Sejak kecil, Taeyong selalu suka mempelajari tentang bahasa bunga. Hobinya itu sebagian besar dipengaruhi oleh kakak perempuannya, yang memang penyuka bunga dan bahkan kini telah membuka took bunga miliknya sendiri. Taeyong tidak peduli dengan fakta bahwa kebanyakan orang memandang bahwa kesukaannya yang satu ini sangat tidak pantas untuk lelaki sepertinya, yang Taeyong tahu adalah, ia menyukai bagaimana bunga, beserta bahasa yang tersimpan di dalamnya, dapat menyampaikan pesan-pesan yang tidak dapat disampaikan dalam bentuk kata.

Kalau ditanya tentang bunga favoritnya, maka Taeyong tidak akan pernah bisa menjawab. Atau ia bisa, tapi jawabannya akan berubah-ubah setiap waktu, sesuai dengan perasaannya saat ditanya.

Misalnya, pada saat hari valentine tiba dan semua orang di sekelilingnya sibuk dengan beragam macam cokelat, maka Taeyong akan menjawab bahwa bunga favoritnya adalah bunga mawar merah. Bunga yang melambangkan cinta.

Pada hari peringatan kematian neneknya, maka Taeyong akan selalu menjawab bahwa bunga favoritnya adalah bunga krisan putih. Bunga yang sering ditemukan dalam prosesi pemakaman, yang dapat berarti keabadian, kematian, dan berduka.

Namun sesungguhnya ada satu bunga yang benar-benar menjadi kesukaan Taeyong.

Bunga mawar berwarna merah muda.

Bukan warna merah atau warna lainnya, tapi merah muda. Kenapa? Sederhana, karena bunga mawar merah muda dapat berarti kebahagiaan, kepercayaan, dan juga anugerah.

Kebahagiaan.

Keinginan terbesar Taeyong di dunia ini adalah untuk merasa bahagia.

Flowers

Jaehyun, Jung x Taeyong, Lee

Romance, Angst

NCT © SM Entertainment

Taeyong selalu mengira bahwa ia akan menemukan kebahagiaannya di sini. Menjadi seorang idola mungkin bukanlah mimpinya sejak awal, namun hari demi hari, ketika ia menekuni rutinitas demi rutinitas seorang trainee, menari selama berjam-jam, mengikuti latihan vokal sampai tenggorokannya terasa sakit, semuanya entah mengapa membuat Taeyong merasa nyaman. Membuatnya merasakan harapan tumbuh secara perlahan di dalam dirinya.

Ia tidak pernah punya mimpi sebelumnya. Menjadi seorang pemadam kebakaran? Itu hanya-lah sebuah omong kosong seorang anak berusia sembilan tahun. Ia tidak pernah benar-benar ingin menjadi seorang pemadam kebakaran. Ia hanya menganggap bahwa para petugas berseragam oranye cerah itu sangatlah keren setiap kali mereka berdatangan dengan ributnya ke lokasi kebakaran.

Tapi ini, menari, rap, bahkan menyanyi, membuatnya merasa benar-benar senang. Untuk kali pertama setelah sekian lama, ia memiliki sesuatu yang ia nanti-nantikan setiap kali ia terbangun dari tidurnya.

Beberapa bulan berlalu, Taeyong masih merasa begitu senang, sampai kemudian datang seorang trainee baru. Seorang lelaki yang berusia dua tahun lebih muda daripada dirinya, seorang lelaki berkulit putih bersih dengan nama Jung Jaehyun.

Pada awalnya kedatangan Jaehyun tidak membawa perubahan apa pun dalam kehidupan Taeyong. Baginya, Jaehyun sama saja dengan Johnny dan beberapa trainee lainnya, tidak ada perbedaan besar di antara mereka. Taeyong melanjutkan rutinitas hariannya seperti biasa, tanpa perubahan yang berarti.

Namun kemudian dua tahun berlalu, baik Taeyong mau pun Jaehyun telah dikenalkan pada publik sebagai bagian dari SM Rookies, dan salah satu hal yang paling tak diinginkannya untuk terjadi, terjadi begitu saja tanpa peringatan apa pun sebelumnya.

Masa lalunya terkuak.

Masa lalunya yang benar-benar ia sesali, yang telah menjadi bagian terkelam dalam hidupnya, terkuak pada publik. Artikel-artikel tentangnya yang semula diisi dengan komentar positif, kini dipenuhi oleh komentar negatif, komentar-komentar yang ditinggalkan seolah-olah mereka mengetahui diri Taeyong dengan begitu baik, hanya karena mereka tahu tentang bagian gelap dari masa lalunya itu. Komentar-komentar penuh dengan kata makian, komentar yang kebanyakkan berisi permintaan pada SM Entertainment untuk mengeluarkannya dari agensi.

