.
.
.
SELADORE
.
.
Sorachi Hideaki 空知 英秋 is the original author of the Gintama (銀魂) manga, I definitely don't own anything.
.
.
.
.
Card 1: You love flowers but you cut them, you love animals but you eat them. You say you love me, now I'm scared!
Note: setting 3-Z Ginpachi-sensei, mengandung parodi dari berbagai dongeng.
.
.
.
"Zaman dahulu kala, di sebuah negeri yang jauh hidup seorang duda beranak tiri tiga orang. Duda itu bernama Gori—Kondo Isao yang harus hidup melarat karena istrinya menipunya dan membawa kabur seluruh harta bendanya setelah meninggalkan tiga orang anaknya yang dihasilkannya dari pernikahan sebelumnya pada Kondo. Dan hari itu, Kondo hendak berangkat ke negeri yang jauh untuk mengadu nasib menjadi pengisi suara anime berjudulLove Wifu!, sebelum berangkat, dia lebih dahulu berpamitan dengan ketiga anaknya." Sougo bernarasi dengan malas, wajahnya terlihat ogah-ogahan.
"Nak, Ayah pergi dulu ya, doakan Ayah supaya berhasil!" Kata Kondo sebelum naik ke anjing raksasa putihnya yang bernama Sadaharu. Hijikata yang berdiri di sebelah Sougo menirukan suara seruling yang lirih dengan mulut, bermaksud memberikan efek suara sedih. Wajahnya merah sekali, dia memejamkan matanya kuat-kuat supaya tidak perlu melihat ekspresi meledek teman-teman sekelasnya.
"Yah, cepatlah pergi Gorila, rumah menjadi lebih luas ketika kau tidak ada, kita juga bisa menghemat bahan makanan," jawab Otae, anak sulungnya, dia menunjukan senyuman terbaiknya.
"Sudah kubilang kau tidak akan dapat peran itu, sia-sia saja kau repot-repot ke sana," kata Shinpachi, si anak tengah.
"Jangan lupa beri makan Sadaharu aru." Pesan si bungsu Kagura sambil mengupil.
"Yah, aku pasti kembali dengan selamat anak-anakku, kalian jangan khawatir sampai bersikap tsundere begitu, ha-ha-ha!" kata Kondo, menghibur diri, Kondo pun berangkat dengan hati (pura-pura) riang, namun dia tidak tahu kalau di tengah perjalanan dia akan bertemu dengan perampok kelas kakap dan terbunuh.
"Oi tunggu!" seru Kondo tiba-tiba, seisi kelas 3-Z menatapnya, "kenapa naskahnya begini Sensei?! Masa ceritanya baru mulai saja aku sudah mati! Aku sudah cukup bersabar disiksa oleh anak-anak tiri dan sekarang harus mati dengan tragis?! Ini tidak adil!"
Ginpachi menatap Kondo dengan malas, dia memegang setumpukan kertas naskah drama yang sudah dijilid rapi, "Kondo, kau tidak tahu betapa merepotkannya mengganti naskah drama yang sudah sepenuhnya jadi? Kalau prolognya diubah berarti seluruhnya harus dirombak. Lagipula di zaman sekarang, cerita semakin tragis akan makin berkesan,"
"T-tapi Sensei!" Kondo melolong, terdengar hampir menangis.
"Nah, ayo kita lanjutkan lagi, drama menyebalkan ini akan kita pentaskan di acara pertemuan orang tua besok, aku sudah susah-susah menyelesaikannya dalam waktu duapuluh menit, jadi kalian jangan membuatku susah dengan protes ini itu," jelas Ginpachi, mengabaikan Kondo.
"Sensei, kelas-kelas lain latihan selama berminggu-minggu dan kita baru akan berlatih sekarang? Naskahnya juga jadi hanya dalam waktu duapuluh menit, kenapa rasanya kita bakal mempermalukan diri sendiri di depan umum? Dan lagi, sebaiknya kita pakai properti yang lebih pantas, aku tidak mau menyuarakan efek suara!" Hijikata protes.
