MinetoTake
Terkadang engkau begitu menginginkan seseorang...
Terkadang engkau begitu membutuhkan seseorang...
Nafsu bisa menjadi cinta.
Dan cinta bisa berubah menjadi obsesi yang mematikan.
~oOOo~
Oh Sehun tahu bahwa ada yang mengawasinya. Tidak hanya mengawasi—namun membuntutinya. Berbulan-bulan yang lalu, Sehun mengalami kecelakaan mobil yang parah. Kecelakaan itu mengakhiri karir menarinya dan memaksa dia melarikan diri kembali ke Seoul. Sehun yakin bahwa penguntitnya adalah penyebab kecelakaan itu, dan Sehun takut bahwa sang penguntit tidak akan berhenti mengejarnya sebelum dia mati.
Ketika seseorang menerobos masuk ke apartemennya di Seoul, Sehun meminta bantuan kepada satu-satunya orang yang dia percaya bisa melindunginya—Park Chanyeol, mantan kekasihnya. Dua jiwa yang hilang, mereka sama-sama pernah tenggelam dalam badai keinginan dan gairah. Tapi Chanyeol mendorong Sehun menjauh. Chanyeol bergabung dengan militer, menghilang dari hidupnya.
Sehun mencurahkan semua emosinya dalam dunia seni tari, mencoba untuk melupakan Chanyeol. Sekarang Chanyeol adalah salah satu orang paling sukses diKorea Selatan. Kaya, penuh motivasi dan menyimpan rahasia gelap, dia setuju untuk membantu Sehun. Chanyeol akan melindunginya dari bahaya
yang mengintai di kegelapan, tapi Chanyeol ingin lebih dari sekedar penjaga bagi Sehun.
Chanyeol menginginkannya. Dan Chanyeol akan mengambilnya. Perpisahan selama bertahun-tahun telah mengubah Chanyeol, mengeraskannya. Dia bukan lagi seorang anak miskin dari jalanan. Sekarang, ia dapat memiliki apapun-atau siapapun-yang ia inginkan. Dan seorang pasangan yang selalu Chanyeol ingin baru saja datang kembali ke dalam kehidupannya.
Chanyeol tidak akan membiarkan dia pergi lagi. Namun dengan ancaman yang semakin bertambah terhadap dirinya, Sehun curiga bahwa penguntitnya mungkin adalah orang yang pernah sangat dekat dengannya. Dia seorang pria yang sangat tahu tentang dirinya. Ketika serangan terhadap dirinya menjadi semakin berbahaya, Sehun menyadari bahwa jika dia mempercayai orang yang salah, dia bisa membuat kesalahan fatal.
Nafsu.
Cinta.
Obsesi.
Hanya seberapa jauh kau akan melangkah untuk memiliki satu satunya orang yang paling kau inginkan?
~oOOo~
Darah bertetesan masuk ke matanya. Rasa sakit menjalar disekujur tubuhnya, dan dia berusaha melawannya, berusaha untuk bebas. Tapi dia tak sanggup.
Terjebak.
Logam itu telah melilit tubuhnya. Mencengkeramnya dalam cengkeraman yang terlalu erat dan keras. Dan setiap gerakan yang dia buat hanya menyebabkannya terluka bahkan semakin parah.
Dia berteriak untuk meminta bantuan, tapi tak ada seorangpun disana untuk menyelamatkannya. Hujan turun, menghantam kaca depan yang pecah. Mobilnya berputar-putar, lagi dan lagi. Menuruni lereng. Akankah ada siapapun dari jalan itu bisa melihatnya?
"Aku di sini!" Dia berteriak lagi.
Setiap bagian dari tubuhnya sakit. Pecahan kaca semuanya ada disekitarnya. Darah dan air hujan bercampur di wajahnya. Dia memohon pertolongan sampai suaranya rusak.
Sampai hujan itu berhenti.
Sampai rasa sakit itu akhirnya berhenti.
Disana tidak ada yang tersisa, kecuali kegelapan. Dalam kegelapan itu bahkan dia mendengar suaranya.
"Aku di sini...aku memilikimu."
Dan ketika dia mendengarnya dia ketakutan.
~oOOo~
Oh Sehun menatap gedung di depannya. Yang menjulang tinggi ke langit. Jendela besar yang berkilauan dalam penerangan. Disana terlalu banyak lantai baginya untuk dihitung. Tampak lebih seperti sebuah benteng daripada kantor, tempat yang membicarakan kekuasaan.
Uang dan lebih dari itu.
"Tuan." Penjaga pintu menatapnya dengan sedikit keprihatinan dimatanya yang gelap. Mungkin karena dia berdiri ditengah jalan, melongo ditempat.
Sehun memberikan gelengan cepat kepalanya, menarik mantelnya sedikit lebih rapat ke tubuhnya, dan bergegas masuk ke dalam benteng tersebut. Berusaha keluar dari udara dingin Seoul itu melegakan dirinya.
Pria lain menunggu dibelakang meja yang berkilauan dilobi. Dia menoleh ke kiri dan kanan. Sehun gugup mencermati kamera keamanan yang mengikuti setiap gerakannya. Sekarang dengan hati-hati, dia mendekati meja.
"Aku, um, aku sedang mencari Park Chanyeol."
Pria itu, di awal dua puluhan dan dalam setelan biru yang menonjol mengangkat alisnya padanya. "Apakah anda punya janji?"
Sebenarnya tidak. Sehun nyaris tidak mengumpulkan keberanian untuk menuju ke tempat ini. Dua kali dipagi itu. Sehun bolak-balik dan hampir pulang ke rumahnya.
Aku membutuhkannya.
Sehun menegakkan bahunya. "Tidak. Aku tidak punya janji."
Matanya menyipit.
Sehun segera mengatakan. "Namaku Oh Sehun dan aku-aku adalah...teman lamanya." Oke jadi bagian itu tidak sama persis
dengan yang sebenarnya.
Tapi Sehun putus asa. Tidak. Lebih daripada itu. Dia takut. Ketika ia melakukan pencarian mencari detektif swasta di daerah itu.
Park Securities segera muncul di layar komputernya. Segera setelah ia melihat namanya, seluruh tubuh Sehun menegang.
Park Chanyeol. Beberapa pria meninggalkan tanda pada seorang
pasangannya. Sebuah tanda yang masuk jauh dibawah kulit. Chanyeol telah menandainya bertahun-tahun sebelumnya.
Perusahaannya adalah jalan keluar dari kisaran harganya. Sehun
memilikinya. Lobi itu bahkan beraroma mahal. Dan, setelah kecelakaan itu, hampir segala sesuatu berada diluar jangkauannya.
Tapi dia tidak punya pilihan.
Dia harus memiliki Chanyeol untuk membantunya. Selain itu, mereka sudah berteman sekali. Sebelum mereka menjadi kekasih. Sebelum semuanya pergi ke neraka.
Pria dalam setelan mewah menatap pada komputernya. "Saya tidak berpikir anda memahami betapa sibuknya jadwal , Tuan. Jika anda ingin berbicara dengan salah satu rekan junior, disini, saya yakin bahwa kami akan menemukan seseorang yang siap sedia."
Detak jantungnya berdebar dipendengarannya. Seorang rekan junior. Tepat. Well, itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Telepon diatas meja pria itu berdering. "Permisi." Dia bergumam
sambil meraih telepon.
Sehun mengangguk. Pipinya terbakar. Apakah dia benar-benar berpikir bahwa dia bisa memiliki Chanyeol untuk membantunya? Bahwa dia hanya berjalan masuk ke tempat ini dan ia akan berada disana untuknya? Setelah semua waktu yang telah berlalu, dia akan beruntung jika pria itu masih mengingatnya.
Kalau saja Sehun bisa melupakannya.
"Y-ya, sir. Sekarang juga." Kegugupan yang tajam telah memasuki suaranya pria itu.
Sehun menoleh kembali padanya saat ia terburu-buru menutup telepon. Mata abu-abu hangatnya, kembali menatap padanya. Sekarang di sana ada rasa keingintahuan yang pasti dalam tatapannya.
"Anda, datang dengan tepat, Tuan Oh." Dia mendorong sebuah clipboard ke arahnya.
"Tanda tangan dulu, kemudian saya akan mengantar anda ke elevator."
Pandangannya ke kamera keamanan terdekat. Ketegangan memperkencang bahunya saat Sehun menuliskan namanya dihalaman.
Kemudian Sehun bergegas menuju lift di sebelah kanan. Jangan
lemas. Jangan. Melangkah dengan pelan-pelan. Bagus dan pelan.
"Bukan lift yang itu." Ia meraih sikunya dan mengarahkannya ke
sebelah kiri. "Yang ini." Ia menarik keycard dari sakunya.