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya, Taeyong menangis.

Bukan jenis tangisan dimana ia terisak dengan hebatnya. Bukan. Taeyong menangis dalam diam, sendirian, di dalam ruang latihan yang gelap gulita.

Ia merasa bahwa ia sudah mengunci pintu sebelumnya, namun sepertinya ia salah, karena beberapa menit setelah ia mulai menangis dalam kegelapan, seseorang berjalan masuk ke dalam ruang latihan, lalu mendudukkan diri di sebelahnya, di atas lantai kayu yang dingin.

Taeyong langsung tahu bahwa sosok itu adalah Jaehyun, dari kehangatan yang ia berikan ketika tangannya merangkul pundak Taeyong dengan erat, merapatkan kedua tubuh mereka.

"Aku akan selalu berada di sini, hyung. Tak usah khawatir. Setiap kali kau mulai merasa sedih, aku akan selalu ada untukmu. Kami semua akan selalu ada untuk mendukungmu, hyung. Kami semua percaya padamu. Aku percaya padamu."

Dan sejak saat itu, Taeyong mulai melihat Jaehyun dalam cara yang berbeda.

-0-

Kali pertama Taeyong memuntahkan kelopak bunga adalah tepat pada hari debutnya sebagai member NCT U. Ia ingat bahwa hari itu ia bangun paling pagi, bermaksud untuk membuat menu sarapan spesial untuk para membernya, sebelum ia tiba-tiba merasakan sebuah perasaan sesak di dalam dirinya, instingnya entah mengapa mengatakan padanya untuk segera lari ke dalam toilet, dan itu lah yang Taeyong lakukan.

Ia ingat ia langsung terbatuk dengan hebatnya setelah mengunci pintu toilet. Biasanya, Taeyong akan memperlakukan batuknya itu dengan kelewat santai, hanya mengandalkan obat saja, namun kali ini berbeda.

Karena ia mendapati helaian-helaian kelopak bunga Camelia, tersebar di lantai kamar mandi dengan begitu indahnya.

Taeyong ingat bahwa bukannya merasa panik, ia malah tersenyum, meskipun hanya sebuah senyum tipis. Yang terlintas pertama kali di otaknya saat itu bukan lah penyakit yang sudah secara positif ia derita dengan keberadaan kelopak bunga tersebut, bukan.

Yang terlintas di otaknya adalah, bagaimana bunga Camelia sangatlah cocok untuk sosok Jaehyun.

Bunga Camelia dapat berarti kesempurnaan, dan itu lah sosok Jaehyun di mata Taeyong. Bagi Taeyong, Jaehyun itu sempurna. Cara matanya menyipit ketika tertawa, bagaimana lesung pipi terbentuk di pipinya ketika ia tersenyum, bagaimana ia terlalu sensitif pada suara sampai-sampai Mark harus rela tidur di ruang tamu agar tak mengganggu Jaehyun yang sedang kelelahan, semua itu sempurna di mata Taeyong.

Taeyong sudah lama menyadari perasaannya sendiri. Ia sudah tahu bahwa perasaannya pada Jaehyun telah jauh melewati fase menyukai. Ia tahu bahwa ia sudah jatuh cinta pada adiknya yang satu itu. Ia tahu bahwa perasaannya pada Jaehyun hanya bertambah besar setiap harinya, dan ia juga tahu bahwa perasaannya itu mustahil terbalas.

Tentu saja. Sejauh yang ia tahu, Jaehyun sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda bahwa ia merupakan seseorang yang menyukai sesama jenis. Dan walaupun Jaehyun dapat menyukai sesama jenis, Taeyong sendiri ragu bahwa lelaki yang lebih muda dua tahun darinya itu akan menyukainya.

Ia memiliki terlalu banyak kekurangan, tidak pantas bila disandingkan dengan Jaehyun dan bermacam-macam kelebihannya.

Dengan ketenangan yang luar biasa, Taeyong membersihkan helaian-helaian kelopak bunga tersebut dari lantai kamar mandi. Ia bahkan langsung melanjutkan kegiatan memasaknya yang sempat terhenti itu, berpura-pura seakan-akan ia tidak baru saja mengetahui bahwa ia menderita sebuah penyakit mematikan.


