"Hei, ayo kita pergi ke taman bermain yang baru dibuka itu!" ajak gadis bersurai biru muda dengan bersemangat.
Pemuda yang berjalan paling kanan melirik sekilas ke arah si gadis. "Kita ini sudah SMP, dasar bocah," sahutnya datar.
"Memangnya kenapa kalau sudah SMP, tidak ada larangan kan anak SMP masuk taman bermain," protes si gadis.
"Setidaknya bersikaplah lebih dewasa, sikapmu yang sekarang masih kekanak-kanakan tahu. Dasar bocah," ujar si cowok sambil menghela napas.
"Berhentilah mengataiku bocah, shota. Kalau kau tidak mau ikut. Aku bisa pergi bersama dengan Teto-chan," ucap si gadis sambil menjulurkan lidahnya.
Teto yang bejalan di tengah-tengah mereka berdua segera menyahut lebih tepatnya melerai, "Sudahlah Ring-chan, Nero-kun. Ayo kita pergi bersama-sama. Lagipula sudah lama aku tidak pergi ke taman bermain. Aku ingin pergi ke sana bersama kalian berdua."
Nero menatap wajah Teto yang tersenyum manis lalu menghela napas panjang. "Terserahlah," ucapnya pada akhirnya.
Ring langsung memeluk Teto. "Waaa arigatou Teto-chan, kau memang sahabat paling baik sedunia. Aku sayang padamu!" seru Ring seraya mendekap Teto erat.
Teto hanya tersenyum menanggapinya. "Ring-chan dan Nero-kun juga sahabatku yang paling baik sedunia. Aku sayang kalian berdua," ucapnya.
Ring mengangguk senang lalu ia melepaskan pelukannya dan berlari kecil ke depan sambil berputar-putar dan bersenandung riang.
Teto yang melihatnya langsung tertawa kecil sambil berkata, "Hahahaha sepertinya Ring-chan senang sekali."
Nero memutar bola matanya malas. "Seharusnya kau tidak perlu memanjakannya," ucapnya.
"Kau terlalu keras padanya, Nero-kun. Bersikaplah lebih manis ke Ring-chan," ujar Teto menasehati.
Tiba-tiba Nero menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menghadap Teto. Teto sedikit kaget dan langsung menghentikan langkahnya juga. Dia menatap Nero dengan pandangan bingung.
"Heeii, kenapa kalian lama sekali. Aku tinggal lho!" seru Ring yang sudah berada cukup jauh di depan.
Teto bisa melihat Ring yang sedang melambaikan tangannya di balik punggung Nero. Dan seketika kedua mata Teto melebar.
"Teto, sebenarnya aku-"
Nero tidak bisa menyelesaikan perkataannya begitu Teto langsung berlari menabrak sebelah pundaknya. Nero menoleh ke belakang dan seketika matanya ikut melebar begitu melihat-
"AWAAAASSSS!"
-ada sebuah truk yang berjalan cepat ke arah Ring.
Ring yang melihat kedua temannya berlari ke arahnya dengan wajah panik hanya bisa memasang wajah bingung. Lalu ia menoleh ke arah kanan dan mendapati ada sebuah truk yang mengarah padanya. Tinggal beberapa senti lagi sampai truk itu menabraknya dan-
BRRRUUUKKK
-tubuh Ring terlempar. Ia sempat mendengar teriakan Nero dan ia langsung sadar kalau yang dipanggil Nero bukanlah namanya melainkan Teto.
Ring bisa melihat dari pinggir jalan tubuh Teto yang bersimbah darah. Ring bisa melihat Nero yang berlari menghampiri Teto dengan wajah panik dan ketakutan. Ring bisa melihat banyak orang yang mulai mengerumuni mereka berdua. Tapi sebelum Ring bisa bangkit dan berjalan menghampiri mereka. Kepala Ring tiba-tiba merasa pusing dan seketika semuanya gelap.
.
.
Sequel of fanfic "Lovers"
.
.
Lovers 2 : Cupid
.
.
Prolog
Disclaimer : Vocaloid © Crypton Future Media
~Lovers 2 : Cupid~ © Crayon Melody
Rated : T
Genre : Romance ; Drama
Warning : Typo, abal, gaje, alur kenceng, nggak nyambung, dll
A/N : Fic ini kami bertiga (Milky Holmes, anaracchi, dan Miss Panda) persembahkan spesial untuk semua anak "Role Play Athena Academy" terutama untuk karakter RP NeroRing (semoga cepat jadian ya~), IOS, dan OliFoko. Tak lupa, tentu saja untuk semua pembaca di fandom vocaloid. Semoga kalian menyukai fic hasil collab kami bertiga. Dan jangan lupa tinggalkan jejak di kotak review ya ;)
.
.
Please Enjoy Reading
.
.
~Lovers 2 : Cupid~
.
.
Normal POV
.
.
Ring berjalan dengan gontai menuju ke sekolahnya. Pandangan matanya yang suram terus menerus menunduk menatap jalanan yang ia lalui. Dirinya terus berjalan dalam kesendirian. Kontras sekali dengan beberapa murid lain yang berjalan beriringan dengan teman-temannya dan sesekali mereka tampak tertawa bersama. Dulu Ring pernah seperti itu. Dia pernah berangkat sekolah bersama teman-temannya dan sesekali bercanda ria. Tapi itu dulu hingga akhirnya Ring menutup diri dan jatuh dalam kesendirian. Tapi ia tidak menyesalinya. Satu-satunya yang ia sesali sepanjang hidupnya adalah-
"Nero, selamat pagi!"
-kematian sahabatnya, Teto.
Ring menghentikan langkahnya begitu mendengar nama yang dulu pernah menjadi sahabatnya. Ring mendongakkan kepalanya dan matanya tanpa sengaja bertemu dengan sepasang iris emas itu. Tapi sedetik kemudian, Nero memalingkan wajahnya dan berjalan bersama temannya, Rinto untuk menuju ke kelasnya.
