Wonwoo tidak pernah membayangkan bahwa laki-laki tidak waras yang ia temui di café siang itu akan merubah banyak hal dalam hidupnya.


"Tidak."

Wonwoo menatap sang Ibu dengan dada bergemuruh. Ia merasa sedih dan marah disaat yang bersamaan dan ia tidak begitu suka dengan alasan kenapa ia merasa seperti itu sekarang. Wanita paruh baya itu hanya bisa terdiam. Sepasang tangannya terkait dengan posisi saling menggenggam erat. Ia merasa begitu gugup saat ini.

"Woo, Ibu hanya-"

"Tidak. Tidak."

Wonwoo bersuara, kembali menekankan kalimat yang baru ia ucapkan. Wonwoo menutup kedua matanya perlahan, mencoba menetralkan amarah yang entah kenapa semakin menjadi setiap waktunya. Sang Ibu hanya bisa terdiam, membisu dengan tatapan tak lepas dari laki-laki muda di hadapannya. Nyonya Jeon menarik nafas pelan, ditatapnya sang putra dengan tatapan penuh kasih sayang.

"Kalau kita tidak menjual rumah ini, kita tidak akan bisa melunasi sisa hutang yang kita miliki. Ibu…"

Nyonya Jeon terdiam sejenak.

"Ibu tidak bisa menjual toko begitu saja karena, karena itulah sumber keuangan kita sekarang. Hanya rumah ini yang tersisa, yang kita miliki. Bukan masalah besar Woo, kita bisa mencari apartment murah untuk tinggal sementara. Menjual rumah ini adalah satu-satunya ca-"

"Ibu tidak bisa menjual toko, lalu kenapa Ibu berpikir kita bisa melepaskan rumah ini?"

Wonwoo menjawab dengan nada dingin, wajahnya mengeras dengan tatapan lelah.

"Sisa hutang kita memang lumayan banyak, aku akui itu. Tapi kalau Ibu ingin melunasi semuanya dengan jalan menjual rumah ini, aku tidak akan pernah membiarkannya."

Wonwoo terdiam,

"Ayah bekerja begitu keras selama bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan rumah ini. Rumah ini adalah satu-satunya kenangan dari Ayah yang masih tersisa, yang masih bisa kita jaga. Aku akan memberikan semua yang aku miliki untuk bisa melunasi hutang itu. Semuanya, tapi tidak dengan rumah ini."

Wonwoo berdiri dengan segera, berjalan dengan langkah pelan meninggalkan sang Ibu yang kini hanya bisa memandang kosong cangkir the di hadapannya.

XX

Wonwoo melamun entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. Ia membisu, memandang hampa udara kosong di hadapannya. Wonwoo menghela nafas panjang, pandangannya ia alihkan ke arah sebuah figura polos dengan potret seorang laki-laki paruh baya di dalamnya. Wonwoo tersenyum tanpa sadar. Dengan perlahan, diraihnya figura itu dengan sebelah tangan.

Wonwoo kembali terdiam, jarinya menyentuh kaca permukaan figura dengan gerakan pelan. Dan airmatanya kembali jatuh begitu saja. Tanpa Wonwoo sadari, tanpa Wonwoo inginkan. Wonwoo menangis tanpa suara seperti yang selama ini selalu ia lakukan. Menangis sendirian, membuat beban dalam hatinya semakin berat tiap harinya.

"Ayah…"

Wonwoo bersuara di tengah tangisnya.

"Ayah…"

Wonwoo menutup matanya dengan sebelah tangan, merasakan hatinya sakit setiap kali ia melihat wajah bahagia sang Ayah dalam figura di tangannya. Wonwoo mencoba menghentikan tangisnya, tidak. Ia tidak boleh menangis di hadapan Ayahnya. Ia harus kuat, untuk Ibunya dan dirinya sendiri.

"Aku…aku akan mempertahankan rumah ini."

Wonwoo bicara dengan senyum kecil di wajahnya. Tangannya masih setia mengelus lembut figura berisi foto yang tengah ia pegang, foto sang Ayah yang tengah tersenyum ke arah kamera sambil merangkul erat bahunya. Wonwoo masih tersenyum, hatinya menghangat saat ingatan membawanya kembali disaat foto itu diambil.