Taeyong menyembunyikan penyakitnya itu dengan sedemikian rupa sampai-sampai tidak ada seorang pun yang tahu meskipun bulan demi bulan berlalu dengan cepatnya. Ia berhasil menyembunyikan penyakitnya, namun ia juga tahu cepat atau lambat, seseorang akan mengetahuinya.

Dan hal itu memang terjadi.

Masa promosi NCT U sudah usai, namun itu tidak berarti kesibukannya sudah usai. Ia kini disibukkan dengan persiapannya untuk debut sebagai member dari NCT 127, dan yang paling membuatnya merasa tertekan adalah fakta bahwa ia diberikan posisi sebagai pemimpin dari sub-unit tersebut.

Hari itu, ia akhirnya mendapatkan waktu istirahat yang sudah benar-benar ia inginkan. Ia mendapatkan waktu bebas seharian penuh, dan ia memutuskan untuk menghabiskannya dengan tidur seharian.

Penyakitnya sudah bertambah parah. Frekuensi batuknya terjadi makin sering, membuat para anggota mulai merasa curiga karena ia terlalu sering pergi ke toilet. Dan semakin hari, ia merasa semakin sesak.

Ia tahu penyakitnya ini akan menimbulkan tertutupinya sistem pernapasannya oleh kelopak-kelopak bunga yang selalu ia muntahkan itu, yang suatu hari nanti akan berujung pada kematiannya. Taeyong tahu ia harusnya mengambil langkah untuk mencegah kematiannya, ia tahu harusnya ia segera pergi ke rumah sakit dan melaksanakan operasi.

Namun ia tidak ingin perasaannya untuk Jaehyun, perasaannya yang begitu dalam untuk Jaehyun, hilang dalam sekejap. Ia tidak bisa membayangkan tidak merasakan apa pun ketika Jaehyun dengan santainya melakukan skinship dengannya, ia tidak bisa membayangkan tidak merasakan apa pun di dalam dirinya setiap kali Jaehyun berada di dekatnya.

Ia tidak bisa, dan tidak mau.

Taeyong saat itu telah tertidur selama beberapa jam, sebelum ia tiba-tiba terbangun dengan perasaan sesak di dadanya, lalu mulai terbatuk-batuk seperti biasa, tanpa sempat berlari ke dalam toilet.

Tanpa sempat menyadari bahwa ada kehadiran sosok lain di sana.

"A—Astaga, hyung? Kenapa—"

Taeyong ingat betapa kaget dan paniknya ia begitu mendengar suara kecil terbata yang penuh dengan rasa takut itu. Ia sama sekali tidak menyadari kehadirannya, Tuhan. Ia bahkan sama sekali tidak punya waktu untuk menyembunyikan diri di dalam toilet seperti biasanya.

"Aku tidak apa-apa, Donghyuk," Ia ingat bahwa ia memaksakan seulas senyum di bibirnya kala itu. Seharusnya waktu itu ia tidak perlu berbohong. Donghyuk tidak pernah mudah dibohongi. Bocah satu itu selalu tahu kapan ia dibohongi, dan kapan ia tidak. Lagipula, siapa yang akan percaya bahwa ia tidak apa-apa setelah melihatnya memuntahkan kelopak bunga? Semua orang tahu apa arti dari kelopak-kelopak bunga itu. "

"Sejak kapan? Kenapa hyung tidak pernah bilang? Atau memang aku saja yang tidak tahu?" Taeyong selalu merasa kagum pada cara Donghyuk mengendalikan dirinya. Donghyuk selalu dapat mengendalikan dirinya, membuat dirinya tampak tenang, meskipun sebenarnya sedang merasa panik setengah mati.

"Tidak, memang tidak ada yang tahu. Dan… sejak kapan? Sejak April lalu, Donghyukie. Tepat di hari pertama NCT U tampil di program musik."

Raut ketakutan itu kembali pada wajah Donghyuk. Dan Taeyong langsung tahu pertanyaan apa yang akan ia utarakan selanjutnya.

"Siapa, hyung?"

Donghyuk dan rasa ingin tahunya, Taeyong ingat bahwa ia tertawa kecil saat itu.

"Bukan siapa-siapa, sungguh. Tidak penting sama sekali."

"Bagaimana bisa hyung berkata seperti itu? Apanya yang tidak penting? Perasaan hyung padanya pasti dalam sekali, dan—"

"Dan ia tidak merasakan hal yang sama, Hyukie," Saat menjawab, sebuah senyum hambar terbentuk di wajahnya. "Tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa padaku. Kau tidak usah—"

"Tenang saja? Bagaimana bisa aku tenang ketika aku tahu bahwa kau akan mati?" Suara Donghyuk seperti tercekik ketika menyebutkan kata terakhir, genangan air mata secara tiba-tiba telah muncul di matanya. "Kau harus melakukan operasi, hyung. Aku tidak ingin kau meninggalkan kami, hyung, aku mohon."