Ring menggigit bawah bibirnya. Perasaan bersalah mulai hinggap di hatinya. Dia tahu Nero membencinya sekarang dan ia tidak bisa menyalahkannya. Karena pada akhirnya ini semua memang salahnya. Gara-gara dirinya, Teto harus kehilangan nyawanya.
.
.
.
Ring terbangun dengan perban yang melilit di kepalanya. Ia mengabaikan kepalanya yang masih pusing dan segera mengganti posisi berbaringnya ke posisi duduk. Sepasang matanya mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan Ring mengambil kesimpulan kalau dirinya sekarang berada di rumah sakit. Tiba-tiba ia teringat dengan peristiwa sebelum ia pingsan dan matanya mulai membulat sempurna. Ring langsung beranjak dari ranjangnya dan segera keluar ruangan.
Begitu keluar Ring mendapati kedua orang tua Teto dan juga Nero sedang duduk di depan sebuah pintu bertuliskan UGD. Ibu Teto tampak sedang menangis dan Ayah Teto sedang menenangkan istrinya itu walau tidak bisa dipungkiri ada setitik air yang menggenang di sudut matanya. Sedangkan Nero sendiri, dia tampak duduk dalam diam.
Ring pun mulai melangkahkan kakinya menghampiri Nero dan seketika ia terkejut begitu melihat ekspresinya. Tatapannya begitu kosong bahkan Nero tidak menyadari bahwa Ring sekarang sudah berdiri di depannya. Tanpa ia sadari, air matanya mulai jatuh mengalir di kedua pipinya. Ring menangis, ia menangis karena ia merasa bersalah.
.
.
.
"Baiklah untuk kelompok selanjutnya ; Kagamine Rinto, Kagami Lenka, Hatsune Mikuo, Suzune Ring-"
Ring menghela napas lega. Ia sedikit lega karena berpasangan dengan Lenka. Dari semua teman sekelasnya, mungkin Lenka yang cukup ia kenal. Mungkin karena mereka memiliki kesamaan yaitu tidak suka berbaur dengan yang lain. Walau alasan mereka melakukan itu berbeda.
"-dan yang terakhir Akita Nero," ucap sensei mengakhiri pembagian kelompoknya.
Kedua mata Ring langsung membulat. Dari dua puluh empat siswa di kelas ini, Ring paling tidak ingin satu kelompok dengan Nero. Sekarang ia harus bersikap bagaimana? Apa ia harus bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara mereka? Tapi itu mustahil biar bagaimanapun Ring masih mengingat dengan jelas bagaimana tubuh Teto yang tergeletak bermandikan darahnya sendiri di jalanan. Mana mungkin ia bisa melupakan itu. Bisa dibilang ini adalah hukumannya. Sampai kapanpun dirinya akan selalu dihantui rasa bersalah dan melihat Nero membuat rasa bersalahnya makin besar.
"Seharusnya aku saja yang mati?" gumamnya lirih.
.
.
.
Ring masih tidak percaya bahwa Teto sudah pergi untuk selama-lamanya. Tapi makam Teto di hadapannya membuatnya mau tak mau harus percaya bahwa Teto sudah meninggal. Para peziarah termasuk orang tua Teto sudah pergi sedari tadi, meninggalkan Ring dan Nero yang masih diam terpaku di hadapan batu nisan sahabat mereka yang sudah tiada.
"Hiks."
Ring menoleh dan mendapati Nero yang sedang menangis terisak. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, pasti ia sudah sangat terluka sekali begitu kehilangan Teto juga. Tangan Ring perlahan mulai menggapai Nero, berniat untuk menenangkannya walau sebenarnya hatinya juga sedang tidak tenang. Tapi melihat Nero dalam keadaan seperti ini, membuat dirinya ikut merasa terluka juga.
Tapi sebelum tangan Ring berhasil meraihnya. Nero berkata, "Aku tidak apa-apa."
Tanpa mengatakan apapun lagi, Nero langsung berbalik dan berjalan meninggalkan Ring. Sikap Nero barusan seolah mengatakan pada Ring bahwa ini semua salahnya. Tanpa diberitahupun, Ring sudah tahu. Seandainya dia tidak ceroboh dan lebih melihat sekitar. Teto mungkin masih bersama dengan mereka. Masih dengan senyuman manisnya.
Ring menangis. Dirinya sudah cukup terluka begitu tahu sahabatnya meninggal karena kesalahannya. Ring sudah tidak sanggup jika Nero juga harus membencinya.
"Teto, apa yang harus kulakukan hiks."
.
.
.
Setelah pemakaman Teto. Ring bersama keluarganya pindah ke Tokyo karena pekerjaan Ayahnya. Sejak itulah Ring tidak pernah bertemu maupun berhubungan dengan Nero lagi dan Nero pun juga tidak menghubunginya. Hingga akhirnya saat ia masuk di hari pertamanya di Vocaloid High School. Siapa sangka Ring akan bertemu kembali dengan Nero. Lebih tidak disangkanya lagi, mereka berada pada satu kelas dari tujuh kelas yang ada.
Ring mendesah. Tak bisakah Tuhan membiarkannya menenangkan batinnya terlebih dahulu. Dengan pertemuannya dengan Nero kembali membuat batin Ring semakin berkecamuk. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa Nero benar-benar membencinya. Meski sebagai teman sekelas, mereka tak pernah mengobrol. Bukan berarti Ring tipe orang yang punya banyak teman. Dia tidak punya teman disini. Temannya hanya Nero dan Teto. Tapi sekarang Teto sudah meninggal dan Nero membencinya. Ring yang sekarang sudah tidak punya kemampuan untuk berteman dengan siapapun. Karena tiap kali ia ingin berteman, perasaan bersalah mulai mehantui pikiran dan hatinya.