Foto itu diambil 3 tahun lalu, tepat di hari kelulusan Wonwoo. Wonwoo yang saat itu baru selesai menghadiri acara wisuda langsung dihadiahi sebuah pelukan hangat nan erat dari sang Ayah. Wonwoo hanya bisa tersenyum, dengan semangat membalas pelukan sang Ayah tak kalah erat. Ibunya pun disana, berdiri disamping sang Ayah dengan senyum lebar menghiasi wajah cantiknya. Wonwoo bahagia luar biasa.

"Woo, apakah kau sudah tidur?"

Wonwoo tersadar dari khayalannya, dengan enggan menaruh kembali potret sang Ayah ke tempatnya semula. Wonwoo berdiri, dengan langkah pelan mulai mendekatkan tubuhnya ke arah pintu kamar. Wonwoo terdiam, sebelah tangannya sudah memegang knop pintu bersiap untuk membukanya.

"Maafkan Ibu karena sudah egois. Padamu, pada Ayah, pada kita."

Sang Ibu bicara dengan suara lembut, hampir berbisik. Wonwoo membisu, pegangannya pada kenop pintu melonggar.

"Maaf, maaf atas segalanya. Kau tidak seharusnya mengalami semua ini. Harusnya kau bahagia, harusnya kau…"

Kata-katanya terpotong begitu saja, tergantikan oleh isakkan kecil yang jelas sekali tengah wanita itu tahan dengan sekuat tenaga. Wonwoo masih membisu, hatinya sakit entah kenapa saat ia mendengar sang Ibu menangis seperti sekarang. Terlebih alasan wanita itu menangis adalah dirinya.

"Ibu…maaf kalau Ibu mengganggumu. Kau pasti lelah karena seharian di luar. Istirahatlah, Ibu juga akan pergi tidur."

Wanita itu tersenyum di antara tangisanya.

"Selamat malam, Ibu menyayangimu."

Lalu sang Ibu pergi setelahnya, meninggalkan Wonwoo yang masing diam mematung di depan pintu kamarnya dengan pandangan kosong. Wonwoo menggeram rendah, menempelkan dahinya ke permukaan pintu dengan lumayan keras. Wonwoo menunduk dengan mata terpejam erat, ia tidak bisa terus seperti ini. Ibunya tidak bersalah, bukan kemauannya jika hidup mereka berubah menyedihkan seperti ini. Ibunya hanya berusaha untuk memberikan jalan terbaik bagi masalah yang tengah mereka hadapi sekarang, meskipun jujur Wonwoo benar-benar tidak suka dengan saran yang Ibunya ajukan.

Wonwoo menegakkan kepalanya dengan gerakan cepat. Tunggu, ia ingat sesuatu. Orang itu, tentu ia bisa membantunya bukan?

"Pasti."

Wonwoo berjalan cepat menuju meja belajarnya, mengacak-acak tasnya sebelum tangannya menemukan sesuatu yang ia cari. Wonwoo terdiam, memandang sebuah kartu nama berwarna putih di tangannya dengan pandangan ragu.

"Tidak…"

Wonwoo berujar pelan, mendudukan tubuhnya pada pinggiran ranjang. Wonwoo kembali memandang kartu nama di tangannya,

"Ini gila."

Wonwoo mengambil ponsel yang tergeletak begitu saja di atas bantal miliknya. Tangannya dengan lihai menekan permukaan ponsel pintar kepunyaannya, mencoba menghubungi seseorang. Mungkin Wonwoo sudah tidak waras, sebut saja ia gila. Iya, Wonwoo gila dan ia sudah tidak peduli dengan itu semua.

Wonwoo menempelkan ponsel itu ke telinganya. Jantungnya berdetak tak karuan menunggu seseorang di ujung telepon merespon panggilannya.

"Hallo?"

Wonwoo membeku, keringat dingin keluar begitu saja saat suara rendah seorang pria terdengar di telinganya.

"Hallo?"

Orang itu kembali bersuara dan Wonwoo masih sama seperti sebelumnya, diam tanpa tahu harus bicara apa.

"Kalau tidak ada kepentingan aku akan menutup teleponnya."

Wonwoo tersentak,

"Tu-tunggu!"

Wonwoo meremas ujung kaos yang ia kenakan tanpa sadar. Tak apa, ia akan baik-baik saja. Pasti.

"Aku, aku Jeon Wonwoo. Kita bertemu di café beberapa hari yang lalu."

Wonwoo diam sebentar.

"Aku…aku mau."

