Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: AU, Boys Love, OOC, Crack
Characters: Hatake Kakashi (27), Umino Iruka (23), Sasori (29), Deidara (19), Sai (17), Namikaze Minato (35)
Pairing: KakaIru, SasoDei
Rate: T
Monochrome Life
.
.
.
Chapter I: The Storywriter
.
.
.
Hari itu, matahari sudah cukup lama terbenam dan sebagian besar pekerja di perusahaan penerbitan terbesar di Konoha, Namikaze Publishing, sudah dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Namun sang Chief Editor, Namikaze Minato, yang berusia tiga puluh lima tahun dan beberapa staf senior lain masih sibuk menatap layar monitor ataupun laptop dihadapan mereka dengan kening yang berkerut, mata memicing, dan mulut yang sesekali melanturkan gerutuan tidak jelas. Puntung rokok dan tumpukan gelas bekas kopi yang tak terhitung lagi jumlahnya berserakan di atas meja. Lemari es di kantor terisi penuh dengan minuman energi serta makanan siap saji.
Gejala yang hanya bisa mengacu kepada satu hal: Deadline.
Selesai atau mati.
Lagi-lagi Minato terlambat dari jadwal yang telah ditentukan. Dengan kemajuan pekerjaannya yang bahkan tersaingi kecepatan jalannya taksi di tengah-tengah kemacetan kota Konoha, ia terpaksa harus lembur selama beberapa hari ke depan dan harus rela menerima amukan istrinya tercinta di rumah, Kushina. Terutama karena wanita cantik berambut merah itu pasti dilanda stress yang luar biasa. Penyebabnya? putra semata wayang mereka yang baru berumur empat tahun, Naruto. Minato bisa mendengar suara lucu miniatur dirinya itu dengan jelas di telinganya sekarang.
"Kacchan, kenapa Toucchan belum juga pulang?"
"Naru nggak mau tidur sebelum Toucchan pulang!"
"Naru cuma mau mandi bersama Toucchan!"
Minato tertawa kecut membayangkan wajah ngambek Naruto sekaligus ekspresi frustasi Kushina. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa perlu melonggarkan dasinya, seolah mempersiapkan mental menyambut kemarahan pasangan hidupnya selama hampir lima tahun ini. Dulu, Kushina dijuluki "Habanero Berdarah", mengacu kepada perilakunya yang menyeramkan ketika sedang marah. Dan percayalah, itu bukan dilebih-lebihkan. Sayang sekali tidak ada saksi mata yang bisa hidup cukup lama untuk memastikannya—OK, yang barusan itu tidak benar.
Di sekeliling, di antara bunyi ketikan dan suara printer yang bekerja, ia bisa mendengar teriakan-teriakan frustasi rekan-rekannya sesama staf senior.
"Umino! Mana naskah yang baru masuk?!"
"Ah, sudah ada di meja anda, Yamanaka-san."
"Umino! Mana teh dan cemilan milikku?!"
"Ini, sudah kusiapkan, Akamichi-san."
"Umino! Sudah kau telepon istriku kalau aku pulang terlambat?!"
"Sudah dari tiga jam yang lalu, Nara-san."
Minato tercengang.
Jari-jarinya terhenti sejenak dari aktivitasnya menyiksa keyboard di laptop-nya. Hebat sekali part-timer kita kali ini. Umino katanya?
Minato berdiri, mengangkat kepalanya melewati cubicle meja untuk melihat wajah pemuda-laut itu lebih jelas.
Anak yang manis, usianya kira-kira awal dua puluh tahunan. Kulitnya sedikit gelap karena terbakar matahari. Rambutnya cokelat panjang, diikat kebelakang dengan rapi. Ada bekas luka unik yang memanjang secara horizontal di hidungnya. Saat itu ia mengenakan plaid shirt lengan pendek di atas kaus putih polos dan celana jeans biasa, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang ramping namun tampak kuat. Ia seperti seorang pemuda yang akrab dengan alam, pembawaannya pun terlihat menyenangkan.
