjil yang baru. Lho kok pakai penanggalan semesteran Indonesia padahal katanya di Cina? Nggak apa deh, abis author belum pernah sekolah di Cina. Jadi yuk ah, jangan banyak tanya.

Di depan gedung Shu yang mewah dan didominasi warna hijau – mulai dari cat dinding sekolah yang warnanya hijau muda, genteng hijau tua, tulisan 'SHU' gede nggak kira-kira warna hijau mencolok di tengah dinding gedung utama sekolah, pohon-pohon mullberry hijau, kendaraan-kendaraan pada berderet warna hijau, dan sampai rasanya otak author jadi hijau gara-gara kebanyakan nulis hijau... – tampak beberapa murid sedang berjalan memasuki gedung sekolah. Ada yang malas-malasan, ada yang semangat, ada yang sambil sarapan siomay beli di depan sekolah, ada yang sambil ngupil, dan banyak lainnya. Salah satu murid yang berjalan sambil semangat '45 itu di antaranya adalah Zhao Yun, sang murid idola sekolah tersebut. Dengan balutan syal warna biru tua di sekitar lehernya (maklum, tenggorokannya sensitif sama udara dingin, nanti suaranya nggak seksi kalau sampai batuk atau masuk angin), seragam hijau zaitun yang rapi dan penuh gaya, rambut hitam mengkilap ala iklan Suns*lk yang diikat ekor kuda dengan rapi, serta ekspresi penuh keyakinan dan percaya diri, murid kesayangan kepala sekolah Shu itu pun melangkah dengan pasti menuju gerbang sekolah. Beberapa murid perempuan menyapanya sambil tertawa-tawa genit, dan tawa itu berubah menjadi teriakan senang saat Zhao Yun membalas sapaan mereka dengan senyum cling indah menawan ("Gue gosok gigi sampe setengah jam! Nggak mungkin kalo kaga cling gigi gue!" katanya bangga, walau di belakangnya ibunya marah-marah gara-gara odol abis lagi dalam waktu 2 hari).

Sebagai murid teladan dan ramah dan sopan dan gemar menabung, Zhao Yun langsung menyapa seorang sosok familiar saat ia berpapasan dengan sosok tersebut. "Pak Pang Tong! Selamat pagi, Pak!" sapanya semangat. Sosok itu, yang mengenakan seragam tukang kebun terusan warna hijau kusam, topi jerami, serta handuk putih yang menutupi sebagian besar wajahnya – selain mata, tentunya – berbalik menghadap Zhao Yun, kemudian mengangguk.

"Nje, Dimas Zhao Yun," kata Pang Tong dengan logat Jawa medok-dok-dok. "Piye kabare? Wis lama ora suwi gara-gara liburan, Dimas Yun makin ganteng wae ki!" ("Apa kabar? Udah lama nggak ketemu karena liburan, Nak Yun makin ganteng aja!")

"Ah, Pak Pang Tong bisa aja," kata Zhao Yun malu-malu kucing sambil garuk-garuk kepalanya yang sebetulnya bebas gatal gara-gara Suns*lk yang dipakainya itu Suns*lk anti ketombe – lakh malah iklan, lanjut gan... "Bapak juga sehat-sehat dan makin keren aja nih!"

"Le, le, kuwi wis pasti to yo," ("Nak, nak, itu udah pasti lah!") Pang Tong tertawa puas dipuji sama si murid teladan. "Aku yo selalu, olweis, en absolutli keren to yo!" ("Aku kan selalu, always, dan absolutely keren lah!"

Zhao Yun sweatdrop sama penggunaan bahasa Inggris sembarangan ditambah logat medok Jawa Pang Tong, tapi dia cuma ngangguk-ngangguk sambil senyum-senyum aja.

"Yo wis, Dimas Yun masuk kelas, nek telat gawat to yo," ("Ya sudah, Nak Yun masuk kelas, kalau telat kan gawat.") sang tukang kebun menasihati. "Tuh, Dimas Jiang Wei wis teko." ("Tuh, Nak Jiang Wei udah datang.")