Orang di seberang telepon tampak tak begitu mengerti dengan apa yang baru Wonwoo katakan.

"Maaf?"

Wonwoo kembali menarik nafas, kali ini lebih dalam.

"Menjadi Sugar Baby-mu, aku mau Mingyu-ssi."

XX


METRONOME

.

.

.

JEON WONWOO X KIM MINGYU

.

.

.

"Mulai sekarang, mari belajar untuk saling memahami ritme masing-masing."

.

.

.


XX

"Dia pasti sedang berkirim pesan "mesra" dengan pria blasteran itu."

Jihoon bicara dengan nada bosan, mendengus pelan saat dilihatnya Seungkwan tertawa sendiri dengan mata tak lepas dari layar ponsel di tangannya. Wonwoo hanya bisa tersenyum kecil menanggapi, dengan santai menyeruput minuman soda miliknya.

"Hansol?"

Wonwoo bicara pelan, mencoba mengalihkan perhatian Seungkwan barang sebentar dari benda persegi di tangannya. Seungkwan mengangkat kepalanya, memandang Wonwoo dengan senyum yang kelewat sumringah sambil mengangguk semangat.

"Iya! Dia mengajakku makan malam nanti. Bukankah dia romantis?"

"Tidak juga. Yakin dia mengajakmu makan karena dia benar-benar menginginkannya? Bukan karena dia bosan?"

Jihoon bicara asal, mengemasi barang-barangnya yang tergeletak berantakan di atas meja. Seungkwan merengut dan Wonwoo menghembuskan nafas paham. Jihoon mulai lagi, ia hanya bisa diam menyaksikan apa yang akan terjadi setelah ini.

"Kenapa hyung selalu bersikap seperti ini tiap kali kita membahas Hansol?"

Seungkwan bicara tidak terima. Jihoon diam, mengedikkan bahunya tak peduli sebelum meninggalkan kedua temannya.

"Tak ada. Aku hanya ingin kau mengingat "apa" posisimu sekarang. Ingat Boo, kau bukan siapa-siapa bagi Hansol."

Dan Seungkwan membisu setelahnya. Ia sudah sering mendengar hal-hal menusuk dari Jihoon selama ini, tapi entah kenapa kata-katanya barusan begitu mengena bagi Seungkwan. Benar apa yang Jihoon hyung katakan, memang apa arti dirinya bagi Hansol? Ia hanya seorang Sugar Baby bagi pria itu, tak lebih.

"Boo? Kau tak apa?"

Wonwoo bersuara setelah hening melanda keduanya. Seungkwan masih terdiam, kedua tangannya bergerak random di atas meja.

"Hyung, apa aku salah kalau pada akhirnya aku jatuh cinta pada Daddy-ku sendiri? Maksudku…harusnya-"

"Kau suka Hansol?"

Wonwoo bertanya dengan senyum hangat di wajahnya, sebelah tangannya menggenggam tangan kanan Seungkwan lembut. Seungkwan kelihatan bimbang, ingin rasanya menjawab namun ia tak tahu harus berkata apa. Wonwoo kembali tersenyum,

"Kau tidak salah Boo. Tidak. Bukan kesalahanmu kalau kau akhirnya jatuh cinta pada Hansol. Perasaan bukanlah sesuatu yang bisa kau atur sesuka hatimu."

Seungkwan menunduk dalam, perkataan Jihoon serasa menyadarkannya tentang segala hal.

"Tapi tetap saja semua ini tidak boleh terjadi hyung. Aku Sugar Baby-nya, aku hanya seseorang yang Hansol bayar untuk menemaninya. Melakukan segala sesuatu yang ia inginkan untuk kami lakukan bersama. Aku hanya…"

Seungkwan diam, benar. Ia bukan siapa-siapa.

"Aku bisa gila! Kenapa dulu aku memulai semua ini aih!"

Seungkwan berujar frustasi, menelungkupkan wajahnya di atas meja.

"Padahal niat awalku hanya ingin mencari tambahan uang jajan dengan jalan mudah. Tapi kenapa malah aku yang terbawa perasaan seperti ini? Aku harus apa hyung?"

Seungkwan mengangkat kepalanya cepat, memandang Wonwoo dengan pandangan memelas.

"Kalau aku menyuruhmu untuk menjauhi Hansol tentu kau tidak akan mau bukan?"

Seungkwan kembali menunduk, mengangguk pelan dengan raut wajah sedih.