Ring melirik sekilas ke bangku Nero dan mendapati ia sedang tertawa bersama teman satu ekskulnya, Rinto. Ring tersenyum tipis, setidaknya sekarang Nero sudah tidak menunjukkan wajah murungnya lagi seperti dulu. Walau ia masih menunjukkan tatapan dinginnya pada Ring. Tapi Ring sudah menerimanya. Lebih tepat ia pasrah menerima perlakuan dingin Nero padanya. Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi bahwa mereka akan berteman lagi seperti dulu. Walau sejak kecil, dirinya dan Nero selalu bertengkar karena hal sepele dan saat itulah selalu ada Teto yang selalu menengahi mereka. Teto sudah seperti kakak bagi Ring dan Nero. Meskipun di mata Nero, Teto lebih dari sekedar kakak baginya. Biar bagaimanapun Nero sudah kehilangan orang tuanya sejak kecil dan ia tidak memiliki adik maupun kakak. Setelah kematian orang tuanya, Nero diasuh oleh kakek dan neneknya. Tidak heran jika kematian Teto membuatnya sangat terpukul. Ring tersenyum pahit, sepertinya sampai kapanpun ia tidak akan bisa menggantikan posisi Teto bagi Nero.
.
.
.
Sekarang mereka bertiga sudah SMP dan hari-hari masa remaja merekapun dimulai. Ring sangat antusias sekali di hari pertama masuk sekolah. Meski ia sempat sedih karena tidak berada di kelas yang sama dengan Teto dan Nero, kelas 1-A. Tapi Teto menyemangatinya dan mengatakan bahwa Ring boleh berkunjung ke kelas mereka atau mereka yang akan datang ke kelas Ring.
Dan tanpa Ring sadari, hubungan Teto dan Nero menjadi sangat dekat. Mereka bertiga memang sudah dekat sebelumnya. Tapi kali ini Ring merasa jauh dengan Teto dan Nero. Apa mungkin karena Ring tidak sekelas dengan mereka? Memang lebih masuk akal jika begitu. Sampai akhirnya-
"Ring-chan, aku dan Nero akan pergi ke suatu tempat terlebih dahulu," ucap Teto begitu mereka bertemu di lorong.
"Heh kemana?" tanya Ring penasaran.
Teto menggaruk pipinya. "Etto kami mau pergi mencari bahan untuk tugas kami," jawabnya.
Ring memiringkan kepalanya. Dilihatnya Nero hanya diam saja di samping Teto.
Entah kenapa perasaan Ring menjadi tidak nyaman. "Kalau begitu aku ikut ya!" seru Ring tiba-tiba.
"Apa?! Eh baiklah. Tidak apa-apa kan, Nero-kun?" tanya Teto meminta persetujuan.
"Yah, kita bisa memanfaatnya untuk membawa barang belanjaan kita nanti," sahut Nero.
"Nero-kun, kau tidak boleh begitu pada Ring-chan," omel Teto sambil memukul lengan Nero pelan.
"Hehehehe, aku hanya bercanda kok," ucapnya sambil tertawa kecil.
"Bercandamu itu sama sekali tidak lucu tahu," balas Teto.
Lagi-lagi Ring merasakan hal ini. Dimana ia merasa jauh dengan Nero dan Teto padahal jelas-jelas mereka berdua sedang berdiri di depannya. Akhirnya Ring membalikkan badannya.
"Aku hanya bercanda tadi. Kalian pergi berdua saja sana. Aku ada acara TV yang ingin kutonton setelah ini. Jaa~" Setelah mengatakan itu, Ring langsung berlari meninggalkan Nero dan Ring yang kebingungan.
'Kenapa dadaku terasa sesak melihat mereka berdua,' pikir Ring sambil berlari.
.
.
.
Ring berjalan menuju ke lokernya untuk menyimpan barang-barangnya. Tapi ia menghentikan langkahnya begitu ada seorang gadis berambut kuning dengan kuncir yang diikat satu ke samping yang menghalangi lokernya. Sekilas gadis itu mengingatkannya dengan Nero bahkan warna matanya sama dengan Nero. Tapi ia tahu Nero itu anak tunggal. Jadi tidak mungkin ia memiliki hubungan dengan gadis itu kecuali mereka adalah sepasang anak kembar yang tanpa sengaja terpisah sejak kecil dan orang tuanya sama sekali tidak memberitahu perihal ini kepada Nero. Ring menggeleng, sepertinya ia kebanyakan menonton sinetron. Tampak gadis itu memberikan sebuah amplop pink ke cowok di hadapannya. Cowok berambut pirang yang uniknya memiliki sepasang warna iris mata yang berbeda kanan dan kirinya. Ring mengenal cowok itu, Oliver si ketua OSIS.
Sekali melihatpun Ring sudah tahu kalau gadis itu sedang menembak sang kaichou. Walau sebenarnya bisa dibilang itu tindakan yang nekat. Menyatakan perasaan di depan umum seperti ini. Ring tidak tahu apa harus menyebut gadis itu pemberani atau bodoh.
"Aku tidak tertarik denganmu," ucap Oliver dingin. "Maaf, aku masih ada rapat OSIS." Tanpa melirik ke arah sang gadis lagi, Oliver langsung berjalan pergi seolah-olah kejadian barusan hanya angin lalu baginya.
'Kejam,' pikir Ring.
Tampak murid-murid yang melihat kejadian barusan itu langsung berbisik-bisik. Ada juga yang menatap iba ke arah gadis itu. Sedangkan gadis itu sendiri tampak masih shock dengan amplop yang masih dipegangnya itu. Terlihat ada seorang gadis berambut ungu sebahu menghampiri si gadis. Tampak ia langsung memeluk gadis berambut kuning itu lalu membawanya pergi.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Ring. Sontak saja hal itu membuatnya terkejut dan dirinya langsung menoleh dan mendapati sosok Lenka yang sedang menatapnya.
"Gomen, apa aku sudah mengagetkanmu?" ucap Lenka merasa bersalah.
Ring langsung menggeleng. "Daijobou, ada apa Kagami-san?" tanya Ring heran.
"Panggil Lenka saja. Aku akan memanggilmu Ring-chan," ucap Lenka seraya tersenyum manis.
Ring mengangguk kecil. Tiba-tiba ia teringat dengan Teto yang selalu tersenyum manis ke arahnya dulu.
"Apa Ring-chan mau ikut bersamaku ke perpustakaan. Aku ingin mencari bahan untuk tugas kelompok kita," ajak Lenka.
