TRAP

[SPECIAL FOR HUNHAN INDONESIA GIVE AWAY]

.

Cast : Oh Sehun, Luhan.

Support cast : EXO Member/others.

Warning! : YAOI fiction, OOC, ageswitch (disini kris lebih tua dari luhan), MATURE CONTENTS, ETC.

A/N : notenya sengaja aku tulis di awal ya supaya di baca, hehe.

Firstly, ini adalah ff yang aku buat untuk HunHan INA Give away. Dimana aku harus buat dan posting ff yang fresh, bukan ff lanjutan. Jadi, aku minta maaf banget karena dengan terpaksa aku harus nge-pending ff Spring/Wrong Way karena aku harus mengutamakan ff ini.

Rencananya, ff ini bakal kubuat 15/16 chapter sesuai rules yang berlaku. Dan deadline nya bulan April. Tapi, aku gabakal bikin ff lainnya terbengkalai apalagi sampe discontinued kok. Oh, ya, aku sengaja memberi ff ini rated M karena memang kesananya bakal banyak sekali adegan NC. Lol. (adegan nc bakal muncul di tengah-tengah chapter.)

1 CHAPTER = 3000 WORDS (Bisa lebih)

.

Happy reading and don't forget to review, fav/follows jusseyoooo!

.

.

.

Gap, gap, gap…

Derap langkah disertai bunyi seretan koper-koper besar beradu menjadi sebuah melodi abstrak malam ini. Keempat orang yang berjalan beriringan sedaritadi itu akhirnya menghentikan langkah mereka, berdiri didepan sebuah papan besar bertuliskan jam terbang pesawat.

Wanita berambut ikal diikat kuda itu sesekali mengelap butiran airmata yang jatuh dari pelupuknya, berusaha untuk tidak bersuara dalam tangisnya karena hal itu akan menggagalkan semuanya.

"Sampai disini saja," Lelaki manis berjaket biru itu berbalik, menghadap ketiga anggota keluarganya yang terdiri dari Kakak laki-laki, Ibu dan Ayah.

"Baiklah, jaga dirimu. Jangan macam-macam di negeri orang, anakku." Ayahnya kemudian menepuk pundak lelaki manis itu sambil memeluk tubuhnya erat. Ia menangis.

"Ya, ayah. Jaga dirimu juga. Dan Ibu, jangan menangis begitu.. aku akan meneleponmu setiap malam,"

"Luhan, ibu terlalu mengkhawatirkanmu," wanita rambut ikal itu menghambur memeluk tubuh anak keduanya, mengusap surai madu lembutnya dan menghisap aroma mint khas dari pakaian anaknya.

Ia hanya terlalu takut untuk membiarkan Luhan sendirian ditengah kerumunan orang-orang dan lingkungan yang asing baginya. Selama duapuluh tiga tahun, Luhan tidak pernah menginjak negara lain sama sekali, dan hal itulah yang membuat ibunya begitu mencemaskannya sekarang.

Malam ini, Luhan akan melakukan penerbangan menuju Korea Selatan untuk melanjutkan kuliahnya disana, menjadi seorang mahasiswa luar negeri adalah hal yang ia cita-citakan dari dulu.

Maka ketika dirinya mendapat beasiswa untuk bersekolah di Korea Selatan, Luhan tidak mau lagi menyia-nyiakan kesempatan yang tak mungkin datang dua kali. Walau ia tahu, jarak Kanada dengan Korea Selatan tidaklah hanya sekedar dua sampai sepuluh meter saja.

Walau ia akan meninggalkan semuanya; Kanada, rumah, teman-temannya, ayah dan ibu beserta kakaknya, dan sanak saudara lainnya. Namun, ini akan berakhir. Ketika Luhan lulus sebagai sarjana nantinya, ia akan pulang.

"Pesawatku akan berangkat beberapa jam lagi. Aku harus bersiap-siap," ia melirik arloji yang mengalung di tangan kirinya.

"Tentu saja. Yakin tidak ada yang tertinggal di mobil?" Ayahnya memastikan.

