Disclaimer : Bleach © Tite Kubo
.
Don't get too close, it's dark inside.
It's where my demons hide.
Imagine Dragon - Demons
.
Demons
.
Hoshikawa Mey
.
.
.
Langit malam kian mengkelam, memberi noda hitam pada tempat-tempat yang tidak memiliki penerangan, menjadi saksi bisu atas semua hal terjadi pada naungan kegelapannya. Seolah tidak ingin ketinggalan, udara malam ikut berpartisipasi, berhembus nakal pada celah jendela yang tidak sepenuhnya tertutup. Tanpa rasa malu menyeruak masuk menyibak tirai, mempertontonkan celah kecil tampilan dua insan yang saling menjamah diatas peraduan. Erangan tertahan dan bunyi nafas yang terputus bahkan seakan membenarkan tindakan nakal sang alam. Memperlihatkan semua tindakan yang terjadi hanya karena sebatas nafsu dan tuntutan.
Kurosaki Ichigo.
Pria bersurai orange itu menggeram pelan, tubuh berototnya yang dihujani peluh gemetar halus. Tangan kanannya mencengkram kuat seprei dibawah genggaman tanggannya, menjadikan pertahanan terakhir sebelum tubuhnya betul-betul ambruk. Tubuh mungil dibawahnya juga tak kalah kelabakan. Seorang perempuan mungil, berkulit seputih susu berhiaskan manik keringat yang memantul terkena sorotan cahaya malam. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali, tekesiap kecil saat pandangan keduanya beradu.
Mungkin istilah mata adalah jendela dari ungkapan perasaan bisa mereka akui menjadi teori yang benar saat ini. Lewat tatapan, tak perlu lagi berkata-kata. Melalui mata, mereka sama-sama paham bahwa inilah puncak dari kewajiban pertama di malam resminya mereka menjadi sepasang suami-istri.
Yah—apa lagi yang dibutuhkan apabila dua keluarga bangsawan besar mengikatkan hubungan mereka dengan pernikahan salah satu anggota keluarga, sebagai formalitas kesepakatan diantara dua keluarga. Jawaban yang pastinya sudah tak perlu lagi dipertanyakan, tentu saja untuk memberikan simbolis terikatnya hubungan mereka—demi seorang pewaris.
Malang permasalahan tidak akan selesai hingga batas pewaris. Skenario terus berlanjut hingga pihak keluarga mana yang akan memangkan piala, memegang kendali pewaris berikutnya. Begitu ironis, namun begitulah fakta dari sebuah keluarga bangsawan. Mereka ada, menancapkan akar dengan kuat, dan memperluas kekayaan.
Menit berlalu, pria penyandang marga Kurosaki akhirnya meleguh pelan, disusul jeritan tertahan dari perempuan di bawahnya. Tubuhnya ambruk seketika, tak perduli tubuh yang begitu kecil menampung di bawah. Ia tahu perempuan itu juga tidak akan terlalu memprotes. Mereka butuh untuk mengatur nafas, meredakan segala kekacauan. Mengembalikan pemikiran untuk mengalir logis, menyusun rencana—apa langkah berikutnya yang harus ditempuh.
"Namanya adalah Kuchiki Rukia."
Ya, benar.
Sore hari sebelum adanya kesepakatan pernikahan Kurosaki Ichigo dipanggil menghadap ke kediaman utama. Tanpa basa-basi, tanpa perlu pula penjelasan panjang lebar—tetua dari keluarga Kurosaki mengeluarkan titah.
Kerutan permanen di dahi Ichigo bertambah, wajah cemberutnya menyerinyit. Tanda keberatan yang telampau ketara, namun tidak disuarakan.
Laki-laki tua yang duduk di seberang meja mendengus masam, asap mengepul dari cangkir teh di atas meja tampak tidak menarik lagi melihat wajah masam Kurosaki muda. Wajah pembangkang, tentu ia sudah tahu akan mendapat respon lebih buruk nantinya. "Bulan depan adalah upacara pernikahan kalian, persiapkan dirimu."
Kurosaki muda mencibir halus. Meski seharusnya perilakunya menjadi daftar tindakan yang amat di cela dalam buku tata krama, ia tetap sengaja memunculkan ekspresi untuk memancing kekesalan kakek tua di hadapannya. "Tugas apa lagi yang harus kulakukan? Pernikahan? Kalian pasti bercanda."
