The Butler
.
.
Genre :
Drama, Angst, Tragedy, Romance, Hurt/Comfort.
.
.
.
Rating : M
.
.
.
Warning:
AU, Newbie, typo(s), abal, MAINSTREAM, Mirip sama punya orang, Asal-asalan, pokoknya aneh dah.
.
.
Summary:
Berjuta kisah yang sama selalu tertulis, selalu tertulis dan akhirnya dilupakan oleh waktu. Ditelantarkan oleh ayahnya sendiri dan menderita dibawah kekuasaan ayahnya, Uzumaki Naruto bersumpah bahwa tidak peduli apa pun yang terjadi dalam hidupnya, dia akan menjadi sosok yang dapat melindungi orang lain.
.
.
Notification:
"Blablabla" = perkataan yang diucapkan langsung.
'Blablabla' = perkataan dalam hati.
.
.
Desclaimer: This is just fiction, purely to entertain the reader and justify the way my writing is difficult to understand. And I do not mind anyone who wants to read.
Selamat membaca!
.
.
Who am i? (I am a Butler)
Chapter 1
Rumah kecil itu mengingatkanku akan cerita masa kecilku bersama ibu. Saat itu aku masihlah anak-anak, yang berusia sepuluh tahun dan tinggal disebuah rumah kecil yang terdapat di salah satu desa terpencil yang ada di daerah kami. Desa kami sangat jauh dari kota, bahkan tidak ada satupun akses kendaraan untuk berpergian. Aku ingat untuk mencapai sekolah, aku harus jalan kaki menempuh hampir dua kilometer. Saat itu, ibu masih mengandung tiga bulan dan harus bekerja keras untuk menghidupi aku dan adik dalam kandungannya.
Aku pikir… masa kanak-kanakku akan begitu bahagia.
Usia sepuluh tahun yang seharusnya dilalui dengan bermain, belajar, dan berkumpul bersama kawan-kawan tidak pernah aku rasakan. Sepulang sekolah, aku harus membantu ibu berjualan dipasar. Sepulang dari pasar, ibu harus bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil ini. Kadang aku sedih melihat ibu harus bekerja keras seperti itu.
Lalu, apa gunanya ayah?
Jiwa wanita tercipta dari tulang rusuk laki-laki, bukankah sangat bodoh jika menjadikannya sebagai tulang punggung?
Tetapi, aku tidak bisa berbuat banyak. Tangan-tanganku yang masih terlalu kecil tidak bisa banyak membantu ibu. Yang bisa dilakukan hanyalah membantu ibu sebatas kemampuanku. Namun aku tetap harus berjuang, tidak akan pernah menyerah meskipun betapa tragisnya kehidupanku hingga semua itu pada akhirnya akan berakhir.
Kehidupan keluarga kami pun sangat jauh dari hal-hal yang mewah, meskipun ayah merupakan seorang pengusaha yang selalu berpergian ke kota dan mencari uang dengan berbagai macam hal, meskipun dia jarang/tidak pernah kembali. Tapi, itu tidak membuat ibu putus asa. Karena makan tiga kali sehari saja sudah merupakan sesuatu yang sangat bagus. Yang kami dapatkan, bahkan sangat sering kami makan satu kali dalam hari.
Aku tidak akan pernah mengungkapkan bahwa aku merupakan anak yang lembek, karena jarang sekali aku merasakan apa itu sakit meskipun tubuh ini merasakan luka-luka ketika membawa benda-benda berat untuk membantu ibu. Aku tidak pernah mengeluh akan hal itu, karena… untuk ibu, apapun akan kulakukan.
Malam itu, adalah malam yang sangat larut. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik dan binatang malam. Ibu terbangun dari tidurnya, menatapku dalam-dalam, lalu menitikkan air mata. Tidak pernah sebelumnya ibu menitikkan mata seperti itu, aku terpaksa pun terbangun dari tidurku dan berbisik ditelinganya dengan lembut. "Kaa-chan, hidup memang berat. Tapi, itulah yang harus kita hadapi. Naru tidak akan menyerah seperti apa yang Kaa-chan lakukan." Kuseka air mata ibu dengan lembut, lalu kupeluk erat.
Kulihat senyuman terukir diwajah ibu, beban berat yang selama ini dirasakannya mulai berkurang. "Kamu masih kecil, Naru. Jalanmu masih panjang. Kaa-chan akan berjuang sebisa mungkin untuk membahagiakan kamu dan adik dalam kandungan ini tanpa seorang yang disebut Ayah."
..
..
Tapi, malam itu adalah malam yang menakutkan. Ayah pulang dari kota dan bertengkar dengan Ibu. Pukulan dan tendangan itu melayang ke tubuh ibu, walau ayah tahu saat ini ibu sedang mengandung.
