Bola mata crimson itu menatap langit yang perlahan berubah warna. Awan putih yang menggumpal berkumpul menjadi satu diikuti dengan hembusan angin dingin. 'Sebentar lagi hujan.'.

Sembari merapatkan mantel coklatnya yang sudah kusam, pemuda bersurai merah gelap itu menatap kawannya yang tengah duduk sembari menghisap sebatang rokok tanpa khawatir suatu saat benda candu itu akan membunuhnya.

"Kau sudah dapat, Aomine?" tanya pemuda bermantel coklat.

Aomine menggeleng pelan tanpa menatap si surai merah. "Kau boleh istirahat jika lelah, Kagami."

Bukan bermaksud mengejek, hanya ungkapan kepedulian yang disalah artikan oleh pemuda bernama Kagami tersebut. "Aku bisa." Dengusnya pelan.

Jalanan di kota memang selalu ramai bahkan dengan cuaca yang seperti ini. Mencari seseorang diantara berpuluh-puluh orang yang melintas di jalan seperti ini bukan perkara yang mudah. Tapi bersabar bukan hal yang buruk juga.

Aomine Daiki dan Kagami Taiga hanya sepasang manusia yang sudah mengenal cukup lama sehingga mereka berdua bingung dengan status mereka saat ini. Mereka tidak berpacaran, hanya saja mereka selalu mencari keberadaan eksistensi yang lainnya jika tidak bersama. Dan saat ini keduanya bekerja sebagai kurir pengantar barang, tentunya tidak terikat dengan instansi. Mereka bebas dan cukup berpengalaman. Tidak terlalu peduli apa barang yang mereka antarkan, asalkan mendapatkan bayaran yang lumayan mereka akan menerimanya.

Dan sekarang mereka tengah mencari keberadaan dari klien mereka. Sudah sepuluh menit mereka tidak datang dan sungguh itu membuat Aomine ingin sekali meninju seseorang.

Getaran di saku celana Aomine memecah keheningan diantara mereka berdua. Pemuda gelap itu langsung membuka sebuah pesan yang masuk dan menarik pemuda yang lebih tua 29 hari itu tanpa ancang-ancang.

"Oi, Aomine kita kemana?" Kagami tidak terima dirinya ditarik begitu saja.

"Dia menyuruh kita membawa barangnya ke tempat karoke dekat taman bermain. Sialan sekali mengganti tempat pertemuannya begitu saja." Jelasnya cepat.

"Ha! Lalu kenapa kita lari?" Kagami tidak mengerti.

"Pantas kau Baka!" teriak Aomine frustasi. "Jika kita tidak datang dalam waktu lima menit lagi, orang itu akan memotong bayaran kita."

Dan saat itu juga, pegangan ditangan Kagami berubah menjadi Kagami yang menarik tangan Aomine untuk berlari lebih cepat, tidak peduli dengan orang-orang yang memaki akibat tertabrak oleh mereka.

"Untitled"

Karakter Kuroko no Basuke tentu saja punya Fujimaki Tadatoshi

Warning

Ide cerita muncul begitu saja dari benak Leavi, jika ada kesamaan mohon maaf, kemungkinan Out of Character, typo, kata-kata kasar, dan lain sebagainya

Aomine sudah ingin memaki, sungguh! Kalau bisa dia ingin sekali meninju orang di hadapannya ini. Berterima kasihlah pada Kagami yang masih bisa menahan kemarahan Aomine.

"Dimana barangnya? Dimana barangnya? Kenapa kalian lama sekali hah?! Apa kalian tidak mau dibayar?!" pemuda yang menurut Aomine lebih muda empat tahun ini, berteriak layaknya orang sakau. Sesekali menenggak minuman alkohol yang entah sudah keberapa. Untung saja ruangan ini kedap suara, sehingga orang lain tidak perlu mendengar teriakan pemuda labil ini.

"Maaf, tapi bukankah kau yang membatalkan tempat perjanjiannya. Jadi kami agak terlambat." Jawab Kagami kalem, masih belum mau terbawa suasana.

"Aku tidak peduli! Aku mau barang ku, dimana barangku?! Cepatlah! Atau papa bisa menemukan ku." pemuda itu lagi-lagi berteriak.