Menggeseknya dipanel elevator. Pintu terbuka hampir seketika, dan ia membimbing Sehun masuk ke dalam. "Naiklah ke lantai paling atas. Mr. Park sedang menunggu anda."
Tapi bahkan tidak tahu kalau Sehun datang ke gedung ini.
"Aku tidak mengerti—" Sehun mulai.
Pintu itu bergeser menutup.
Kedua tangannya gemetar saat lift naik. Dinding lift itu terbuat dari kaca dan Sehun berbalik. Menengok keluar menikmati pemandangan kota.
Banyak yang bisa berubah bagi seseorang dalam sepuluh tahun. Kamu bisa memiliki yang benar-benar dari tidak ada...sampai memiliki segalanya. Atau kamu bisa memiliki segalanya...sampai tidak memiliki apa-apa.
Lift melambat. Sehun berbalik ke arah pintu. Mengambil nafas dalam-dalam. Kemudian pintu itu bergeser terbuka.
Sepatunya menginjak karpet mewah saat Sehun melangkah keluar dari lift.
"Tuan Oh?"
Sehun menoleh pada wanita cantik berambut pirang yang bergegas ke arahnya.
Si rambut pirang itu tersenyum. "Lewat sini, silahkan."
Chanyeol telah melihatnya di video camera. Itu satu-satunya penjelasan. Chanyeol sudah melihat Sehun dan sebenarnya ia masih mengingatnya.
Well, kau seharusnya selalu mengingat orang pertamamu, bukan?
Chanyeol sudah menjadi orang pertamanya. Sejak dulu, ia sudah menjadi segalanya baginya.
Si rambut pirang membuka pintu mahoni yang berkilauan. "Tuan Oh disini, Sir."
Jangan lemas. Sehun melangkah masuk kantor dan melihatnya.
Orang yang sudah menghantuinya. Orang yang sudah mengajarinya tentang gairah dan kehilangan.
Park Chanyeol.
Ia duduk di belakang meja yang besar. Ia bersandar di kursinya. Dan kepalanya miring ke kanan saat matanya—masih cokelat seperti yang pernah ia lihat—memandangi seluruh tubuhnya.
Rambutnya hitam segelap tengah malam, dipotong dengan sempurna membingkai wajahnya yang kukuh. Tampan bukanlah kata-kata yang bisa di gunakan untuk mendiskripsikan Chanyeol.
Itu tidak akan pernah bisa. Seksi. Keren. Itu adalah kata-kata yang tepat untuknya. Pintu menutup di belakang Sehun,mengurungnya didalam kantor bersamanya.
Chanyeol bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan ke arah Sehun, langkahnya pelan dan pasti. Dengan setiap langkah yang Chanyeol ambil, Sehun menegang, tubuhnya tak berdaya untuk melakukan sebaliknya.
"H-hallo, Chanyeol." Sehun benci gagap dalam suaranya.
Chanyeol membuatnya gugup. Selalu begitu.
Chanyeol berhenti didepannya. Berdiri beberapa inci lebih dari enam kaki, sementara dia nyaris menepis lima atau tiga kaki. Sehun memiringkan kepalanya ke belakang sehingga dia bisa bertemu tatapannya.
"Ini sudah lama sekali," kata Chanyeol, kata-katanya dalam, bergemuruh dalam kegelapan. Suaranya sempurna dengan tubuh sekeras batu dan wajah yang seksi—suara yang membuat siapapun bisa membayangkannya dalam kegelapan.
Sehun menelan ludah karena tenggorokannya tiba-tiba kering. "Ya, itu sudah lama." Sepuluh tahun tiga bulan. Bukan berarti Sehun menghitungnya.
Tatapannya menilai pada tubuhnya sekali lagi. Ada kesadaran dalam tatapannya bahwa Sehun tidak diharapkan. Sensasi itu yang membuatnya mengingat terlalu banyak hal.
Chanyeol cukup dekat untuk disentuh. Cukup dekat bagi Sehun untuk mencium kesegarannya, aroma maskulin yang menempel padanya.
Kedua lubang hidungnya mengembang, seolah-olah Sehun menangkap aromanya, juga.
"Kau terlihat baik, Sehun." Sekali lagi, sensasi yang berada dalam
tatapannya. Sensasi yang mengatakan bahwa Chanyeol tahu keintiman dirinya.
Sehun berharap detak jantungnya bisa melambat.
"Tapi kau tidak disini untuk mengobrol, kan?" Dan Chanyeol berjalan menjauh darinya. Sehun melambai ke kursi yang dekat dengan mejanya dan kembali ke kursinya.
"Kita tidak pernah benar-benar mengobrol tadinya." Kata Chanyeol lembut saat ia menuju ke kursi kulit.
Sehun tidak melepas mantelnya. Dia hanya menariknya lebih dekat pada tubuhnya. Sebuah kerutan samar muncul di antara alisnya. "Tidak. Kita tidak, kan? Lebih dari seks yang hot."
Bibir Sehun terbuka. Chanyeol tidak hanya mengatakan itu padanya. Senyum samarnya mengatakan bahwa ia begitu.
"Aku disini bukan untuk itu, juga." Sehun sudah hancur setelah kepergian terakhirnya dengan Chanyeol. Sehun bersandar dikursinya. Kulit kursi berbunyi di bawahnya.
"Kita akan mengalami itu lagi..."
Oh tidak, mereka tidak akan. Sehun belum siap untuk merasakan terbakar lagi.
Chanyeol menepuk-nepuk dagunya. "Kau di sini bukan untuk basa-basi, bukan untuk seks, terus kenapa kau datang mencariku?"
Ini adalah dimana ia harus memohon. Karena tidak ada cara yang Sehun punya cukup uang di rekeningnya untuk menutupi jasanya. Tidak dengan pria yang menonjol seperti gedung pencakar langit ini dan tampak seperti baru saja berjalan dari sampul GQ. Betapa banyak hal telah berubah.
"Seseorang sedang mengawasiku."
Chanyeol diam. Sensasi terbendung di matanya saat seluruh ekspresinya langsung terjaga. "Dan apa yang membuatmu begitu yakin akan hal itu?"
"Karena aku bisa merasakannya." Tunggu, itu terdengar gila, bukan?
Ketika Sehun pergi ke polisi, mereka yakin melihatnya seolah-olah Sehun gila. Kamu tidak bisa merasakan seorang penguntit. Demikian mereka bilang. Sehun memperselisihkannya.
Chanyeol tidak berbicara.
Jadi Sehun yang berbicara, berbicara dengan cepat. "Aku tahu ada seseorang yang sedang mengawasiku,ok? Ketika aku ke studio ku, ketika aku keluar malam..." ketegangan menyelimutinya. Pengetahuan itu secara naluriah.
"Kau berpikir seseorang sedang mengawasimu?" Chanyeol tidak mempercayainya lebih dari polisi-polisi itu.
"Aku pikir," Sehun stres menjawab balik padanya, saat kedua tangannya mengepal. "Orang itu berada di rumahku. Barang-barang yang disusun ulang. Bukan dimana aku meletakkannya. Pintuku terkunci tapi ada seseorang yang bisa memasukinya."
Sekarang Chanyeol mencondongkan badannya ke depan. "Apa yang telah disusun ulang?"
"Pa - pakaian."
Tatapan menusuknya diwajahnya.
Sehun berbisik. "Beberapa celana dalam yang hilang. Beberapa...beberapa yang tertinggal di tempat tidurku."
"Sial."
Ya, itu persis bagaimana perasaannya. "Polisi tidak percaya yang
kurasakan. Mereka tidak melihat tanda-tanda kerusakan–diapartemenku. Dan mereka pikir aku hanya kehilangan laundryku."
Tapi Sehun tahu sesuatu yang lain sedang terjadi.
Sehun menjilat bibirnya yang terlalu kering. "Ini...ini bukan yang
pertama kalinya terjadi."
Kedua tangannya diluruskan diatas mejanya.
"Ketika aku berada di Jepang..." itu terasa seperti seumur hidup.
"Hal yang sama terjadi sebelum kecelakaanku. Ada seseorang yang masuk ke dalam apartemenku." Pada awalnya, sudah mulai cukup membahayakan. Hanya dengan bunga.
"Dia mulai dengan meninggalkan bunga di kamar gantiku." Sehun pergi ke kamar gantinya setelah pertunjukan dan menemukannya menunggunya. Tidak ada catatan hanya bunga.
Chanyeol menunggunya untuk melanjutkan.
Dadanya terasa sakit saat Sehun mengatakan, "Diwaktu berikutnya aku menemukan bunga-bunga itu berada di apartemenku. Di apartemenku yang terkunci."
Otot tertekuk disepanjang rahangnya. "Dan kau yakin bunga-bunga itu bukan hadiah dari seorang kekasih?"
"Aku tidak punya kekasih." Sehun menggelengkan kepalanya. "Tidak setelah itu. Tidak sekarang juga."