Permohonan yang disampaikan dengan nada putus asa dan dalam usaha untuk menahan tangis itu hanya disambut dengan sebuah gelengan kecil, serta sebuah suara pelan.

"Aku bisa mengatasinya, Donghyuk. Kau tidak perlu khawatir."

Bohong.


Saat ini, tampak sekumpulan lelaki tengah menunggu di depan sebuah ruangan di rumah sakit, semuanya memiliki raut khawatir yang sama.

Sekumpulan lelaki itu adalah para anggota NCT, baik NCT U, 127, maupun Dream. Bahkan Johnny, Hansol, dan Kun juga ada di sana. Semua orang langsung berkumpul di rumah sakit begitu menerima panggilan dari sang manajer.

Beberapa jam yang lalu, Lee Taeyong baru saja jatuh pingsan setelah mengejutkan semua orang dengan helaian kelopak bunga yang termuntahkan olehnya, dibarengi dengan batuk tanpa henti. Taeyong, yang biasanya akan selalu lari ke dalam toilet setiap ia mulai merasa sesak, terbatuk di depan para anggota 127 yang sedang melakukan latihan untuk salah satu penampilan spesial mereka di salah satu festival musik akhir tahun.

Donghyuk-lah yang pertama kali bereaksi ketika Taeyong terkapar jatuh di lantai setelah membuat orang-orang terpana dengan kelopak bunga yang keluar dari dalam mulutnya. Anggota termuda itu, meskipun dengan tangan gemetar dan air mata yang mulai meluncur turun di pipinya, langsung menelepon manajer mereka sebelum anggota lain dapat bereaksi.

Anggota yang lain hanya dapat diam, memandang pemimpin mereka yang tidak sadar itu dengan pandangan terkejut serta bingung. Yuta-lah yang paling cepat terbangun dari keterkejutannya setelah Donghyuk. Ia bergegas keluar dari ruang latihan, memanggil staff mana pun yang dapat membantu mereka untuk membawa sahabatnya itu ke rumah sakit.

Dan di sinilah mereka sekarang, menunggui sosok teman mereka yang sedang dioperasi di dalam sana.

Semuanya berdiri mengelilingi Donghyuk, menuntut meminta penjelasan karena sepertinya hanya anggota termuda 127 itu lah yang tahu-menahu tentang kondisi Taeyong. Donghyuk sendiri hanya bungkam sedaritadi, menunduk dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya ia mengangkat kepalanya dan membuka mulut.

"Hanahaki Disease… sejak April, hari pertama NCT U tampil di program musik," Donghyuk berkata dengan suara pelan, mengulang informasi yang pernah diberikan oleh Taeyong padanya.

"April? Sudah sejak April? Astaga, sekarang sudah Desember," Johnny adalah yang pertama kali bicara dengan nada frustasi, mengacak-acak rambutnya hingga berantakan dengan jari-jari tangannya. "Kenapa tidak ada satu pun dari kita yang sadar? Kenapa dia tidak pernah memberitahu salah satu dari kita?"

"Taeyong hyung selalu menjadi yang paling pandai di antara kita dalam hal menyembunyikan sesuatu, ingat?" Doyoung berkata dengan nada getir. "Ia selalu merasa harus menangani semuanya sendirian, terutama setelah ditunjuk menjadi pemimpin 127."

Keheningan mengisi ruang tunggu itu setelah Doyoung mengucapkan kalimatnya, sebelum kembali dipecahkan oleh sebuah suara yang meluncur keluar dari sosok yang tengah bersandar di dinding, agak memisahkan diri dari teman-temannya.

"Siapa?"

Donghyuk menggelengkan kepala, menatap sosok yang bersandar di dinding, yang juga tengah menatapnya dengan tatapan kosong. "Taeyong hyung tidak pernah mengatakannya, ia selalu berkata bahwa siapa orangnya, itu tidak penting. Karena ia tahu perasaannya tidak akan pernah terbalas. Karena ia tahu bahwa ia tidak memiliki kesempatan apa pun untuk sembuh tanpa bantuan operasi."

"Kenapa kau tidak pernah memberitahu yang lain, Donghyuk-ah?"