"Yang lain?" tanya Ring.
"Ah kalau yang kau maksud Rinto-kun, Mikuo-kun, dan Akita-san. Mereka bertiga sedang ada latihan basket," terang Lenka.
Ring mengangguk. Jika tidak ada Nero, semua akan baik-baik saja. "Baiklah, aku akan ikut membantu," ucapnya.
Lenka tersenyum senang. Lalu mereka berdua segera menuju ke perpustakaan sekolah mereka.
.
.
.
Perpustakaan tidak terlalu ramai saat jam pulang sekolah. Hanya beberapa siswa saja yang masih betah nongkrong di perpus hanya sekedar untuk membaca maupun mengerjakan tugas. Lenka yang tampaknya sudah terbiasa datang ke perpustakaan langsung pergi ke bagian rak tentang biologi dan Ring mengikutinya. Mereka bersama-sama memilah-milah buku yang sepertinya bagus untuk dijadikan bahan referensi tugas mereka. Oh ya perlu kalian ketahui, tugas mereka adalah memotret hewan dan membuat laporan untuk masing-masing spesies. Dan kelompok mereka mendapat jatah untuk memotret serangga.
"Ring-nee!"
Ring langsung menoleh dan mendapati wajah yang cukup familiar baginya.
"Sayu-chan!" sapa Ring kaget.
"Ah jadi Ring-nee juga bersekolah disini," ucap gadis yang dipanggil Sayu itu senang. "Sudah lama sekali tidak melihat Ring-nee. Terakhir kita bertemu saat hari pemakaman Teto-nee," lanjutnya.
Seketika wajah Ring berubah suram. Dan sepertinya Sayu menyadarinya karena gadis itu buru-buru langsung meminta maaf.
"Aku tidak apa-apa," bohong Ring seraya tersenyum kecil.
Tampak Sayu ingin bertanya sesuatu lagi. Namun ada gadis berambut biru pendek datang menghampiri mereka atau lebih tepatnya menghampiri Sayu.
"Sayu, aku sudah mendapatkan bukunya," ucap gadis itu sambil menunjukkan sebuah buku. "Ayo kita pergi!"
Sayu mengangguk ke arah temannya itu lalu menoleh ke arah Ring kembali. "Ring-nee, aku permisi pulang dulu. Kapan-kapan kita lanjutkan obrolan kita," ucap Sayu yang setelah itu langsung pergi bersama dengan temannya itu.
"Bukankah itu pacarnya Mikuo ya," ucap sebuah suara.
Ring langsung terlonjak kaget. Ia langsung menoleh ke belakang dan mendapati gadis pecinta pisang sudah berdiri di sana.
"Gomen, aku mengagetkanmu lagi ya," sesal Lenka dengan wajah bersalah.
Ring mendesah. "Tidak apa-apa tapi berhentilah berkata tiba-tiba," ucapnya menasehati.
"Kau sudah menemukan bukunya?" tanya Ring.
Lenka mengangguk mantap. "Aku sudah menemukan buku tentang serangga yang bagus dan juga lengkap. Aku rasa kita tinggal harus mendapatkan fotonya saja lalu membuat laporannya," ucapnya.
"Lenka!"
Lenka langsung menoleh begitu mendengar namanya dipanggil dan melihat Rinto yang sedang diomeli oleh petugas perpustakaan karena sudah berteriak tadi.
Ring yang melihatnya juga langsung kaget dan langsung bersembunyi di balik rak buku. Ia melakukan itu bukan karena Rinto tapi sosok yang datang bersama dengan Rinto.
"Rinto, kenapa kalian kemari?" tanya Lenka seraya menghampiri kekasihnya itu.
"Bukannya kau bilang ingin mencari referensi tugas kita. Jadi aku pikir sebaiknya kita ikut membantu. Kebetulan latihan kami selesai lebih cepat," jelas pemuda pecinta orenji itu.
"Tapi sepertinya kau sudah tidak membutuhkan bantuan kami," sambung Nero sambil melirik judul buku yang dipegang oleh Lenka.
"Ah iya, aku sudah menemukannya. Tadi Ring-chan ikut membantu juga," ucap Lenka sambil menoleh ke belakang. Namun tak mendapati sosok Ring lagi. Tentu saja karena Ring sudah terlanjur bersembunyi tadi.
"Ring-chan pergi kemana ya?" ucap Lenka bingung.
"Mungkin dia sudah pulang," sahut Rinto cuek.
Sedangkan Nero hanya diam saja. Dia tahu penyebab hilangnya Ring mungkin karena keberadaannya.
"Oh ya, Mikuo tidak bersama dengan kalian?" tanya Lenka heran. Tidak biasanya sahabatnya itu pergi tanpa mengatakan apapun padanya.
"Tadi Mikuo bertemu pacarnya di luar lalu dia pergi begitu saja dengan pacarnya," ujar Rinto sambil mengedikkan bahu.
Lenka manggut-manggut. Pantas saja Mikuo sampai melupakan teman-temannya bahkan tugas kelompok mereka. Dasar anak itu. Mentang-mentang sudah punya pacar, sahabatnya sampai dilupakannya.
"Lenka, ayo kita pulang. Aku antar tapi sebelumnya kita mampir makan dulu ya. Aku lapar," ajak Rinto.
"Baiklah. Akita-san kau mau ikut makan bersama kami?" tawar Lenka seraya menoleh pada Nero.
"Tidak, terimakasih. Aku tidak berminat menjadi obat nyamuk kalian," sahut Nero.
Lenka hanya bisa sweatdrop mendengarnya.
"Tumben kau peka," sindir Rinto.
"Terima kasih pujiannya tapi aku tidak terima kata-kata itu keluar dari orang yang tingkat ketidakpekaannya lebih parah dariku," komentar Nero.
"Terserah kau sajalah," ucap Rinto pada akhirnya. "Ayo Lenka kita tinggalkan tuan sok peka ini." Setelah mengatakan itu, Rinto segera menggandeng tangan Lenka dan membawanya pergi.