Ibu menangis, tapi kemarahan Ayah menjadi-jadi. Tendangan dilancarkan lagi. Sementara aku sembunyi di bawah ranjang.
Tidak banyak yang bisa kulakukan. Tangisan kecilku terdengar oleh ibu. Tetapi, tidak banyak yang bisa ibu lakukan untuk menenangkanku. Hingga aku merasa, bahwa aku adalah… anak yang lemah.
Rintihan kesakitan ibu menghentikan pukulan Ayah. Setelah puas, dia menarik tubuhku dan mulai melancarkan pukulan yang sama seperti yang ia lakukan kepada ibu. Saat itu aku hanya bisa menangis dan menahan sakit, luka memar dan sayatan benda tajam pun membentuk luka di tubuh kecilku. Tidak pernah rasanya aku melihat hal yang menakutkan, selain malam itu. Hingga aku sadar bahwa kepergian ayah membuat keluarga kecil ini lebih baik.
Sudah beberapa hari minggu berlalu, bekas luka dan memar itu masih saja terlihat jelas di tubuh kami. Namun, akulah yang paling merasakan rasa sakit itu. Aku tidak begitu peduli dengan luka pisau yang melintang di dadaku, karena mendengar rintihan sakit ibu membuat hatiku teremas. Apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban ibu? Tangan-tanganku masih terlalu kecil. Umurku baru sepuluh tahun, tapi aku sudah bisa merasakan kesengsaraan yang dialami oleh ibu.
Bulan-bulan yang terlewati kini sudah tidak terasa bagi kami, seperti yang kutuliskan dengan tinta hitam diatas. Kepergian ayah membuat keluarga kecil ini lebih baik. Walau hanya sesaat, cukup bahagia melihat senyuman di wajah ibu telah kembali.
"Naruto, adikmu menendang," Ibu tersenyum tipis, tangannya bergerak menuju perutnya. "Sepertinya dia tahu jika kakaknya berada di sebelahnya."
Wajahku sumringah mendengarnya, terkagum. "B-bolehkah aku memegangnya?"
"Tentu saja," jawab ibu
Aku mengulurkan tangan dan menyentuh perut bunci ibuku dengan ragu-ragu. Aku tidak ingin terlalu kuat menekannya, bagaimana jika bayi di dalam perut ibuku keluar jika tanpa sadar terlalu kuat menekannya?
Tapi, takdir yang menyedihkan selalu menghampiri kami.
Malam itu, entah kenapa aku tidak bisa menutup mataku. Entah sudah berapa kali aku berguling-guling di tempat tidur dan tidak bisa terlelap dalam mimpi. Seolah ada yang mengganggu dan membuatku tidak nyaman. Tidak biasanya aku seperti ini, apalagi dengan tubuh lelah dan segudang pekerjaan yang menungguku besok.
BRAK!
Tubuhku mematung ketika mendengar suara gebrakan pintu, dengan gerakan cepat aku pun berlari menuju kamar ibu yang saat itu masih mengeluarkan suara-suara benda berjatuhan.
"Kaa-chan, ada apa-"
Tenggorokanku tercekat saat melihat pemandangan di kamar tersebut. Cahaya lampu yang menerangi kamar sudah lebih dari cukup untuk menerangi kamar yang sudah lebih dari cukup untuk menampilkan apa yang sedang terjadi di dalam sana.
Ayah, dia kembali.
Tapi, baru beberapa detik aku menyadari keberadaannya. Saat itu aku merasa bahwa telah melakukan kesalahan, diam dan menunggu tidak akan menghasilkan apa-apa. Ibu… perutnya tertusuk oleh sebilah pisau tajam. Dan pada saat itu pula darahku mendidih, aku tidak peduli apa yang terjadi padaku, karena aku tidak ingin sosok ibu yang selalu ada untukku pergi begitu saja.
"Arrgghh! Sialan kau! Bajingan! Mati kau!"
Makian demi makian keluar dari mulutku dan kedua tanganku bergantian menghajar Ayah yang tidak sempat bergerak di hadapanku. Kucabut pisau yang menancap di perut ibu dan kini kugunakan pisau itu untuk menusuk dada Ayah dan membuatnya mengeluarkan batuk darah sebelum aku menendangnya hingga menabrak lemari.
Aku sempat bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dengan meminta bantuan tetangga dalam kondisi keluarga seperti ini, sungguh akan membuat kami malu nantinya. Tapi rintihan kesakitan Ibu terdengar seakan menyadarkanku dari kebingunganku sendiri. Untuk ibu… apapun akan kulakukan.
Keringat mulai keluar, walau malam ini terasa dingin sekali. Suara rintihan ibu yang berada dalam gerobak masih saja terdengar. Hingga aku sampai di rumah sakit, yang dimana para petugas langsung menatap kami dengan khawatir dan memanggil beberapa perawat yang langsung panik.
Hampir tiga jam aku menunggu.