Minato tidak dapat menahan dirinya untuk menyelidiki lebih jauh tentang pemuda itu.
"Umino~".
"Ya, Namikaze-san?" Umino Iruka, yang saat itu sedang mengangkat bertumpuk-tumpuk kertas naskah yang tingginya hampir mencapai wajahnya sendiri, menoleh ke arah Minato, "Ada yang bisa kubantu?"
"Kau sudah punya pacar belum?"
"Pa-pa-pacar?" Pemuda itu gelagapan, tumpukan naskah yang dibawanya jatuh ke lantai. "Ma-maaf, Namikaze-san! A-aku sampai sekarang belum punya... pacar." Ia membungkuk dalam-dalam.
Menutupi mulutnya dengan sebelah tangan, Minato berusaha untuk menahan tawanya.
Kenapa ia harus minta maaf sampai membungkuk segala? Dan di jawab pula dengan jujur pertanyaan bodoh Minato barusan. Orang yang menarik.
Iruka berlutut, memungut dan merapikan semua kertas yang terjatuh. Dalam hati ia bertanya-tanya kenapa Kepala Editor-nya tiba-tiba menanyakan hal aneh itu kepadanya. Masih sambil tersipu, ia memutuskan untuk segera bertanya, "Ka-kalau boleh aku tahu… kenapa, Namikaze-san? Tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Hmm... jadi tidak akan ada yang keberatan kan kalau kau kuminta untuk meliput perayaan Festival Obon di kuil akhir pekan ini?"
Pertanyaan sekaligus pernyataan itu membuat wajah Iruka bersinar penuh semangat dengan seketika.
"Benarkah? Namikaze-san mempercayaiku dengan tugas ini? Meliput Festival Obon terbesar di Konoha untuk isu bulan depan?" Ia berdiri menatap Minato dengan pandangan mata yang berbinar-binar. Terkejut sekaligus senang, karena ia dengar biasanya Namikaze Minato sendiri yang pergi meliput salah satu perayaan tradisional terbesar di Konoha itu.
"Ya. Untuk Konoha Life. Kebetulan kali ini aku tidak mungkin meninggalkan kantor. Kau lihat sendiri kan, semua pekerjaan ini? Aah, mungkin tahun depan kita harus berhenti membuat edisi spesial liburan musim panas. Benar-benar merepotkan. Jadi, Umino-kun... bagaimana? Kau menerima tugas ini?"
"Tentu saja!"
"Semangat yang bagus," Minato memperlihatkan senyuman khasnya, "Persiapkan dirimu baik-baik. Kau langsung berangkat besok sore. Temui Haruno-san di lantai dua untuk detail perjalananmu."
"Hai! Terimakasih banyak Namikaze-san! Aku berjanji tidak akan mengecewakan!" Iruka kembali membungkuk dalam-dalam.
Minato beruntung kalau senyumannya yang mencurigakan saat itu luput dari pandangan sang part-timer.
.
.
.
Festival Obon.
Sebuah perayaan tahunan yang dilangsungkan untuk menghormati roh para leluhur. Berlangsung selama tiga hari lamanya, dimulai dari tanggal tiga belas Agustus dan mencapai puncaknya pada lima belas. Di Hi no Kuni sendiri, festival ini diselenggarakan dan disponsori oleh kuil-kuil yang ada di setiap daerah, bekerja sama dengan pemerintah setempat. Di Konoha, kuil tempat Hatake Kakashi tinggal lah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaannya.
Persiapan telah dimulai sejak beberapa minggu sebelumnya, dan sekarang, situasi sedang berada dalam titik tersibuk. Kakashi sendiri cukup senang dengan kedatangan tradisi tahunan ini. Dengan begitu ia bisa beristirahat sejenak, lepas dari laptop-nya yang merupakan senjata perangnya sehari-hari untuk menulis novel. Ya, keturunan terakhir dari nama Hatake itu adalah seorang novelis. Pekerjaan yang sudah ditekuninya selama hampir enam tahun terakhir.