Nero menghela napas panjang. Lalu ia segera membalikkan badannya dan meninggalkan perpustakaan.
Ring yang sedari tadi bersembunyi dari balik rak buku langsung keluar dari tempat persembunyiannya begitu melihat Lenka, Rinto, dan Nero sudah pergi. Ia mengelus-elus dadanya, merasa lega karena sekarang ia sudah sendirian lagi. Ring terdiam. Apa ia harus terus melarikan diri begitu Nero datang, tapi mereka sekelompok. Tidak mungkin Ring tidak ikut membantu mengerjakan tugas kelompok, bisa-bisa nanti ia tidak dapat nilai lagi. Ring menghela napas panjang. Lebih baik sekarang ia pulang dan menenangkan diri.
Ketika langkah kakinya menginjak keluar perpustakaan. Ia menemukan sosok yang sejak tadi dihindarinya terus tengah berdiri bersandar dinding di depan pintu perpustakaan.
"Sudah kuduga sejak tadi kau di dalam," ucap Nero seraya menatap lurus ke mata Ring.
Ring segera memalingkan wajahnya. Tak tahu harus mengatakan apa dan bersikap bagaimana di depan Nero. Kenapa sekarang ia malah jadi salah tingkah.
Suasana pun menjadi hening dan... aneh di antara mereka berdua.
Akhirnya Nero memutuskan pergi dari hadapan Ring tanpa mengucapkan sepatah katapun. Perasaan ini sama seperti saat Nero meninggalkannya sewaktu pemakaman Teto. Tanpa sadar air mata Ring mulai jatuh membasahi kedua pipinya.
Sampai kapan mereka akan terus begini?
.
.
.
Rinto dan Lenka sedang menikmati makanan mereka sampai ada pengganggu yang tiba-tiba –memaksa- bergabung dengan mereka datang.
"Kenapa duduk disini?" tanya Rinto dingin.
Si pengganggu hanya terkekeh kecil sambil mencomot kentang goreng milik Lenka dan tentu saja sang pemilik langsung mengeluarkan protesnya begitu kentang gorengnya diambil.
"Gomen, tapi tempat duduk lain sedang penuh," jawab Mikuo enteng.
Rinto tahu Mikuo bohong, karena jelas-jelas masih ada tempat kosong. Apa teman setimnya ini sudah buta heh?!
Rinto menghela napas panjang. Benar kata Lenka, dia harus ekstra sabar jika menghadapi Mikuo. Rinto melirik sekilas dan baru menyadari sosok gadis berambut biru pendek yang ikut duduk juga di samping Mikuo. Tanpa diberitahupun, Rinto sudah bisa menebak kalau itu pacar barunya Mikuo. Kalau tidak salah namanya Shion Kaiko kan. Adik kelas mereka.
"Tadi aku melihatmu di perpustakaan!" seru Lenka tiba-tiba sambil menunjuk Kaiko.
Kaiko yang ditunjuk tiba-tiba tentu saja merasa kaget. Lenka langsung membungkam mulutnya, sadar bahwa tidak sopan menunjuk orang tiba-tiba sambil berteriak keras. "Gomen," ucapnya lirih.
Kaiko terkekeh kecil melihat tingkah lucu Lenka barusan. "Tidak apa-apa, Kagami-senpai," ucapnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya seraya tersenyum.
"Eh, kau tahu namaku?" tanya Lenka sedikit kaget. Pasalnya Lenka bukan tipe murid yang banyak dikenal orang. Jadi rasanya ajaib jika ada adik kelas yang mengenalnya.
"Tentu saja, Mikuo-kun banyak bercerita tentang Kagami-senpai. Katanya Kagami-senpai itu pintar," ujar Kaiko.
"Dia tidak cerita yang aneh-aneh kan?" tanya Lenka curiga.
"Hmm, entahlah. Jika bagian tentang Kagami-senpai yang cengeng waktu kecil dan takut sama hantu sampai pernah ngompol karena ketakutan itu tidak termasuk," terang Kaiko kalem.
Lenka langsung membulatkan matanya tidak percaya. Sedangkan Rinto yang mendengarnya berusaha menahan tawanya pasalnya ia baru tahu soal Lenka yang pernah ngompol itu. Lalu Mikuo sendiri, ia sedang tertawa nista sambil mengingat momen waktu Lenka ngompol waktu mereka menonton film horror.
Lenka dengan wajah merah padamnya karena marah campur malu langsung menjitak kepala pangeran jeruk dan juga pangeran negi itu.
"Ittai...," gumam Rinto sambil mengelus-elus kepalanya yang kesakitan karena dijitak oleh pacarnya sendiri.
"Lenka, kalau aku sampai gagar otak bagaimana?!" seru Mikuo sedikit berlebihan a.k.a lebay.
Lenka cuek bebek sambil meminum jus pisangnya. Kaiko terkekeh kecil melihat kemalangan yang dialami oleh kedua pemuda ini. Padahal Kaiko lah yang tadi sudah memancing amarah Lenka walau ia tidak menyadarinya.
Tidak lama kemudian. Pesanan Mikuo dan Kaiko datang. Saat itulah, Lenka dan Rinto melancarkan aksi balas dendamnya dengan mencomot makanan Mikuo seenaknya. Kenapa Mikuo, karena cowok itulah yang bersalah. Bahkan Kaiko yang notabennya adalah pacar Mikuo ikut menjahili pacarnya itu. Puk puk sabar ya Mikuo.
.
.
.
"Kalian satu kelas dengan Suzune-senpai dan Akita-senpai kan?" tanya Kaiko tiba-tiba di sela makan mereka.
Baik Lenka, Rinto, maupun Mikuo langsung menghentikan aktivitas mereka dan menatap heran ke arah Kaiko. Pasalnya kenapa tiba-tiba membawa nama Ring dan Nero ke dalam pembicaraan ini.
Kaiko yang sepertinya mengerti ekspresi ketiga orang itu langsung meminta maaf. "Gomen, aku hanya penasaran tentang mereka berdua. Apalagi setelah mendengar cerita dari Sayu-san, temanku," jelas Kaiko.