Menjelang pagi tiba, seorang dokter mendatangiku dengan tubuh penuh dengan peluh mengalir di dahinya. Dengan hati gembira, aku menghampiri. Bersiap untuk mendapatkan berita bahagia bahwa ibu dan adikku baik-baik saja.
Tapi.
"Maaf,"
Hanya sepenggal kata yang terucap.
Tapi aku tahu apa artinya itu, air mata mulai membasahi pipiku. Tanpa berkata apa-apa, aku langsung menerobos masuk kedalam ruang ibu, tanpa menghiraukan beberapa perawat yang tidak mampu menahanku.
Dan bagaikan film rusak, aku melihat ibu yang bersandar disana. Badannya masih terasa hangat, kulitnya yang sedikit bergaris kini masih terasa halus. Aku pandangi wajah ibu, terlihat senyum yang tak pernah kulihat sebelumnya. Wajah ibu putih. Senyumnya manis dan itu adalah senyuman paling indah yang pernah aku lihat. Tidak ada beban yang terlihat. Beban yang selama ini dipikulnya kini sudah bersama dengan senyuman manis yang terlukis.
Kebahagiaan itu pun… berganti menjadi duka.
Ibu, telah pergi bersama dengan adikku. Meninggalkanku seorang diri di dunia yang kejam ini, penuh dengan kerakusan dan kejahatan.
Sebelum matahari bangun, ibu telah menghembuskan nafas terakhirnya. Ibu meninggalkanku untuk selamanya. Untuk terakhir kali, aku beranikan diri untuk melihat wajah ibu sebelum tertutup oleh sehelai kain putih. Perasaanku tidak karuan, air mata mengalir begitu deras.
Pemakaman pagi itu, di ikuti dengan rintikan hujan yang mengungkapkan kesedihanku.
Kupetik beberapa helai bunga kesukaan ibu. Kuletakkan di batu nisan. Dalam hati kecil, aku berkata.
Ibu…
Mekarnya bunga ini
Kupersembahkan terakhir kali untukmu.
Aku menyayangimu, ibu
Untuk selama-lamanya…
.
Sejak hari dimana Ibu pergi meninggalkanku, aku tidak tahu apa yang terjadi dan bagaimana aku melewatkannya. Yang aku tahu, Baa-chan datang membawaku ke kota sambil menangis dan Ojii-san hanya bisa menepuk bahuku penuh dengan rasa duka tanpa mengatakan apapun.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Tidak ada.
Aku tidak memiliki siapapun lagi. Tidak ada ibu yang menghiburku, menyayangiku dan tersenyum kepadaku. Tidak ada. Di dunia ini, aku sendirian. Hidupku benar-benar kosong dan gelap tanpa mereka, bahkan setelah kuputuskan untuk kembali ke rumah sekalipun terasa menyesakkan dengan memori bersama Ibu.
Di tengah perjalanan, aku terjatuh.
Rintikan hujan adalah hal pertama yang kutemui ketika terjatuh di tempat ini. Begitu gelap dan memiliki kesunyian yang mendalam. Dan hal itu membuatku kembali menatap dengan hampa pada darah yang mengalir dari telapak tanganku, luka goresan aspal terasa sangat perih ketika bersentuhan dengan air.
Aku mencoba tuk berjalan, namun kaki ini terasa sangat berat untuk melakukannya. Kudongakkan kepalaku untuk melihat ratusan tetes air langit yang berjatuhan… rasa dingin yang menusuk sampai ketulang… dan sebuah suara nyanyian guntur yang menggelegar.
Kenapa?
Sakit jika harus dirasa. Aku terlalu lemah untuk merasakan semua beban ini, apakah Tuhan itu memang ada? Apakah Engkau telah bersikap adil kepadaku?
Dan pada akhirnya aku hanya menyadari… manusia hanyalah sebuah permainan kecil yang diperalat oleh mereka yang berada di langit.
"Kau tidak apa-apa?"
Sebuah tangan terulur… aku mendongak, tapi tidak dapat melihat karena tertutupi oleh air hujan.
Dalam keterpanaan, aku membiarkan tangan halus itu menyentuh pipiku. Memberikan rasa hangat yang menjalar sedikit demi sedikit ke seluruh tubuhku. Jawaban dari tubuhku memang tidak perlu, sebab suara bariton tiba-tiba saja menusuk gendang telingaku dan membuatku terdiam.
"Bangunlah nak! Kau adalah laki-laki, jangan buat harga dirimu hancur begitu saja," dalam sekejap duniaku terbalik, benar, semuanya terasa terbalik. Aku baru sadar sekarang, buat apa menyesali apa yang sudah terjadi? Ibu takkan senang jika melihatku seperti ini, dia tidak akan tenang jika aku terus menangisi kepergiannya. "Ikutlah denganku, maka kau akan menghilangkan apa itu rasa kehilangan."