'Papa?' Pikir Kagami dan Aomine sweatdrop.

Positif ! Bocah ini hanya anak orang kaya broken home yang lagi coba-coba masa mudanya dengan narkoba. Kagami geleng-geleng kepala melihat kelakuannya. Agak prihatin juga sebenarnya melihat keadaan pemuda yang lebih muda tersebut.

"Kau perlihatkan kami uangnya dan kami akan memberikanmu barangnya."

Tidak mau menunggu lama, pemuda itu melemparkan sebuah tas yang langsung Aomine cek kebenaran isinya. Yup! Sempurna.

"Senang bekerjasama denganmu." Kagami langsung memberikan barang yang dipinta oleh pemuda itu dalam bentuk buku sampul. Tentu saja si pemuda tidak bodoh untuk mengetahui apa yang ada di balik buku tersebut.

"Kalau begitu kami pamit." Aomine berdiri ingin segera pergi dari tempat tersebut. Diikuti dengan Kagami yang sudah bosan dengan tingkah kliennya.

"Oh ya, aku sarankan sebaiknya kau jangan menggunakan barang itu sekarang." Telunjuk tangannya mengarah ke buku sampul. "Atau papa mu bisa menemukan mu dalam keadaan sekarat." Saran Kagami yang lebih menjurus ke rasa khawatir sebenarnya.

xxxxxx

Bola mata crimson itu menatap hujan dari balik jendela kamarnya. Cukup deras yang diikuti dengan kilatan petir yang berbunyi sesekali. Terlambat beberapa menit saja mungkin mereka berdua tidak akan bisa tiba di tempat tinggal mereka atau lebih parahnya harus menunggu beberapa jam agar hujan berhenti. Kagami tidak mau membayangkan itu.

Secangkir coklat hangat mengalihkan pandangannya dari suasana di luar, untuk mendapati Aomine yang tengah berdiri sembari memandangnya datar. "Minumlah." Kagami menerima coklat hangat itu. "Jangan terdiam seperti itu. Mukamu jelek." Lanjutnya. Kagami langsung menggerutu tidak suka.

Mereka berdua tinggal di apartemen sederhana tidak jauh dari kota. Tentunya mereka berdua sekamar untuk memperkecil biaya pengeluaran. Sudah lima tahun mereka tinggal di apartemen tersebut dan sudah selama itu juga mereka melakukan pekerjaan mereka.

"Aomine, hari ini selesaikah?"

"Hmm, sepertinya begitu. Tidak ada lagi yang meminta jasa kita." Jawab Aomine yang entah saat ini sedang ada dimana.

"Hah syukurlah. Mungkin aku akan menggerutu seharian jika kita melakukan pekerjaan di tengah hujan seperti ini." Gumam Kagami. "Oi Aomine?"

"Ya?"

"Apa yang kau lakukan?"

"Di dapur, memasak. Lapar."

Cukup dengan jawaban singkat seperti itu, Kagami membawa dirinya ke dapur meninggalkan coklat hangatnya untuk segera menyelamatkan dapur kesayangannya. Bisa gawat jika Aomine sudah berada di dapur.

"Apa yang kau lakukan Ahomine?!" teriak Kagami murka melihat dapurnya sudah berantakan. Yang ditanya hanya tersenyum bodoh layakan bocah umur lima tahun.

"Memasak. Kau tidak lihat?" canda Aomine.

Kagami langsung merebut pisau yang di pegang pemuda gelap itu. Jika saat ini kepalanya tidak berdenyut nyeri mungkin dia akan senang hati meladeni partnernya itu. "Kau ingin apa?"

Pemuda virgo itu tersenyum. "Terserahmu, aku akan memakan apapun yang kau masak."

Dan setelahnya sebuah pukulan melayang tepat di perut Aomine. "Jangan tersenyum seperti itu, Aho!" teriak Kagami malu.

Selalu saja seperti itu, Aomine tidak akan pernah bosan menggoda Kagami. Dilihat darimanapun pertemuan mereka ini seperti takdir.

TING TONG

"Aomine kau buka pintunya."