Selain kompleks kuil, rumah Hatake juga merangkap lahan pemakaman pribadi dan penginapan tradisional. Tidak sedikit kenalan atau sahabatnya yang memanfaatkan libur musim panas untuk datang berkumpul. Terutama mendekati perayaan Obon, salah satu festival terbesar di Konoha, bahkan di seluruh negeri.
.
.
.
Sore itu berlalu seperti sore hari di Kompleks Hatake seperti biasanya.
Kakashi menghabiskan lima menit terakhir dengan terus menatap tetesan air hujan yang menerpa kaca jendelanya. Ia benci hujan. Terutama hujan di musim panas. Hujan di musim panas membuat pikirannya bekerja dengan cara yang membuatnya tidak nyaman. Hujan di musim panas membuatnya berpikir tentang kontradiksi dalam logika. Hujan di musim panas membuatnya membayangkan awan cumulonimbus di langit biru cerah.
Hujan di musim panas membuatnya mengingat kilatan cahaya yang menyakitkan di gelapnya malam dan—
Kakashi merapatkan yukata hitam polos yang membungkus dirinya lebih jauh lagi. Diusapnya sebelah matanya dengan punggung tangan. Padahal baru saja ia terbangun dari tidurnya, tapi sekarang, ia sudah mulai mengantuk lagi. Pria berambut abu-abu keperakan itu mulai melirik kembali futon-nya yang terlihat menggoda ketika ia mendengar suara yang tidak asing baginya.
"Yo, Kakashi... sedang membayangkan adegan tak senonoh ya?"
Kakashi menoleh melewati bahunya untuk melihat sosok—yang juga—familiar, bersandar di ambang pintu. Pria itu berambut merah pendek, dengan mata besar berwarna kecokelatan. Posturnya yang tidak terlalu tinggi mendukung wajahnya yang manis, tampak jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Hari itu ia mengenakan celana jeans dan kemeja putih yang dibalut sweater lengan panjang berwarna krem. Bertelanjang kaki tentunya, karena pemakaian segala bentuk alas kaki di dalam rumah tradisional itu tidak diperbolehkan.
"Maumu begitu... Sasori," Kakashi tersenyum, mempersilakan teman lamanya untuk masuk, "Akhirnya datang juga. Bagaimana penerbangannya?"
"Hn. Membosankan seperti biasa. Kalau bukan karena para flight attendant-nya yang cantik-cantik, aku pasti sudah tertidur sepanjang perjalanan," ia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, "Ah, Deidara kali ini juga ikut. Tadi sih terakhir kali aku cek masih mandi. Dasar, seperti wanita saja mandinya lama sekali." Sasori lalu turut duduk bersila di sebelah Kakashi.
"Beraninya mengomel kalau dia sedang tidak ada disini."
"Yaah, kau tau sendiri lah dia seperti apa orangnya."
"Kalian pasangan yang serasi."
Sasori tertawa. Sungguh, kata serasi bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan antara Sasori dan Deidara. Hei, Sasori bahkan tidak tahu apakah mereka berdua bisa disebut sebagai pasangan. Hanya dengan memikirkan prospek dari hubungan mereka saja sudah membuat Sasori sakit kepala. Beruntung, pemikirannya lalu teralihkan ke permasalahan lain.
"Bagaimana denganmu?" Pemuda berambut merah itu mengerling tumpukan kertas dan laptop yang terbuka disamping Kakashi, "Novel baru? Tentang apa?"
"Hmmh... tentang... penulis muda yang introvert karena sejumlah tragedi dalam hidupnya. Suatu hari, ia bertemu dengan orang asing yang tersesat ke rumahnya kemudian keduanya terlibat cinta pada pandangan pertama. Bagaimana?" Kakashi menjawab dengan intonasi ringan dan ekspresi malas seperti biasa, membuat Sasori tidak bisa menebak apakah temannya ini bercanda atau mengatakan hal yang sebenarnya.