"Karena Taeyong hyung membuatku berjanji untuk tidak memberitahu yang lain, hyung."

"Kenapa kau tidak pernah menyuruhnya untuk operasi lebih awal? Kau dengar sendiri apa kata dokter tadi, kan? Persentase selamatnya kecil, Donghyuk. Semua karena sistem pernapasannya sudah—astaga."

"Hyung kira aku tidak mencoba?" Donghyuk menatap Yuta dengan raut putus asa. "Aku berkali-kali membujuk Taeyong hyung untuk melakukan operasi, namun ia selalu hanya membalasku dengan gelengan kepala atau sebuah senyuman. Hanya pernah satu kali ia mengeluarkan suara untuk membalasku, dan ia hanya berkata bahwa perasaannya terlalu berharga untuk dikorbankan. Aku sudah mencoba, hyung. Aku sudah mencoba, tapi sia-sia saja."

Semua mulut kini terkatup rapat, kehabisan kata-kata untuk diucapkan. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah berdoa, berdoa untuk keselamatan sosok teman mereka yang tengah berada di dalam ruang operasi.

'Apa bunga favoritmu, Jaehyunnie?'

'Camelia! Aku sebenarnya tidak tahu banyak tentang bunga, tapi bunga Camelia selalu menonjol bagiku.'

Sosok yang masih bersandar di dinding itu, Jaehyun, memejamkan matanya rapat. Ia menghela napas, tak bisa mengusir perasaan bersalah yang telah ada di dalam dirinya sejak ia pulih dari keterkejutannya setelah melihat sosok Taeyong yang tiba-tiba jatuh di ruang latihan tadi.

Kenapa harus aku, hyung?


Ketika terbangun, yang pertama kali Taeyong lihat adalah warna putih. Ia hampir mengira bahwa ia sudah tiada dan kini tengah berada di surga, kalau saja ia tidak tersadar bahwa ada sepasang mata yang tengah mengawasinya.

"Johnny?" Suaranya terdengar begitu serak, dan hal pertama yang terlintas di kepalanya adalah bahwa ia butuh minum. Pemilik sepasang mata itu, Johnny Seo, tampaknya tersadar akan kebutuhan sahabatnya itu, dengan sigap membantu meminumkan air yang berada dalam sebuah gelas yang terletak di meja di sebelah tempat tidur, kepada Taeyong yang masih terlalu lemah untuk minum sendiri.

"Kau benar-benar bodoh," Johnny berkata, tak mampu menyembunyikan kesedihan bercampur kemarahan serta kekecewaan di dalam suaranya. "Aku ini sahabatmu bukan tanpa alasan. Kami ada untukmu bukan tanpa alasan, Taeyong. Kau seharusnya berbagi, bukan menyembunyikannya sendirian."

"Maafkan aku," Taeyong berkata pelan, kepalanya tertunduk, tak berani membalas tatapan Johnny yang pasti sedang menatapnya kecewa.

"Jaehyun, kan?"

"A—Apa? Bagaimana—"

Johnny tersenyum, sebuah senyum lembut, tangannya terulur untuk menepuk kepala Taeyong yang tengah menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Tatapanmu padanya, serta bagaimana kau memperlakukannya, aku dapat melihat semuanya, Taeyong."

Taeyong menghela napasnya, tatapannya terfokus pada jari-jari tangannya yang mulai bermain dengan satu sama lain. "Sudah tidak ada artinya lagi, Youngho. Aku sudah menjalani operasi, kan? Aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi."

Johnny terdiam selama beberapa saat, memilah-milah kata yang tepat untuk diucapkan. "Bukankah lebih baik begitu? Kau tidak akan tersakiti lagi, Tae. Ini yang terbaik."

Ini yang terbaik, ya?

Mungkin memang benar.

Mungkin memang ini yang terbaik.

"Sekarang fokuslah untuk pemulihanmu, tidak usah pedulikan yang lain. Agensi sudah memberikanmu waktu istirahat selama beberapa minggu, pergunakan dengan sebaik-baiknya, Tae," Johnny berkata. "Dan—"

Ucapan Johnny terpotong oleh suara pintu yang bergeser terbuka, menampakkan dua sosok pria di belakangnya. Taeyong langsung mengenali sosok yang pertama sebagai Yuta, yang langsung menatapnya dengan pandangan lega. Sahabatnya yang satu itu terlihat membawa sebuah kantung plastik dari sebuah supermarket yang terletak tepat di depan rumah sakit.

Sosok yang kedua, adalah Jung Jaehyun.