Tanpa disuruhpun, dirinya sudah melangkahkan kakinya menuju pintu. Tidak lupa mengambil sebuah pisau lipat yang selalu berada di saku celananya, tidak salah bukan untuk berjaga-jaga. Kali saja ada yang dendam dengan meraka.

"Mou, Dai-chan buka kan pintunya. Aku tau kau di dalam."

Aomine mendengus pelan mendengar teriakan samar seorang gadis. Dibukanya pintu coklat tersebut yang lalu disambut dengan pelukan hangat dari seorang gadis bersurai pink panjang.

"Cih! Satsuki lepaskan, kau berat tau."

"Tidak sopan mengatakan itu pada seorang gadis, Dai-chan." Gerutu gadis itu kesal. "Loh, dimana Kagamin?" Kepalanya menoleh kesana-kemari untuk sekedar mencari batang hidung dari pemuda leo itu.

Aomine tidak berminat menjawab, lebih memilih untuk merebahkan tubuhnya di sofa merah.

"Aomine, siapa?" teriak Kagami dari arah dapur.

"Satsuki."

Momoi Satsuki, tetangga bisa dibilang seperti itu sekaligus mantan pacar Aomine. Apartemennya berada tepat disamping mereka. Kuliah di jurusan psikologi dan sesekali bekerja sambilan di sebuah toko kue.

"Kagamin sedang apa?" Momoi meletakan kue bawannya di atas meja.

"Memasak." Jawab Aomine malas.

"Kagamin memasak? Sepertinya aku datang di saat yang tepat." Bolamatanya berbinar bahagia. Aomine mendecih tidak suka.

"Oh ayolah, Dai-chan. Kau tidak boleh curang. Kagamin bukan milikmu seorang oke." Goda Momoi dibalas dengan tatapan mematikan dari Aomine.

Jika Aomine suka sekali menggoda Kagami, lain halnya dengan Momoi. Mantan pacar Aomine itu sangat suka menggodanya. Tentu saja hal itu menjadi kesenangannya tersendiri dikala bosan dengan kehidupan kuliah serta tugas-tugasnya yang menumpuk.

"Aomine, aku hanya bisa membuat nasi kare untuk makan kita. Persedian di kulkas menipis." Kagami bergabung dengan membawa tiga buah piring berisikan nasi kare. Momoi menatap takjub masakan tersebut dan tidak sabar untuk memakannya.

"Kagamin, apa aku boleh mencicipinya?"

"Tentu, aku sudah menyiapkan satu untukmu."

Momoi langsung memeluk Kagami erat, tidak peduli dengan tatapan tajam yang dilontarkan oleh Aomine. "Kagamin! Kau memang yang terbaik."

"Mo-Momoi, a-aku tidak bisa bernapas."

"Maafkan aku ya." Sama sekali tidak terdengar nada penyesalan dari kalimat itu.

Chess cake yang di bawa oleh Momoi sengaja Kagami letakan di dalam kulkas untuk sengaja dijadikan hidangan penutup bagi mereka.

"Bagaimana kabar mu, Momoi?"

Momoi berbinar gembira mendengar pertanyaan Kagami sebelum wajahnya berubah suram. "Aku bersyukur kau bertanya, Kagamin. Tidak seperti si mesum yang tidak tau diri itu."

"Siapa yang kau panggil mesum?"gerutu Aomine.

Kagami terkadang bingung kenapa Aomine dan Momoi berpisah. Setiap kali dia menanyakan hal itu pada Aomine, pemuda itu pasti selalu diam tidak mau memberitahu. Sedangkan Momoi, dia akan tersenyum penuh arti sembari berkata 'Kau akan tau.'.

Kita kembali ke Momoi. "Yah seperti biasa tugas, tugas dan tugas. Setahun lagi dan aku bisa bebas dari ini semua." Jelasnya. "Ah ya, dan kalian? Bagaiman dengan pekerjaannya?" Agak tidak enak jika menyinggung pekerjaan kedua pemuda itu, karena yang Momoi tau mereka tidak terlalu terbuka tentang pekerjaan mereka.

"Tidak buruk, walaupun terkadang menyebalkan." Itu Aomine yang jawab.

Suara hujan terkadang menjadi backsound tersendiri dikala mereka kehabisan kata-kata. Dan Aominelah yang terkadang merusak suasana itu dengan pertengkaran kecil.