"Gah, standar sekali. Kecewa nih. Lagi kehabisan ide ya? Lalu, apa draft-nya sudah selesai? Boleh kubaca?"
"Belum... dan tidak."
Sasori mengangkat kedua alisnya, "Ending-nya bagaimana?"
"Aku belum tahu."
"Belum tahu?" Sasori mendengus, "Sikapmu aneh, Hatake. Biasanya kau tidak peduli dan kadang langsung melemparkan draft novel barumu ke wajahku untuk kubaca."
"Kali ini tidak, Sasori. Sayangnya, aku tidak bisa membiarkanmu membacanya sebelum ceritanya benar-benar selesai."
"Jadi aku harus menunggu? Kau tahu kan kalau aku benci menunggu? Atau jangan-jangan kali ini kau memutuskan untuk membuat sensasi dengan menulis cerita erotis?" Sasori tersenyum nakal, "Aku tahu dari pengalaman langsung bahwa kau sangat berbakat dengan tanganmu, Hatake."
Kakashi tertawa mendengar komentar itu, menggelengkan kepalanya, "Akasuna Sasori... kau dan pikiran kotormu."
"Hatake Kakashi... apa kau sudah lupa, siapa yang jadi sumber inspirasimu dulu?"
Sasori bergerak ke arah Kakashi, dengan mudah mendorong pria yang lebih muda itu ke lantai ber-tatami. Sebuah senyum miring menghiasi parasnya ketika ia mendekat ke leher sang novelis, "Atau perlu kubangkitkan gairah—maksudku, ingatanmu sekarang juga?" Ia mendesah menggoda, semakin menekan tubuhnya ke pria yang lebih muda.
Kakashi memutuskan untuk mengikuti permainan Sasori, sebelah tangannya meraih bagian belakang kepala Sasori, perlahan menelusuri helaian rambut merah, menarik Sasori mendekatinya. Saat ini keduanya dapat hembusan nafas hangat partner-nya menggelitik leher masing-masing. Sampai suara rendah Kakashi memecahkan seluruh momen itu dengan sebuah celetukan santai, "Yah... boleh saja sih kalau orang yang berdiri di depan pintu tidak keberatan?"
"Orang?" Sasori langsung bangkit dari posisinya yang tertelungkup diatas Kakashi, menoleh ke arah pintu geser yang terbuka. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa sejak tadi ada orang yang mengamati dari awal sampai akhir peragaan adegan homoerotis mereka.
Air mukanya sulit untuk di interprestasikan, menyaingi kompleksnya konsep abstrak. Ekspresi dengan kombinasi kemarahan, kesedihan, sekaligus kekecewaan yang mendalam, "Sa-Sasori-danna..." hanya itu yang terucap dari mulutnya. Pemuda itu menggigit bibir bawahnya.
"Se-Sejak kapan..." mata Sasori semakin membesar karena panik.
Ia mengharapkan Deidara sebentar lagi berjalan menghentakkan kaki ke arahnya kemudian melayangkan sebuah pukulan keras ke wajahnya. Seperti waktu ia tertangkap basah sedang menggoda Konan, salah satu rekan kerja wanita di kantor. Bukan pengalaman yang menyenangkan. Perlahan, sebelah tangan Sasori refleks memegangi sebelah pipinya.
"Tunggu sebentar, Dei! Ini bukan seperti apa yang kau bayang—"
"Sasori-danna jahat, un!"
"Eh?"
Benar-benar reaksi yang diluar dugaan.
Dalam sekejap Deidara menghilang dari pintu, langkahnya yang berlari cepat dapat terdengar di sepanjang koridor. Sasori langsung berdiri, namun kedua kakinya tetap melekat pada tempatnya. Ia tidak mampu menentukan sikap apa yang harus ia ambil. Jadi, ia memutuskan untuk berteriak marah dengan sebuah telunjuk teracung ke wajah Kakashi, "Sial! Ini semua salahmu!"