Luhan mengecek isi koper dan tas punggungnya, kemudian menggeleng, "Tidak,"

"Hei, jaga dirimu. Jangan menyusahkan orang lain,"

Luhan tertawa ketika suara itu terdengar ditelinganya. Ia tersenyum meremehkan, kemudian menepuk pundak orang yang lebih tinggi darinya itu.

"Aku tidak menyusahkan sepertimu, kak."

Itu Kris. Kakaknya. Musuhnya. Temannya. Pokoknya segalanya bagi Luhan. Kris hanya dua tahun lebih tua dibanding Luhan, namun postur tubuhnya yang tinggi besar menjadikannya seolah merupakan seorang kakak berusia empat puluh tahun keatas.

Perbedaan umur yang tipis, membuat keduanya mudah berinteraksi. Terlebih, Luhan hanya mempunyai Kris sebagai teman mengobrolnya selama ia dirumah, karena ibu dan ayahnya cenderung menghabiskan waktu mereka di tempat kerja masing-masing.

Mereka sering bertukar cerita seputar apa saja, cinta, tugas, game, pengetahuan, dan itu membuat keduanya terlihat seperti kakak-beradik yang sangat akur walau kadang sifat Kris memang sulit dimengerti; kadang egois, dingin, dan pemarah tiba-tiba.

"Hei, kuharap ketika aku lulus nanti kau akan datang bersama istrimu ke pesta kelulusan," gurau Luhan, yang pada akhirnya sukses mendapat satu bogeman mentah di kepalanya.

.

.

.

Luhan berhasil menginjakan kakinya dinegeri ginseng ini, tak lupa ia menelepon keluarganya di Kanada dan mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja. Langkah berikutnya yang harus ia lakukan adalah; datang ke universitas barunya.

Maka ia pergi menggunakan taksi untuk mencari tempat yang ia maksud, selama tiga puluh menit, akhirnya Luhan sampai didepan sebuah gedung bertingkat bernuansa warna merah marun dan bendera Korea yang sudah berkibar dipekarangan.

"Oi, Luhan!" Luhan menoleh ketika suara itu memanggilnya, kemudian ia mendapati seseorang tengah berjalan ke arahnya. Bagaimana bisa ia tahu nama luhan?

Luhan memandangi sosok pria berbalut kemeja dan ber-gaya rambut trendy yang kini berdiri dihadapannya, pria itu mengulurkan tangannya dengan sopan kearah Luhan.

"Kau Luhan, kan? Murid pindahan dari Kanada. Perkenalkan, namaku Minho. Koordinator dari seluruh murid pindahan sepertimu,"

"Ah, Minho-ssi. Ya, aku Luhan." Ujar Luhan dengan bahasa Korea yang masih sedikit belepotan—faktanya, ia pernah kursus bahasa asing ketika masih SMA—

"Biar ku antar kau ke asrama barumu, ayo."

Luhan mengangguk, ia berjalan mengikuti Minho sambil sesekali melihat ke sekeliling kampus, tak sedikit mahasiswa-mahasiswa yang tengah asyik mengobrol memusatkan perhatiannya pada Luhan kemudian mulai berbisik.

Sesekali juga, Minho membuka mulutnya dan mengoceh mengenai isi kampus ini, kampus yang terlihat begitu bersih, nyaman, ramai, dan ornamen-ornamennya benar-benar menakjubkan. Luhan yakin, ia akan betah bersekolah disini untuk lima tahun kedepan setidaknya sampai ia lulus.

Minho berhenti didepan sebuah gedung yang terpisah dari gedung kampus, diatasnya tertera sebauh papan kayu besar bertuliskan Boys Dormitory. Dari namanya saja, Luhan sudah yakin bahwa gedung ini adalah asrama khusus bagi lelaki.

"Selamat pa—oh, Minho-ssi," Resepsionis itu terkesiap ketika menyadari bahwa Minho datang dengan seorang anak lelaki dibelakangnya.