Dengan satu gerakan, aku mencoba untuk bangun. Sekarang aku mulai yakin, bahwa mimpi buruk yang selama ini menantiku akan segera berakhir digantikan oleh sebuah mimpi indah yang beralaskan langit biru.
Zhanriyasha
Disinilah dia sekarang, melangkah pelan menaiki tangga lebar yang berada di pintu masuk keluarga Kashima. Beberapa tahun telah berlalu semenjak kejadian itu, Naruto kini telah terbiasa dengan hal tersebut. Tidak ada hal yang menarik hingga saat ini, ia hanya bekerja… sebagai seorang pelayan di keluarga Kashima. Yaitu keluarga yang memungutnya di malam berhujan pada saat itu. Tentunya, berbekal pengalamannya bersama ibu kini ia bisa menjadi pelayan di keluarga itu.
"Naruto-san?" seorang butler tua mendekatinya sambil memberikan anggukan.
Naruto tersenyum, lantas mengangguk. "Ya?"
"Anda dipanggil oleh Tuan Besar, saat ini beliau ada di halaman belakang," jelas butler tua itu sambil melirik jam di tangannya. "Sepertinya, anda harus membawa beberapa cemilan. Karena waktu sudah menunjukkan untuk aktifitas santai Tuan Besar."
"Baiklah." Naruto tidak banyak bicara, dengan cekatan ia berjalan beberapa langkah menuju ruangan dengan pintu ganda yang berukiran rumit. Setelah beberapa saat sambil membawa dua buah cangkir teh beserta cemilan di atas piring, Naruto segera beranjak menuju halaman belakang seperti yang dikatakan oleh pelayan tua tadi.
Tiba-tiba Naruto terdiam, pikirannya melayang dua minggu yang lalu. Saat dimana ia sedang memasak jamuan makan malam untuk pertemuan dengan salah satu pejabat, usut punya usut Tuan Besar atau Tuan Kashima akan kedatangan putri sulungnya. Ia memang tidak mendengar banyak, tapi Naruto sempat tahu kalau putri keluarga Kashima adalah seorang… idol.
Sebenarnya, Naruto tidak perlu berpikir lebih jauh lagi kalau menjadi idol adalah sebuah pekerjaan yang sangat sulit. Mereka harus benar-benar tekun dan rela untuk berpisah dengan keluarga karena jadwal mereka yang sangat padat. Jadi, hal yang sangat wajar kalau putri keluarga Kashima datang untuk menemui orang tua mereka.
Oh ya, keluarga Kashima memiliki tiga anak. Dua perempuan dan satu laki-laki. Kashima Noa, merupakan anak perempuan pertama. Kashima Mika, anak perempuan kedua. Sedangkan Kashima Ren, anak laki-laki yang merupakan Tuan muda yang saat ini dalam tanggung jawabnya.
Tanpa sadar, langkah kakinya telah sampai di pintu kaca yang memantulkan bayangan di baliknya. Dengan tiga kali ketukan, Naruto kembali berjalan memasuki halaman belakang yang merupakan kebun kaca. Disana, ia mendapati seorang pria tua dengan tubuh kekar, rambutnya di sisir rapi dengan janggut memenuhi dagunya. Iris matanya yang berwarna violet itu tertutup oleh kacamata hitam.
"Hamba datang, Tuan Besar." Naruto membungkuk dengan hormat.
Tuan Kashima menarik napas panjang, matanya mengamati pergerakan Naruto yang kini membungkuk dan menaruh sebuah nampan berisi cemilan di atas meja.
"Naruto, harus kukatakan berapa kali? Aku tidak suka keformalan," decak Tuan Kashima kesal, dengusan napasnya terdengar tidak suka.
"Maaf, hamba tidak bisa-"
Naruto melenturkan punggungnya, membiarkan sebuah ranting tajam yang berniat untuk menusuk perutnya itu melewati tubuhnya begitu saja. Tak sampai situ, Naruto harus melompat mundur untuk menghindari pukulan yang hampir saja mengenai pipinya.
Sudah menjadi rutinitasnya untuk melakukan pemanasan, bukan karena terlalu paranoid ketika ada penyusup yang masuk. Tapi, Naruto sendiri yang meminta agar Tuan Kashima melatihnya agar bisa melindungi orang lain yang ia sayangi. Sudah cukup ibunya yang pergi, ia tidak akan membiarkan orang lain pergi meninggalkannya lagi.
"Reflekmu sudah cukup bagus, tapi aku tidak bisa menjamin kalau kau akan lengah hanya karena teringat akan masa lalu, Naruto," ujar Tuan Kashima dengan tegas. Ya, bagaimanapun juga sebagai Tuan Rumah, ia tidak bisa membiarkan pelayan terbaiknya ini kalah hanya karena perasaan.
"Maaf, aku akan mencoba untuk melupakan itu."