"Duapuluh menit itu waktu yang lama, aku bisa menonton satu episode anime dengan meng-skip opening dan ending dalam waktu selama itu, dan duapuluh menit bagi anime itu perlu banyak sekali gambar, kau seharusnya belajar menghargai itu Mayo—Hijikata!" Ginpachi membela diri lagi, "lagipula kau kan sering membolos pelajaran musik, jadi kalau kau ingin dapat nilai yah, kau harus mengisi efek suara meskipun suaramu jelek,"
Hijikata melengos, "itu tidak adil, dan jawabanmu itu tidak menjawab apa yang kucemaskan, Sensei,"
"Yak, masuk ke adegan berikutnya! Kita lewati saja bagian Kondo Isao mati dan mayatnya dibuang ke laut, hei, Kagura! Cepat baca dialogmu!" perintah Ginpachi, tidak menghiraukan Hijikata. Kagura memandangi tulisan pada halaman buku naskahnya, tampak berpikir.
"Semenjak si Gorila pergi, kakak-kakakku kerasukan setan dan jadi sering menyiksaku, sekarang aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian sementara mereka enak-enakan makan es krim Bargain Dash sambil nonton drama," Kagura mengeluh sok dramatis, menuruti dialog yang tertulis di naskah.
"Kemudian ketika si Cina yang bodoh sedang meratapi kebodohannya, Ibu Peri muncul di hadapannya,"
"Beraninya kau mengataiku, Sadis sialan!" Kagura melayangkan tinju ke muka Sougo, Sougo mengelak dengan ekspresi datar.
"Aku hanya membaca dialogku, kuso gaki," Sougo berbohong, Kagura masih berusaha menyerang wajahnya, namun dia terus berkelit. Ginpachi meminta mereka mengancam akan membuat mereka kehilangan perannya, Sougo memang tidak peduli tapi Kagura menurut.
"Bukan Ibu Peri, tapi Katsura!" Katsura muncul di belakang Kagura, karena masih latihan, mereka semua tidak mengenakan kostum, tetapi Katsura membawa tongkat sepanjang tigapuluh senti berwarna emas berkilauan, di pucuknya terdapat bunga mawar plastik yang berwarna merah muda.
"Oh, Ibu Peri, mengapa kau terlambat datang?" tanya Kagura, kembali membaca naskah.
"Bukan Ibu Peri tapi Tinkerbell! Dan aku bukannya terlambat, hanya memilih waktu yang tepat karena beberapa hal. Sekarang, katakan tiga permintaanmu," jawab Katsura, dia memutar-mutar tongkatnya di udara.
"Aku ingin… Um—pangeran tampan dan kaya menjadi suamiku?" Kagura kelihatan bingung dengan dialognya sendiri, "tapi aku lebih ingin sukiyaki untuk setahun penuh atau sukonbu aru,"
"Ha-ha-ha! Satu atau dua pangeran tampan dan kaya bukan masalah bagiku," kata Katsura percaya diri. Dengan wajah serius, dia mengayunkan tongkatnya lagi, tapi kemudian terdiam, "eh, Sensei, siapa yang jadi pangerannya?"
Ginpachi melongo, memandang Katsura dengan ekspresi malas, dia menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk, "seharusnya Takasugi, si Sialan itu malah bolos lagi,"
"Kenapa malah menjadikan orang yang jarang datang ke sekolah peran utama?" Protes Shinpachi. Sebenarnya hari itu sekolah memang sepi karena hari itu hari pertama masuk sekolah setelah libur musim panas, Kepala Sekolah Hata mengumumkan tanggal masuk sekolah di tengah-tengah hari liburan secara mendadak melalui status F*ckbook-nya, Ginpachi memang sudah meminta Shinpachi, sebagai ketua kelas untuk menyebarkan informasi itu, namun Hasegawa sedang bekerja menjadi buruh harian dan tidak bisa masuk sekolah, Catherine berlibur ke Hawaii bersama seorang pria yang dikenalnya di situs kencan, Yamazaki pergi ke Kyoto bersama teman-teman klub badmintonnya dan Hedoro masih terjebak di kampung halamannya, geng Kiheitai yang diketuai Takasugi membolos seperti biasa dan murid-murid lainnya juga tidak masuk entah kemana.