Apakah Sehun memiliki seseorang yang menakutkan dirinya. Sebuah bayangan yang mengikutinya kemanapun dia pergi. "Aku datang kesini karena aku berharap bahwa salah satu agenmu mungkin bisa membantuku. Bahwa kamu bisa menetapkan seseorang untuk menindak lanjuti dan hanya melihat apa yang sedang terjadi."
Tatapan Chanyeol tampak bosan padanya. Sehun selalu merasa seperti Chanyeol melihat lekat-lekat ketika ia menatapnya. Tapi Sehun tidak bisa berpaling.
"Polisi tidak mau membantuku. Aku berharap kau bisa." Sehun mengucapkan selamat tinggal pada harga dirinya.
Saat ini banyak ketakutan yang terlibat. Tidak ada ruang untuk dibanggakan. Sehun punya rahasia yang dia tidak ceritakan pada Chanyeol, belum. "Kumohon Chanyeol. Aku membutuhkanmu."
"Kau punya aku." Kata Chanyeol langsung.
Napas Sehun berhembus. "Terima kasih."
Beritahu Chanyeol tentang uangnya.
"Mungkin kita bisa- kita bisa mencari solusi semacam rencana
pembayaran—"
"Persetan dengan uang." Chanyeol bangkit dari mejanya lagi. Berjalan kearah Sehun. Kepalanya miring ke belakang saat Chanyeol menatap pada Sehun.
Chanyeol meraih tangan Sehun . Menariknya berdiri. Pada sentuhannya—hanya satu sentuhan itu —kesadaran dialirkan melalui dirinya. Rona memerah dipipi Sehun. Kenangan-kenangan menegangkan tubuhnya.
Itulah caranya yang selalu ada diantara mereka. Satu sentuhan dan-
"Itu masih ada disana." Chanyeol menggertak saat pegangannya
mencengkeram tangannya. "Dan kita akan mendapatkannya, segera."
Kata-kata gelap yang merupakan sebuah janji.
"Tapi sekarang, aku ingin mengetahui apa yang terjadi dalam
hidupmu."
Demikian juga dirinya.
~oOOo~
Oh Sehun. Pria yang pernah membintangi setiap fantasi remaja yang pernah Chanyeol miliki. Pria yang telah membuatnya menyadari betapa nafsu gelap dan liar bisa membakar.
Sehun telah kembali padanya. Berjalan tegak memasuki gedungnya. Ke dalam hidupnya. Chanyeol sudah melihat gambar Sehun dilayar keamanan. Sekali lihat dan semuanya telah berubah.
Sehun kembali.
Kali ini, segalanya akan berakhir secara berbeda bagi mereka. Chanyeol tidak akan pernah puas dengan Sehun.
Kali ini, Sehun membutuhkanku.
Mereka melangkah keluar dari gedungnya. Suara-suara dari kota langsung memenuhi telinganya—suara klakson yang menjadi bumerang dari mesin. Sehun menjauh dari Chanyeol, menuju taksi disudut jalan. Chanyeol menangkap lengan Sehun dan menariknya kembali padanya.
"Kita akan mengendarai mobilku." Chanyeol sudah memanggil sopirnya.
Kendaraan ramping, hitam yang mengoda menunggu disebelah kanan. Sopirnya—yang merangkap sebagai salah satu pengawal Chanyeol—menahan pintu belakang terbuka untuk mereka.
"Kita akan menuju ke apartemennya Sehun," Chanyeol bergumam pada Kim Minseok.
Sehun ragu-ragu lalu dengan cepat menyebutkan alamat. Minseok mengangguk. Minseok telah bekerja dengan Chanyeol selama lebih dari lima tahun sekarang, dan Chanyeol percaya pria ini secara implisit.
Sehun masuk ke dalam kendaraan pertama, Chanyeol menghilang ke dalam mobil. Matanya menyipit, kenangan berkelebatan dalam benaknya, Chanyeol mengikutinya. Pintu tertutup, mengurung mereka didalamnya.
Pelindung privasi sudah ditempatnya, benar-benar menghalangi mereka dari pengamatan Minseok. Mobil menjauh dari pinggir jalan.
"Aku pikir salah satu agenmu bisa menangani hal ini. Maksudku,
kau adalah bos." Kata-katanya sedikit terlalu cepat. Sehun selalu begitu.
Berbicara dengan cepat ketika Sehun merasa gugup.
Itu bagus bahwa aku masih membuatnya gugup.
"Aku yakin kau tidak punya waktu luang untukku."
Sebaliknya. Chanyeol bergeser dikursi disamping Sehun. Memastikan bahwa bahu mereka bersentuhan. "Kamu tidak akan kembali ke Jepang."
Kepala Sehun tersentak kearah Chanyeol. Matanya—dalam, cokelat gelap—menatapnya. Ada warna emas di matanya yang terpendam dimata cokelatnya. Ketika ia terangsang warna emas itu akan terbakar lebih panas. Dan ketika Sehun terangsang pipinya merona, bibirnya gemetar, dan sebuah erangan akan terlepas dari bibirnya.
Oh Sehun. Porselen yang sempurna. Begitu halus bahkan Chanyeol pernah khawatir gairahnya mungkin akan mememarkannya. Chanyeol masih khawatir karena hal yang Sehun inginkan darinya...
Aku bukan seorang bocah lagi.
Chanyeol sudah menahan dengannya terlalu lama. Rambut hitamnya yang halus. Ketika Sehun menari, rambutnya dibiarkan basah, membuat tulang pipinya terlihat lebih tajam.
Ketika Sehun menari...
Sehun membuat Chanyeol sakit.
"Tidak ada apa-apa lagi bagiku di Jepang." Suaranya tenang. Bukan Sehun.
Sehun berbicara dengan rasa humor dan terasa hidup. Tetapi ketika Sehun memasuki kantornya, akhirnya kembali padanya, ada ketakutan dalam suaranya—dan di matanya. "Aku mengalami...kecelakaan."
"Aku tahu." Kisahnya telah ada diseluruh berita. Seorang Penari prima yang multitalenta terjebak dalam kecelakaan mobilnya dimalam badai. Sehun sudah menari ribuan kali. Sehun bersinar dipanggung Jepang. Dan Sehun hampir tidak selamat dari kecelakaan itu.
Chanyeol memaksa menghirup udara masuk ke dalam paru-parunya. Jangan berpikir tentang hal itu. Sehun ada di sini.
"Aku sudah terapi fisik pada kakiku." Berkata dengan suram saat
dagunya—yang agak runcing— mendongak.
"Aku bisa menari, hanya saja tidak seperti...tidak seperti sebelumnya."Sehun menggelengkan sedikit kepalanya. "Panggung itu tidak untukku lagi."
"Itu sebabnya kau pulang ke rumah?"
Rumah. Satu-satunya rumah yang pernah Sehun punya—itu bersamanya.
Dua anak asuh. Terombang-ambing melalui prosedur berkali-kali. Sehun bertemu dengan Chanyeol ketika dia berumur tujuh belas tahun. Sehun sendiri sudah lima belas tahun.
"Itu sebabnya aku pulang ke Seoul," Sehun menyetujuinya dengan suara serak. "Aku menabung untuk membuka sebuah studio. Aku akan mengajar di sini. Aku masih bisa melakukan itu."
Sehun dengan menari telah mengeluarkannya dari kemiskinan. Di studio yang terang benderang dan panggung di Jepang. Menari telah memberinya sebuah kehidupan baru. Dan membawanya pergi dari Chanyeol.
"Uang adalah sebuah masalah." Sehun tidak melihat Chanyeol lagi.
Chanyeol ingin mata Sehun menatapnya. Chanyeol membungkuk ke arah Sehun. Meraih tangannya. Itu yang membuat tatapan Sehun segera kembali kepada Chanyeol.
"Aku akan menemukan cara untuk membayarmu," Kata Sehun. "Aku bisa melakukannya, hanya saja beri aku beberapa waktu."
Tingkatannya—untuk agen junior terbarunya. Bukan untuk jasa pribadinya karena Chanyeol tidak pergi ke lapangan lagi—tiga ratus satu jam. "Kita akan menyelesaikannya."
Chanyeol punya banyak rencana untuk Sehun.
Jari-jari Chanyeol terjalin dengan jari Sehun. Tangannya menangkupnya. Kulitnya kasar dan gelap, kecokelatan dari waktu ia menghabiskan dibawah sinar matahari. Tangan Sehun pucat, hampir rapuh. Jadi sangat mudah patah.
Bukankah Chanyeol selalu memikirkan tentang Sehun? Dari saat pertama Chanyeol melihat Sehun, ketika dia bergegas masuk ke ruangan itu, mendengar teriakan ketakutannya...
Jangan, tolong jangan!
Sehun sudah diselamatkan oleh dirinya.
Dirinya.