"Hmm, aku harap juga begitu." Tuan Kashima menyeruput secangkir teh di atas meja, sesekali matanya melirik kearah Naruto yang berdiri di hadapannya dengan membawa sebuah serbet yang tergulung di tangan kirinya. Ah, sepertinya ini sudah waktunya. "Naruto…"
"Ya, Tuan Be-"
"Berhenti atau kau akan menjadi menantuku, hm?"
Naruto mengangguk dan mengusap keringat yang menetes dari dahinya. Jujur saja, mendengar kata 'menantu' membuat Naruto membayangkan hal-hal yang amat sulit. Terlebih lagi ini adalah Tuan Kashima, seorang tuan rumah yang amat nyentrik ketika dibiarkan sendirian dalam sebuah ruangan. Menjadi menantu pria tua ini? Ah, Naruto lebih memilih untuk dipanggang di dalam oven daripada harus menjalani kehidupannya yang sudah diprediksikan suram.
"Ya, O-o-otou-sama." Ucap Naruto tersendat.
"Hm, bagus. Biasakan memanggilku seperti itu," Tuan Kashima meraih cangkir teh, dan membawa kedepan mulutnya. Dia menyesap tehnya pelan, menikmati rasa dari teh itu. "Sebenarnya aku memanggilmu karena putriku Noa akan datang kemari besok." Kata Tuan Kashima memulai pembicaraan. Naruto terdiam, mendengarkan. "Seperti yang kau tahu, putriku adalah seorang idol yang jarang pulang kerumah. Tapi, dia bilang kepadaku bahwa selama dua tahun akan cuti untuk fokus pada pendidikannya." Tambah pria tua itu sambil menaruh cangkirnya.
"Jadi, Noa-sama akan tinggal disini selama dua tahun untuk sekolah?"
"Siapa bilang dia akan tinggal disini?" suara Tuan Kashima yang terdengar tenang itu membuat Naruto melebarkan matanya. Matanya memperhatikan Tuan Kashima yang tengah menunjuk dirinya saat ini. "Kau yang akan kesana, Naruto. Untuk Ren biar Kiba yang mengambil alih, saat ini aku ingin kau fokus untuk menjaga Noa. Sudah banyak para pelayan yang berhenti karena tidak mampu menjaga Noa karena dia seorang idol."
Naruto sama sekali tidak menyahut.
"Untuk tempat tinggalmu, aku yakin Noa tidak akan menerimamu langsung di mansionnya," kata Tuan Kashima dengan nada masam. "Aku memberikanmu sebuah apartement di dekat mansion, kuharap kau bisa memantaunya meskipun dari sana."
Naruto terperangan sebelum ia membungkukkan badannya, dan mengambil satu langkah mundur. "Hamba janji akan melindungi Noa-sama, Tuan Bes-"
"Naruto, besok kau akan jadi menantuku." Sahut Tuan Kashima datar.
"A-ah, maaf!" Naruto membungkuk kembali. "Aku janji, O-otou-sama."
Tuan Kashima menghela nafas panjang, sementara jarinya di ketuk-ketukkan di atas meja. "Yah, aku juga tidak berharap janjimu. Noa terlalu sulit untuk dikendalikan, dia terlalu egois dan bahkan di sekolahnya banyak sekali yang membencinya. Setidaknya, aku ingin kau melindunginya dari beberapa orang yang berniat jahat."
Naruto menyipitkan matanya. "Dari semua orang jahat, kau lah yang paling berbahaya. Otou-sama."
"Ahahaha! Kalau begitu, aku anggap itu sebagai sindiran." Tuan Kashima bangkit dari kursinya dengan pelan, tiba-tiba wajahnya menyeringai mesum. "Tidak ada gadis yang lebih cantik selain putriku sendiri… ah! Senangnya…"
Yah, kini kalian semua tahu. Inilah yang disebut paling berbahaya, karena pernah suatu hari Tuan Kashima memperlakukan anak keduanya Mika layaknya istrinya sendiri. Mungkin tidak sampai ke tahap yang lebih jauh, tapi hal itu sudah cukup membuat Naruto tahu bahwa Tuan Kashima amat-amat mencintai putrinya sendiri layaknya pasangan hidupnya.
Kemudian Tuan Kashima kembali menatap dirinya di mata. "Naruto, aku berharap penuh kepadamu. Dalam hal ini, kau lah yang paling bisa melakukan tugas ini. Karena itulah, untuk memudahkan tugas ini aku memasukkanmu ke dalam sekolah yang sama dengan Noa."
Naruto menekuk wajahnya, jelas tidak setuju dengan ucapan Tuan nya. "T-tapi kan, aku udah lama nggak sekolah. Bagaimana jika nilai raport ku jelek dan akan-"
"Tentunya itu akan membawa daya tarikmu sendiri, Naruto. Seorang pelayan yang serba bisa kini memiliki kelemahan yang terlalu mencolok, yaitu kebodohan… hahaha!" gurau Tuan Kashima dengan nada humor di dalamnya.