"Yah, begitu-begitu dia populer, cewek-cewek pasti bakal heboh kalau pria misterius kayak dia jadi pangeran," Ginpachi menjawab, "ah... Dia bener-bener bikin kacau semuanya!"
Shinpachi menghela napas. "Kau harusnya sudah tahu konsekuensinya dong dari awal,"
"Ya sudah, semoga saja dia datang pada hari H, sekarang ini kau gantikan perannya dulu, Mega—Shimura-kun!"
"Jangan sembarangan memutuskan, Sensei, aku tidak terima diperlakukan sebagai cadangan begitu," Shinpachi merasa tersinggung.
"Ya ampun, kalian ini banyak maunya ya, ya sudahlah, kalian atur saja sendiri, aku sudah tidak mau mengurusi kalian lagi," Ginpachi berjalan ke sudut kelas, duduk di bangkunya, mengambil lollipop dari balik jas putihnya dan mengemutnya, lalu Ginpachi mengambil komik JUMP yang tertelungkup di meja, lalu membacanya.
"Yang benar saja! Jangan seenaknya begitu! Kau harusnya tanggung jawab sampai selesai!"
Sougo mengeluh, dia berjalan perlahan mendekat ke Shinpachi, "sudahlah, apa boleh buat, kalau begitu kita atur skenarionya sendiri,"
"Ah, ya, dengan begitu setidaknya aku tidak perlu jadi pengisi efek suara, ayo kita rombak semuanya!" Baru kali itu Hijikata setuju dengan Sougo, dia menarik bolpoin yang dikaitkan ke kantung baju seragam sekolahnya, membuka lembaran kosong di buku naskahnya, bersiap-siap menulis.
"Bagus, Sougo! Jadikan aku dan Otae-san peran utamanya yah! Kita bikin drama superromantis! Apa ya? Mungkin Layla dan Majnun atau Cleopatra dan Mark Anthony?" Kondo bilang dengan antusias, Otae tersenyum padanya, lalu meninju keras wajah Kondo sampai mimisan.
"Aku tidak begitu tertarik dengan cerita semacam itu, kita mainkan drama Lizzy Borden atau Bluebeard saja, biar Hijikata-san yang jadi mayatnya," usul Sougo sambil memainkan smartphone berwarna hitam, mengunduh video porno sadomasokisme.
"Tch! Kita menampilkan drama ini di depan orang tua, Sougo—dan bukannya yang kau pegang itu ponselku?!" Seru Hijikata, merampas smartphone-nya dari genggaman Sougo, memandang layarnya yang menampilkan sesosok wanita kaukasia pirang berbikini hitam yang tangan dan kakinya diikat tali tambang nilon, Hijikata menekan tombol kunci, kemudian mengantongi smartphone-nya.
"Setelah dipikir-pikir drama seperti si Kerudung Merah akan berhasil, tidak perlu pangeran, tokohnya sedikit, ceritanya juga sederhana." Shinpachi memberi usul, sambil menunjukan foto Terakado Tsuu dengan kostum si Kerudung Merah yang dia jadikan wallpaper ponsel.
"Bagus juga! Adikku memang hebat!" Puji Kondo.
"Siapa yang adikmu?" Shinpachi menyanggah, dia lalu kembali pada teman-teman sekelasnya yang menujukan pandangan padanya, "Kagura-chan bisa jadi si Kerudung Merah, Hijikata-san jadi serigala dan Aneue jadi kakak perempuan si Kerudung Merah, sisanya menjadi pohon, semak atau bebatuan,"
"Tunggu, setahuku tidak ada kakak perempuan di cerita itu, bukannya seharusnya nenek?" Kali ini Hijikata yang bicara.