"Jonghyun, perkenalkan, ini Luhan. Murid pindahan dari Kanada, dan Luhan, perkenalkan, dia Jonghyun—si bagian resepsionis. Kau akan bertemu dengannya setiap hari, kuharap kau tidak muak melihat wajahnya." Gurau Minho, semuanya tertawa.

"Halo, Lu, kau pasti lelah sekali. biar kuantar kau ke kamarmu." Jonghyun keluar dari balik meja resepsionisnya, kemudian membantu membawakan koper Luhan dan mulai memimpin arah, mengantar lelaki itu ke kamarnya.

Luhan berbalik, membungkuk dan mengucapkan terimakasih kepada Minho yang rupanya harus segera pergi dan tidak bisa ikut mengantar Luhan ke kamarnya.

Mereka sampai di lantai dua, dimana papan kayu bernomor dua belas terpatri didepan pintu, Jonghyun mengetik password pintu pada mesin sensor khusus yang terletak disamping, ia sudah tahu setiap password kamar di asrama lelaki ini.

Ketika pintu terbuka, Jonghyun mempersilahkan Luhan masuk. Ketujuh orang lelaki yang tengah tertawa-tawa dan duduk melingkari meja itu menghentikan tawanya dan berbalik, memusatkan perhatian pada Jonghyun dan Luhan.

dan mata Luhan terkesiap ketika ia melihat keadaan kamar benar-benar berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan diatas meja, jaket yang tersampir sembarang diatas sofa, bingkai foto angkatan yang miring, sampai bungkusan vitamin yang berserakan di lantai.

Ia bergidik.

Jonghyun bisa melihat aura tidak enak dari Luhan, lelaki itu pasti benar-benar jijik dengan kondisi ruangan nomor dua belas ini. Lantas, Jonghyun memulai percakapan.

"Uhm, semuanya, perkenalkan, Ini Luhan. Siswa pindahan dari Kanada dan mulai sekarang ia akan tinggal bersama kalian semua."

Luhan tersenyum, kemudian membungkuk dan memberikan ucapan salam pada ketujuh orang lelaki yang sekarang ikut berdiri dan merapikan pakaian mereka.

"Senang bertemu dengan kalian!" Luhan sumringah.

"Oke, oke, hyung. Sudah cukup memperkenalkannya, sekarang kau boleh kembali ke meja resepsionismu, bye!" seorang lelaki berambut hitam kecokelatan itu mendorong punggung Jonghyun menuju ke pintu. Dibantu oleh lelaki lainnya.

"Hei, tunggu, kalian tidak akan mengundangku untuk bermain kartu atau minum?" Jonghyun berusaha membalikan kembali tubuhnya.

"Tamu lain membutuhkan mu disana. Bye Jonghyun hyung!" ketujuh pria itu berhasil mengeluarkan Jonghyun dari kamar mereka, karena kalau mereka membiarkan Jonghyun diam disini untuk beberapa jam kedepan, mereka yakin Jonghyun hanya akan mengomeli mereka tentang ruangan kotor ini.

Juga, Jonghyun akan mulai memeriksa seisi kamar dan me-razia barang-barang tertentu seperti bir, kartu, dan lain-lain.

Mereka kembali kepada Luhan, kemudian merangkul tubuh anak itu dan menyuruhnya untuk duduk bersama.

"Siapa tadi namamu?" Ujar lelaki berkulit tan.

"Luhan," jawabnya, tersenyum sambil kembali menunduk.

"Hei, Jongin! Jangan pasang wajah seperti seorang pedofil begitu, ia jadi takut!" lelaki berambut semu merah muda itu berteriak, disusul dengan tawa dari kelima orang lainnya.

"Cukup, cukup! Ah, Luhan, biar aku saja yang memperkenalkan mereka padamu, oke? Mulai dariku, namaku Suho. Ini Yixing dan Zitao, mereka dari China. Kemudian, yang itu Jongin, kau boleh memanggilnya Kai. Itu Kyungsoo, disana Chanyeol dan Baekhyun. Dan satu lagi—ugh, kemana anak itu?"

Orang yang menyebut dirinya Suho itu menggerutu ketika salah satu lelaki di kamar mereka menghilang entah kemana.