"Ah! Aku harus kembali ke kamar ku segera. Maaf Kagamin, tapi chess cakenya buat kalian saja. Semoga kalian suka." Momoi menenggak segelas air mineral cepat, sebelum berdiri meninggalkan kedua pemuda yang masih menikmati sisa karenya.

"Ah ya, semoga tugas mu cepat selesai." Ucap Kagami yang di balas senyuman oleh Momoi.

BLAM

"Akhirnya dia pergi juga. Entah kenapa jika dia datang, kamar kita jadi berisik." Gumam Aomine.

Kagami tertawa pelan, kepalanya berdenyut nyeri. "Bukankah itu menyenangkan." Kagami bangkit dari duduknya berniat mengambil chess cake di dalam kulkas sebelum langkahnya terhuyung lemas.

Aomine tidak menyadarinya. Tapi ketika melihat tubuh Kagami yang mulai limbung itu, jantungnya langsung berdetak kencang. Kakinya bergerak begitu saja untuk menangkap Kagami.

"Ka-Kagami?"

Kagami memejamkan matanya menahan pusing di kepalanya. Tangannya tanpa sadar mencekram kaos yang dikenakan Aomine.

"Oi Kagami?" Aomine menepuk pipi Kagami berusaha untuk menyadarkannya.

Bohong kalau Aomine tidak panik. Melihat Kagami yang seperti ini adalah hal yang paling tidak ingin dia lihat.

"Aomine." Gumam Kagami pelan. Perlahan matanya terbuka mendapati wajah Aomine yang panik. Rasanya ingin sekali Kagami tertawa. "Wajahmu itu, aku jadi ingin tertawa. Haha..."

"Geez, entah kenapa aku ingin membuang mu dari lantai tujuh." Candanya. Tapi Aomine bersyukur pemuda itu masih bisa tertawa walaupun tertahan.

"Sepertinya anemia ku kambuh."

Kalau diperhatikan dengan seksama, Aomine baru menyadari kulit dan bibir Kagami yang pucat. Melihat itu entah kenapa semakin membuat dirinya merasa kesal. Kenapa dia tidak menyadarinya dari awal. "Jangan membuatku khawatir, Taiga." Gumamnya.

Kagami tersentak. Sedikit merasa bersalah ketika melihat wajah Aomine yang sangat bukan Aomine.

"Maaf." Ucapnya tulus, sembari menepuk pipi Aomine pelan. "Bisa kau bawa aku ke tempat tidur? Kaki ku rasanya seperti jeli."

Aomine menghela napas lega, setidaknya Kagami masih bisa bercanda.

Dengan perlahan Aomine mengangkat tubuh yang menurutnya ringan itu dengan hati-hati, sebelum diletakan di atas kasur mereka. "Dimana obat mu?"

"Tidak perlu, biarkan aku tidur dan aku akan kembali seperti semula." Gumamnya.

Aomine tidak bisa memaksa, ada kalanya dia mengalah karena mengerti dengan kemauan Kagami. Mereka sudah mengenal lama dan Aomine mengerti betul betapa bencinya Kagami dengan obatnya itu.

"Tidurlah, aku akan menemani mu setelah membereskan sisa makan kita."

Kagami menahan lengan pemuda itu pelan. "Jangan kau pecahkan piring-piring itu oke." Senyumnya.

Entah itu larangan atau apa, yang pasti Aomine mengerti kalau itu sebuah ejekan. Memangnya dia separah itu sampai mencuci piring saja tidak bisa. Dengan sebuah kecupan ringan di dahi Kagami, Aomine tersenyum memandang pemuda yang lebih tua darinya itu. "Ya, kau bisa percaya padaku."

Wajah Kagami memerah. "Aku membenci mu, Daiki."

"Ya, aku juga mencintaimu Taiga."

xxxxxx

Saat itu suasana panti asuhan begitu sepi. Malam hari setiap anak diwajibkan untuk tidur. Tapi seorang bocah bersurai merah gelap sama sekali tidak bisa tertidur karena tubuhnya yang sedang kurang fit. Haus, itulah yang dia rasakan.