Shinpachi mengawasi ekspresi Otae yang tampak mengancam, lalu membenarkan kacamatanya dengan gugup. "Benar, tapi tidak mungkin Aneue jadi nenek-nenek, dia tampak terlalu muda,"
"Lihat! Cewek itu hanya tidak terima dibilang tua! Dasar tidak professional!" Kata Hijikata lagi. Otae membunyikan buku-buku jarinya, dia tersenyum, namun menyebar aura hitam di belakangnya.
"Kau bilang sesuatu, Hijikata-kun?" tanyanya, terlihat mengancam.
"Tidak juga, ya sudah, terserah kalian saja!" Hijikata sedikit berkeringat, dia mempertahankan ekspresi tegasnya, namun berjalan mundur. "Tapi, aku tidak berminat jadi serigala, daripada aku, si Sougo lebih cocok, dia itu betulan serigala berbulu anjing poodle,"
"Aku akan jadi pohon cemara!" Seru Katsura dengan tampang serius.
"Biar aku saja yang jadi pohon!" Hijikata menyela.
"Aku juga mau jadi pohon, lihatlah, kakiku kekar sekali kan seperti akar?" Kondo bilang, dia menarik celananya sampai sebatas lutut, memamerkan betis kokohnya yang berbulu.
Hijikata berdecak kesal, "ya sudah kita undi saja!"
Kemudian, bel pertanda pulang sekolah berbunyi. Seisi kelas membatu, karena ternyata mereka melewatkan begitu banyak waktu tanpa sempat berlatih dengan benar sementara harus pentas besok. Ginpachi menutup JUMP-nya, dia kemudian berdiri di belakang podium.
"Baik, kita sudahi kelas hari ini, jangan lupa untuk mementaskan drama dengan baik besok," kata Ginpachi sekenanya.
Shinpachi memberi aba-aba untuk berdiri dan memberi salam dengan suara yang terdengar lelah, merasa cemas akan drama besok.
.
.
.
.
.
.
.
.
Umibozu masuk ke aula sekolah Gintama dalam keadaan berkeringat, di luar sana panas sekali, dia berjalan kaki di bawah terik matahari dari sekolah tempatnya mengajar hingga sampai di tempat ini. Dalam hati Umibozu merasa menyesal mengenakan sweater rajut biru yang melapisi kemeja putihnya hari ini.
Ketika dia masuk ke aula, ruangan itu sudah dipenuhi orang tua murid, suara-suara obrolan mereka bergaung di aula luas beratap tinggi itu sehingga terdengar seperti dengungan yang membuat Umibozu merasa tidak nyaman. Umibozu memilih kursi di deret paling belakang dan paling pojok, dekat dengan pintu keluar sekalipun masih banyak bangku yang kosong.
Sebenarnya Umibozu tidak pernah suka datang ke tempat ramai seperti ini, lebih-lebih ketika dia harus memohon izin di tempatnya bekerja untuk pulang lebih awal. Tapi puterinya, Kagura memaksanya untuk datang dan menontonnya mementaskan drama, Kagura mengancam seandainya Umibozu ingkar janji, rambutnya akan semakin menipis.
Dia mengeluh ketika membayangkan harus duduk di sana berjam-jam menonton drama amatiran yang dimainkan anak sekolahan. Tidak lama kemudian lampu dimatikan, suara bising di aula berkurang, pandangan para orang tua tertuju pada panggung yang disinari lampu sorot. Kelas 3-E tampil sebagai pembukaan, memainkan drama bagaimana caranya membunuh seorang guru. Daripada drama, penampilan mereka lebih mirip peragaan.
Setelah kelas 3-E selesai, Otae naik ke panggung dengan gaun berwarna peach muda yang ramping di bagian atas namun di bagian roknya melebar, gadis itu mengenakan make-up sederhana dan rambutnya diikat tinggi seperti biasa, dia sengaja berpenampilan menarik untuk menaikan popularitasnya. Ginpachi duduk di deretan kursi guru yang berada di paling depan, diapit Tsukuyo-sensei dan Kepala Sekolah Hata. Ginpachi melipat tangannya di depan dada, menatap malas ke arah panggung.