"Sehun bilang padaku kalau ia ikut kelas musik pagi ini." Seorang lelaki bermata seperti panda menjawab, ya, Luhan memperhatikannya, itu pasti Zitao.

"Tidak masalah, aku bisa berkenalan dengannya nanti." Luhan tersenyum lagi, membuat semuanya terkesima dengan senyuman manis yang terpatri di bibir lelaki itu.

"Kau pasti lelah," Chanyeol menyodorkan sebungkus vitamin pada Luhan.

"Oh ya, dimana ia harus tidur?" Yixing tiba-tiba terpikir oleh hal itu, Suho menatapnya kemudian ikut berpikir.

Kamar diruangan ini hanya tersedia empat buah, masing-masing kamar hanya memiliki dua ranjang dan di huni oleh dua orang—kecuali kamar Suho yang mendapat ranjang ekstra besar—dan keempat kamar tersebut sudah terisi penuh.

"Sebenarnya kamar sudah penuh, tapi semenjak Zitao memutuskan untuk ikut tidur bersamaku dan Yixing tiap malam, kau boleh tidur dengan Sehun mulai sekarang." Suho menengahi.

"Kenapa begitu?!"

Semuanya menoleh ketika Zitao terlihat tidak setuju dengan keputusan Suho barusan, merasa diperhatikan, lelaki panda itu kemudian menunduk dan memainkan jemarinya,

"Maksudku, dikamar Sehun kan juga ada barang-barangku. Kalian lihat, barang-barang Luhan pasti banyak sekali, bagaimana kalau kamarnya jadi sempit?"

Suasana menjadi hening. Luhan yang menyadari itu kemudian tertawa dan mengibas tangannya, "Tidak usah repot-repot, Suho hyung. Sofa ini kelihatan nyaman! Aku bisa tidur disini,"

Luhan beranjak dari duduknya, kemudian berbaring diatas sofa, mencoba meyakinkan semuanya bahwa dirinya akan baik-baik saja jika harus tidur disini setiap malam—walau sebenarnya Luhan benci tidur di sofa—

"Itu tempat tidur anjingku." Ujar Zitao.

Luhan membulatkan matanya, kemudian bangkit dari tidurnya, ia kembali duduk dilantai bersama anggota lain, pasalnya, ia alergi bulu anjing. Lalu, bagaimana ini? Bahkan sofa saja sudah ada yang menempati.

Tiba-tiba pintu terbuka, menampakan seorang lelaki berdiri diambang sana sambil menggendong tas biola dipunggungnya, ia diam sejenak, memandangi teman-temannya yang tengah melingkar dan menyadari adanya orang baru disini.

Mata Luhan dan matanya bertemu, saling menatap untuk beberapa saat sampai akhirnya lelaki itu mengalihkan pandangannya dan masuk, kemudian melepas sepatu dan meletakannya diatas rak.

Seolah tak ada siapa-siapa, ia berjalan melewati semuanya dan membuka kunci pintu kamarnya kemudian masuk. Suho menggelengkan kepalanya, kemudian berdiri dan mengetuk pintu kamar lelaki dingin itu.

"He—"

"Apa?"

Belum selesai Suho berceloteh, lelaki itu sudah membuka pintunya kembali dan berdiri disana, dengan kedua tangan yang ia jejalkan ke dalam saku celananya.

"Sopan sedikit! Tidak lihat kita mendapat teman baru?"

"Minggir," Lelaki itu menggeser tubuh pendek Suho dengan kakinya, kemudian berjalan mendekati ketujuh orang lainnya. Ia menundukan tubuhnya, kemudian mengulurkan tangan tepat didepan wajah Luhan.

"Oh Sehun."

Luhan hanya memandangi tangan dan wajahnya bergantian, kemudian meraih tangan itu dan ikut berdiri, "Luhan. Senang bertemu denganmu, Oh Sehun-ssi."