"Apa yang kau pikirkan?" Sehun berbisik.
"Caranya menjalankannya."
Bulu matanya panjang. Mata cokelat gelapnya begitu seksi. Napasnya berhembus sedikit terlalu cepat. "Aku tidak yakin bahkan kau masih mengingatku."
Hanya setiap menit. Ada beberapa hal seorang pria tidak bisa
lupakan.
"Kau seharusnya datang padaku lebih cepat." Chanyeol benci Memikirkan Sehun diluar sana, ketakutan. Sendirian.
"Terakhir kali kita berbicara," suara Sehun terasa membelainya tepat diatasnya. "Kau bilang untuk segera cepat keluar dari kehidupanmu. Kembali itu tidak mudah."
Mobil melambat.
Rahang Chanyeol terkunci. Kau tidak akan lolos begitu mudah saat ini.
"Aku pikir kita sudah sampai," kata Sehun dan menarik tangannya.
Chanyeol tidak melepaskannya."Kau bilang kau tidak punya kekasih."
Bagus. Chanyeol tidak ingin memikirkannya bersama beberapa bajingan lainnya. Tatapan Sehun menatap mata Chanyeol.
"Kau bisa, Sehun."
Ia menggelengkan kepalanya. "Chanyeol..."
Namanya terdengar serak dari gumamannya. Penolakan dan keinginan semuanya terikat bersama. Bibirnya terlalu dekat. Sehun beraroma sangat baik. Manis vanila. Cukup bagus untuk dimakan.
Chanyeol merenggut mulut Sehun. Tidak dengan lemah lembut dan pelan-pelan. Karena Chanyeol tidak pernah menjadi pria semacam itu. Chanyeol tahu dia bukan tipe kekasih yang lembut. Chanyeol berjuang untuk setiap suatu yang ia miliki. Dia terus
memperjuangkannya.
Lidahnya didorong ke dalam mulut Sehun. Rasanya bahkan lebih manis daripada aromanya. Bibirnya lembut dan memabukkan, dan Sehun membalas ciumannya. Sebuah erangan pelan naik ke tenggorokannya, dan lidahnya menyelusuri dengan mudah padanya.
Chanyeol sudah menjadi salah satu orang yang mengajarinya bagaimana berciuman.
Dan bercinta.
Chanyeol memperdalam ciumannya, menginginkan lebih, jauh lebih banyak dari Sehun daripada yang Chanyeol bisa dapatkan. Sehun datang padanya karena ia takut, tapi Chanyeol tidak tertarik pada ketakutannya. Chanyeol menginginkan gairahnya, dia menginginkan diri Sehun.
Sehun menarik diri. Bibirnya basah dan merah karena mulutnya. Candunya. Salah satu yang Chanyeol tak pernah bisa tinggalkan. Tak peduli berapa banyak uang yang dia punya, tak peduli berapa banyak pasangan yang hadir ke tempat tidurnya. Sehun adalah salah satu yang dia inginkan, salah satu yang Chanyeol akan miliki.
Ada harga untuk semua yang ada didunia ini. Chanyeol tahu pelajaran itu dengan baik. Sehun harus membayarnya. Jadi dia harus membayarnya juga.
Itu adalah sesuatu yang bagus Sehun mampu membayarnya kali ini. Sehun hampir melompat dari mobil ketika Chanyeol melepaskannya. Chanyeol keluar perlahan-lahan. Terlalu sadar akan rasa sakit baginya, dan rasa gairah yang tidak akan menghilang.
Sinar matahari menyinarinya. Awal musim semi, tapi masih dingin karena posisi kotanya. Chanyeol mengabaikan rasa dingin dan menatap pada kompleks apartemen. Bangunan tua, wilayah kumuh kebanyakan berada tepat diluar kota.
Saat Sehun berada di Jepang, tempat tinggalnya jauh lebih besar— begitu dekat dengan penerangan Broadway. Tagihan rumah sakit telah mengambil banyak uangnya. Sehun tahu itu. Chanyeol tahu jauh lebih banyak daripada yang Sehun sadari.
"Tunggu di sini." Dia memberitahu Minseok lalu Chanyeol mengikuti Sehun ke gedung.
Keamanan di apartemennya itu tidak ada. Siapapun bisa berjalan tepat di... Dan mereka melakukannya.
"Aku berada di lantai tiga," kata Sehun.
Lantai paling atas.
"Lift sedang diperbaiki sekarang, jadi..." Sehun berbalik ke tangga.
Chanyeol tidak bergerak. "Bisakah kakimu melakukan pendakian itu?"
Bahu Sehun tersentak. Ah, itu dia. Harga dirinya yang sengit. Salah satu hal yang dimiliki begitu menariknya kepadanya.
"Ya, aku bisa mengatasinya." Dan Sehun tidak melihat ke belakang saat mulai menaiki tangga. Tapi Chanyeol memperhatikan Sehun menempel sedikit terlalu rapat pada pegangan tangga.
Chanyeol mengikuti di belakangnya, dengan mudah menutup jarak yang memisahkan mereka, dan ia tetap satu tangga dibelakangnya, sepanjang jalan sampai di atas. Tatapannya memperhatikan segalanya. Cat yang mengelupas di dinding. Lampu yang berkedip-kedip. Lampu yang tidak menyala sama sekali.
Brengsek.
Lalu mereka berada di lantai tiga. Ada tiga pintu lain di lantai itu,tapi Sehun membawanya ke apartemen 301. Chanyeol menghentikannya sebelum Sehun bisa meletakkan kuncinya digembok. Chanyeol membungkuk, memeriksa gembok tua warna keemasan. Tidak ada tanda awal mula untuk menunjukkan bahwa seseorang telah mencoba untuk mencongkelnya. Disana tidak ada tanda-tanda gangguan sama sekali.
Chanyeol mundur, Sehun membuka pintu dengan suara berderit, engsel kuno dan jelas sekali membutuhkan minyak, Sehun bergegas masuk, hanya sedikit tersandung sebelum Sehun menyalakan lampu.
Apartemen itu kecil tapi sangat Sehun. Warna-warna cerah menghiasi dinding, mebel yang nyaman mengisi interiornya. Tirainya ditarik mendekat jendela. Membiarkan cahayanya mengisi ruangan.
Tempatnya beraroma Sehun.
Chanyeol maju ke arah jendela. Perangkat gawat darurat mengarah disepanjang jalan sampai lantai apartemennya. Jendelanya terkunci, dan lagi,Chanyeol tidak melihat tanda-tanda gangguan.
"Aku tahu apa yang kau lakukan." Sehun berdiri beberapa kaki dibelakangnya. "Detektif—Kim— tidak menemukan tanda-tanda kerusakan, juga. Tapi aku bilang padamu, seseorang telah berada disini."
"Apakah aku bilang bahwa aku tidak mempercayaimu?" Chanyeol menoleh pada Sehun.
Sehun menggelengkan kepala.
"Bawa aku ke kamar tidurmu."
Sehun bergerak mundur selangkah.
"Itu dimana dia perginya, bukan?" Chanyeol tidak membiarkan emosi memasuki suaranya. Sekarang bukan waktunya untuk emosi.
Sehun berputar dan berjalan menyusuri lorong sempit. Ia membuka pintu lain, "Ini...di sini."
Chanyeol melewatinya dan melangkah masuk ke dalam kamar sempit. Tempat tidur dari kayu tua berkaki empat. Sebuah laci—yang telah dicat biru cerah—menunggu untuk dibuang. Sebuah meja rias berdiri di sebelah kanan. Tidak ada yang tampak terganggu di kamarnya.
"Kapan terakhir kalinya kau pikir dia ada di sini?"
"Tadi malam," kata Sehun saat tatapannya ke tempat tidur. "Ketika aku pulang tadi malam, pakaian dalamku tertinggal ditempat tidur."
Chanyeol menatap tempat tidur.
"Aku tidak meninggalkannya disana." Lanjut Sehun dengan suara
tercekat. "Aku tahu aku tidak meninggalkannya di sana. Ada orang yang memainkan beberapa jenis permainan denganku."
"Aku tidak berpikir itu permainan." Chanyeol menjauh dari tempat tidur dan kembali pada Sehun.
Sehun belum beranjak dari pintu.
"Aku pikir seseorang menguntitmu." Chanyeol berhenti. "Seseorang seperti ini bisa sangat, sangat berbahaya."
Tatapan mata Sehun beralih pada Chanyeol.
"Membobol masuk ke rumahmu, untuk mengikutimu..." Chanyeol mengangkat tangannya. "Kedengarannya seperti pria yang terpaku padamu."
"Kau bisa menemukannya, kan?"
"Aku bisa. Agenku akan mengawasi tempatmu. Tidak ada seorangpun yang akan masuk ke sini lagi."
Napas Sehun berhembus keluar. "Terima kasih."