Dengan perlahan dia melangkahkan kakinya ke arah dapur, takut membangunkan pengawas mereka yang menurutnya seram itu. Bola matanya membulat ketika melihat seorang bocah seusinya tengah meringkuk kesakitan. Niat ingin membantu seketika tertahan ketika bocah bersurai navy itu menggumamkan kata 'jangan kemari.' Kepadanya.

Bola mata crimson itu kembali melihat salah satu ibu pantinya menghampiri bocah navy itu dengan membawa rotan. Tanpa diberitahupun, bocah merah itu mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tidak tega melihat bocah navy itu akan dipukul, si merah datang dan berdiri sembari merentangkan tangannya, melindungi si navy. "Jangan pukul dia, aku mohon."

Bukannya berhenti, ibu panti itupun menampar pipi si merah hingga bocah itu terjatuh. "Jangan ikut campur, bocah. Aku ingin memberi pelajaran kepada bocah kurang ajar ini."

Si merah melihatnya. Betapa kesakitannya temannya itu. Betapa kejamnya ibu panti itu memukul si navy. Si merah menangis, tidak bisa membantu. Dia sungguh merasa tidak berguna.

'Jangan menangis.' Gumam si navy di tengah rasa sakitnya.

Melihat hal itu semakin membuat dirinya merasa bersalah. Dia tidak peduli, tubuhnya bergerak begitu saja memeluk si navy dan seketika itu juga rasa sakit langsung menyebar ke seluruh tubuhnya.

'Kagami'

"...Gami?"

"Kagamin!"

"Mou, Kagamin ini sudah pagi."

Bola mata crimson itu terbuka lebar. Rambutnya basah oleh keringat, dan jantungnya berdetak sangat cepat. 'Mimpi?' Kagami bangkit dari tidurnya sekedar mencari keberadaan dari partnernya itu. "Aomine?"

"Oh, Dai-chan sudah pergi dari tadi pagi Kagamin. Katanya ada urusan di luar sana."

Kagami memegang kepalanya bingung. 'Sudah pagi? Selama itukah aku tertidur.'

"Ah, lalu apa yang kau lakukan disini?"

Momoi meletakan dua piring nasi goreng dan dua gelas jus jeruk di meja sebelum duduk berniat untuk sarapan pagi. "Dai-chan menitipkanmu padaku. Dia bilang jangan membangunkan mu, tapi 30 menit lagi aku harus ke kampus. Terpaksa aku harus membangunkan mu."

Kagami mengangguk paham.

"Makanlah. Walaupun tidak jago, setidaknya aku masih bisa memasak nasi goreng." Kagami tertawa pelan ikut menikmati sarapan pagi itu.

Setelah dikiranya selesai, Momoi pun pamit untuk pergi ke kampus. "Kalau begitu aku pergi. Sampai jumpa Kagamin!"

"Hati-hati."

Dan tinggallah Kagami seorang diri bingung harus melakukan apa. Biasanya mereka melakukan pekerjaan berdua, walaupun terkadang terpisah. Tapi itu jika Aomine yang meminta karena biasanya Aominelah yang memimpin.

Sudah pukul satu siang dan Aomine belum juga pulang. Kagami tidak bisa merasa tenang walaupun Aomine sudah mengirimnya sebuah pesan.

'Aku akan pulang, sebentar lagi. Jangan khawatir.'

Selama lima tahun melakukan pekerjaan ini, bukan berarti mereka tidak pernah kena masalah. Di kejar polisi hingga terjadi adegan saling memukul pun pernah mereka rasakan. Beruntungnya sampai saat ini mereka masih hidup.

TING TONG

Kagami tersentak dan langsung menghampiri pintu.

"Aku pulang."

"Kau la..." Perkataan Kagami terhenti ketika melihat seorang pemuda bersurai kuning dengan pakaiannya yang lusuh berdiri di belakang Aomine. "Kenapa kau tidak memberitahuku kita akan ada tamu?" tanya Kagami.

Pemuda itu tersenyum lebar.

Aomine yang baru saja menenggak air mineralnya terbatuk pelan. "Dia bukan tamu, dia klien kita kali ini."

Kagami kembali menatap pemuda kuning itu, sebelum mempersilahkannya masuk.