"Oh iya!" Zhao Yun tersenyum lebar melihat sahabatnya sedang berjalan ke arahnya sambil melambaikan tangan dengan bersemangat. "Oke deh kalau gitu, Pak Pang Tong, sampai nanti, ya!"

Disertai lambaian penuh restu dari sang tukang kebun sekolah, Zhao Yun segera menghampiri seorang siswa sebayanya yang berambut coklat dan berseragam rapi sepertinya. Siswa tersebut tersenyum pada Zhao Yun, rambutnya yang diekor kuda tapi di bawah melambai tertiup angin bagai nyiur di tepi pantai... eh, ngawur.

"Jiang Wei!" seru Zhao Yun sambil menepuk bahu cowok yang agak lebih pendek darinya itu semangat. "Eh, gimana nih kabar lu? Lama kaga ketemuan pas liburan nih!"

"Yo, Zhao Yun," Jiang Wei balas menyapa sahabatnya ceria. "Iya nih, sebulan liburan ternyata lama juga ya... Nyaris lupa gue sama muka lu..."

"Oh, gitu ya lu sekarang... Bisa-bisanya lupa sama muka tampan gini... Lu, gue, end!"

"Eh, kok gitu!" cowok berambut coklat itu merengek. "Gue kan tetep telpon sama SMS lu!"

"Becanda, lah," Zhao Yun tertawa, puas bisa godain sahabatnya pakai iklan operator handphone. "Liburan ke mana aja lu?"

"Oh iya... Gue diajakin temen-temen gue dari Wei," Jiang Wei bercerita sementara mereka memasuki gedung sekolah. Cewek-cewek di sekitar mereka langsung berbisik-bisik ceria saat melihat dua cowok populer itu berjalan bersama, mikir musti ngomong apa tapi ternyata pas mereka baru kepikiran mau ngomong apa tu dua cowok udah ngilang – maklum, kebiasaan jalan cepet di kondangan ngambil makanan paling cepet, kebiasaan itu kebawa-bawa ke mana-mana, deh. "Biasa, reunian... Abis dulu kan gue di Wei, en mereka masih berusaha ngajak gue balik ke Wei gitu..." Yak, Jiang Wei merupakan salah satu fenomena aneh karena dia dari TK sampai SMP di Wei, tapi terus SMU pindah ke Shu.

"Eh, jangan dong!" seruan itu bukan Zhao Yun yang bilang, tapi seorang murid dengan seragam sekolah yang compang-camping, ikat kepala warna merah terang, dan perawakan kekar dan gagah. Zhao Yun dan Jiang Wei berbalik ke arah pemilik suara tersebut, kaget. "Lu nggak akan khianatin kite punye sekole, kan?!"

"Umm... Guan Ping?" panggil Zhao Yun ragu. Matanya ngelirikin badan Guan Ping dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Bukan untuk alasan pornografi, saudara-saudara. "Lu... nggak abis tawuran lagi, kan?"

"Hah? Dapet dari mane tu pikiran?" Guan Ping balas tanya, logat Betawi-nya terdengar khas.

"Lah, itu baju compang-camping, terus lu pake iket kepala gitu...," Jiang Wei nunjuk ke bawah, ke arah bagian bawah seragam Guan Ping yang memang compang-camping, dan ke atas, ke arah ikat kepala merah menyala di bawah rambut coklat murid sebaya mereka itu. "Atau lu abis demo lagi di depan gedung DPR?"

"Yaa... sebetulnya kemaren gue kan ikutan demo di depan gedung DPR," kata Guan Ping mengakui dengan malu-malu. "Tapi terus polisi ngamanin kita gitu, jadi kemaren gue nginep di kantor polisi seberang tuh, gara-gara si Lu Bu sialan itu... Dasar inspektur gila... Tapi lumayanlah, gue bisa lama-lama liatin istinya nyang seksi itu, si Diao Chan..." Di sini Guan Ping mulai senyum-senyum mesum.