Otae berdiri di belakang podium yang di atasnya terdapat mikrofon, membuka lembaran naskah, suara gesekan kertas bergema di aula. Tanpa mengetes lebih dahulu mikrofonnya, Otae bersiap membaca naskah.
"Pada suatu hari di sebuah desa hiduplah seorang gadis kecil, neneknya memberikannya kerudung merah dan dia memakainya setiap hari, karena itulah dia selalu dipanggil si Tudung Merah," Otae membalik lembaran naskahnya, "suatu hari, ibunya memintanya untuk membawakan barang untuk neneknya yang tinggal sendirian di hutan,"
"Anakku," panggil Shinpachi dengan suara yang ditinggikan, dia mengenakan gaun biru tua polos berlengan panjang, "pergilah ke tempat nenekmu, dia terbaring lemah di rumahnya, ini ada manga Ho Love Ru edisi terbaru, semoga saja dia menjadi lebih sehat setelah membacanya,"
Kagura mengenakan gaun merah berenda yang roknya mengembang, tudung merah dan memegang keranjang rotan. Kagura menerima manga Ho Love Ru itu, menatap cover-nya tanpa minat, "lebih baik bawakan sukonbu aru,"
"Jangan banyak protes! Makanan asam tidak sehat untuk orang tua, tapi Ho Love Ru akan mengembalikan semangat muda nenekmu, lagipula kalau kau membawa makanan, kau pasti akan menghabiskannya sebelum kau sampai di rumah nenek," Shinpachi bilang, lalu turun dari panggung meninggalkan Kagura sendiri.
Kemudian Kondo yang mengenakan kostum berang-berang merah muda menarik seutas tali yang terjulur di sisi panggung, mengganti latar belakang bergambar dapur dengan gambar hutan. Katsura yang berperan sebagai pohon juga naik ke panggung. Kagura masuk ke adegan selanjutnya. Hijikata yang mendapatkan peran nenek saat undian berbaring di lantai panggung yang hanya dilapisi koran lama, Hijikata sangat paham kalau waktu mereka untuk menyiapkan drama ini luarbiasa singkat, tapi dia tidak menyangka kalau mereka bahkan tega memperlakukan nenek tua penyakitan tidur di atas koran. Hijikata menahan kekesalannya, lampu sorot dari atas panggung menyinari tubuhnya dengan cahaya menyilaukan yang membuat matanya sedikit sakit. Dia juga kepanasan, Sougo memberikannya gaun tebal bergaya victorian untuk dikenakan, warnanya hitam seperti yang biasa dikenakan di pemakaman, berlengan panjang dan terdapat renda dimana-mana yang membuat Hijikata gerah. Untuk menyempurnakan penampilannya, Sougo juga memberikannya hiasan kepala yang pitanya diikatkan di bawah dagu.
"Nenek Tudung Merah tinggal di dalam hutan, di sebuah—selembar koran yang diberikan oleh Tudung Merah setahun yang lalu. Ketika Tudung Merah memasuki hutan, Serigala menghampirinya. Tudung Merah tidak tahu Serigala itu sangat jahat." Suara Otae memenuhi aula lagi.
Sougo yang mengenakan kostum serigala naik ke panggung, membawa-bawa bazooka, kemudian berbalik ke arah Hijikata, membidik sasarannya.
"T-tung—SOUGO!"
DUARR!
Hijikata hangus, warna tubuhnya sekarang sewarna dengan gaun hitamnya yang kini compang-camping.
"O-okita-san! Sekarang ini kau cuma murid SMA biasa, bukan anggota Shinsengumi yang boleh bawa-bawa bazooka dengan legal!" Shinpachi menyembulkan kepalanya dari balik tirai panggung.
"Gawat, aku lupa." Jawab Sougo datar, memanggul bazooka-nya sambil memandang Hijikata yang mengomel.