"Oke, kami memang sekelas dengan mereka. Lalu kenapa?" tanya Mikuo yang sepertinya ikut terpancing dalam topik ini.
"Apa mereka masih berteman?" tanya Kaiko langsung.
Baiklah pertanyaan Kaiko barusan berhasil memancing Lenka dan Rinto untuk ikut angkat bicara. Biar bagaimana pun Nero adalah sahabat Rinto. Dia tahu sejak awal Nero memang mempunyai hubungan dengan Ring tapi Nero tidak pernah mau mengakuinya. Sedangkan Lenka yang peka dengan lingkungannya tahu bahwa ada sesuatu di antara Ring dan Nero. Dan sesuatu itu menurut Lenka sesuatu yang tidak menyenangkan.
"Hah mereka kan memang teman sekelas!" seru Mikuo polos.
Dan detik itulah. Lenka dan Rinto sama-sama merasa bahwa Mikuo ini bodoh atau pura-pura nggak paham sih?! Masak dirinya tidak sadar kalau ada sesuatu yang aneh di antara Nero dan Ring selama ini. Bahkan Lenka saja sampai ketakutan gara-gara ia merasa takut jika Mikuo jadi bloon gini gara-gara jitakannya tadi yang mungkin memang benar-benar menyebabkan Mikuo gagar otak. Aduh bisa-bisa dirinya dimarahin orang tua Mikuo. Apalagi Ibunya Mikuo galak lagi.
Kaiko speechless seketika menghadapi kepolosan sang pacar. Tapi Kaiko adalah pacar yang baik dan sabar. Jadi dia mulai menceritakan dari awal perihal hubungan Nero dan Ring di masa lalu yang di diperolehnya dari sumber terpecaya yaitu Yurika Sayu, teman sekelasnya yang notabennya adalah sepupu dari gadis bernama Kasane Teto.
Mikuo, Lenka, dan Rinto pun mendengarnya dengan seksama. Dan wajah mereka sama-sama kaget begitu mengetahui cerita tragis yang pernah menimpa kedua teman mereka itu.
"Sekarang aku mengerti, kenapa selama ini Nero selalu bersikap dingin pada Suzune," ucap Rinto mangut-mangut.
"Dan aku juga mengerti kenapa Ring selalu kelihatan murung dan sedih," sambung Lenka.
"Hhhmm sudah kuduga kalau ada sesuatu di antara mereka," ujar Mikuo enteng.
Baik Rinto dan Lenka langsung menoleh menatap Mikuo. Seolah-olah Mikuo adalah alien entah berantah yang nyasar ke Bumi.
"Apa lihat-lihat?!" seru Mikuo sedikit kesal ditatap seperti itu oleh duo pirang ini.
Baik Lenka dan Rinto langsung menggeleng pelan. Malas untuk meladeni Mikuo.
Kaiko hanya tertawa kecil menanggapinya. "Etto sebenarnya ini permintaan dari Sayu-chan. Dia ingin Suzune-senpai dan Akita-senpai bisa berbaikan lagi. Dia tidak ingin persahabatan mereka rusak hanya karena kematian Teto-nee. Meski aku hanya pernah bertemu sekali dengan Teto-nee, tapi dia gadis yang baik. Aku yakin Teto-nee tidak ingin melihat kedua sahabatnya bermusuhan. Jadi aku mohon, tolong buat mereka berteman lagi," jelas Kaiko panjang lebar sambil menundukkan kepalanya.
"Shion-san, kau tidak perlu sampai menundukkan kepalamu segala," ucap Lenka.
"Tapi-"
"Daijobou, kalau kau yang minta. Pasti aku turuti. Lagipula ini juga demi kebaikan mereka berdua," sahut Mikuo.
Kaiko langsung tersenyum senang dan hal itu membuat Mikuo langsung memeluknya karena gemas. Sedangkan Kaiko sudah dipastikan ber-blushing ria dalam dekapan Mikuo.
Rinto dan Lenka yang melihat adegan mesra di hadapan mereka langsung memutar mata dengan malas. Kenapa sekarang mereka merasa yang jadi obat nyamuk ya?
"Kalian juga akan ikut membantu kan?" tanya Mikuo begitu sudah melepaskan pelukannya dari Kaiko.
"Aku tahu cepat atau lambat. Kau juga akan menyeret kami kan." Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan.
Lenka langsung mengangguk setuju. Dia sudah paham betul dengan sifat Mikuo dan sepertinya pacarnya juga sudah paham. Baiklah, sepertinya mulai besok mereka harus ekstra bekerja keras untuk menyatukan Nero dan Ring kembali. Dan mereka sama-sama tahu kalau itu bukanlah pekerjaan yang mudah.
.
.
.
Sementara itu di tempat lain
"Huweeee Foko-chan, Gaku-chan. Aku ditolak sama Oliver-senpai. Sakit hati nih," tangis Neru sambil memeluk boneka beruang kesayangannya.
Defoko hanya bisa menghela napas panjang. Tidak tahu bagaimana cara menenangkan hati seorang gadis yang baru saja ditolak cintanya. "Salahmu sendiri. Nekat banget sih nembak dia. Kenal saja enggak," ucap Defoko tak habis pikir.
Sedangkan Gakuko hanya mengangguk setuju sambil masih asyik memainkan PSP-nya.
"Aku kenal kok sama Oliver-senpai. Dia itu blasteran. Ayahnya orang Inggris dan Ibunya orang Jepang. Dia suka makan sea food. Dia punya burung yang dia beri nama James. Hobinya itu main gitar. Dia itu paling tidak suka tempat yang berisik atau terlalu ramai. Lalu-"
"Stop Neru! Kau lebih mirip seperti penguntit. Lagipula kau kan hanya kenal sepihak sedangkan Oliver-senpai tidak mengenalmu kan?" ucap Defoko.
Neru langsung memasang muka cemberut. "Perkataanmu memang bener sih tapi bikin tambah sakit hati nih," isak Neru.