"Yaelah, udah demo gagal ditangkep polisi – bulan depan BBM tetep naek, tau! – ini malah mikirin yang nggak-nggak soal istri orang!" Zhao Yun elus-elus dada. "Istighfar, Ping, istighfar!"

"Mumpung masih muda, Yun," Guan Ping nyengir. "Lagian babe gue juge setuju-setuju aje gue ikutan demo, malah nyuruh gue ikut Paman Fei demo!"

'Ini keluarga kaga bener deh...,' Zhao Yun sama Jiang Wei sama-sama sweatdrop.

"Ya udeh deh, gue ke kelas dulu ye!" kata Guan Ping semangat. "Gue udeh dikasih peringatan kaga boleh bolos lebih dari 20 kali ni semester! Sampe nanti, bros!"

'Ni bocah sekolah ngapain sih... coba kalo bokapnya, Pak Guan Yu, bukan guru di sini, dia pasti udah dikeluarin dari dulu...,' kata Zhao Yun dan Jiang Wei dalam hati. Mereka pun sama-sama jalan ke kelas.

"Eh, berarti tahun ini lu kan jadi ketua OSIS, ya?" tanya Zhao Yun. "Gantiin Kak Ma Chao?"

"Iya," Jiang Wei mengangguk. Saat ini Jiang Wei memang sedang menjabat wakil ketua OSIS, dan sebentar lagi dinobatkan jadi ketua OSIS.

"Cieeeee, si murid terpintar kesayangan Pak Zhuge Liang...!" goda cowok berambut hitam itu. "Jadi ketua OSIS! Cie, cie, cie―"

"Kak Zhao Yuuuuunnn~"

Zhao Yun langsung mematung dan menghentikan rentetan 'cie cie'nya saat mendengar panggilan manja menggoda itu. Bulu kuduknya merinding, wajahnya memucat, aura di sekitarnya mendingin... ini emangnya Sadako yang mau keluar?

"Itu Bao Sanniang!" seru Zhao Yun tertahan. "Wei, gue duluan ya! Lu tahan dia! Gue nggak mau digelayutin terus lagi sama dia; ntar gue digosipin lagi sama dia! Ancur citra gue!"

"Ah elu, Sanniang kan imut juga," Jiang Wei angkat alis. "Kaga masalah kali digosipin sama dia."

"Nggak mau! Gue masih mau lajang aja, berbakti sama Pak Liu Bei!"

"Dikasih cewek cantik kaga mau, malah milih bapak-bapak! Aneh lu!" ejek Jiang Wei, tetapi sahabatnya itu udah ngacir duluan. "Haah, dasar... Gue lagi yang kena..."

"Ah, Kak Jiang Wei!" seru seorang gadis imut berambut coklat muda. Seragam hijaunya tampak berbeda dari seragam yang dikenakan murid lain. Sebuah bando kuping kucing melekat di kepala gadis itu. Ia berlari-lari ke arah Jiang Wei, tetapi matanya melirik ke sana kemari, mencari sosok lain yang baru saja kabur. Di belakangnya tampak gadis lain berlari-lari kecil, dandanannya lebih sederhana daripada gadis yang sedang berlari di depannya. Rambutnya hitam lurus, sebuah topi baret warna hijau menghiasi kepalanya, ekspresinya kaku dan tajam. Gadis yang pertama tadi langsung menggelayuti lengan Jiang Wei. "Kak Weeeii... Barusan aku lihat Kak Zhao Yun! Kok sekarang dia nggak ada yaaaa?"

"Hai, Sanniang...," Jiang Wei tebar pesona dengan senyum manisnya. Bao Sanniang, si gadis berambut coklat, terpana tetapi hatinya tetap teguh untuk Zhao Yun seorang. "Zhao Yun lagi buru-buru katanya, dipanggil sama Pak Liu Bei..."

"Yaaaahhh...," gadis bertelinga kucing itu merajuk. Gadis yang satu lagi sampai ke tempat mereka, menatap Bao Sanniang dengan tatapan tidak setuju karena gadis itu menggelayuti Jiang Wei. "Xing Caaaai, Kak Zhao Yun udah pergiii... Padahal akhirnya sama-sama udah SMU... Hari pertama aku masuk, niiihhh..."