"Terima kasih." Ucapnya. "Wah, tempat tinggalmu rapih ssu. Apa kau yang merapikannya Aominecchi?"

'Aominecchi?' pikir Kagami.

Pemuda virgo itu mendengus tidak suka. "Bukan urusanmu. Sebaiknya kau duduk dan langsung bicarakan apa mau mu."

Pemuda bersurai kuning itu tertawa sebelum ikut duduk di sofa yang kosong.

Kagami yang masih belum mengerti apa yang terjadi, duduk di samping Aomine sembari berbisik pelan. "Kau mengenalnya? Kalian akrab." Tanyanya polos.

Aomine mencubit pipi Kagami gemas. "Dia klien kita, aku baru mengenalnya."

Kagami mengelus pipinya tidak suka, sebelum mengalihkan pandangannya ke pemuda kuning itu. Entah kenapa Kagami merasa ada yang aneh dengan orang ini.

"Namaku Kagami Taiga. Tidak sopan jika aku bertanya namamu sebelum aku memperkenalkan diri. Dan sepertinya kau sudah mengenal Aomine." Ucap Kagami.

"Ya begitulah. Tadi aku sempat berbicara sedikit dengannya ssu. Namaku Kise Ryouta. Salam kenal." Jelasnya tanpa menghilangkan senyumnya yang lebar. "Kalian berpacaran?" tanyanya langsung.

Baik Kagami dan Aomine sama-sama menggelengkan kepala mereka pelan. Bedanya, Aomine merangkulkan lengannya posesif di pundak Kagami sembari menatap Kise tajam.

Kise hanya tersenyum melihat itu dan tertawa. "Aku sebenarnya cukup tertarik dengan Aominecchi ssu."

Kagami menatap Aomine bingung. Dan Aomine menatap Kise tajam. "Kau suka dengannya Aomine?" tanya Kagami.

"Tidak." jawabnya cepat. Dan kise berpura-pura menangis mendengar itu. "Jahatnya ssu."

Suasana berubah menjadi hening. "Jadi begini..." Kise memulai pembicaraan. "Saat ini aku sedang bingung dan tidak tau harus melakukan apa ssu."

Aomine dan Kagami diam mendengarkan.

"Sejujurnya saat ini aku tengah kabur dari orang yang menculikku ssu."

"Kau korban penculikan?" tanya Kagami.

Kise mengangguk. "Kemarin aku berhasil kabur dari mereka. Karena ponsel dan uangku tidak ada, aku jadi bingung harus melakukan apa ssu. Untungnya tadi pagi ada seorang gadis yang berbaik hati memberikan ku minum. Dia sangat cantik. Akupun berbicara padanya, bertanya apakan ada jasa bodyguard di sekitar sini atau tidak ssu." Jelasnya. Raut wajahnya selalu berubah mengikuti perasaan hatinya.

Aomine sudah mau menyelak tetapi ditahan Kagami. 'Biarkan dia bercerita.' Bisiknya.

"Dia sepertinya tidak tau. Tetapi dia memberitahukan ku jika aku ingin mengirim barang atau sesuatu, aku bisa menemui Aomine Daiki atau Kagami Taiga. Setelah itu dia memberikan ku alamat dan tadaaaa, aku ada di depan apartemen dan bertemu dengan Aominecchi."

Seketika itu juga Aomine dan Kagami sweatdrop mendengar penjelas Kise. 'Gadis itu pasti Satsuki/Momoi.' Pikir keduanya. Entah senang atau sedih. Disatu sisi mereka senang karena dapat pekerjaan, tetapi yasudahlah.

"Tunggu, kenapa kau tidak lapor polisi?" tanya Aomine.

"Aku tidak mau berhubungan dengan polisi dan sejenisnya ssu. Nanti akan bertambah sulit urusaannya. Kalian mau kan membantuku?" Kise merajuk layaknya seorang anak kecil.

"Tapi kau tau kan kami ini pengantar barang." Jelas Kagami.

"Sama saja ssu! Kalian hanya perlu mengantarku kembali ke rumah dan setelah itu kalian akan dapat bayaran dan selesai."

'Kau manusia, bukan barang.' Pikir Kagami.

"Aku pinjamkan kau ponsel, hubungi keluarga mu dan suruh menjemput mu." Tawar Aomine.