"Jalani saja dulu, bukan tidak mungkin Hansol juga punya perasaan yang sama denganmu."

"Tidak mungkin."

Seungkwan menjawab putus asa.

"Dia terlalu sempurna bahkan untuk sekedar melirikku."

Wonwoo menepuk punggung Seungkwan prihatin.

"Jangan terlalu memikirkan apa yang tadi Jihoon katakan. Dia memang seperti itu. Kau harus paham kenapa Jihoon selalu saja berubah menyebalkan tiap kali kau membahas Hansol. Dia hanya tidak ingin kau berjalan terlalu jauh dalam dunia seperti ini."

Seungkwan mendongak, memandang Wonwoo tak mengerti.

"Kau tahu, menjadi Sugar Baby. Aku rasa itu bukan pekerjaan yang terlalu baik."

XX

Wonwoo tersenyum canggung pada seorang pria paruh baya yang berpapasan dengannya saat Wonwoo hendak memasuki gerbang rumahnya. Wonwoo bertanya dalam hati, ia tidak pernah bertemu pria itu sebelumnya. Wajahnya asing dan jujur saja tampak tak begitu ramah bagi Wonwoo. Wonwoo berdiri diam sebentar, masih belum melangkahkan kakinya memasuki halaman depan. Ia melongok ke samping memandang punggung si pria asing yang mulai jauh dari pandangan. Wonwoo mengerutkan dahinya dalam. Kenapa ia tiba-tiba merasa tidak enak?

"Aku pulang."

Wonwoo bersuara agak keras sambil menyimpan sepatunya di dalam rak bersama sepatu lainnya.

"Bu?"

Wonwoo kembali bersuara saat tak ada sahutan dari dalam rumah.

"Aku pulang."

Wonwoo berjalan memasuki ruang tengah dengan langkah pelan. Ia luar biasa lelah dan satu-satunya hal yang ingin ia lakukan sekarang adalah mandi lalu tidur dengan nyaman di kasur empuk miliknya.

"Bu…"

Wonwoo terdiam begitu saja, berdiri lemas dengan pandangan bingung mengarah pada sang Ibu yang kini tampak menangis terisak di sudut dapur mereka.

"Bu?"

Wonwoo bergerak cepat ke arah sang Ibu masih dengan tas selempang tersampir di bahu kirinya. Wonwoo panik, kenapa Ibunya menangis?

"Ibu…"

Wonwoo berujar pelan, memandang punggung Ibunya yang kini terlihat bergetar karena menahan isakan. Wonwoo merasakan hatinya sakit entah kenapa, dengan gerakan lembut membalik tubuh sang Ibu ke hadapannya. Membawa tubuh mungilnya masuk dalam jangkauan pelukannya. Wonwoo memeluk wanita itu erat, mengelus punggungnya penuh perasaan.

"Ibu kenapa? Apa yang terjadi? Apa ada sesuatu yang membuat Ibu sedih? Aku ada disini Bu, aku mohon jangan menangis."

Wonwoo makin mengeratkan pelukannya. Berusaha menyampaikan perasaan cintanya pada sang Ibu. Wonwoo memandang pucuk kepala Ibunya dengan pandangan nanar.

'Apa sesakit itu saat seseorang yang kau cintai meninggalkanmu selamanya?'

Wonwoo berujar dalam hati, tangannya masih betah mengelus punggung Ibunya pelan. Ayahnya meninggal 3 bulan lalu, dengan begitu tiba-tiba karena penyakit jantung yang beliau derita. Ibunya dan Wonwoo sendiri kehilangan, teramat sangat. Sejak saat itu pula sudah tak terhitung berapa kali Wonwoo mempergoki Ibunya menangis sendirian tengah malam di dapur mereka dengan figura berisi potret sang Ayah dalam pelukan wanita itu.

"Ayah pernah mengatakan hal ini padaku dulu."

Wonwoo bicara sambil mengangkat wajah sang Ibu perlahan menghadap miliknya. Wonwoo tersenyum, kedua ibu jarinya menyapu pipi penuh air mata wanita itu.

"Ayah mengatakan bahwa ia benci melihat Ibu menangis. Ayah benci melihat Ibu sedih. Apapun itu alasannya, Ayah mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan Ibu menangis. Karena itu…"

Wonwoo mengusap pipi Ibunya sayang.