"Aku akan mendapatkan kunci yang lebih baik untuk pintu dan jendelamu." Chanyeol akan melakukannya lebih daripada itu.
"Kau akan aman di sini."
Sehun mengangguk dengan cepat.
"Kau akan lebih aman..." Chanyeol harus mengatakannya. "Jika kau pulang ke rumah bersamaku."
Mata Sehun melebar. "Chanyeol..."
"Ini tidak seperti akan menjadi pertama kalinya, Sehun."
Chanyeol mundur. Punggungnya membentur kusen pintu. "Aku tidak akan pulang denganmu...untuk itu."
Itu. Badai dari nafsu, kebutuhan dan keinginan yang telah dikonsumsi mereka sebelumnya. Hasrat yang tak terkendali hampir menghancurkan mereka berdua.
"Aku butuh bantuanmu, Chanyeol. Tapi tidak lebih dari itu."
Itu bukan semua yang Sehun inginkan. Tapi Chanyeol akan memberinya saat ini. Tidak lama kemudian, Sehun akan datang padanya.
Aku tahu kelemahannya.
Chanyeol memiringkan kepalanya. "Kalau begitu aku akan memulai perlindunganmu. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuk teman...lamaku." Sekali lagi tubuhnya menyentuh saat melewatinya.
Ketegangan berputar padanya saat Chanyeol menuju ke lorong.
"Kita, pernah sekali."
Suara Sehun menghentikannya.
"Kita berteman sebelum kita menjadi sesuatu yang lebih." Katanya lembut seperti bisikan.
Ya, mereka berteman, tapi mereka sudah kehilangannya, lama sekali.
Chanyeol mengeluarkan teleponnya saat menuju pintu depan. Segera setelah pintu depan tertutup, dia menuntut, "Aku ingin agen diapartemen Oh Sehun." Alamatnya datang darinya dengan suara yang kasar.
"Kunci baru. Kamera video dan alarm masuk." Sehun bahkan tidak memiliki alarm. "Aku ingin satu tim pengawas tempat ini."
Chanyeol ingat cara tangannya telah mencengkeram pegangan tangga. "Dan aku ingin lift dibenahi." Perintahnya akan ditaati. Stafnya merespon dengan cepat permintaannya.
Chanyeol bukan anak terbuang dan tak punya uang lagi. Chanyeol memiliki kekuasaan sekarang.
Chanyeol menoleh pada pintu Sehun yang terutup. Dia memiliki kekuasaan dan dia akan menggunakannya.
~oOOo~
Mimpi itu hadir lagi. Menyergapnya ketika Chanyeol lelah atau ketika dia memikirkan Sehun terlalu banyak. Chanyeol menemukan dirinya kembali di rumah tua itu. Salah satu atapnya merosot dengan karpet yang telah usang. Lain rumah. Lain tempat.
Malam pertamanya disana.
"Kumohon, jangan..."
Suara itu telah memanggilnya.
Chanyeol sudah berdiri sebelum ia berpikir dua kali. Berdiri dan dalam perjalanan padanya.
Mimpi itu mengambil alih.
Chanyeol mendobrak pintu kayu, memperlihatkan sebuah kamar tidur yang sempit. Dia tidak melihat orang yang ketika mereka membawanya ke rumah itu sebelumnya. Dua orang di atas tempat tidur. Anak laki-laki—"saudara" barunya, Kris. Yang lainnya
adalah bocah manis...yang bermata sedih. bocah manis yang terlalu malu berbicara dengannya sebelumnya.
Tapi Chanyeol yakin suaranya telah menjadi salah satu panggilan padanya, memohon, "Tolong, jangan."
Dia tidak bicara lagi. Tidak menangis, tidak memohon. Karena tangannya Kris menguasai mulutnya.
"Apa sih yang kau lakukan? " Chanyeol menuntut.
"Keluar bro, keluar!" Bentak Kris kembali, tapi suaranya tetap rendah.
Jadi, orangtuanya tidak akan mendengar?
Tatapan Chanyeol tertuju pada bocah manis itu. Air mata mengalir dari matanya. Satu tangan Kris menguasai mulutnya dan satu tangannya lagi mencengkeram pergelangan tangannya yang kecil ketempat tidur.
Kemarahan telah menguasai Chanyeol. "Lepaskan dia, sekarang."
"Keluar," Kris bicara lagi. "Atau aku akan memberitahu orang tuaku untuk mengusirmu dari sini. Ini adalah rumahku. Aku bilang
apa—"
Dia tidak bisa mengatakan apapun lagi. Chanyeol merobohkan pria itu darinya. Dia melayangkan tinjunya ke wajah Kris. Lagi dan lagi. Tulangnya patah. Darah menyembur. Chanyeol terus memukulinya.
"Hentikan! Kau bisa membunuhnya." Suaranya. Kedua tangannya
padanya.
Mata Chanyeol terbuka saat mimpi—masa lalunya—itu lenyap. Tangannya mengepal. Sehun membutuhkannya lagi.
Aku tidak akan mengecewakannya.
~oOOo~
Sehun menatap pada bayangannya. Terlalu pucat. Terlalu kurus. Dia tidak terlihat seperti seorang bintang yang menjadi pusat sorotan lampu.
Itu bukan aku.
Kadang, Sehun tidak yakin dia pernah benar-benar menjadi pria itu. Tangannya menggapai pegangan dinding. Dia memasangnya sendiri. Baru saja memposisikan cermin-cermin itu beberapa saat lalu. Tepat setelah Sehun selesai mengecatnya.
Menyelesaikannya—sendiri. Ada kebanggaan suram dalam pencapaiannya. Sehun bekerja keras dan menghadapi banyak kesulitan untuk tempat ini.
Studio telah mengambil uang terakhirnya. Sehun menguras depositonya dan membayar sewa selama setengah tahun. Sehun tahu kesempatan itu—enam bulan yang berharga—adalah peluangnya.
Untuk melakukan sesuatu. Untuk mengembalikan hidupnya. Studio adalah Sehun. Dan ia akan membuat studio ini bekerja. Hanya saja bayangan yang menatap ke arahnya di cermin itu yang
tidak tampak begitu yakin.
Sehun bangkit ke jari-jari kakinya, mengabaikan rasa berdenyutan dibetis kirinya. Denyutan itu akan segera beralih menjadi sakit. Tapi dia mengabaikan itu, juga. Sehun sudah terbiasa mengabaikan rasa sakit selama bertahun-tahun. Itu adalah aturan pertama menari. Jika kau ingin lebih baik, kau harus bekerja keras meskipun itu menyakitkan. Jika badan mu lemah, kau harus mengabaikan kelemahan itu. Kau menari sampai kakimu berdarah. Kemudian kau pergi ke panggung dan menari lagi.
Kedua lengannya terentang. Punggungnya melengkung. Kelas dansa pertamanya akan dimulai dalam tiga hari. Itu akan memberinya cukup waktu untuk-
Lampu mati. Semua lampu mati sekaligus. Menjerumuskannya
dalam gelap total. Tumitnya menginjak lantai kayu. Saklar otomatis itu.
Sialan, masalah yang sama ini pernah terjadi sebelumnya. Hanya saja saat itu pada siang hari dan sinar matahari bisa menerobos melaui jendela, memberikan penerangan yang cukup baginya untuk melihat.
Tapi sekarang, keadaannya malam hari yang akan semakin gelap gulita. Sehun meneruskan tangannya pada pegangan dinding saat dia menuju ke pintu. Manajer gedung sudah berjanji padanya untuk memperbaiki masalah ini.
Ini tidak di perbaiki. Ini... Desiran suara samar terdengar ditelinganya. Seperti sepatu. Melangkah dengan cepat.
Sehun membeku. "Apakah...ada orang di sana?"
Ketika Sehun meninggalkan apartemennya, anak buah Chanyeol telah memasang kunci baru dan sistem alarm. Salah satu anak buahnya bahkan mengikutinya ke studio tari. Sehun seharusnya aman.
Lantai berderit. Sehun kenal suara deritan itu. Itu adalah satu titik rusak di dekat pintu depan. Tiap kali dia memasuki studio, melangkah di tempat itu lantai berderit dibawahnya.
Sehun tidak sendirian.
Sehun berhenti menuju pintu. Sebaliknya, dia mundur, dengan cepat.
"Sehun..." sebuah suara serak menyebut namanya.
Memutar tubuh. Sehun berlari dari suara serak itu. Tapi Sehun berlari tidak jauh. Dua tangan kasar meraihnya, mengunci erat dan memeluk perutnya. Sehun memutar-mutar tubuhnya dan menyentak-nyentakkan tubuhnya—tangan-tangan itu memeluknya begitu erat, begitu sakit.