Kakashi kembali duduk ke posisinya semula, "Bukan salahku kalau kau begitu mudahnya tersihir pesona wajah ini," Tukasnya sambil tersenyum miring.
"Narsismu belum sembuh juga, brengsek? Kok malah tambah kronis?"
"Hei, Sasori-danna yang jahat, lebih baik cepat kau kejar si pirang itu sebelum dia loncat ke sumur di belakang kuil. Repot nanti memungut mayatnya."
"Hmph. Sampai jumpa nanti malam kalau begitu." Sasori berkata sebelum bergegas berlari keluar menyusul Deidara.
"Yah, kau tidak akan melewatkan kesempatan untuk makan gratis tentunya," gumam Kakashi. Kehilangan hiburan, Kakashi memutuskan untuk menghabiskan sore yang dingin dengan kembali tidur.
.
.
.
Menjelang malam, Kakashi turun ke dapur untuk mengawasi beberapa juru masaknya mempersiapkan makan malam. Menu hari ini: sup miso dengan ikan yang diasinkan. Makanan favoritnya sejak kecil. Hmm, ia mungkin lupa kalau Sasori alergi ikan laut. Tak apalah, si maniak boneka mesum itu bisa sepuasnya menenggak miso. Orang yang menumpang makan tidak boleh jadi pemilih.
Hujan rintik yang turun sejak sore berkembang menjadi lebih deras, membuat suhu di ruangan menjadi lebih dingin beberapa derajat. Kakashi sedang mempertimbangkan untuk mengganti yukata-nya dengan sweater dan jeans ketika seorang remaja berambut gelap, kontras dengan kulitnya yang sangat pucat masuk ke dalam dapur, "Senpai, ada seorang pemuda yang mencarimu."
"Sasori?"
"Bukan Sasori-san. Aku belum pernah melihatnya, mungkin tamu. Karena tidak terlihat mencurigakan, kupersilakan dia masuk. Lagipula kasihan, diluar hujan. Sekarang ia ada di resepsi."
"Baiklah, nanti aku kesana." Kakashi merespon, namun ketika Sai hendak beranjak pergi, Kakashi mencegahnya, "Eh, Sai... kau..."
Sai berbalik. Matanya menghilang di balik senyum manis, "Ya, Kakashi-senpai?"
"Tadi kau menyambut tamu dengan... cela—ehm, pakaian seperti itu?"
Sai menjatuhkan senyumnya, melihat kebawah, menatap dadanya sendiri yang telanjang, bebas dari segala bentuk kain yang biasa menutupinya. Ia tersipu, malu.
"... Benar juga. Maafkan aku, senpai. Kuharap ini tidak akan terjadi lagi. Aku lupa memakai bajuku lagi, habis tadi diluar panas sih."
Kedua mata Kakashi nyaris keluar dari tempatnya mendengar respon itu. Lupa? Kakashi bersyukur Sai masih selalu ingat untuk memakai celananya. Ini bukan pertama kalinya Kakashi menangkap Sai berkeliaran di tempat umum tanpa baju. Bagaimana jadinya kalau dia sampai ditangkap polisi? Kakashi menggelengkan kepalanya.
Sungguh aneh.
Kakashi menduga mahasiswa jurusan seni itu akan memilih karir part-time menjadi seorang eksibisionis nantinya. Eksibisionis dengan ekspresi datar dan tingkah laku yang sopan luar biasa. Kakashi merinding membayangkan suatu hari Sai akan sampai di titik ekstrim, berdiri di tengah-tengah gerbong kereta tanpa busana, membuka buku di satu tangan dan berkata santai, "Maafkan saya, Tuan dan Nyonya sekalian... apa anda terganggu dengan komposisi tubuh saya?"