"Jangan menangis lagi Bu. Ayah juga pasti sedih melihat Ibu seperti ini."

Wanita itu terdiam,

"Maaf Woo."

Wonwoo kembali tersenyum, dengan penuh perasaan kembali memeluk sang Ibu.

"Saat Ibu merasa sedih dan merasa rindu pada Ayah, Ibu bisa memanggilku. Nanti aku akan memeluk Ibu sampai Ibu merasa lebih baik. Bukankah pelukanku senyaman pelukan Ayah?"

Wanita itu tersenyum kecil, dengan gerakan pelan mengangguk pada sang Anak.

"Ibu masih punya aku. Ingat itu."

XX

"Hyung maafkan aku."

Seungkwan mencicit dengan raut muka minta dikasihani pada Jihoon yang kini tengah sibuk memainkan ponselnya. Jihoon memandang Seungkwan sekilas sebelum mengangguk kecil kemudian kembali sibuk dengan benda di tangannya. Seungkwan merengut, dengan paksa mengambil benda persegi panjang yang sejak tadi sukses menyedot fokus Jihoon.

"Apa yang kau lakukan?! Kembalikan ponselku!"

Jihoon berujar gusar begitu ponselnya sudah kokoh berada dalam genggaman Seungkwan. Seungkwan menggeleng, dengan segera menyerahkan ponsel Jihoon pada Wonwoo yang sejak tadi hanya diam menonton kedua sobatnya. Wonwoo bingung di awal namun dengan senang hati mengamankan ponsel Jihoon dari pemiliknya, ia mengerti bahwa Seungkwan ingin Jihoon hanya memperhatikkannya.

"Dengarkan aku dulu!"

Jihoon cemberut tidak terima, dengan enggan mulai diam mendengarkan laki-laki di hadapannya.

"Apa?!"

Jihoon bicara ketus dengan raut wajah tak bersahabat. Sekarang gantian Seungkwan yang diam dengan kepala menunduk dalam.

"Maaf."

Jihoon terdiam, Seungkwan minta maaf? Padanya? Untuk apa?

"Maaf karena tidak mendengarkanmu dari awal. Maaf karena aku selalu mengabaikan semua perkataanmu selama ini. Maaf karena,aku tidak menuruti nasehatmu."

Seungkwan mengangkat kepalanya perlahan, mencoba melihat ekspresi macam yang kini Jihoon tunjukkan.

"Kau sudah berulang kali mengingatkanku bahwa menjadi Sugar Baby itu bukanlah hal yang bagus tapi aku tetap saja melakukannya."

"Boo…"

Jihoon berujar pelan.

"Aku terbawa perasaan hyung. Aku rasa aku sudah jatuh cinta pada Hansol. Aku…terlibat terlalu dalam dengannya."

Seungkwan kembali menunduk, kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Sekarang setelah ia menyadari perasaannya-yang ia anggap salah-pada Hansol ia jadi bimbang dengan apa yang harus ia lakukan.

"Aku akan berhenti saat kontrakku dengannya selesai nanti."

Seungkwan berujar mantap. Ia harus berhenti sekarang sebelum semuanya berjalan semakin jauh.

"Seungkwan-ah."

Jihoon berujar pelan, kedua tangannya menggenggam jari-jari Seungkwan erat.

"Harusnya aku yang minta maaf. Tidak seharusnya aku mengatakan hal kasar padamu kemarin. Maaf kalau aku menyakitimu, aku hanya tidak ingin kau melakukan sesuatu yang salah."

Jihoon tersenyum setelahnya.

"Aku menyayangimu, kau tahu itu bukan? Aku terlalu mengaturmu, aku sadar itu. Karenanya aku tidak akan pernah mencampuri urusanmu dengan Hansol lagi. Itu semua hakmu, kau bebas melakukan apa saja yang kau inginkan. Tolong maafkan aku."

Jihoon berujar tulus. Ia tidak menyangka bahwa Seungkwan akan meminta maaf padanya. Jihoon merasa kurang enak hati, ia benar-benar merasa bahwa Seungkwan tidak perlu meminta maaf sampai seperti ini padanya. Seungkwan hanya tersenyum, balik menggenggam tangan Jihoon tak kalah erat.

"Tidak, hyung memang benar. Tidak seharusnya aku menjadi Sugar Baby seperti sekarang. Lagipula..."