Sehun berdecak, melepaskan tangannya dari genggaman Luhan, "Aku yakin aku lebih muda dari pada kau. Jangan se-formal itu,"

Zitao yang mulai merasa terabaikan, kemudian bangkit dari duduknya dan berdiri ditengah-tengah Sehun dan Luhan, menatap kearah Sehun dan berkata—

"Bagaimana kelas musik hari ini?"

"Seperti biasa,"

"Oh, ya, Sehun, Luhan akan tidur bersamamu mulai nanti malam. Tidak masalah, kan?" Kyungsoo berucap.

Sehun menatap hyungnya itu, kemudian berbalik sambil berdeham 'hm' dan kembali masuk ke kamarnya. Luhan terdiam, hanya menatap pintu kamar Sehun yang sudah tertutup rapat itu.

'bisakah aku bertahan disini untuk menjadi teman sekamar dari orang yang benar-benar dingin dan cuek seperti lelaki itu? Sedingin-dinginnya Kris, kakakku, ia tidak pernah se-cuek itu apalagi pada orang yang baru ia kenal.' Pikirnya.

.

.

.

Luhan melirik arloji ditangan kirinya, pukul delapan malam. Ia menghela napasnya kasar kemudian menarik kopernya mendekat, ia membenahi barang-barang didalam kopernya sambil menunggu Sehun yang masih di toilet.

Dari suara shower yang menyala, Luhan menebak Sehun pasti sedang mandi. Padahal, ia ingin sekali berbicara lebih banyak pada lelaki itu, mencoba berteman baik maksudnya. Tapi apa boleh buat, lelaki dingin seperti Sehun pasti sulit diajak bicara.

Pintu toilet terbuka, Sehun muncul dari dalam dengan celana boxer selutut dan handuk yang mengalung dilehernya. Rambut cokelat berantakan itu basah dan mengeluarkan air dari ujung-ujungnya, dada bidang dan perut berotot menambah kesan sempurna bagi tubuhnya.

Luhan tersenyum kemudian menggaruk tengkuknya, "Kau tidak bilang kalau hanya ada satu ranjang disini."

Sehun berdiri didepan cermin, memakai kaosnya dan menyemprotkan parfum aroma gold ke seluruh permukaan kaosnya, "Kalau kau tidak mau seranjang denganku, kau bisa tidur di lantai."

"Aku tidak bilang begitu."

Sehun tak menjawab. Lelaki itu malah menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan memejamkan matanya. Luhan membuang napasnya kasar kemudian menutup kopernya, dan berbaring disebelah Sehun.

Sekarang mereka berdua tidur satu ranjang. Sehun belum tertidur sepenuhnya, kalau saja jantungnya tidak berdebar cepat seperti ini, ia pasti sudah bisa tidur sejak tadi. Posisi Sehun sekarang membelakangi Luhan, ia tidak tahu apakah lelaki itu sudah tidur atau belum.

Ia tidak berani membalik posisinya, wajah innocent Luhan membuat Sehun benar-benar gemas padanya. Sejujurnya, ia ingin sekali berbicara banyak pada lelaki yang mengaku berasal dari Kanada itu.

Namun, Sehun adalah seorang lelaki dengan tipe yang garing, ia tidak bisa mencairkan suasana, ia tidak punya topik pembicaraan, ia juga canggung pada orang-orang. Apalagi orang yang baru ia kenal seperti Luhan.

Bahkan pada hyung-hyungnya yang sudah tinggal bersamanya selama kurang lebih setahun, ia masih saja canggung jika mau berbicara. Itulah alasan kenapa Sehun selalu menyibukkan dirinya sendiri dengan hal-hal selain berdiam diri di asrama.

Maka ia ikut kelas musik, kelas dance, bahasa Jepang, dan juga mata kuliahnya yang membuat dirinya nyaris tidak pernah berada di asrama setiap hari. Berbeda dengan hyungnya yang lain, ang cenderung hanya mengikuti mata kuliah lalu pulang ke asrama dan bercanda bersama di ruang tv.

Sehun tidak tahu sejak kapan, namun sekarang dirinya sudah berada di alam mimpi. Ia tertidur pulas.