Jaehyun yang mengenakan hoodie dengan tudung yang menutupi kepalanya, tangannya dimasukkan ke dalam saku. Taeyong sudah akan benar-benar yakin bahwa operasinya berhasil karena ia tidak lagi merasakan debaran yang sama seperti yang dulu ia selalu rasakan setiap kali melihat sosok Jaehyun, sebelum pria bersurai cokelat muda satu itu membuka tudungnya, lalu mengangkat kepala, membuat matanya bertemu dengan mata Taeyong.

Dan debaran itu kembali.

Rasa sesak itu kembali.

Tanpa aba-aba, Taeyong mulai terbatuk, kelopak-kelopak bunga Camelia jatuh berguguran dari dalam mulutnya.


Love lies bleeding.

Percaya atau tidak percaya, tiga kata di atas merupakan nama sebuah bunga. Nama sebuah bunga yang menurut bahasa bunga, melambangkan keputus-asaan.

Bunga itulah yang menjadi bunga favorit Taeyong saat ini.

Saat dimana ia menghabiskan hari-harinya di rumah sakit, meskipun sesekali ia akan mendapat beberapa kesempatan untuk pulang ke dorm dan tidur di dalam kamar yang ia bagi bersama dengan Donghyuk.

Taeyong selalu menyukai bunga, tapi ia tak pernah menyangka bahwa ia juga akan mati karena bunga.

Bunga yang menutupi sistem pernapasannya hingga ia tidak akan bisa bernapas.

Putus asa. Itu lah yang dirasakannya sekarang.

Perasaan itulah yang mendominasi dirinya sejak satu minggu yang lalu.

Taeyong sesungguhnya tahu sejak awal, sejak ia mengetahui bahwa ia menderita penyakit Hanahaki, bahwa ia akan mati karena penyakit ini cepat atau lambat. Ia tahu ia tidak terselamatkan. Ia sudah menyerah.

Cara untuk sembuh dari penyakit mematikan ini hanya dua, melalui operasi, atau cintanya tiba-tiba terbalas.

Pilihan pertama, kalau saja ia tidak jatuh pingsan waktu itu, akan benar-benar ia tolak. Mungkin ia akan terdengar bodoh karena lebih memilih untuk merasakan perasaan cinta sepihak daripada hidup, namun baginya, perasaan yang ada di dalam dirinya untuk Jaehyun, terlalu dalam dan terlalu berharga untuk dikorbankan begitu saja.

Dan pilihan kedua, Taeyong bukan orang bodoh. Ia tahu bahwa perasaannya tidak akan terbalas sampai kapan pun.

Dalam salah satu malam yang ia habiskan di dalam kamar rumah sakitnya, Taeyong menangis dalam diam. Menangisi semua kenangan-kenangannya bersama Jaehyun yang terputar kembali di dalam otaknya tanpa diminta. Semua karena ia merindukan Jaehyun, merindukan sosok adiknya yang menjadi satu-satunya anggota yang tidak pernah menjenguknya lagi sejak terakhir kali ia berjalan masuk bersama Yuta, sejak saat dimana penyakitnya kembali timbul meski ia sudah melalui prosedur operasi.

Taeyong mengingat malam-malam yang ia habiskan bersama Jaehyun, hanya berdua di ruang tengah dorm, menonton televisi dalam volume kecil, dengan tangan hangat Jaehyun yang melingkar di sekeliling pundaknya, membuatnya merasa nyaman dan aman. Membuatnya merasa seolah-olah ia berada di rumah.

Taeyong mengingat saat-saat dimana Jaehyun tiba-tiba menggenggam tangannya, upayanya untuk menenangkan Taeyong setiap kali ia mulai merasa gugup. Ia mengingat bagaimana Jaehyun selalu memeluknya, setiap kali ia mulai meragukan dirinya sendiri, setiap kali ia mulai merasa bahwa ia tak pantas untuk debut bersama dengan teman-temannya yang lain.

'Hyung, kau adalah anggota favoritku, kau tahu itu, kan?'

Taeyong tahu bahwa di mata Jaehyun, dirinya tak akan pernah lebih dari sosok kakak baginya.

Tak akan pernah.


Kondisi Taeyong makin memburuk dari hari ke hari.

Tubuhnya yang sudah kurus makin kurus, dan sekarang ia selalu menghabiskan waktu di rumah sakit, ia sudah terlalu sering jatuh pingsan, hingga dokter memutuskan untuk menyuruhnya untuk tetap tinggal di rumah sakit sampai batas waktu yang tak ditentukan.