Seungkwan terdiam sejenak, memandang tautan jemarinya dengan pandangan miris.

"Hansol sudah bertunangan. Aku benar-benar tidak ada artinya baginya."

"Seungkwan-ah…"

Jihoon berujar lirih, meremas lembut tangan Seungkwan. Seungkwan mengangkat kepalanya, memandang Jihoon dengan senyum di wajahnya.

"Selama ini kami hanya berkencan seperti biasa. Makan malam berdua, menonton film, pergi ke taman bermain di akhir pekan. Hanya itu, tidak ada yang istimewa. Akupun yakin Hansol juga merasakan hal yang sama terhadapku."

Seungkwan diam pada akhirnya, Wonwoo dan Jihoon juga. Mereka hening sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Aku tidak ada artinya bagi Hansol."

Seungkwan berujar final, terlihat mantap dengan keputusan yang ia buat. Seungkwan kelihatan yakin, namun Wonwoo mengerti benar bahwa Seungkwan sama sekali tak rela bila harus memutuskan hubungan dengan Hansol begitu saja. Wonwoo tahu, Seungkwan sudah jatuh cinta. Wonwoo masih diam, terbersit sebuah pemikiran yang entah darimana datangnya dalam pikirannya.

Seungkwan selalu bercerita bahwa selama ia menjadi Sugar Baby Hansol pekerjaan yang harus ia lakukan adalah menuruti laki-laki itu, kemanapun dan dimanapun. Walau kesan pertama yang Wonwoo dapat saat Seungkwan menyebut kata Sugar Baby adalah negatif namun Seungkwan berani bersumpah jika mereka-ia dan Hansol- sama sekali tak pernah berhubungan seks karena ia hanya dibayar untuk sebatas menemani Hansol belaka.

Muncul satu lagi pertanyaan dalam benak Wonwoo. Jika tugas Seungkwan hanya untuk menemani, kenapa ia bisa begitu jatuh cinta pada Hansol? Kenapa Seungkwan terlihat begitu takluk pada laki-laki itu? Wonwoo merenung, sesulit itukah menjadi seorang Sugar Baby?

XX

Wonwoo melihat pria asing itu lagi hari ini. Bukan sekedar hanya berpapasan seperti tempo hari, kali ini Wonwoo melihatnya tengah duduk dengan santai di ruang tamu rumahnya. Bersama sang Ibu yang kini tampak muram di hadapannya, pria itu duduk dengan kaki naik ke atas meja. Wonwoo menggeram dalam hati, benar-benar tidak sopan.

"Oh! Kau pasti Wonwoo."

Pria itu berujar keras saat matanya tak sengaja menangkap keberadaan Wonwoo yang hendak berjalan ke dapur, mengambil minum untuk tenggorokannya yang terasa kering. Wonwoo diam seketika saat mendengar namanya disebut, dengan agak enggan mengarahkan pandangannya pada ruang tamu. Tersenyum canggung, Wonwoo berjalan pelan menuju ke sumber suara.

"Ah iya, saya Wonwoo. Senang bertemu dengan anda."

Wonwoo membungkuk singkat kemudian memandang sang Ibu dengan pandangan bertanya. Siapa pria ini?

"Bagus kalau sekarang kau ada, aku rasa kau lebih baik ikut dalam pembicaraan kami."

Wonwoo mengerutkan dahinya tak mengerti, pembicaraan? Pembicaraan macam apa?

"Mengenai Ayahmu. Perusahaan Ayahmu lebih tepatnya."

Wonwoo duduk pelan setelahnya, memposisikan diri di samping sang Ibu yang entah kenapa tampak panik.

"A-aku rasa Wonwoo tidak perlu tahu masalah ini. Lebih baik kita-"

"Tentu tidak, tentu tidak."

Orang itu bicara santai. Wajahnya menyeringai dan Wonwoo tidak suka ekspresinya.

"Tentu Wonwoo harus tahu. Mungkin sedikit banyak dia bisa membantumu. Bukan begitu Wonwoo?"

Wonwoo diam, dengan kaku menganggukkan kepalanya. Pria itu kembali menyeringai,

"Aku rasa sudah cukup basa-basinya. Aku akan mulai saja. Jadi begini Wonwoo, seperti yang kau ketahui, Ayahmu sudah meninggal 3 bulan lalu. Bukan begitu?"

Wonwoo kembali mengangguk, menelan ludahnya susah payah. Ia benar-benar merasa tidak enak sekarang.

