Crimson Moon
Disclaimer : Bleach bukan punya saya, melainkan punya om Tite Kubo. Saya hanya meminjam karekternya saja. Tenang! Nanti dikembalikan kok!
Warning! Gaje, OOC, lebay!
"HIME!" teguran halus itu membuatku merandek. Refleksku untuk menoleh tertahan oleh kesadaran akan pemilik suara yaang amat kukenal dulu.
"Hime!" sekali lagi teguran itu terdengar. Makin lirih dan terasa makin dekat di belakang kepalaku.
Aku menoleh sesaat setelah ditegur kata hatiku yang memaksa dengan alasan kesopanan. Ya, rasanya tak sopan jika aku menghindari teguran baik-baik itu.
Dua pasang mata beradu dalam kurun waktu beberapa detik. Yah, bagiku itu waktu yang cukup untuk membuat penilaian. Sosok Ulquiorra yang ada di hadapanku kini seolah terasa asing. Padahal beberapa waktu sebelumnya, kami sempat akrab dan menjalin hubungan serius.
Ah, masa lalu ... desahku perlahan. Kutatap sekali lagi mata hijau emerald pemuda yang sekarang ada di hadapanku ini. Ulquiorra membalas menatapku heran, ia tampak bingung dengan sikapku yang sekarang ini.
"Aku mau menanyakan satu hal padamu ...." lirih suara itu, membuatku terpaksa menegaskan pendengaranku.
"Ya?" aku bertanya lebih tegas, dengan mata menyipit.
"Kenapa sekarang bulan berwarna merah?"
Aku terhenyak. Pertanyaan macam apa ini? Baru juga dua bulan berlalu dengan tak saling bertemu dan berbicara, kini sosok Ulquiorra datang dengan pertanyaan aneh.
Wajah tanpa ekspresi itu mengulas senyum maklum di bibirnya dan berkata perlahan. "Aku tidak membutuhkan jawabannya sekarang. Suatu saat nanti kita pasti mampu memahami lebih dalam lagi satu sama lain."
Aku terpana mendengarnya. Pria berambut sehitam malam itu membalikkan tubuhnya dan meninggalkanku yang masih mencoba mengingat semua hal yang telah terjadi dengan tubuh lunglai. Kurasakan ada bias kekecewaan di wajahnya yang statis, namun aku mencoba menepis.
Aku teringat beberapa hal yang membuat pria itu menjaga jarak denganku. Yah, mungkin terdengar aneh. Tapi, ia terlalu sensitif, bahkan bisa dibilang ia juga termasuk orang yang suka memendam kesedihannya sendiri. Aku pun hanya bisa mendesah dalam-dalam.
***
Siang itu, tak seperti biasanya Szayel berada di rumah Pak Urahara. Dia sedang bercanda dengan Hiyori, walaupun Hiyori tak banyak tertawa dan hanya menanggapinya dengan tersenyum dikulum.
Hh, dasar anak-anak! desisku perlahan.
Szayel menatap aneh ke arahku. Dia tersenyum manis padaku dan menyapaku dengan gayanya yang riang. "Halo, Hime! Kok' cemberut? Wajahmu jadi tambah jelek aja!"
Aku jadi tambah mesem dibuatnya. Nih' cowok bukannya bikin aku tenang, malah tambah bikin kesel!
"Ada apa? Lagi ada masalah sama Ulqui?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk. Szayel tampaknya tahu apa yang terjadi antara aku dengan Ulquiorra. Yaah, mungkin karena mereka teman dekat, tentunya mereka paham satu sama lain.
"Apa dia cerita ke kamu?" tanyaku penasaran.
"Nggak!" Szayel menggeleng cepat. "Ulqui tak pernah cerita apa-apa padaku. Tapi, aku bisa tahu dari wajahmu ... kau tampak sebal, Orihime ...."
"Begitu, ya?" aku mendesah. "Kenapa Ulquiorra bersikap aneh? Bahkan dia menanyakan aku tentang bulan merah! Apa sih' yang dia inginkan??" aku meradang.
"Bulan merah ya? Pasti ada tempat spesial yang biasa ia datangi bersamamu. Hanya saja kau telah melupakannya, Hime..." ujar Szayel lembut. "Ia ingin memberikan sesuatu yang berharga untukmu."