Khayalan Kakashi barusan memberikan arti baru dalam kata horor.
"Senpai?" Lambaian tangan Sai tepat di depan wajah Kakashi mengembalikan pikirannya ke realita, "Kakashi-senpai?"
Kakashi berdehem, "Err, nanti malam mau ikut makan bersama? Ada Sasori dan Deidara."
"Ah, maaf sekali lagi Kakashi-senpai. Aku masih harus menyelesaikan lukisanku untuk tugas akhir. Kebetulan aku sedang bersemangat hari ini. Kalian makan duluan saja."
"Kalau begitu nanti salah satu pelayan akan membawakan makanan ke kamarmu."
"Terima kasih. Aku permisi dulu."
Sai keluar dari dapur disusul oleh Kakashi. Dari sana, keduanya menuju arah yang berbeda. Sai kembali ke kamarnya di lantai dua, sedangkan Kakashi menuju ruang resepsi. Menyadari kehadiran Kakashi dalam ruangan, pemuda asing yang tengah bersandar di sudut ruangan itu melepaskan diri dari dinding kayu yang nyaman. Suaranya yang jernih mengalun di tengah-tengah deru hujan, "Hatake... Kakashi…"
Kakashi menunggu pemuda itu untuk meneruskan kalimatnya. Namun, karena setelah beberapa waktu ia hanya mendengar suara air yang berjatuhan dan aktivitas samar dari arah dapur, Kakashi memutuskan untuk menanggapi.
"Ya, aku orangnya."
Pemuda itu lantas terkesiap, seolah-olah dibangunkan dari lamunannya.
"Ah! Maaf, hanya saja kau berbeda dengan bayanganku." Ia membungkuk memberi salam, kemudian memperkenalkan diri, "Aku Umino Iruka, dari Namikaze Publishing? Kata Namikaze-san seharusnya aku menginap disini selama seminggu untuk meliput festival Obon."
"Hm... kata siapa tadi kau bilang?"
"Namikaze Minato."
"Minato-sensei?" Sejujurnya, Kakashi belum mendengar apapun tentang ini dari Sensei-nya. Belum sempat ia berasumsi, telepon genggam di tangannya bergetar, tanda ada pesan singkat yang masuk. Ternyata dari orangnya sendiri.
Kakashi-kun, apa kabar? Kuharap kau sehat.
Maaf, kali ini karena deadline aku tidak bisa datang meliput festival Obon.
Sebagai gantinya kukirim part-timer ku yang manis, Iruka.
Jaga dia baik-baik ya.
xoxo
Jadi ini maksudnya.
Kakashi menghela nafas keras-keras. Agak sedikit tidak peduli kalau itu dianggap tidak sopan oleh lawan bicaranya. Membuang sedikit rasa kecewa karena tidak bisa bertemu dengan sensei-nya, Kakashi menatap Iruka dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Manis juga.
"Jadi, Iruka?"
"Ya, Hatake-san?"
"Kau sudah punya pacar belum?"
[Tbc]
Author's Note: Maafkan, buat para fans fine gentlemen di atas! Mudah-mudahan saya nggak berlebihan mempermainkan karakter favorit kalian :D Halo! Berjumpa lagi dengan saya (siapa ya?), namun dalam multichapter yang berbeda. Kali ini saya kembali dengan pairing yang sudah jadi favorit saya selama hampir delapan tahun ini, KakaIru. Entah kenapa disela-sela pembuatan Pandemonium: Revival saya jadi kepikiran untuk bikin fic ini. Berbeda dengan PR, kali ini ceritanya lebih ke romance. Draft MonoLife ini sudah hampir berbulan-bulan ada di hard disk dan akhirnya saya putuskan untuk publish setelah sekian lama :3 Dibuang sayang :D
Ada yang tertarik jika cerita ini saya lanjutkan? Saran atau komentar bisa dibuang langsung ke kotak review.
Cheers,
Sei