Sia-sia saja. Semua upaya mereka untuk menyembuhkannya itu sia-sia, menurut Taeyong. Penyakitnya ini tidak bisa disembuhkan. Ia sudah jatuh terlalu dalam, sampai-sampai operasi tidak bisa menyelamatkannya.

Semua orang di sekeliling Taeyong, setidaknya yang sering mengunjunginya, juga telah sadar akan fakta bahwa suka atau tidak suka, pada akhirnya ia akan mati karena penyakit ini. Terlihat jelas dari pancaran kesedihan yang selalu ada di dalam mata para temannya setiap kali mereka berkunjung, bagaimana Ten atau pun Doyoung kini sudah tidak sanggup untuk mengunjunginya lagi karena mereka tak pernah bisa menahan tangisan mereka setiap kali melihat sosok Taeyong di atas ranjangnya. Bagaimana para member Dream kecuali Mark dan terutama Jisung, selalu memeluknya dengan erat, seakan-akan mereka tak pernah ingin melepaskannya, setiap kali mereka mengakhiri kunjungan mereka.

Dari bagaimana Yuta dan Johnny selalu memegang tangannya dengan erat, bagaimana mereka selalu mengajak Taeyong mengobrol dan terlihat begitu ketakutan setiap kali sahabat mereka itu mulai terbatuk, yang berujung pada matanya yang perlahan tertutup, hanya untuk menghela napas lega begitu sadar bahwa Taeyong hanya lagi-lagi jatuh pingsan. Dari bagaimana Hansol, Kun, dan Sicheng pernah memeluknya sambil menangis. Dari bagaimana Mark selalu hanya berani untuk menatapnya dari jauh, pancaran kesedihan terlihat jelas di wajahnya.

Taeyong tahu kematiannya hanya tinggal menghitung hari saja. Ia sudah terlalu sering jatuh pingsan, ia sudah terlalu kelelahan hingga lebih sering terlelap daripada terjaga, sampai-sampai ia kini hampir tidak bisa lagi membedakan antara yang mana mimpi dan yang mana kenyataan.

Dan karena itu lah, Taeyong tak tahu apakah saat ini adalah kenyataan atau mimpinya saja. Dirinya sendiri memang berharap semoga ini adalah kenyataan, namun akal sehatnya berkata bahwa ini hanyalah mimpi, karena tak mungkin situasi ini terjadi dalam dunia nyata.

Jung Jaehyun tak mungkin tiba-tiba muncul di dalam kamar rumah sakitnya, menjenguknya setelah tiga bulan penuh tak pernah muncul.

"Aku sesungguhnya sudah ingin mengunjungimu sejak lama sekali, hyung," Jaehyun membisikkan kata-kata pertama yang ia ucapkan setelah berjalan masuk ke dalam kamar yang ditempati oleh Taeyong ini. "Tapi aku tidak pernah bisa."

Karena langkahku selalu terhenti di depan pintu kamarmu, karena hatiku tak pernah siap. Karena aku selalu berakhir memperhatikanmu dari jendela kecil di pintu, terlalu pengecut.

"Tidak apa, Jaehyun," Taeyong membalas dengan suara serak, sudah lama tak digunakan. Ia memang sudah tak lagi banyak bicara, karena bicara selalu membuatnya terbatuk, membuatnya mengeluarkan kelopak Camelia. Namun kali ini, untuk Jaehyun, ia rela membuat pengecualian.

Meskipun sudah tiga bulan tak bertemu, perasaan Taeyong kepada adiknya satu ini sama sekali tidak berubah.

"Selama tiga bulan belakangan, hidupku terasa hampa sekali tanpamu hyung," Jaehyun tertawa hambar, tangannya secara perlahan meraih tangan Taeyong, menautkan jari-jari mereka. "Selama ini, setiap aku menghabiskan waktu bersamamu, aku selalu menikmatinya. Aku selalu merasa benar-benar senang setiap kali menghabiskan waktu bersamamu, dan rasa senang itu berbeda dengan rasa senangku ketika menghabiskan waktu dengan yang lain, hyung. Bodohnya aku yang baru menyadari hal itu sekarang."

Taeyong kini yakin bahwa semua ini hanya lah mimpi. Kemungkinan kejadian ini terjadi secara nyata adalah nol besar.