Naruto hanya mengernyit dan menggelengkan kepala pelan mendengarnya. "Otou-sama, kau payah untuk urusan humor."
Tuan Kashima hanya mengangkat bahunya ringan. "Sudah banyak yang mengatakannya kepadaku," katanya cuek. "Lusa, semua yang kau perlukan akan kukirim."
"Baik!"
~•~
Dua puluh empat jam telah berlalu, dan sudah hampir lima jam Naruto memasak makan malam untuk pesta penyambutan untuk putri pertama Keluarga Kashima. Bermacam kue dan cemilan Naruto buat dengan teliti sesuai dengan prosedur yang tertulis di buku ataupun lembaran yang baru saja ia print dari internet. Kegagalan dua kali bukanlah masalah bagi Naruto, karena di tempat ini semua bahan yang diperlukan selalu tersedia. Toh, kalau tidak terpakai akan menjadi sia-sia. Dan akhirnya, dua jam kemudian Naruto menaruh semua kue dan cemilan itu di atas sebuah meja dorong, lantas menuju ke ruang makan.
Naruto berdiri mematung, dirinya terlalu syok untuk bereaksi. Ia hanya bisa mendengar sahutan penuh tawa pelan dari Tuan Kashima yang menyambut dirinya itu, bahwa ia harus bergabung dengan mereka untuk makan dalam jamuan ini.
"Kenapa Tou-san menyuruh pelayan bodoh ini untuk ikut makan malam bersama kita?"
Naruto tertegun, jujur saja bukan karena ia merasa tersindir atas perkataan itu. Tapi, putri pertama keluarga Kashima benar-benar cantik. Rambut hitamnya terlihat begitu lembut seperti sutra dengan sebuah poni yang hampir menutup mata kirinya. Mata emeraldnya begitu indah, dan bibir mungilnya yang tengah cemberut itu mengundang siapapun untuk mengulumnya saat ini juga.
"Oh, tidak-tidak Noa. Naruto adalah salah satu butler terbaikku, aku ingin mengajaknya makan malam bersama kita karena besok aku mungkin tidak akan bertemu dengannya lagi." Kata Tuan Kashima sambil menarik piring yang ditaruh Naruto di atas meja.
Noa yang mendengar itu pun menaikkan sebelah alisnya. Tidak bertemu dengannya lagi? Mungkinkah ayah akan memecatnya? Yah, itu bukan urusannya.
"Ojou-sama, maaf kalau ham-" Naruto menghentikan kalimatnya ketika sebuah garpu hampir menusuk tangannya. "A-ah, maksud saya apakah ada yang Ojou-sama perlukan?"
"Satu-satunya yang kuperlukan adalah kau pergi dari pandanganku, rambut kuningmu itu membuat mataku perih," jawab Noa cepat.
Alis pria itu tertekuk. "Haruskah hamba mengecatnya, Ojou-sama?"
"Ya. Ya. Terserah." Noa mendelik tajam sebelum memasukkan makanannya ke dalam mulut.
Tuan Kashima tertawa keras karenanya. Melihat Noa kesal adalah hal yang amat disukainya saat ini. Ia tidak tahu kapan terakhir kali melihat anaknya itu kesal hanya karena masalah sepele. Ah, terimakasih pada Naruto karena hal itu. Kalau bukan kebodohan Naruto, mungkin ia tidak akan melihat wajah kesal anaknya lagi.
"Hmm, makanannya sangat enak. Siapa koki yang memasak untukmu, Tou-san?" tanya Noa sambil memasukkan kembali sendok tersebut kedalam makanannya dalam gerakan cepat. "Aku ingin menyuruhnya memasak di tempatku. Disana koki nya bodoh sekali."
Namun bukan jawaban mulut yang Noa dapatkan, melainkah hanya sebuah acungan jari telunjuk yang mengarah pada pria kuning di pinggir dinding. Ekspresi Noa berubah seketika. Sendoknya terjatuh dan rasa senangnya pun seolah jatuh menjadi bubur.
"K-kau?!" Noa menatap tajam Naruto dengan mulut terbuka. "Serius?!"
"Kenapa?" Naruto mendongak, menatap Noa lurus.
"Tidak, tidak jadi." Noa kembali memasukkan makanannya ke dalam mulutnya sambil membuang muka, hanya untuk mendengar suara tawa renyah dari ayahnya dan para pelayan yang hanya melongo di tempatnya.
"Naruto, bisa buatkan aku parfait strawberry?" Tuan Kashima yang sedang mengelap mulutnya memberikan permintaan.
"Tentu," Naruto mengangguk pelan, lantas menolehkan kepalanya kearah Noa. "Anda juga mau, Ojou-sama?"