"Ini akan menjadi hal serius kalau kau bisa menjalani dengan baik pernikahan dan memberi kami pewaris laki-laki, Kurosaki Ichigo. Dengan begitu keluarga Kuchiki akan berada dalam genggaman kita."
Ah—pewaris laki-laki memang selalu menjadi alat untuk memperkokoh pohon keluarga.
"Dan—"
Dan?
"—ketika kau menikah dengannya, kau akan menempati hirarki tertinggi dalam deretan cucuku."
Lagi-lagi tata krama Kurosaki perlu diperbaiki, pemuda itu mendengus mencela dengan terang-terangan. "Sejak dulu kau selalu meremehkanku, Genryu-ji. Apakah kau sudah mulai pikun?"
Seperti kebal dengan perilaku yang sudah mendarah daging dari sang cucu, kakek tua tersebut tetap melanjutkan penjelasan dengan wajah datar. "Anggap ini sebagai kesempatan. Generasi Kuchiki akan menjadi menantu terbaik yang pernah ada dalam garis keluarga Kurosaki."
Kurosaki Ichigo tertawa, ekpresi yang lagi-lagi terlampau ketara. Sejak pemuda bersurai orange itu mengenal dunia, tidak ada yang bisa dilakukan selain menerima cibiran dari setiap anggota keluarga. Dari semua sepupunya, ia adalah yang paling pembangkang. Tidak pernah menurut, menjalani aturan sendiri tanpa perduli dengan semua tata krama dan adat. Toh, apa perdulianya. Ia sudah terlanjur muak dijadikan boneka sejak lahir. Para tetua yang menjadikannya bidak catur untuk memperbanyak kekayaan. Meskipun begitu, ia juga tidak bisa lepas dari tuntutan keluarga mengingat anggota keluarganya sendiri juga menjadi bagian dari permainan para tetua.
"Ah—ada satu pertanyaan, bolehkah?"
Sang kakek mengangguk, masih berwajah datar dan tenang.
"Kalau seandainya hanya ada pewaris perempuan—apa yang akan terjadi?"
"Kau boleh membuang perempuan Kuchiki itu. Dia sama sekali tidak berguna."
Tawa singkat kembali mengisi kesunyian ruangan. Ternyata memang benar adanya, tidak perduli setua apapun manusia hidup di dunia, keserakahan akan selalu membayangi.
.
.
.
Kuchiki Rukia.
Perempuan bersurai hitam kelam itu terbangun disaat langit masih menunjukkan kegelapan pagi. Tubuh telanjangnya bersinggut duduk, terlebih dahulu membenahi posisi selimut yang tidak sepenuhnya menutupi tubuh suaminya sebelum benar-benar turun dari tempat tidur.
Iris violetnya mengerjap beberapa kali, membiasakan pengelihatan pada tata ruang yang sudah jauh berbeda dari kamarnya dulu. Satu hal yang belum mebuatnya terbiasa dengan lingkungan rumah suaminya adalah beberapa bagian dari rumah yang memiliki unsur gaya barat. Meskipun ia cukup memaklumi sejak gaya-gaya barat mulai populer tidak sedikit masyarakat yang mengikuti, namun ada beberapa keluarga yang bersikeras mempertahankan gaya tradisional seperti keluarganya, keluarga besar Kuchiki.
Helaan nafas mengawali pagi. Kini ia sudah menjadi menantu di keluarga Kurosaki. Apapun yang terjadi, ia harus belajar menyesuaikan. Lagi pula—ia hanya menjalani hidup. Tidak masalah berada dimana, atau apa yang akan terjadi padanya. Hanya sampai pada titik itu. Karena dunia tidak ada lagi yang menarik lagi untuk dijalani.
"Apapun yang terjadi, ambil semua apa yang bisa kau miliki dari keluarga Kurosaki."
Begitulah manusia. Munafik, egois, dan serakah. Apapun akan dilakukan karena tidak pernah merasa cukup. Lalu—Kuchiki Rukia sendiri apa?
Perlukah orang-orang tahu siapa?