"Sayang sekali dia meninggal diwaktu yang benar-benar tidak tepat."

Wonwoo terpaku, memandang pria di hadapannya dengan pandangan menusuk. Tidak pernah ada waktu yang tepat bagi Ayahnya untuk meninggalkan dirinya dan sang Ibu.

"Perusahaan Ayahmu sedang krisis sekarang. Dia meninggalkan perusahaannya dalam keadaan sekarat. Hutang bertumpuk."

Pria itu berujar santai, tak menghiraukan raut wajah terkejut milik Wonwoo. Ayahnya memiliki hutang dan ia baru mengetahuinya sekarang? Pria itu duduk dengan antengnya, perlahan menyesap kopi dalam cangkir putihnya.

"Walau begitu…"-pria itu meletakkan kembali cangkir di tangannya ke atas meja.

"Kalian beruntung karena selain perusahaan, Tuan Jeon juga memiliki beberapa cabang bisnis dan properti yang sedikit banyak bisa melunasi hutang yang dia miliki."

Hening setelahnya, Wonwoo dan sang Ibu setia diam menunggu kalimat terusan yang akan pria setengah botak itu lontarkan.

"Termasuk rumah ini."

Wonwoo terkejut, tersedak ludahnya sendiri. Rumah ini? Apa maksudnya?

"Maaf, aku tidak mengerti. Kenapa rumah ini-"

"Karena Ayahmu juga menjadikan rumah ini sebagai jaminan."

Pria itu memotong omongan Wonwoo begitu saja, tampak paham dengan ekspresi heran sekaligus bingung yang Wonwoo tunjukkan.

"Jadi maksud anda…rumah ini akan dijadikan sebagai alat pembayar hutang begitu?"

Wonwoo bertanya hati-hati, matanya melirik sekilas kepada sang Ibu yang tampak menundukkan kepalanya dalam. Wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir yang sangat kentara bagi Wonwoo.

"Tentu."

Pria itu mengangguk mantap.

"Rumah ini akan dijual, dan uang hasil penjualannya akan digunakan untuk menutupi hutang Tuan Jeon yang masih tersisa."

Wonwoo termangu, merasakan otaknya kosong tiba-tiba. Rumah ini akan dijual? Begitu saja?

"Rumah ini sebenarnya termasuk kecil walaupun memiliki dua lantai. Jika berhasil terjual, aku rasa hanya dalam kisaran 100-140 juta."

"Dan berapa sisa hutang yang kami miliki?"

Pria itu mengalihkan pandangannya pada Wonwoo secepat kilat, dengan seringai tipis di wajahnya pria itu menjawab

"200 juta."

Wonwoo terdiam tak tahu harus menjawab apa. Banyak hal tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Rumah ini terlalu berharga jika hanya dijadikan sebagai pembayar hutang. Rumah ini adalah hasil kerja keras sang Ayah selama bertahun-tahun dan Wonwoo tidak akan semudah itu melepskannya. Wonwoo menengok ke samping, kea rah sang Ibu yang kini tengah memandangnya dengan pandangan bersalah. Wonwoo menarik nafas berat, perlahan mengalihkan pandangannya kembali kepada pria di seberang meja.

"Kami memiliki sebuah rumah sewa, letaknya tak jauh dari toko roti milik Ibu. Rumah itu sudah lama kosong dan ya, cukup besar. Aku rasa ketimbang menjual rumah ini kami akan lebih memilih menjual rumah sewa tersebut."

Ibu Wonwoo mengangkat kepalanya cepat, wajahnya tampak berseri. Benar, rumah itu masih ada. Ia bicara dengan semangat.

"Benar, rumah itu masih ada. Rumah itu belum dijual. Jika dilihat dari ukurannya aku yakin rumah sewa itu lebih besar dari rumah ini. Apabila kita menjualnya aku yakin hutang yang masih tersisa akan tertutupi."

Wanita itu tersenyum, menggenggam tangan Wonwoo erat-erat. Sekalipun setelah ini mereka akan kehilangan semuanya, itu bukan masalah asal rumah ini masih milik mereka.

"Aku akan mengeceknya besok apakah rumah itu layak dijual atau tidak. Aku permisi."

Kemudian pria itu pergi begitu saja, dengan wajah kesal dan langkah kaki tak sabaran. Wonwoo tahu pria itu pasti sangat kesal karena Wonwoo berhasil mendapat jalan alternatif selain menjual rumah ini.