"Aku…" Jaehyun menghentikan ucapannya sesaat, kepalanya terus menunduk, tidak membalas tatapan Taeyong yang sepenuhnya ditujukan padanya. "Selama ini mungkin sebenarnya aku memang merasakan sesuatu padamu, hyung. Bukan, bukan mungkin. Aku memang merasakan sesuatu padamu. Tapi aku hanya terlalu keras kepala, aku hanya terlalu yakin bahwa aku tidak mungkin merasakan perasaan semacam itu kepada anggota dari grupku sendiri, tindakan keras kepala yang telah menyakitimu."

"Dalam waktu tiga bulan ini, aku sampai pada satu kesimpulan, hyung," Jaehyun kini mengangkat kepalanya, sebuah senyum tulus berada di wajahnya. "Aku mencintaimu."


Minhyung berada di sana, di balik pintu, melihat dari jendela kecil yang berada di pintu tersebut, ketika Jaehyun mencium bibir Taeyong. Ia berada di sana untuk mendengarkan pengakuan Jaehyun pada sosok pemuda bersurai hitam yang tampak makin lemah ke harinya, dan meskipun hanya dari jauh, ia dapat melihat rona merah di pipi Taeyong setelah Jaehyun melepaskan ciumannya.

Rona merah yang sudah lama sekali tak terlihat di pipi tirus Taeyong.

Dan saat itu lah Minhyung tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dan ia memang benar, karena sejak ciuman itu, Taeyong tak pernah lagi memuntahkan kelopak bunga Camelia. Kondisinya secara perlahan membaik, dan ia kembali tampil di atas panggung. Ia telah sembuh, semua karena Jaehyun yang pada akhirnya menerima perasaannya, menerima fakta bahwa sebenarnya sejak awal, ia juga mencintai Taeyong.

Minhyung sejujurnya telah menyadari perasaan Jaehyun pada Taeyong sejak lama. Baginya, semua tandanya terlihat dengan begitu jelas. Bagaimana Jaehyun selalu menatap Taeyong lebih lama dari seharusnya, bagaimana ia selalu lebih lembut dan lebih perhatian ketika berhadapan dengan sosok pemuda yang lebih tua dua tahun darinya itu, bagaimana Jaehyun seperti mempunyai insting untuk melindungi Taeyong, dan bagaimana ia, entah secara sadar atau tak sadar, melakukan skinship dengan Taeyong lebih banyak daripada yang ia lakukan dengan anggota lain. Jaehyun hanya terlalu bodoh, terlalu keras kepala, terlalu memikirkan dirinya sendiri, hingga ia tidak menyadari perasaannya dan menyebabkan penderitaan pada sosok Taeyong.

Hingga ia butuh melihat Taeyong sekarat dulu untuk menyadari dan menerima sepenuhnya perasaan yang ia rasakan.

Dan yang paling membuat Minhyung yakin bahwa Jaehyun memiliki perasaan spesial untuk Taeyong adalah tatapan yang ia tujukan pada sosok pemimpin 127 itu.

Jenis tatapan penuh kasih sayang.

Jenis tatapan yang sama yang selalu Minhyung layangkan pada orang yang sama sejak satu tahun terakhir.

"Mark hyung, kau dimana?"

"Toilet!"

Minhyung menghela napas, memandangi kelopak-kelopak bunga mawar berwarna merah muda yang memenuhi lantai tempatnya berpijak.

Setidaknya Taeyong hyung sudah mendapatkan kebahagiaannya.

END.

Hanahaki Byou (Hanahaki Disease/Penyakit Hanahaki) adalah penyakit yang disebabkan oleh cinta sepihak, dimana si penderita akan batuk dan memuntahkan kelopak bunga. Penyakit ini dapat disembuhkan jika cinta si penderita terbalas. Selain itu, penyembuhan juga dapat dilakukan melalui operasi, namun perasaan si penderita juga akan turut hilang seiring dengan pengangkatan tanaman/bunga yang tumbuh. Jika tidak mendapatkan pertolongan, si penderita dapat meninggal dunia.

Penyakit Hanahaki itu hanya fiksi semata, asal-muasalnya belum terlalu jelas, tapi karena di internet sudah tersebar banyak fanfic dengan tema yang sama, jadinya terinspirasi untuk bikin cerita menggunakan penyakit fiksi yang satu ini. Oiya, maaf kalo ada arti/bahasa bunga yang salah, itu semua hasil dari nyari berbagai situs di internet, hehe.

Cerita ini rencananya bakal dijadiin kumpulan cerita (bisa dalam bentuk drabble, oneshot, twoshot, atau threeshot) dengan main pairing Jaeyong, tapi belum tau bakal jadi beneran atau ngga. Liat dulu feedback yang di dapet dari cerita ini :')

Thankyou for reading!