Aku terperangah. Namun Szayel tetap melanjutkan perkataannya. "Bagi Ulquiorra, Orihime adalah orang yang paling spesial untuknya. Nah, kalau kamu sendiri bagaimana? Apakah kamu juga menganggap Ulquiorra sebagai seseorang yang spesial?"
Wajahku memerah padam. Aku nggak siap menjawab pertanyaan yang dia ajukan padaku sekarang. Melihat sikapku yang salah tingkah, Szayel tertawa.
"Aduh, Hime! Aku kan' cuma bercanda! Kamu malah menganggapnya serius! Bagaimana sih'??"
Aku mengatup bibir karena gemas. Ingin rasanya kucakar wajah imut tanpa dosa itu. Uff, benar-benar menjengkelkan!
"Ulquiorra ya, yang menyuruhmu begitu?"
Ah, betapa bodohnya pertanyaan itu. Aku kini ingat semuanya. Bukankah dulu juga berkat jasa Szayel, aku dan Ulquiorra bisa bersatu? Ah, betapa banyaknya kenangan yang telah kulupakan.
"Lebih baik kau temui Ulquiorra di sana, Hime .... Ia pasti mengharapkan kedatanganmu!" kali ini, wajah Szayel memperlihatkan kesungguhan.
Aku mengiyakan saran cowok berambut pink itu dan tak bisa menghindar ajakan tulus cowok berambut sehitam malam itu.
***
Bulan oh, bulan ....
Aku kini ingat. Dulu, Ulquiorra paling suka mengajakku ke Karakura Park di petang hari. Mengitari skating ring berdua atau sengaja merebahkan diri di atas salju yang dingin untuk bersama-sama menatap bulan di langit. Bila bosan, kami memasuki lorong bulan untuk saling bertukar pikiran.
Tapi ... merah! Tidak. Waktu itu bulan berwarna kuning pucat di langit. Entah berapa lama aku tak bertemu dengannya, dan aku sama sekali tidak memahami metafora yang diucapkannya itu. Aku pun tak mengingat lagi janji yang ia ucapkan saat itu dan semua kejadian yang menyebabkan aku marah sekali padanya. Meski ia memohon maaf padaku berkali-kali.
Telepon yang berdering menyentakkan lamunanku.
"Halo!" sapaku malas ketika mengangkat gagang telepon. Rasanya sudah dua bulan ini aku tak lagi bersemangat ketika mengangkat gagang telepon.
"Orihime, apakah kau tahu saat ini ada bulan di langit?"
Tanganku mendadak bergetar hebat sampai-sampai gagang telepon nyaris lepas dari genggamanku.
"Cobalah kau lihat keluar jendela, dan perhatikan warnanya."
Telepon pun terputus. Aku hanya bisa menunggu. Selama lima menit kutunggu tidak ada dering telepon lagi, membuatku menuruti kata-kata Ulquiorra untuk melihat keluar jendela kamarku. Bulan hampir bundar penuh bercahaya terang di angkasa. Meski belum purnama penuh. Langit pun cerah tak berawan. Aku menyadari kalau langit memang tak terlalu terang, tapi ada sesuatu yang membuatku sangat terpesona. Aku melihat bulan berwarna merah.
Telepon rumahku berdering lagi. Aku tak sadar kalau sekarang aku telah kembali memiliki semangat yang sama seperti dua bulan yang lalu. Semangat yang mengharapkan bisa mendengar suara dari sosok yang kubayangkan.
"Hime, kau sudah melihat bulan kan?" suara Ulquiorra terdengar lirih. "Kamu saksikan warnanya?"
"Merah darah ...." bisikku tertahan.
"Itulah!" tiba-tiba kudengar suara Ulquiorra meninggi. "Merah! Kamu pun melihat kalau sekarang bulan berwarna merah seperti darah!"
"Memangnya kenapa? Apakah salah kalau bulan berwarna merah?" tanyaku tidak mengerti.
"Tentu saja salah! Tadi aku menanyakan pada Szayel dan Grimmjaw, dan mereka bilang kalau bulan berwarna kuning pucat!"
"Memangnya kenapa? Biarkan saja bulan berwarna kuning pucat! Mau pastel, putih atau kuning terang, biarkan saja!" jawabku ketus. Bosan meladeni pembicaraan Ulquiorra yang terdengar sangat bodoh kali ini. "Kalau kau tidak ada pekerjaan lain selain mengoceh tentang warna bulan denganku, sebaiknya segera putuskan saja telepon ini!"