"Aku telah mengawasi..." Suaranya masih serak. Sebuah suara serak yang mengerikan. Pria ini lebih besar darinya. Jadi lebih besar dan lebih kuat. Dan dia memeluknya dengan mudah ketika Sehun menggeliat melawannya. Tapi pria itu tidak membekap mulutnya. Itu adalah kesalahannya.
"Tolong aku!" Sehun menjerit sekeras yang dia bisa.
Agen Chanyeol itu sedang berada diluar. Dia pasti mendengarnya. Dia pasti— Penyerangnya membanting Sehun ke cermin. Kacanya pecah dan berserakan di sekitarnya. Jari-jarinya membungkam mulut Sehun.
Mengingatkannya tentang mimpi buruk dari masa lalunya yang tidak pernah berhenti. Kepalanya sakit, tepat dimana ia telah membentur cermin. Pegangan kayu itu disembunyikannya dibelakang punggungnya. Nafas pria itu meniup daun telinganya.
"Aku akan menjadi satu-satunya," katanya dalam suara rendah dan kasar.
Sehun mengangkat lututnya. Mencoba untuk menendang kepangkal paha pria itu namun tidak mengenainya. Saat suara langkah-langkah kaki berderap kearahnya.
Ah! Langkah kaki—dan cahaya?
"Tuan Oh?"
Sehun berpegangan erat pada pegangan itu. Tampaknya menjadi satu-satunya hal yang menahannya saat itu. Pria itu ada di sini.
Dia ada di sini.
Sinar lampu senter mengenai wajahnya. "Tuan Oh apa yang telah terjadi? Aku mendengar kau menangis minta tolong."
Itu penjaganya—Kim Minseok. Dia mengenali suara dalam dan samar itu aksen Alabama. Jika dia bisa bergerak, Sehun pasti akan memeluk pria ini saat itu juga. Sebaliknya, ia berhasil mengatakan. "Dia ada di sini!"
Lampu senternya segera diarahkan pada ruangan itu. Membelah kegelapan. Tapi tidak menemukan seorang pun.
"Dia (pria)?" Minseok bertanya padanya saat ia mendekat. Lengannya memeluknya.
"Dia ada di sini," Sehun berkata lagi.
Chanyeol telah memperingatkannya, dia telah memberitahunya...
Dia berbahaya.
Dan Chanyeol benar. Jika Minseok tidak ada disana, apa yang akan penyerang pria itu lakukan?
"Sehun?"
Suara dalam yang familiar itu, dia tegang dalam pelukan lengan Minseok. Chanyeol. Lampu telah menyala kembali saat itu, menyinari dengan keterangan yang hampir menyakiti matanya.
Chanyeol bergegas mendekatinya. Dia menarik Sehun dari Minseok. "Apa yang baru saja terjadi?"
"Dia bilang ada seseorang di sini." Minseok tampaknya hanya memperhatikan pecahan kaca.
"Cepat. selidiki!" Chanyeol memerintahkan sambil menarik Sehun lebih dekat padanya. "Aku akan mengurusnya."
Pecahan cermin yang hancur telah berserakan di lantai. Mereka berderak di bawah sepatu Chanyeol yang mahal. Minseok bergegas menjauh dari mereka. Ketika dia berlari, Sehun melihat pistol ditangannya.
Nafasnya tercekat. Kenapa ini terjadi?
Jari-jari Chanyeol menelusuri rambutnya. Dia menggeram. "Sialan,kau bisa mengalami gegar otak."
Apakah ada benjolan dikepalanya. Yang membuatnya pusing dan mual. Tunggu, apakah itu gegar otak?
"Aku akan membawamu keluar dari sini."
Sebelum Sehun bisa mengatakan apa-apa lagi, Chanyeol sudah mengangkatnya ke dalam dua lengannya yang kuat. Chanyeol memeluknya dengan mudah. Seolah-olah berat badannya tidak ada sama sekali. Dan dia bergegas menuju ke pintu.
Kemudian mereka berada di luar. Udara segar menerpanya,mendorong kembali sebagian dari rasa mual, tapi tidak melakukan apapun untuk mengurangi ketakutannya. Ketakutan yang jauh terlalu kuat dari cengkeraman pada dirinya.
Chanyeol membawanya menuju jaguar gelap. Dia membuka pintu dan mendudukkan Sehun dikursi penumpang. "Ceritakan padaku apa yang telah terjadi."
Chanyeol tidak melihat Sehun dalam sepuluh tahun. Jadi mengapa Sehun begitu senang saat Chanyeol ada disana dengannya? "Aku sedang berlatih...kemudian lampunya padam. Aku - aku pikir itu karena korsleting listrik. Korsleting listrik ini pernah terjadi sebelumnya dan- "
Chanyeol menangkup dagu Sehun ditangannya. "Kapan orang itu datang?"
Sehun menelan ludah. "Ketika itu sudah gelap. Aku mendengar lantai yang berderit, dan aku tahu dia ada disana." Sehun menjilat bibirnya yang—terlalu kering. "Aku mencoba untuk lari, tapi ia
menangkapku."
"Apakah dia..." kata-kata Chanyeol yang menggertak. "Apa yang sudah dia lakukan padamu?"
Kelopak matanya berkedip-kedip saat Sehun mengingat-ingat. "Dia membanting kepalaku ke cermin. Minseok datang...sebelum dia melakukan hal lain."
Aku akan menjadi satu-satunya.
Kedua tangan Chanyeol gemetar. Dia mengepalkannya menjadi tinju dipangkuannya.
"Aku antar kau ke rumah sakit."
"Tidak, aku—"
"Aku antar kau ke rumah sakit," kata Chanyeol, kata-katanya menggertak marah. "Kau telah mengalami gegar otak. Kau harus diperiksa."
"Bos!" Minseok bergegas kearah mereka. "Aku sudah menyelidiki gedungnya. Tapi tidak ada seorangpun disana."
Tatapan Sehun melongok ke jalan. Disana ada bangunan-bangunan lain. Beberapa toko didekatnya. Tapi semuanya sudah tutup dimalam hari.
"Tetap disini. Minta bantuan tambahan ditempat kejadian," perintah Chanyeol pada Minseok. "Aku mau bajingan itu. Dan kita akan mendapatkannya."
Kemudian Chanyeol membanting pintunya tertutup. Sehun mengawasi Chanyeol melalui jendela, benjolan-benjolan dingin meningkat dikulitnya. Chanyeol mencondongkan tubuhnya pada Minseok. Membisikkan sesuatu yang tidak bisa Sehun dengar.
Benjolan dingin semakin memburuk. Sehun merasa begitu dingin. Begitu sangat kedinginan. Chanyeol berbalik dari Minseok dan berjalan kembali kearahnya. Pintu pengemudi dibuka. Chanyeol meluncur masuk ke dalam kendaraan, dan menghidupkan mesinnya.
Aku akan menjadi satu-satunya.
Kata-kata itu tidak bisa berhenti berbisik dipikiran Sehun. Mesin mobil meraung hidup. Dan jaguarnya membelah malam hari. Sehun menoleh kebelakang. Minseok berdiri disana. Menatap mereka.
Studionya terang benderang, setiap lampunya berpijar. Dan monster yang berada dalam gelap itu—ia telah lama pergi.
Tapi dia akan kembali.
Udara dingin mencekam. Menembus sampai ke tulang-tulangnya.
~oOOo~
"Sudah pasti gegar otak," kata dokter saat menyorotkan cahaya pada mata Sehun.
Chanyeol menyilangkan lengannya didepan dada. Dia mundur kebelakang sehingga dokter memeriksa Sehun. Tapi dia tidak akan meninggalkan ruang pemeriksaan yang sempit itu. Dia sedang tidak dalam mood membiarkan Sehun keluar dari pandangannya.
"Kami membutuhkanmu tinggal semalaman untuk observasi," kata Dokter Lee saat ia menurunkan cahayanya. "Ini tindakan pencegahan dalam situasi seperti ini—"
"Tidak," kata Sehun, yang langsung menolak kata-kata dokter. "Aku mau pulang."
"Aku tidak berpikir kau menyadari bagimana bahayanya gegar otak." Dokter berbicara dengan hati-hati, masih disamping tempat tidur dengan tenang mengerjakan beberapa dokumen mengurusnya dengan begitu mudah. "Cidera otak tidak bisa ditebak. Gegar otakmu tampaknya ringan sekarang. Tetapi bagaimana jika kamu kejang ditengah malam? Bagaimana jika kamu jatuh...adakah orang yang dirumah yang bisa menolongmu?"
Tatapan Sehun berpindah pada Chanyeol, lalu kembali ke dokter. "Aku—aku akan baik-baik saja."
Sehun akan sendirian.
Dokter menoleh kebelakang pada Chanyeol.
"Aku pasiennya," Sehun mengingatkannya.