03.00 AM.

Luhan bangun dari tidurnya, terduduk diranjang sambil menggaruk siku nya. Ia melihat Sehun yang tertidur pulas disampingnya. Kemudian melirik pendingin ruangan yang sepertinya menjadi penyebabnya terbangun.

Luhan benci udara dingin, ia berpikir bahwa ruangan ini sudah cukup lembap dan tidak membutuhkan pendingin ruangan. Tapi, kenapa Sehun masih memasangnya? Belum lagi, jendela disebelah Luhan yang menyebabkan angin-angin malam diluar menerpa permukaan kulitnya.

Ia beranjak dari ranjangnya, kemudian meraih kopernya dan mengeluarkan sweater dan celana training tebal. Dan mulai memakai nya satu persatu.

Sehun yang merasa terganggu dengan aktivitas Luhan, kemudian terbangun. Ia berdecak, kemudian mengambil sebuah selimut cadangan dibawah ranjang, namun Luhan tidak menyadarinya.

Sehun berdiri dan memakaikan selimut itu ke punggung Luhan, sedangkan lelaki itu terkesiap kaget ketika melihat Sehun yang sudah berdiri dibelakangnya.

"Terimakasih,"

"Biar aku yang tidur didekat jendela." Sehun kemudian kembali menghempaskan tubuhnya ke ranjang, kali ini ia yang tidur disebelah jendela.

"Kau tidak perlu melakukannya." Luhan mengibaskan tangannya sambil tertawa canggung, namun sepertinya Sehun sudah kembali tertidur.

Maka ia juga kembali berbaring diatas ranjang dengan selimut tambahan yang Sehun berikan padanya tadi. Rupanya, Sehun tidak sekejam yang ia bayangkan.

.

.

.

Luhan mengerjap ketika ia merasakan serbuan sinar matahari menembus jendela dan menyinari wajahnya. Ia membuka matanya perlahan, memandang sekeliling, Sehun masih tertidur disebelahnya.

Luhan terduduk diranjang, pukul tujuh pagi. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kuliah, pukul sembilan nanti ia akan mengikuti kelas bahasa. Terdengar suara Baekhyun dan Kai yang tengah berceloteh dari luar sana.

Mereka pasti sedang sarapan. Luhan berniat membangunkan Sehun, karena kalau Sehun tidak bangun sekarang, mungkin ia akan kehabisan jatah sarapan nantinya. Perlahan, Luhan menyentuh pinggang Sehun,

"Kau tidak ba—"

"Aku sudah bangun."

Luhan terkesiap mendengar jawaban Sehun, rupanya lelaki itu sudah bangun dari tadi. Lantas, kenapa ia tidak beranjak dari ranjang?

"Aku menunggumu bangun juga," Jawab Sehun lagi.

"Untuk apa?"

Sehun bangkit dari tidurnya, kemudian membuang napasnya kasar, Ia menatap Luhan kemudian mengisyaratkan lelaki itu untuk keluar.

"Sarapan."

Suho tengah berceramah seperti biasa, dan hanya Yixing yang menyimaknya. Baekhyun dan Chanyeol sedang berebut roti isi daging yang hanya tersisa satu buah di piring, Zitao sedang memberikan anjingnya makanan, dan Kyungsoo tengah menyuapi Kai sepotong sosis panggang dibalut saus tomat.

Ketika pintu kamar Sehun terbuka, semuanya menoleh kearah dua orang lelaki yang sekarang berdiri di ambang pintu. Sehun seperti biasa, dengan ekspresi datarnya, sedangkan Luhan yang tersenyum sambil berkata 'Selamat pagi' pada semuanya.

Sehun duduk disebelah Zitao, sedangkan Luhan duduk jauh disebelah Baekhyun. Sehun mengambil roti tawar dan mulai mengolesinya dengan selai kacang.

"Kau mau selai lainnya juga?" Zitao mencoba membuka percakapan paginya dengan Sehun.

Sehun menggeleng, kemudian tersenyum, "Tidak, kau sudah sarapan?"

Zitao mengangguk sambil tersenyum antusias, "Sudah. Candy juga sudah sarapan." Ia menunjuk anjing putih kecilnya yang sekarang sedang bermain dengan gulungan benang.