"Tidak." Sahut Noa dingin.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Naruto untuk membuat parfait di atas sebuah gelas mewah dengan ukiran rumit di sekelilingnya. Setelah menaruhnya di depan meja Tuan Kashima, Naruto merogoh kedalam jubah pelayannya untuk mengeluarkan sebuah sendok kecil sebelum memberikannya kepada Tuan Kashima.
"Wuah, ini enak sekali Naruto!" Tuan Kashima berteriak dengan sedikit keras, berniat untuk memancing putrinya yang mulai menoleh kearahnya. Tentu saja, Tuan Kashima tahu betul bahwa Noa sangat menyukai parfait lebih dari apapun, terlebih lagi ini merupakan parfait dengan strawberry dan susu di atasnya. Sebuah makanan favorit Noa sejak kecil. "Darimana kau belajar membuat ini?"
"Aku baru saja melihatnya dari buku, Otou-sama."
"Kau memang butler terbaik, Naruto." Tuan Kashima menyeringai pelan ketika membuat gerakan lambat dan ekspresi dibuat sangat puas yang berakibat pada Noa yang langsung menggigit bibirnya. Andai saja Naruto peka pada kedipan matanya yang berniat untuk mengusili putrinya itu, mungkin ia akan bertindak lebih jauh lagi. Tapi sayang, Naruto memang bodoh dalam hal seperti ini.
"Terimakasih, Otou-sama." Naruto membungkuk pelan sebelum mendongakkan kepalanya kembali, membuat poni pirangnya yang panjang itu bergerak dengan pelan, menampilkan iris sapphire ditambah dengan sebuah senyuman menawan diwajahnya. Mau tak mau, wanita yang melihat hal itu sedikit merona dibuatnya… meskipun ada beberapa yang tidak kentara karena hal itu.
"Hei, kau!" Noa yang sudah tidak kuat menahan hasrat itu pun berteriak dengan wajah merah menahan malu. "B-b-buatkan aku itu."
"Itu?" Naruto memiringkan kepalanya sedikit.
"I-itu!" Noa menunjuk kearah gelas kosong milik Tuan Kashima dengan kesal.
Naruto memasang wajah berpikir untuk beberapa saat sebelum menaruh kepalan tangan kanannya di atas tangan kiri. "Ah! Aku tahu kalau Ojou-sama ingin cemilan, tapi maaf… hamba tidak bisa memberikan gelas itu untuk dimakan oleh anda, Ojou-sama."
"A-a-apa-apaan?!"
Kali ini, Noa benar-benar hilang kontrol. Akal sehatnya mengalami shutdown, wajahnya tercengang dan mulutnya terbuka dalam waktu yang cukup lama. Sampai satu menit berlalu, Noa hanya mampu melihat para pelayan lain yang menepuk dahinya lalu menggeleng-gelengkan kepala seakan tingkah dari pria itu merupakan hal yang biasa terjadi.
"Hahahaha…" suara tawa dari Tuan Kashima membuyarkan suasana bodoh yang baru saja terjadi, mengabaikan wajah Noa yang sudah memerah menahan malu dan kesal. "Naruto… Naruto. Putriku memintamu untuk dibuatkan parfait seperti yang tadi."
"Oh begitu… baiklah, tunggu sebentar." Naruto menganggukkan kepalanya beberapa kali sebelum ia berjalan menuju dapur di ikuti oleh beberapa pelayan yang mulai mengambil piring kotor di atas meja.
Sementara dirinya melihat Naruto telah pergi dari pandangannya, Noa sudah menaruh kepalanya di atas meja sambil mengutuk dirinya yang membiarkan emosinya meluap begitu saja di hadapan pria pirang bodoh itu. Semua ini tidak akan terjadi jika ayahnya tidak memancing-mancingnya seperti itu.
Wajah Noa berkerut curiga, namun Tuan Kashima hanya tersenyum kearahnya tanpa keraguan. "Kau ingin tahu siapa dia, bukan?"
"Ti-tidak!" Noa membentak sambil membuang mukanya kesamping, rona merah diwajahnya sudah mencapai batas maksimal ketika melihat kekehan kecil dari ayahnya itu.
"Yah, maklum saja. Dia memiliki masa-masa sulit sebelum bekerja disini, Mika dan aku yang menemukannya terjatuh dengan kondisi fisik yang sangat memprihatinkan." Tuan Kashima berkata sambil mengingat kembali pertemuannya dengan Naruto. "Ayahnya pergi, dan ketika datang dia selalu memukulinya. Kemudian, ibunya yang tengah mengandung terbunuh di hadapannya sendiri di tangan ayahnya. Saat itu terjadi… ia baru berusia sepuluh tahun."