Kuchiki Rukia adalah bagian dari kepalsuan keluarga Kuchiki. Dia kosong. Apapun yang keluarga Kuchiki inginkan, ia jalankan. Bagai boneka yang terus digerakan dengan tali. Ia hanya akan bergerak apabila keluarga Kuchiki yang menggerakannya.
.
.
.
Dahi pemilik surai orange menyerinyit. Wajahnya percampuran antara horor dan bingung, iris hazelnya terus waspada memandang berbagai hidangan di atas meja makan. Mungkin tidak semewah biasa yang ia santap di pagi hari, namun setidaknya kali ini bisa dibilang mengagumkan dari bentuk dan aromanya."Kau bisa memasak?"
Perempuan yang telah resmi menjadi istrinya cuma tersenyum kecil, mengangguk pelan sembari menyerahkan sumpit pada si surai orange, mempersilahkan untuk menyantap makanan.
Lagi, Ichigo menyerinyit diambang dilema. Ayolah, bukan tanpa alasan ia berekspresi waspada. Bayangkan dengan logika, mungkinkah perempuan bangsawan dengan seribu pelayan melayani sepanjang hidupnya pernah dan bisa mendapat kesempatan menyentuh dapur? Mungkinkah itu?
Berbagai jenis pemikiran buruk tidak bisa dihindarkan. Mungkinkah istrinya hanya ingin menarik perhatiannya? Atau Kuchiki Rukia diberi tugas untuk meracuni Kurosaki Ichigo?
"Waktu kecil aku berteman dekat dengan pelayan di mansion Kuchiki, dan ketika semua anggota keluarga sibuk mengurung diri di kamar, aku bermain di dapur."perempuan bermarga Kuchiki bertutur pelan tanpa ada ekspresi tersinggung, penjelasannya seakan telah mampu membaca isi kepala Ichigo.
Satu suapan. Setelah memulai acara makan dengan perasaan ragu, akhirnya Ichigo mencicipi masakan sang istri. Ichigo tahu seharusnya ia memberi tanggapan untuk meperbaiki kesan awal ekspresinya sebelum mencicipi, tapi ia tidak melakukannya. Ia hanaya terus melanjutkan makan.
Rukia pun begitu. Tidak menuntut komentar apapun dari suaminya. Ia hanya tersenyum kecil saat pemuda itu terus melanjutkan makan. Setidaknya ia tahu bahwa masakannya bisa dimakan.
"Hentikan itu."
Iris Rukia mengerjap, kepalanya mendongak kembali pada suaminya. Terdiam, masih memasang wajah datar yang kaku. Pertahanan ala Kuchiki Rukia, tentu saja—tujuannya agar tidak mudah ditebak.
Ichigo mendengus, tampaknya ia mulai paham watak istrinya. Meskipun belum mengerti situasi, perempuan itu akan terus bungkam. Begitu pula emosi yang lain—marah, sedih, senang, tersinggung, tampaknya perempuan itu akan selalu memilih untuk diam lebih dulu.
"Mempersiapkan pakaianku, bersikap sopan, memasak sarapan. Aku tahu itu semua palsu. Kau tidak perlu repot-repot berperan sebagai istri yang baik."
Ada jeda sepersekian menit usai Ichigo dengan gamblang mengeluarkaan isi kepalanya. Mimik muka istrinya tampak seperti baru saja menelan bongkahan es. Seperti yang diharapkan, perkataan jujurnya mampu membuat Rukia shock. Dalam hati ia sendiri tersenyum miris, bisa saja pernikahan mereka tidak akan bertahan lebih dari satu tahun.
"Aku hanya melakukan kewajibanku."
Ichigo mengerutkan dahi. Berbeda dengan ekspresi beberapa detik sebelumnya, kali ini merasa sang istri bisa bergabung dalam panggung sandiwara kabuki untuk berpartisipasi memainkan peran. Ekspresi yang ditampilkan sungguh tampak meyakinkan. Sayang Rukia telah salah memilih mencari lawan main, pria yang menjadi suaminya itu sudah terlampau familiar dengan kepalsuan, terlebih lagi yang telah keluarganya ciptakan.
"Tidak masalah kalau kau ingin menganggapnya palsu."
Ah—tampaknya Rukia juga sudah mampu membaca ekspresi suaminya. Apakah itu artinya mereka sudah bisa saling memahami? Sungguh menggelikan.