"H-hijikata-san cepat turun dari panggung dan Okita-san, kau menyamar jadi neneknya Tudung Merah!" Shinpachi memberi arahan.
Hijikata turun dari panggung dengan kesal, dia berjanji dalam hati akan membuat perhitungan dengan Okita Sougo sesudah ini.
Sougo membaringkan tubuhnya dengan posisi menyamping di lantai yang hangus tadi, tangan kanannya menopang bobot kepalanya. Kagura menghampirinya.
"Nenek Mayo?" tanya Kagura, tercenung sebentar, mencoba mengingat dialognya, "sejak kapan warna rambutmu jadi seperti kotoran kuda begitu?"
"Agar warnanya sama seperti makanan anjing yang biasa kumakan," jawab Sougo.
"Um—sejak kapan kau suka mengintip majalah porno sadomasokisme di laci meja Ginpachi-sensei aru?" Kagura bertanya lagi.
"Sialan, Kagura—" Ginpachi memekik, guru-guru di sebelahnya memandangnya sinis, "ah, bukan itu, pasti hanya kesalahan, ha-ha-ha, ah, celaka! Sepertinya mereka mengacaukan dramanya, aku permisi dulu untuk menemui mereka di belakang panggung,"
Tsukuyo menarik jas putih Ginpachi, tatapan tajamnya seolah membekukan darah Ginpachi, "tidak perlu, kau di sini saja," Ginpachi kembali duduk.
"Bagaimana kau bisa tahu? Kau memperhatikanku?" Sougo balik bertanya.
"Dasar menjijikkan." Kagura diam lagi, memikirkan dialog selanjutnya.
"Kagura-chan! Tanya kenapa tangannya besar sekali!" Shinpachi kembali menyembulkan kepalanya dari balik tirai, berbisik.
"Ah, ya! Kenapa tanganmu besar sekali?!"
Sougo memang sama sekali tidak menghapal dialog, dia memikirkan apa yang harus dilakukannya sekarang dan dia pun mendapatkan ide yang menguntungkan. Sougo menarik lengan kurus Kagura, lalu mendekap tubuhnya, Kagura tenggelam dalam pelukan bulu-bulu lembut kostum serigala Sougo. Ketika Kagura menyadari apa yang terjadi, Sougo mengeratkan dekapannya. Umibozu terkesiap bangkit dari duduknya.
"Supaya aku bisa melakukan ini, Ci—"
"HYATTTTCHOOOOOO!" Kagura mengangkat tubuh Sougo sebelum pemuda itu menyelesaikan kalimatnya, dia melengkungkan tubuhnya ke belakang hingga kepalanya nyaris menyentuh lantai, tapi dia tidak menyentuhnya, hanya pucuk kepala Sougo yang terhantam keras hingga lantai panggung retak. Sougo kehilangan kesadarannya seketika. Kagura membunyikan sendi lehernya dengan wajah penuh kemenangan.
"Yah, dan dengan begitu, Serigala pun pingsan dan Tudung Merah hidup bahagia bersama Ibunya yang tidak populer dan Neneknya yang sedikit hangus, terima kasih sudah menonton!" Otae menutup drama itu, tersenyum ramah dan meninggalkan panggung bersama Tudung Merah, berang-berang merah muda dan pohon Katsura. Sougo masih tergeletak di panggung. Suara riuh tepuk tangan tidak terdengar, hanya Ginpachi satu-satunya orang yang bertepuk tangan dengan gelisah.
Drama itu berakhir. Namun banyak hal yang masih harus diselesaikan ketika mereka semua meninggalkan aula dan menghadapi kenyataan. Hijikata yang hendak balas dendam, Ginpachi yang harus berusaha mempertahankan karirnya, Umibozu yang tidak bisa pulang dengan tenang sebelum menemui serigala yang tadi hendak melahap puterinya di depan umum dan Kagura yang harus menghajar Sougo lebih banyak lagi karena membuat darahnya berdesir dan rasanya Kagura akan semakin susah tidur nanti malam karena kejadian barusan.
.
.
.
終わり
Happy OkiKagu week!