Gakuko mendengus kesal. Pertama karena tangisan Neru yang semakin kencang dan yang kedua gara-gara Neru yang berisik membuatnya tidak bisa konsen dan kalah dalam game yang ia mainkan. Gakuko pun menyimpan PSP-nya, sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk bermain game.
"Dulu waktu dengan Rinto-senpai kau tidak sampai seperti ini," ujar Gakuko yang akhirnya membuka suara.
Perlu diketahui, dulu lebih tepatnya sebelum Rinto berpacaran dengan Lenka. Neru sempat naksir dengan kakak kelasnya itu. Bahkan Neru sempat mendiami Gakuko perihal berita tunangannya dengan Rinto.
"Huweee ini beda. Kalau dulu aku naksir Rinto-senpai cuma 70%. Sekarang aku naksir dengan Oliver-senpai 99% tahu," tangis Neru.
"Kalau begitu kau tinggal cari cowok yang membuatmu naksir 100% dengannya," usul Gakuko asal.
Neru langsung mendeath-glare ke arah Gakuko. "Memangnya mudah mencari cowok seperti itu. Aku tidak sepertimu yang dalam hitungan dua puluh empat jam bisa jatuh cinta pada seseorang. Aku membutuhkan proses yang panjang untuk menyukai seseorang," terang Neru.
"Yah jika proses yang kau maksud itu adalah menguntit," sahut Gakuko malas.
"Hei!" seru Neru tidak terima.
"Sudahlah Neru-chan, kau masih punya kesempatan. Selama Oliver-senpai belum punya pacar, kau masih bisa mendekatinya. Siapa tahu Oliver-senpai akan menyukaimu juga," hibur Defoko.
Bukannya merasa baikan. Neru kembali menangis. "Huweeee tapi Oliver-senpai sudah menolakku. Mungkin saja dia akan membenciku setelah kejadian tadi."
"I-itu belum pasti, Neru-chan," ujar Defoko.
Namun Neru hanya diam sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Sekalipun Defoko mencoba mengajaknya berbicara lagi. Neru hanya bungkam seribu bahasa. Gakuko pun mengajak Defoko untuk pulang, mungkin saat ini Neru butuh waktu untuk menenangkan diri. Mereka pun segera berpamitan untuk pulang ke rumahnya. Neru hanya berdeham kecil menanggapinya tanpa berniat mengantar kedua sahabatnya sampai ke depan pagar seperti biasanya.
Defoko hanya bisa menghela napas panjang. Jujur saja, dia juga merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Padahal Neru adalah gadis yang pintar, ceria, supel, cantik, atletis. Pokoknya sempurna deh. Hanya saja dia salah menyukai seorang Oliver yang terkenal dingin bak pangeran es itu. Heran deh kok bisa-bisanya dia jadi ketua OSIS di sekolahnya. Tunggu dulu sebenarnya ini bukan salah Neru. Tapi sang kaichou lah yang salah. Dia tidak mampu melihat kesempurnaan Neru itu. Padahal banyak cowok yang mengejar Neru tapi Neru nya sendiri malah mengejar Oliver. Apa jangan-jangan... Oliver tidak suka sama cewek?!
Sontak saja Defoko langsung menghentikan langkahnya. Wajahnya seketika pucat pasi begitu memikirkan kemungkinan itu. Lagipula masuk akal jika Oliver sampai menolak cinta dari gadis sesempurna Neru. Hanya gara-gara dia tidak suka cewek.
Tapi tunggu dulu. Defoko tidak boleh berprasangka buruk. Orang tuanya selalu mengajarkan untuk tidak menilai seseorang dari luarnya. Memang sih wajah Oliver itu shota mirip cewek tapi bukan berarti dia suka cowok kan. Defoko menggeleng keras. Dia bukan fujoshi. Oke Defoko. Ambil nafas pelan-pelan lalu keluarkan. Satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk membuat batinnya tenang adalah membuktikannya sendiri. Apakah alasan Oliver sampai menolak sahabat baiknya itu?! Dan apakah benar kalau Oliver itu tidak suka cewek makanya dia –yang kabarnya- selalu jomblo sejak lahir walau banyak cewek yang mengejarnya –meski tampangnya shota-.
"Defoko, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Gakuko yang sedari tadi hanya diam memperhatikan Defoko. "Tampangmu mengerikan tahu, jangan-jangan kau sedang berpikiran yang aneh-aneh," lanjut Gakuko asal.
"Gaku-chan, kalau tidak salah pacarmu Luki itu anggota OSIS kan?" tanya Defoko tiba-tiba.
Gakuko memutar bola matanya malas. "Please deh, kenapa sekarang kamu ikutan bawa-bawa nama Luki ke dalam pembicaraan ini," sungut Gakuko.
"Jawab saja pertanyaanku, Gaku-chan," desak Defoko.
"Iya iya, Luki memang jadi sekretaris di OSIS. Terus kenapa?" tanya Gakuko.
"Kalau begitu dia dekat kan dengan Oliver-senpai?" tanya Defoko lagi.
Gakuko mengangguk malas. "Tunggu dulu, memangnya kau mau apa dengan Oliver-senpai?" tanya Gakuko heran.
Defoko langsung berhenti melangkah dan menghadap ke arah Gakuko lalu menepukkan kedua tangannya di depan wajahnya. "Tolong aku butuh bantuanmu ah lebih tepatnya bantuan pacarmu untuk mengenalkanku dengan Oliver-senpai," pinta Defoko.
Gakuko hanya menatap tidak percaya ke arah Defoko. "Kau sudah gila ya! Bagaimana dengan Neru heh?"
"Justru aku melakukan ini demi-" Ucapan Defoko terputus oleh sebuah teriakan cempreng.
"APA?!"
"KAU SERIUS INGIN PUTUS DENGANKU. KAU PASTI BERCANDA KAN IO?!"
"Aku tidak bercanda Seeu, aku serius dengan perkataanku tadi," ujar cowok yang dipanggil IO itu.
Gadis di hadapan cowok itu mulai menangis. "Kenapa IO? Apa aku kurang cantik? Apa aku kurang manis?" rengeknya sambil menarik-narik lengan sang (mantan) pacar.