"Dia murid sibuk," jawab Xing Cai pendek dan tegas. Ia kemudian mendongak ke arah Jiang Wei, dan ekspresinya melembut. "Selamat pagi, Kak Jiang Wei..."

"Pagi, Xing Cai," cowok berambut coklat itu tersenyum ramah pada adik kelasnya itu, seketika membuat gadis itu salah tingkah. "Kalian mau ke kelas, ya? Kalian di kelas apa?"

"Aku di kelas 10-2!" seru Bao Sanniang semangat sambil mengayun-ayunkan tangan Jiang Wei. "Tapi Xing Cai di kelas 10-5..."

"Sanniang, Sanniang!" seru seseorang memanggil gadis yang mengenakan jaket berwarna hijau muda di tubuhnya itu. Mereka serempak melihat ke arah seorang murid berlari-lari ke arah mereka. "Kok kalian ninggalin aku, sih!"

"Eh, Guan Suo," Bao Sanniang menaikkan sebelah alisnya, seperti merendahkan. "Ada kamu, toh."

"Kok kamu jahat sih sama aku!" seru Guan Suo sedih. Siswa laki-laki itu berambut coklat sangat tua dengan setangkai bunga tertancap di dekat puncak kepalanya, sementara seragam hijaunya tidak dikancingkan sehingga kaus dalaman berwarna kuningnya dapat terlihat. Ia mengenakan sarung tangan putih di kedua tangannya. "Kita kan sekelas! Lagian, kita kan pacaran!"

"Eh, sembarangan!" sangkal Bao Sanniang dengan wajah agak memerah. "Aku cuma suka sama Kak Zhao Yun, tahu! Enak aja ngaku-ngaku!"

"Tapi, kemaren kan kita kencan...!" Guan Suo masih berusaha membenarkan bahwa ia pacaran dengan gadis itu. "Kemaren kamu kan udah beli banyak banget tas sama sepatu pake duitku, terus pulangnya juga kita makan di restoran Padang sampe rendangnya abis semua sama kamu – masa kita udah putus lagi?"

Jiang Wei agak kasihan melihat adik kelasnya itu tampak mau menangis, tapi itu salah dia juga sih terjebak sama playgirl macam Bao Sanniang – lagian ini mantan ketua OSIS SMP kok gampang-gampangnya dikadalin... Padahal Jiang Wei rencananya mau ngasih jabatan wakil ketua OSIS ke cowok yang lagi merana itu... Tapi kok masa depan suram ya kalo liat kayak gini...

"Ngggg... nggak tau ah!" seru gadis bertelinga kucing itu sambil berlari pergi, sementara sang murid terpintar di Shu itu menghela nafas lega karena tangannya mulai kesemutan digelayutin sama Bao Sanniang. Guan Suo, air mata mulai mengalir deras di pipinya, langsung berlari mengikuti Bao Sanniang dengan seruan-seruan norak seperti 'Cintakuuuu... jangan tinggalkan akuuuuuu...' atau 'Nooo... My darling... Come back to papaaaa...' Jadi agak ngerti juga kenapa Bao Sanniang nggak mau lama-lama sama dia...

"Umm... kamu nggak ke kelas, Xing Cai?" Jiang Wei memecah keheningan selesai menonton drama pagi hari itu. Adik kelasnya itu langsung menoleh padanya.

"Iya, Kak," Xing Cai mengangguk. "Kakak di kelas mana?"

"Aku di kelas 11-1," jawab Jiang Wei, dalam hati senang ngobrol sama adik kelasnya yang cantik itu.

"Kalo gitu bareng aja, Kak," Xing Cai tersenyum, bikin Jiang Wei kebat-kebit tak karuan hatinya. "Kita searah, kan?"

"Oke, yuk kalo gitu," Jiang Wei mengangguk, dan mereka berjalan bersama menuju jelas mereka.


Bersambung ke chapter selanjutnya~! :D