Chanyeol agak terkejut dengan kemarahan dalam suaranya. Sebelumnya, Sehun ketakutan. Chanyeol sudah gemetar ketika ia pertama kali bergegas masuk ke studio itu. Minseok seharusnya menjaganya lebih baik. Agen yang kacau.
Tidak, aku yang kacau. Seharusnya aku yang terus di dekatnya.
Terlalu banyak waktu yang telah terbuang.
"Apakah kau... berhubungan dengan pasien?" Dokter bertanya pada Chanyeol. Jelas berusaha untuk mencari tahu hubungan Chanyeol dengan Sehun.
Chanyeol mengangguk. "Dia tidak akan sendirian."
Suatu ketegangan mereda diwajah dokter. "Kau harus menjaganya tetap terjaga. Mengawasinya sepanjang malam."
"Chanyeol..." Sehun mulai.
"Anggap saja masalah ini selesai." Kata Chanyeol.
Dokter mengangguk. Tampak bersyukur. "Aku akan menyiapkan surat perintah keluar rumah sakit."
Tapi kemudian Sehun ragu-ragu. "Kau akan memantaunya?"
"Sedekat mungkin." Chanyeol berjanji.
Dokter bergegas keluar dari ruangan, dan Chanyeol menuju ke meja pemeriksaan. Dia mengunci matanya dengan Sehun. Melupakan tentang dokter. "Ini adalah cara mainnya. Kau ikut denganku atau kau bermalam di sini?"
Pipi Sehun merah merona. "Aku sudah masuk rumah sakit cukup lama. Setelah kecelakaan, aku berminggu-minggu terapi. Aku tidak bisa tinggal di sini."
Kedua tangan Chanyeol menekan ke meja pemeriksaan dikedua
sisinya. "Kalau begitu kau ikut denganku."
Sehun yang berjalan masuk ke kantornya. Untuk kembali padanya. Sekarang Chanyeol tidak akan mundur.
"Pria misterius itu sudah bergerak cepat." Chanyeol memberitahu Sehun saat ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat.
Ruangan berbau seperti antiseptik, tapi Sehun beraroma vanila yang manis. Chanyeol cukup dekat untuk melihat warna keemasan dimata Sehun.
"Dia menyelinap melewati penjagaku. Dia mendapatkanmu. Dia menyakitimu." Chanyeol hampir tidak bisa menahan amarahnya.
"Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri sampai si brengsek itu keluar dari jalanan." kemudian sebuah ketukan terdengar dipintu. Chanyeol menoleh lewat bahunya.
"Aku detektif Kim Jongin!" terdengar suara memanggil. "Sehun, aku perlu bicara denganmu."
Mata Chanyeol menyipit. Dia jadi bertanya-tanya kapan polisi akan datang?
"Dia adalah salah satu orang yang telah menangani kasusku," Sehun bergumam. "Dokter-dokter itu...mereka pasti menelpon polisi."
"Kau diserang." Chanyeol tahu itu akan menjadi pembicaraan yang standar.
"Aku kira dia mempercayaiku sekarang," Sehun berkata dengan
tegang.
Tatapan Chanyeol kembali padanya. Sehun dibalut dalam salah satu pakaian rumah sakit berwarna hijau. Sehun tampak begitu rapuh duduk dimeja itu. Matanya sayu. Rambutnya adalah tirai gelap diwajahnya.
"Sehun!" Detektif Jongin memanggilnya lagi.
Dan sebelum Sehun bisa merespon. Pria ini mulai membuka pintu. Chanyeol bergerak cepat begitu pintunya terbuka, ia tepat berada dijalannya polisi.
Kim Jongin tersentak berhenti ketika melihat Chanyeol. "Siapa kau?"
Alis Chanyeol naik saat dia mempelajari detektif ini. Berumur awal tiga puluhan, berambut cokelat terang, sehat, dan dengan tatapan gelap yang hangat ketika mengamati dari balik bahu Chanyeol dan terfokus pada Sehun. Pria ini seketika menempatkan Chanyeol ke tepi.
"Aku temannya Sehun," jawab Chanyeol sederhana.
Tapi Chanyeol tahu orang lain akan mendengar nada posesif yang kasar dari suaranya. Jongin melangkah disekelilingnya. Tampak fokus sepenuhnya pada Sehun. "Apakah kau baik-baik saja?"
Senyum Sehun dipaksakan. Itu hampir tidak mengangkat bibirnya. "Hanya sebuah benjolan dikepala. Aku akan baik-baik saja."
Kemudian detektif ini benar-benar mengulurkan tangannya dan
memeluknya. Chanyeol tegang. Pekerjaan polisi macam apa itu? Detektif itu sudah jauh terlalu jauh dengan Sehun, terutama bagi seorang pria yang tidak percaya ceritanya tentang seorang penguntit.
"Serangan merubah hal," Jongin mengatakan saat jari-jarinya meraba buku-buku jari Sehun. "Ini adalah serangan. Aku bisa mendapatkan tim di—"
"Tim ku sudah siap di studionya," kata Chanyeol saat ia kembali ke sisi Sehun.
Jongin masih menahan tangannya. Masih menatap Sehun dengan penuh minat. Masih membuat Chanyeol jengkel dengan tingkat yang menakutkan. "Tapi pasukanmu tentunya boleh bergabung untuk perburuan."
"Tim mu?" Jongin mengulangi saat keningnya berkerut. Kemudian tatapannya—yang cokelat keruh—kembali pada Chanyeol. "Aku tidak tahu namamu."
Karena dia tidak diacuhkan. Sekarang ia, dengan senang hati. "Park Chanyeol." Dengan sengaja, meraih tangan Sehun dari detektif itu.
Jongin mundur selangkah. "Park Securities?"
"Ya."
Jongin bersiul dan menoleh kembali pada Sehun. "Kau menyewanya untuk melindungimu?"
Sebelum Sehun bisa menjawab, Jongin melanjutkan, "Aku tak mengerti. Jika Park Securities berada dikasus ini, kenapa dia bisa terluka? Bukankah kau seharusnya menjadi yang terbaik diwilayahnya?"
Genggamannya pada Sehun semakin erat, "Jika kita mengajukan pertanyaan, aku punya beberapa pertanyaan pribadi...seperti kenapa kau tidak melakukan pekerjaanmu lebih cepat? Seseorang telah menguntit Sehun selama berminggu-minggu."
Tidak. Lebih lama lagi jika Sehun sudah diawasi di Jepang.
"Karena tidak ada bukti," Jongin mendesis. "Tapi aku sudah mencoba,oke? Aku mengirim patroli lebih banyak kerumahnya. Aku mampir setiap kali aku bisa. Aku sudah berusaha untuk mengawasi Sehun."
Orang ini ingin lebih dari sekedar menjaga dan mengawasi Sehun. Itu sangat jelas bagi Chanyeol. Ekspresi detektif itu terlalu intens ketika dia melirik ke arah Sehun.
"Jangan khawatir, detektif," kata Chanyeol suaranya datar, "Aku akan terus mengawasinya dari sekarang."
Sehun mengamati diantara mereka. Bibirnya mengencang. "Aku hanya ingin orang ini tertangkap, oke? Aku ingin dia berhenti!"
Sehun menjauhi Chanyeol dan bergeser dari meja pemeriksaan. Ketika kakinya menginjak lantai, Chanyeol ada disana menahannya, berjaga-jaga.
"Ceritakan padaku semua yang telah terjadi," Jongin memberitahunya, membungkukkan bahunya saat bersandar didekatnya.
Mundur. Sehun tidak butuh polisi mengerumuninya.
Sehun menghampiri Chanyeol, karena tidak ada orang lain yang membantunya. Detektif ini tidak segera melangkah dengan cepat dan bermain sebagai pahlawan.
"Tidak banyak yang bisa diceritakan." Pakaian rumah sakit merosot dari bahu kanannya dan Sehun mencoba untuk segera menariknya kembali ke tempatnya. "Aku sedang bekerja distudioku. Lampunya mati. Aku–aku mendengar deritan lantai dan tahu-tahu ada seseorang ada disana. Aku mencoba untuk lari tapi p-pria itu menangkapku."
Chanyeol mengetatkan gigi gerahamnya sementara Sehun berbicara.
Bajingan, aku akan membuatmu membayarnya.
"Dia?" Jongin menyambar pada pemilihan kata. "Kau yakin itu seorang laki-laki?"
"Aku tak bisa melihatnya." Tatapan Sehun berpindah pada Chanyeol.
Dia kuat, besar...setinggi badannya Chanyeol. Tubuhnya melengkung diatas tubuhku ketika dia–dia memelukku menghadapnya. Suaranya sedikit bergetar.
Chanyeol menginginkannya keluar dari ruangan itu. Dia menginginkan Sehun berada dirumahnya, dimana ia bisa melindunginya.