"Maaf, mungkin aku mengganggumu .... Tapi, aku benar-benar menginginkan kepastian darimu. Bisakah?" suara Ulquiorra terdengar lirih.
"Lalu kenapa baru sekarang?!" aku menaikkan suara satu oktaf. "Kenapa kamu selalu saja tidak mau mengungkapkan perasaanmu yang sesungguhnya?! Kamu anggap apa aku ini?!"
Sebuah tawa tertahan terdengar di seberang sana.
"Kamu menertawakan aku?" aku jadi agak gusar.
"Tidak ... maaf. Aku ... hanya teringat sekarang. Kau memang selalu begitu. Mudah meradang dan sulit mengalah, apalagi memaafkan."
"Jangan mulai, Ulquiorra!" aku setengah membentak. Namun sebenarnya, aku mulai panik. Sebab, ada gejolak yang sulit dilukiskan terjadi di dadaku.
"Sekali ini saja, Orihime. Sekali saja. Kau jangan menolakku. Sekarang juga aku akan menjemputmu dan membawamu ke Karakura Park. Kita akan memastikan, apakah bulan berwarna merah atau tidak. Juga semua kenangan yang pernah kita alami yang kau lupakan."
Aku tak bisa menolak. Ulquiorra telah memutuskan pembicaraan. Aku tak punya pilihan kecuali menunggu. Ya, apalah salahnya menuntaskan rasa penasaran ini. Apa ruginya jika sekali ini aku pergi dengan cowok itu benar-benar untuk terakhir kalinya.
***
KARAKURA Park yang seperti biasanya ramai oleh pengunjung ... suasananya agak temaram karena area skating ini hanya diterangi oleh sinar bulan yang terang luar biasa. Walau begitu, ini tetap saja belum menghapus kegalauan dalam hatiku.
"Kuning pucat, Hime. Bulan berwarna kuning pucat," bisik Ulquiorra di telingaku.
"Ya, lebih indah jika bulan ditatap berdua," kataku perlahan seraya mempererat pelukanku padanya.
Ulquiorra menatap langit dengan hampa, seperti ada sesuatu yang hilang darinya. Beberapa saat kemudian, ia mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Apa?" tanyaku gugup.
"Tidak. Aku hanya ... ingin mengajakmu sekali lagi ke lorong bulan itu .... Kamu mau?" jawabnya malu-malu.
Di tengah cahaya remang di sekitar taman, terlihat rona merah di wajahnya yang statis, membuatnya makin terlihat tampan. Ia mengulurkan tangannya padaku dengan senyuman termanis tersungging di bibir mungilnya.
Mendengar itu, aku tertegun sesaat sebelum akhirnya membalas senyumannya dan menyambut uluran tangan pemuda tampan di hadapanku ini.
Kami berdua berjalan dalam diam. Walau tampaknya malam ini benar-benar menjadi malam yang menyenangkan bagi semua orang, namun lain halnya antara aku dan Ulquiorra. Kami masih membisu dan kebekuan diantara kami belum mencair sedikitpun.
Sesampainya di lorong bulan, senyumku kembali merekah saat melihat dekorasi indah menawan di hadapanku. Ada yang berbeda dari lorong bulan yang sebelumnya, entah kenapa ... tapi tetap membuatku terpukau pada benda paling benderang di tempat itu.
"Waah ... bola lampu ini bulan sabit, ya?" komentarku terkagum-kagum dan menjulurkan tangan untuk menyentuh benda terang itu.
Namun sesaat kemudian aku tersentak kaget karena merasa diperhatikan. Aku menoleh ke arah Ulquiorra. Pandangan mata kami bertemu dan tampaknya hal itu membuat Ulquiorra semakin salah tingkah. Rona merah di pipinya yang sejak tadi tersirat, kini telah menjalari seluruh wajahnya.
"Oh ya, Ulquiorra! Kata Szayel... kau ingin memberikan sesuatu padaku kan'? Boleh kutahu apa itu?" tanyaku penasaran walau sebenarnya hal ini terdengar basi.