IO menggeleng pelan. "Aku hanya merasa tidak nyaman dengan sifat overprotektifmu itu," ujar IO tenang sambil melepaskan pegangan SeeU darinya. "Maaf ya, aku harus pergi."
"IO, tunggu. Akan aku lakukan apapun tapi tolong jangan putuskan aku!" Tapi seruan si gadis tidak didengar oleh IO yang sudah melangkah jauh.
Defoko dan Gakuko yang kebetulan melihat kejadian itu hanya bisa terdiam. Ada sebersit rasa kasihan melihat gadis itu yang menangis. SeeU yang merasa diperhatikan pun menoleh.
"Apa lihat-lihat?!" seru SeeU tajam sambil menyeka air matanya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Defoko prihatin.
SeeU memalingkan wajahnya. "Bukan urusanmu!" sahutnya dingin.
Gakuko segera memegang lengan Defoko. "Sudah kita pergi saja," bisiknya.
SeeU melirik sekilas ke arah Gakuko. Lalu memandangi Gakuko dari atas sampai ke bawah. "Jadi kau pacar barunya Luki," ucap SeeU dengan nada sinis. "Ternyata seleranya Luki menurun ya sampai mau berpacaran dengan gadis urakan sepertimu," ejeknya.
Sontak saja telinga Gakuko panas. Sekarang dia baru ingat kalau SeeU adalah salah satu mantan pacarnya Luki.
"Hei nona, sebaiknya kau berkaca kenapa kau sampai diputuskan oleh pacarmu. Dasar tante menor," balas Gakuko tajam.
"Aku bukan tante menor!" seru SeeU kesal.
Defoko menyingkut lengan Gakuko berniat mengajaknya pergi tapi sepertinya gadis pecinta terong ini masih tidak berniat beranjak.
"Tapi penampilanmu seperti tante menor. Menjijikkan sekali," ucap Gakuko dengan senyum mengejek.
SeeU mengepalkan tangannya. Terlihat sekali kalau dia sedang sangat marah.
"Aku tidak percaya Luki lebih memilihmu daripada aku. Memangnya apa kelebihanmu, dasar cewek preman?!" Tangan SeeU terangkat hampir menampar pipi Gakuko.
Hampir karena sebuah tangan mencekal tangan SeeU untuk melakukannya. Bukan Gakuko yang melakukannya. Bukan juga Defoko. Tapi cowok berambut pink yang entah datang dari mana tiba-tiba sudah ada di dekat mereka.
"Kelebihan Gakuko adalah aku sangat mencintainya melebihi semua mantan pacarku," ujar cowok itu kalem.
"Luki!" seru Gakuko kaget.
SeeU langsung menarik tangannya. Kentara sekali kalau dirinya tidak mengharapkan kehadiran mantan pacarnya ini. Apalagi jika untuk membela cewek di hadapannya ini.
"Sepertinya sifatmu masih belum berubah ya, SeeU," ucap Luki.
"Dan kau juga tetap menyebalkan, Luki," sahut SeeU. Setelah mengatakan itu SeeU pergi dari hadapan mereka.
Gakuko hanya menjulurkan lidahnya. Merasa dia sudah memenangkan pertarungan(?) ini walau dibantu Luki juga.
"Gakuko, kau tidak apa-apa?" tanya Luki khawatir.
Gakuko menggeleng. "Kenapa kau bisa ada disini?" tanya Gakuko heran.
"Aku habis dari rumahnya temanku. Kebetulan rumahnya di sekitar sini," jawab Luki.
Gakuko mangut-mangut. Defoko yang peka akan situasi saat ini pun memilih untuk undur diri.
"Luki-san, aku titip Gaku-chan ya. Tiba-tiba aku ingat masih ada urusan. Jaa~"
Sebelum pergi, Defoko sempat membisikkan soal permintaannya pada Gakuko. Setelahnya Defoko berlari kecil meninggalkan pasangan LukiGakuko.
"Hahaha, sepertinya temanmu itu pengertian ya," oceh Luki.
"Sepertinya begitu," sahut Gakuko. "Oh ya Luki, aku butuh bantuanmu."
"Bantuan apa?" tanya Luki penasaran.
"Tolong bantu temanku yang tadi untuk mendekati Oliver-senpai," ujar Gakuko.
"Temanmu itu suka dengan Oliver-senpai?" tanya Luki.
Sebagai jawaban Gakuko menggeleng.
"Terus?"
"Aku tidak tahu, tanya dia saja sana!"
"Kalau aku yang tanya, nanti kamu cemburu lagi," goda Luki.
"Nggak bakal, kamu kan sangat mencintaiku. Jadi kamu nggak bakal berpaling ke cewek lain," ucap Gakuko yakin.
"Pede amat sih kamu," komentar Luki.
Gakuko menjulurkan lidahnya. "Biarin, kan tadi kamu sendiri yang bilang."
"Oke deh, aku bantuin. Tapi ada syaratnya," ucap Luki.
"Apa?" Gakuko menoleh menatap pacarnya itu.
Luki pun ikut menatap Gakuko. "Cium aku."
Sontak saja wajah Gakuko memerah. "Kau gila ya. Disini kan tempat umum!"
Luki tampak sedang memikirkan sesuatu. "Kalau begitu, kita lakukan di apartemenku. Di sana kan sepi," ucapnya sambil menyeret tangan Gakuko.
"Luki, jangan macam-macam. Asal kau tahu aku jago karate lho," sewot Gakuko dengan tangan yang masih diseret oleh Luki.
Luki tertawa kecil. "Dan asal kau tahu juga, aku jauh lebih jago karate. Dulu kau sudah pernah melihatnya sendiri kan."
Gakuko bungkam. Luki benar. Dia sudah kalah. Tapi Gakuko benci kalah.
Luki berbalik menghadap Gakuko lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Gakuko. "Untuk kali ini, jadilah pacar yang baik ya, Kamui Gakuko."
Sepertinya jika berhadapan dengan Luki. Gakuko tidak akan bisa menang melawannya.
.
.
To Be Continued
.
.
Please Review