"Apakah dia mengatakan sesuatu padamu?" Jongin menekan. "Apakah kau mendengar setiap jenis aksen dalam suaranya? Apakah dia–"
"Tidak ada aksen." Sehun menggelengkan kepalanya. Sedikit meringis. "Dia hanya berbisik padaku."
Jongin terhenti. "Apa yang dia katakan?"
"Dia bilang, 'dia akan menjadi satu-satunya'," Sehun memberitahu mereka, suaranya serak. Dia berkedip cepat, seolah-olah melawan air mata. "Itu semua yang dia katakan padaku, oke?" Perkataannya terucap dengan terburu-buru.
"Berbisik bahwa dia akan menjadi satu-satunya. Kemudian agennya Chanyeol bergegas masuk dan–dan pria itu melepasku."
"Setelah dia membanting kepalamu ke kaca," Chanyeol menambahkan,kata-katanya menghancurkannya.
"Tidak, sebenarnya dia membanting kepalaku ke kaca sebelum ia memberiku janji kecilnya." Sehun melingkarkan kedua lengannya diperutnya. Menatap pada Chanyeol.
"Bawa aku pulang," kata Sehun. "Bawa aku pulang denganmu."
Ya, tentu saja.
Dokter dan seorang perawat menuju ke ruangan kemudian. Dokter melirik Chanyeol sekilas. Dia memiringkan kepalanya. "Aku akan memastikan dia aman malam ini." Setiap malam.
Chanyeol dan detektif Jongin keluar ruangan sementara perawat membantu Sehun ganti baju. Chanyeol akan lebih senang lagi melakukan pekerjaan itu sendiri—melihat Sehun telanjang adalah salah satu hal favoritnya—tapi ia perlu menyingkirkan keraguan atau perasaan tidak enak dengan detektif.
Dan tampaknya pria itu ingin menyingkirkan keraguan dan perasaan tidak enak dengannya juga. Begitu pintu ditutup dibelakang mereka, Jongin berbalik arah ke Chanyeol, "Apa permainanmu?"
Chanyeol membiarkan alisnya naik. "Aku tidak memainkan sebuah game."
"Dua hari yang lalu, Sehun mengatakan padaku bahwa dia tidak terlibat dengan siapapun. Dia tidak punya keluarga dikota ini, tidak ada teman-teman dekat..." Jongin menghela nafas dengan kasar saat ia melotot pada Chanyeol. "Sekarang, kau berdiri disini, mengatakan kau adalah 'teman lamanya' dan membawanya pulang bermalam."
Ya, itu persis apa yang dia lakukan. Bukankah detektif itu jeli sekali?
"Sehun tidak menyukai rumah sakit. Setelah kecelakaannya di Jepang, Aku pikir itu dapat dimengerti." Ia tidak suka berpikir tentang kecelakaannya, tidak suka untuk mengingat— "Aku pernah mendengar tentangmu, Park."
Jempol buat detektif Kim Jongin ini. "Kebanyakan orang di Seoul tahu tentangku..."
"Kau punya uang. Semua itu berasal dari para klien."
Ya. Ya. Chanyeol melakukannya. Dia terlahir menjadi anak miskin dijalanan.
"Dan kau punya koneksi yang membahayakan."
"Koneksi keamanan tidaklah menyenangkan," Gumamnya.
Mata Jongin menyipit. "Kau berprofil tinggi. Kau menangani kasus-kasus besar. Kau tidak terdaftar sebagai pengawal beberapa orang."
Jika detektif ini terus mendorong, ia akan menemukan bagaimana sulitnya Chanyeol bisa menahan diri. "Ini bukanlah tentang beberapa orang," kata Chanyeol.
Waktu gilirannya untuk berbicara. "Ini tentang Sehun, dan aku jamin, dimanapun dia berada, aku sangat terlibat."
"Kau tidak ada dua hari yang lalu," Jongin membalas.
"Dua hari yang lalu..." Chanyeol menghela nafas perlahan dan berjuang untuk menahan amarahnya. "Itu pasti dulu ketika kau berpatroli, melakukan giliranmu di sekitar tempatnya."
"Ya," desis Jongin. "Aku sudah berusaha untuk melindunginya-"
"Dan sekarang aku disini untuk membantumu melakukan pekerjaan itu."
"Kau tampak seperti kau berada disini untuk menidurinya." Kata katanya rendah, kasar. Cemburu?
Chanyeol melangkah kearah Jongin. Orang itu hampir setinggi badannya, dan meskipun Jongin adalah seorang polisi, dia tampak lembut menurut Chanyeol dan itu menegaskan bahwa orang ini hampir tidak melihat dengan jelas kegelapan dalam hidupnya.
Aku telah melihat cukup banyak.
Cukup untuk menghargai cahaya yang datang padanya. Jongin menunjuk jari telunjuknya pada Chanyeol. Kesalahan fatal—cara itu bisa membuat jari itu patah.
"Aku punya seorang korban sedang di untit," Bentak Jongin. "Serangan pada dirinya—dan tiba-tiba, aku punya orang baru—
tunggu sebentar, maaf, seorang 'teman lama' —yang baru saja
memasuki arena. Dua hari yang lalu, dia mengatakan bahwa dia
tidak memiliki satu orangpun." Jongin terus mengomel tentang dua hari kebelakang.
"Dia punya seseorang," Chanyeol memberitahunya, menjaga suaranya datar dengan upaya monumental. "Dan sampai si brengsek yang mengejarnya itu tertangkap, Sehun tinggal bersama ku. Jadi, jika kau perlu menghubunginya," Chanyeol memberinya senyum terpaksa. "Temui aku."
Pintu terbuka dibelakang mereka. Sehun duduk dikursi roda, dan dia tentunya tidak terlihat senang. "Mereka bilang aku harus keluar dalam hal ini." Kedua tangannya menepuk roda. "Beberapa jenis aturan rumah sakit."
"Masalah tanggung jawab." Kata dokter. "Aku beritahu kau, ini—"
"Prosedural. Benar." Tangan Sehun diangkat dan terkepal dipangkuannya. Tatapan paniknya terkunci pada Chanyeol. "Aku harus ke luar dari sini."
"Sayang,, aku mengerti."
Dan Chanyeol melakukannya. Dia bergerak ke belakang kursi roda. Mendorongnya dengan hati-hati. Roda berputar di kursinya.
"Sehun!"
Detektif Kim Jongin adalah seorang yang brengsek, dan dia baru saja menyentakkan saraf terakhir Chanyeol. Apakah orang itu menyadarinya,dengan satu panggilan telepon saja, Chanyeol bisa mendapatkan pria ini mencatat surat panggilan pelanggaran parkir? Melakukan patroli lalu lintas? Atau menduduki bangku dimeja tugas?
Jongin bergegas disekitar mereka dan berhenti di depan kursi roda. "Berapa lama kau kenal Park Chanyeol?"
Sehun menelan ludah. "Sejak aku berusia lima belas tahun."
Jongin membungkuk kearahnya. Suaranya turun, tapi Chanyeol mendengar dengan jelas saat ia berkata, "Aku minta kau memberitahuku tentang setiap mantan-mantan yang mungkin kau miliki dikota. Seseorang yang mungkin sulit untuk melepaskan..."
Sehun menggelengkan kepalanya. "Chanyeol tidak pernah bermasalah dalam melepaskan hubungan."
Tatapan Jongin berpindah padanya.
Jongin tahu.
Itu sangat mudah untuk mengenali kebutuhan, nafsu, dimata orang lain. Dibelakang polisi. Chanyeol melihat Minseok berjalan menuruni lorong ke arah mereka.
Chanyeol memiringkan kepalanya ke arah polisi. "Pastikan detektif Kim Jongin ini memiliki informasi kontak kita, Minseok. Sehun akan tinggal bersama ku untuk sementara waktu."
Kepala Sehun berputar kearahnya. "Tapi aku—"
Chanyeol mendorongnya menyusuri lorong, meninggalkan Minseok untuk berurusan dengan Jongin. Detektif ini bisa menjadi masalah. Chanyeol harus mengawasinya, dengan hati-hati.
Karena tak seorangpun yang diizinkan ikut campur dengan rencananya untuk Sehun.
~oOOo~
To. Be. Continued.
~oOOo~
Holla~ ane datang dengan ff baru. Ada yang udah pernah baca story semacam ini?
Sumpah ini ngecheknya satu persatu sambil nahan ngantuk sampe mata berair gini. Huhuhu
Sesuai janji ane yang bakal ngepost ff ChanHun dan tadaaaa~~ how? Pada mudeng gak sama story dichapter pertama ini? Haha
Big Sorry kalo banyak sekale typo's yang merajalela. Sedang khilaf berarti itu ane. Haha
Gimana kelanjutannya? Mau dilanjut gak nih? Enggak juga gpp sih, haha atau mau update fast? Reviewnya dong yaa~ hehehe
Sampai ketemu dichapter selanjutnya ! pai~~