Ulquiorra tertunduk malu. "Sebenarnya yang kuberikan ini bukanlah benda!" Ia memulai kalimatnya, masih dengan kepala tertunduk. "Tapi ... tapi ..." lanjutnya dengan kalimat menggantung yang membuat penasaran.
"Tapi apa?!" sahutku tak sabar.
"Tapi ... cinta!"
Aku tersentak. Lalu kupandangi Ulquiorra yang kini juga memandangiku. Tatapan mata penuh kasih sayang terpancar dari sorot mata pemuda bermata emerald itu.
"Dulu ... mungkin aku tak sempat menyatakan suka padamu, walaupun aku tahu kita telah berjanji untuk bersama selamanya. Dulu ... aku juga tak mampu mengungkapkan betapa besar kasih sayangku padamu, padahal kamu menginginkan hubungan kita langgeng untuk selamanya .... Dan sekarang ... aku baru sadar. Betapa aku mencintaimu, dengan sepenuh hatiku."
Aku mendengarkan perkataannya dengan cermat dan penuh perhatian. Tak menyangka kalau Ulquiorra akan memberikan miliknya yang berharga untukku. Padahal sebelumnya ia menganggap hubungan kami hanya sebatas teman. Tapi sekarang?!
"Aku hanya ingin kamu melupakan segala masa lalu yang buruk. Dan maafkanlah semua kesalahanku di masa lalu yang membuatmu gundah yang telah menciptakan bulan berwarna merah darah bagiku dan juga kamu. Pertanda yang mengingatkan bahwa tidak seharusnya kita berjalan masing-masing.
Bulan terlihat berwarna merah bagiku dan juga kamu saat kita berdua berjalan masing-masing. Terpisah satu sama lain. Tetapi hal itu tak dilihat oleh orang-orang yang selalu bersama seperti halnya Kuchiki dan Kurosaki. Maukah kamu menerimaku? Sebagai seseorang yang paling berharga bagimu?"
Aku semakin terpana mendengar kata-katanya. Tak terasa dua butir air mata mengalir di pipiku. Ya, kini aku teringat janji yang ia ucapkan padaku waktu itu.
"Aku akan tetap berada di sisimu, sampai mati!"
Kupeluk pria itu perlahan dan kudekap erat-erat tangannya yang hangat. Malam itu bulan berwarna kuning pucat bersinar semakin benderang.
**END**
Note : Kacau! Saya baru pertama kali membuat fic romance, jadi hasilnya kayak gini deh! Mohon maaf sebesar-besarnya! Ulqui jadi OOC banget ya di sini? Heuheu, tapi pasti manis (ngebayangin Ulqui blushing, owww! *Author langsung tepar. Nggak kuat ngebayanginnya*) Fic ini ada behind the Scenenya loh! Jadi sekarang Review please! Dan Saya ucapkan "Selamat Hari Kartini!"
Ulqui : (pout) Dasar! Aku kok jadi dibikin OOC begini sih! Author sinting! (tangannya siap mencabut Murcielago)
Orihime : (mencegah) Eh, jangan Ulquiorra! Nanti kamu dibikin apes sama Maria-chan lho! Dia kan' orangnya agak pemarah! Nanti kamu hangus kena Amasunahime-nya!
Ulqui : Nggak takut!
Orihime : (ngelancarin puppy dog eyes) Please Ulquiorra, jangan~! Aku nggak mau kehilangan kamu lagi! (mulai nangis-nangis gaje)
Ulqui : (jadi iba ngelihat pacarnya nangis) Iya, iya! Aku nggak akan nentang si Author lagi! Sekarang jangan nangis lagi ya? (ngelapin air matanya)
Orihime : (ngangguk)
Szayel : (ceria ga tau malu) Baiklah para readers! Semoga terhibur dengan fic romance abal ini! (dibakar sama Author pake Amasunahime)
Marianne vessalius : (ngedengus kesal) Seenaknya saja bilang fic-ku abal! Octava Espada sialan!
Urahara : (ngeluarin Yasin) Semoga amal dan ibadahmu diterima di sisi Sang Ilahi, Szayel! Semoga dosa-dosamu diampuni olehNya.
All : Amin!
Orihime : Baiklah! Nantikan behind the scenenya di chapter depan, ya!
Ulqui : Please review! Tekan tombol hijau di bawah ini dengan semangat!