Kise tertawa pelan. "Sejujurnya aku tidak pernah ingat nomor telepon rumah ku dan sejenisnya ssu."

Aomine menepuk wajahnya pelan. Di zaman sekarang masih ada yang tidak hapal nomor telepon keluarganya. Mungkin orang ini akan sangat menyusahkan nantinya. Ditambah dia baru saja lari dari orang yang menculikanya. Urusannya mungkin akan panjang jika membantu pemuda ini.

"Tidak bisa. Kami tidak bisa membantu mu." Ucap Aomine.

"Kenapa?" tanya Kise dan Kagami bersamaan.

Pemuda virgo itu menatap Kagami. Ada alasan tersendiri kenapa dia menolak permintaan Kise. Dia tidak bisa membuat Kagami dalam bahaya, lagi pula ini pertama kalinya mereka menjadi pengawal seseorang.

"Aku kira Aominecchi tipe orang yang suka tantangan ssu." Sepertinya Kise berhasil menarik perhatian Aomine.

"Baiklah aku terima, tetapi hanya aku yang pergi."

"Diterima. / Tidak bisa!" Jawab Kise dan Kagami bersamaan.

Kagami maju mendekati Aomine meminta penjelasan lebih. "Kau pergi aku juga pergi. Bukankah selalu seperti itu?"

Aomine menggeleng. "Kali ini aku yang pergi, kau lakukan pekerjaan lainnya."

Jika terus seperti ini Aomine tidak akan mengalah. Dia sama keras kepalanya seperti Kagami. Maka itu, Kagami mencengkram kerah baju Aomine dan menatapnya tajam. "Aku tantang kau bertarung Daiki. Kau menang aku akan menyerah untuk ikut. Dan jika aku menang kau yang mengalah." Tantangnya.

Aomine tidak menjawab. Dia tidak bisa. Dia tidak akan bisa melukai pemuda merah itu. Biasanya Kagami akan menurut jika dia disuruh untuk berdiam di apartemennya. Tetapi sekarang berbeda.

"Aku akan setuju jika itu pekerjaan yang seperti biasanya. Tetapi sekarang kau tidak bisa melakukannya sendiri." Desis Kagami.

Ya, Aomine tau. Kagami hanya mengkhawatirkannya. Mungkin saat ini dia terlalu egois sehingga tidak menyadari perasaan partnernya itu. Tangan besar itu mengelus surai merah gelap itu dengan lembut. "Maafkan aku. Aku tidak menyadarinya."

Kagami menatap Aomine. Cengkramannya mengendur setelah melihat Aomine yang menatapnya tulus. Dan setelah itu Kagami mengerahkan seluruh tenaganya untuk meninju wajah sok polos partenernya itu, "Jangan tersenyum seperti itu, brengsek!"

BRUGH

Aomine pingsan tidak sadarkan diri. Kise yang melihat itu bertepuk tangan takjub melihat kekuatan Kagami. "Wah, Kagamicchi kuat sekali ssu."

'Ka-Kagamicchi?'

"Biarkan dia seperti itu." Ucap Kagami menghentika Kise yang ingin melihat keadaan Aomine.

"Oke, jadi kalian akan membantuku?"

Kagami menghela napasnya lelah. Mungkin ini bukan pilihan yang buruk, mereka akan mencoba sesuatu yang baru. "Ya, kami akan membantumu."

Kise tersenyum mantap mendengarnya. " Sebelum itu, apa kalian mempunyai sebuah pistol?"

"Ha?"

To be continued

Leavi hadir! Sepi ya.. haha

Hanya sekedar berceloteh dikit. Judul untitled karean Leavi tidak tau harus memberikan judul apa. Dan belum pasti juga akan melanjutkan fanfic ini atau tidak. Walaupun draft chapter 2 sedang dikerjakan.

Dan untuk yang masih menunggu fanfic "Together" maaf belum bisa dilanjut. Karena belum dapat pencerahan.

Selamat yang sudah mulai memasuki jenjang perguruan tinggi. Dan semangat yang sedang berjuang untuk lulus dari perguruan tinggi. Selamat libur panjang.

Meski begitu, Leavi masih ingin melihat review kalian...