Sehun tertawa singkat, mengusap kepala anjing milik Zitao itu kemudian melanjutkan acara sarapannya. Luhan diseberang sana hanya memperhatikan mereka, sambil berpikir—

Kenapa Sehun hanya bersikap manis dan murah senyum ketika ia berada di dekat Zitao? Tapi, Suho hyung pernah bilang kalau Sehun dan Zitao dulunya merupakan teman sekamar. Jadi, tak aneh jika keduanya sudah dekat seperti itu. Mungkin.

"Kau tidak sarapan?" Baekhyun membuyarkan konsentrasi Luhan.

"Ah, aku baru saja mau sarapan." Luhan tersenyum sambil sedikit tertawa hambar.

Ketika mereka selesai dari sarapan, satu persatu dari mereka meninggalkan ruangan untuk pergi ke kampus dan mengikuti mata kuliah pagi ini. Tinggal tersisa Luhan dan Zitao yang masih menunggu pukul sembilan, karena rupanya Zitao juga ikut kelas bahasa.

Keduanya disibukkan dengan aktivitas masing-masing sambil menunggu jarum jam ke angka sembilan, Luhan sibuk memainkan ponselnya dan berkirim pesan dengan kakaknya, Kris. Sedangkan Zitao menyibukan diri dengan membaca majalah.

Ketika jarum jam mengarah ke angka sembilan, keduanya memutuskan untuk pergi bersama ke kampus. Di tiap koridor, anak-anak lain menyapa Zitao. Rupanya lelaki ini sudah dikenal banyak orang di asrama.

"Tao!"

Zitao menoleh ketika seseorang memanggil nama panggilannya, orang itu adalah Jongdae. Mantan mahasiswa yang dulunya menghuni asrama nomor dua belas bersama Zitao dan teman yang lainnya.

"Chen hyung? Wah, sejak kapan hyung disini?"

"Aku dan Minseok sengaja mampir kesini. Untuk melihat keadaan kalian, tentunya."

"Lalu dimana Minseok hyung?"

"Ia sedang mengobrol dengan Jonghyun. Biasa, sahabat lama tak bertemu. Jadinya ya.. aku dilupakan. Lalu, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Se—aww!"

Zitao menginjak kaki Jongdae, kemudian memberikan isyarat jangan-bicara-soal-itu. Dan tatapan Jongdae langsung teralih pada lelaki kecil dibelakang Zitao yang dari tadi menunduk malu.

"Hei, kau tidak bilang punya teman baru."

Zitao menepuk keningnya, hampir lupa dengan keberadaan Luhan yang dari tadi ada di belakangnya. Segera, ia memperkenalkan Luhan pada Jongdae.

"Oh, astaga! Chen hyung, ini Luhan. Ia penghuni baru di asrama kami, pindahan dari Kanada. Dan, Lu, ini Jongdae hyung. Atau panggil saja ia Chen. Ia dan Minseok hyung adalah mantan teman se-asrama kami dulu."

Jongdae membungkuk memberikan salam, begitu juga dengan Luhan. Keduanya saling sapa dan bersikap ramah. Minseok masih sibuk mengobrol dengan Jonghyun di meja resepsionis, sedangkan kelas bahasa akan dimulai sekitar 10 menit lagi.

Maka, Zitao dan Luhan pamit duluan untuk pergi ke gedung kampus. Palingan, Jongdae dan Minseok akan masuk duluan ke asrama nomor 12 itu nantinya.

Luhan duduk di dalam kelas barunya, menunggu kedatangan dosen sambil memainkan pulpennya. Otaknya tengah berpikir, kenapa tadi Jongdae bertanya seperti itu pada Zitao?

" Lalu, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Se—"

Apakah 'Se' yang dimaksud olehnya itu adalah Sehun?

Kemudian Luhan kembali teringat dengan kedekatan Sehun dan Zitao di asrama. Apakah itu ada hubungannya dengan pertanyaan Jongdae tadi?

.

.

.

TO BE CONTINUED.