"Woo, maaf karena tidak memberitahukan hal ini padamu sebelumnya."

Sang Ibu bicara dengan nada begitu lembut, matanya tak lepas dari Wonwoo yang kini menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.

"Kita memang sedang kesulitan sekarang, itulah sebabnya kenapa Ibu sering sekali menangis belakangan ini. Ayahmu…"

XX

Wonwoo tengah dalam waktu istirahat sekarang, duduk dengan santai di ruang ganti karyawan salah satu café di dekat kampusnya. Ia bekerja sampingan sebagai pelayan disini. Dahulu, Wonwoo melakukan pekerjaan ini hanya untuk mencari pengalaman. Namun sekarang, ia benar-benar bekerja untuk dirinya. Membantu sang Ibu sebisanya.

Wonwoo termangu, memikirkan sudah berapa kali ia ditegur bosnya seharian ini karena terlalu sering melamun. Wonwoo tidak bisa kesal pada bosnya tentu saja, semua ini memang salahnya. Wonwoo hanya tak bisa mengenyahkan pikiran mengenai hutan sang Ayah dari pikirannya.

"Tinggal 30 juta lagi."

Wonwoo berbisik pelan. Bahkan hasil menjual rumah sewa yang dahulu mereka milikipun tak dapat menutup hutangnya secara keseluruhan. Rumah sewa itu hanya terjual 170 juta, menyisakan 30 juta lagi untuk Wonwoo lunasi. Wonwoo menggeram tertahan, ia hanya diberi waktu 3 bulan untuk melunasi hutang Ayahnya. Dimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang amat sangat singkat?

"Wonwoo-ya."

Wonwoo menoleh, pandangannya tertuju pada seorang laki-laki tegap yang kini tengah berdiri di balik pintu.

"Iya hyung?"

Seungcheol maju beberapa langkah sampai kini ia berdiri tepat di hadapan Wonwoo yang masih setia duduknya di kursi ruang ganti.

"Bisa ke depan sekarang? Joohyun tiba-tiba ijin pulang karena Ayahnya sakit dan Soonyoung belum datang."

Wonwoo mengangguk mengerti, dengan segera merapikan seragam yang ia kenakan kemudian bergerak keluar ruangan diikuti Seungcheol dibelakangnya.

"Bisa tolong antarkan ini ke meja nomor 7?"

Wonwoo mengangguk seadanya pada Minhyun sebelum berjalan santai ke arah sebuah meja di sudut café. Wonwoo memperhatikan seseorang di meja 7 yang kini tengah asik memainkan ponselnya dengan pandangan biasa. Seorang laki-laki yang Wonwoo yakini berusia 20-an, memakai setelan jas hitam formal dengan rambut coklat yang ditata sedemikian rupa sehingga menambah kadar tampan yang laki-laki itu miliki.

"Pesanan anda Tuan, silahkan dinikmati."

Wonwoo berujar sopan, tersenyum kecil saat laki-laki itu mendongak menatapnya.

"Ada lagi yang ingin anda pesan?"

Wonwoo bertanya ramah, tatapannya masih belum lepas dari laki berjas di hadapannya. Diam agak lama menghampiri keduanya saat laki-laki itu diam tak menjawab pertanyaan yang Wonwoo lontarkan. Wonwoo mengerutkan dahinya bingung, pria ini kenapa?

"Tuan-"

"Maukah kau jadi Sugar Baby-ku?"

Wonwoo mengangkat sebelah alisnya heran, gagal paham dengan laki-laki asing itu. Wonwoo tersentak kecil kemudian, merasakan pergelangan tangannya di genggam dengan eratnya. Laki-laki itu memasang ekspresi yang, entahlah. Wonwoopun tak tahu maksudnya.

"…Jeon Wonwoo?"

Laki-laki itu kembali berucap setelah matanya melirik sekilas pada name-tag yang menempel indah di seragam Wonwoo. Wonwoo hanya membisu. Apa yang laki-laki ini lakukan?!

"Would you?"

Satu hal yang kini terlintas dalam pikiran Wonwoo. Laki-laki ini tidak waras.

.

.

.


TBC


(-) Kalo kalian tertarik dan menyempatkan diri untuk review, seriously. It'll be an honour :)

Well, see you.

Selamat hari Jumat!