Dan Noa hanya mampu terdiam, bagaimana bisa ia bereaksi kasar terhadap pria yang memiliki masa-masa sangat sulit itu? Karena dengan pengalaman mengerikan itu, Noa masih beruntung karena Naruto sama sekali tidak memiliki emosi kesal terhadapnya. Ia tidak yakin, apa yang akan terjadi jika Naruto tidak bertemu dengan ayahnya, mungkinkah dia akan menjadi penjahat? Atau… bunuh diri?
"Dia tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal lain, karena ketika aku membawanya ia memintaku untuk melatihnya." Tuan Kashima menyeruput teh segar digenggamannya, sesekali melihat wajah Noa yang tengah menundukkan kepalanya. "Dan seperti yang kau lihat sekarang, dia tidak terlalu memikirkan pandangannya kepadamu karena melihatmu yang hanya berpakaian seperti itu."
Benar, Noa tidak mengidahkan hal itu. Alasan ia sering memecat para pelayannya adalah di antara mereka merupakan laki-laki yang sering sekali menatap tubuhnya. Mungkin ia juga yang salah karena selalu memakai tanktop dan hotpants yang hampir memperlihatkan seluruh kakinya. Tapi mau bagaimana lagi? Ia menggunakan pakaian ini karena ingin santai ketika berada di dalam rumah saja, tidak salah bukan?
"Tou-san," panggil Noa dengan ekspresi serius. "Izinkan aku untuk membawanya."
"Hoo?" Tuan Kashima membuka mulutnya dengan suara merdu yang menggema di ruangan itu, lantas menyeringai tipis. "Apa yang membuatmu memikirkan itu?"
Seakan tidak peduli, Noa meneruskan. "Tidak ada, hanya saja aku sangat membutuhkan pelayan seperti itu saat ini. Aku sudah tidak memiliki pelayan lain di rumah."
Tuan Kashima kembali menyeruput teh nya dengan senyuman di wajah tuanya. "…bawa saja."
Noa melebarkan matanya. "Serius? Bagaimana dengan Tou-san? Bukankah dia butler terbaikmu?"
"Tidak apa, lagipula aku sudah menyuruhnya untuk sekolah di tempatmu."
"Tou-san, apakah kau gila? Menempatkannya di sekolah elit di tempatku merupakan hal terburuk yang pernah ada, bisa-bisa dia akan dibully oleh laki-laki disana." Ujar Noa marah, kedau tangannya terkepal erat.
"Dia sudah berlatih dibawah bimbinganku, tidak ada yang perlu dikhawatirkan kecuali sifat bodohnya itu," Tuan Kashima menyangga kepalanya dengan satu tangan, menatap putrinya dengan lembut. "Kau adalah Ketua OSIS disana, tugasmu adalah memastikan bahwa sekolah milik ayah akan terkendali."
Noa sama sekali tidak membalas ucapan Tuan Kashima, hanya ada keheningan selama beberapa saat sebelum Naruto membawa dua parfait strawberry di atas nampannya. Tanpa menoleh, Naruto menaruh segelas parfait itu di hadapan Noa, tanpa memperhatikan bahwa gadis itu tengah menatapnya dalam-dalam.
"Terimakasih."
"Tentu," Naruto mengangguk pelan, beranjak pergi dari meja makan itu menuju ruang dapur.
Dan di dalam sana, Naruto tiba-tiba memukul dinding dengan air mata yang mulai menetes. Ia tidak sengaja mendengar perkataan Tuan Kashima dengan Noa tadi, tanpa sadar ia kembali teringat akan kejadian itu. Kejadian dimana ia kehilangan semua hal yang berharga baginya.
'Ibu… maafkan Naru, Naru tidak bisa melupakan kejadian itu.'
.
.
.
To be Continued!
Yo minna! Maaf kalau saya kembali dengan membawa Fic baru. Jelek kan? Tentu, karena saya gak bisa membuat adegan romance ataupun drama ataupun angst ataupun yang lainnya. Pasti di antaraaya gak bisa membuat adegan romance ataupun drama ataupun angst ataupun yang lainnya. pasti kejadian itu. sebuah kalian sudah ada yang bisa menebak akhirnya bukan? Meskipun begitu, saya ingin meminta review dari kalian tentang Fic ini dan apa saja yang kurang. Sebagai bahan pembelajaran saya sebagai author baru.
Untuk pair, saya berniat untuk mencari dua harem. Gak usah banyak-banyak, cuma buat selingan aja kok. Lagipula saya juga nggak memungkinkan untuk membuat adegan-adegan romance dengan penulisan saya yang seperti ini. pokoknya, untuk pair pertama adalah Noa. Ah, ya… kalo kalian tahu dia dari anime Rail Wars.
Jika ada yang mengatakan fic ini mainstream, tolong lihat baik-baik bahwa saya telah menulisnya di warning. Saya mengakuinya kok, jangan sungkan untuk memberikan saran, flame dan konkrit.
.
.
Zhanr, out!