"Selama statusku adalah istri seorang Kurosaki Ichigo, maka aku akan menjadi pendukung yang baik untukmu."
Makanan yang baru saja ditelan malah terasa menyangkut di tenggorokan. Pria pemilik iris kuning madu kontan menyeringai sinis, semua pembicaraan membuat ia semakin muak. "Pendukung, eh?"sumpit yang dipegang diletakan kembali ke meja. Tubuh pemilik marga Kurosaki itu lebih maju ke depan, memberi tatapan intimidasi pada iris violet dihadapannya, menantang agar sang lawan bisa tunduk."Dengarkan aku. Hanya karena pernikahan kita memberi keuntungan besar kepada kedua keluarga, bukan berarti kau berguna untuk mendukungku. Aku kenal persis perempuan seperti apa yang dihasilkan dari keluarga bangsawan sepertimu. Aku malah merasa apabila bisa diberi pilihan, kau pasti ingin menikah dengan orang yang kau cintai daripada menikah denganku."
Lagi—ekspresi beku sebagai pertahanan Rukia. Iris violetnya menatap lurus dengan tatapan tanpa ekspresi, nyaris seperti boneka yang tidak ada kehidupan. "Kau—tenang saja, hatiku tidak akan pernah dimiliki pria lain." Setelah kebekuan, nada suara perempuan raven itu berubah melunak. Menghembuskan nafas pelan, lalu tersenyum lembut. "Bahkan kurasa hatiku juga tidak akan pernah kau miliki."
.
.
.
Seorang pelayan berjalan menuntun langkah. Kepala dan isyarat tubuhnya menunduk rendah, menunjukkan rasa hormat mendalam pada tamu majikan yang senantiasa mengikuti arah di belakang si pelayan. Hanya bunyi derit lantai rumah yang terbuat dari papan yang mengisi keheningan tanpa adanya perbincangan.
Entah karena aura atau sadar akan kasta yang berbeda, si pelayan merasa gelisah. Meski orang yang dituntunnya tidak sedikitpun mengajak berbincang ataupun mengeluarkan perintah, tidak juga bersikap kurang sopan, namun aura tidak menyenangkan itu terlampau ketara hingga mampu membuat keringat dingin mengalir di belakang punggung si pelayan.
"Cih!"
Sang pelayan sedikit terlonjak. Dengusan kekesalan yang muncul di suasana hening dari tamu sang majikan membunyikan alarm tanda bahaya baginya. Takut-takut mata si pelayan melirik ke belakang, mencuri lihat wajah pemuda bersurai orange yang masih terus mengikuti meski garis wajahnya semakin berekrut keruh.
"Tidak akan pernah memiliki hatinya? Dasar perempuan angkuh, memangnya dia pikir aku akan tertarik padanya."
Mungkin hanya gerutuan pelan disertai sumpah serapah, namun setidaknya hal tersebut sudah cukup membuat sang pelayan bernafas lega. Ia tahu tamu majikannya ini sedang kesal, tapi setidaknya kekesalan itu bukan tertuju padanya. Yah—sayang ia harus bersabar menuntun tamu majikan berwajah masam ini sampai ke ruang dimana majikannyaa menunggu.
.
.
.
Kurosaki Ichigo—sedang kesal.
Seperti baru saja memakan jamur beracun, perutnya terus melilit dipenuhi rasa dongkol. Ia perlu udara segar, waktu yang cukup untuk mengembalikan logikanya agar tidak lagi terpengaruh oleh perbincangan dengan istrinya tadi perlu diragukan lagi, Kuchiki Rukia adalah satu paket lengkap perempuan dingin yang mampu memancing kekesalan. Sayang—tampaknya ia dikutuk hari ini, kali ini adalah giliran ketua klan keluarga yang merecoki hidupnya.
"Bagaimana istrimu?"
Kurosaki Genryusai.
Salah satu tetua yang paling di hormati di garis keturunan Kurosaki. Tidak hanya klan Kurosaki, namun beberapa klan juga telah tunduk pada seorang kakek tua yang fisiknya saja tampak tidak meyakinkan. Mereka bergabung, membangun sebuah aliansi dalam ikatan kekeluargaan yang kokoh.
Tidak langsung menjawab, Kurosaki Ichigo mendengus terlebih dahulu. Membahas istrinya semakin membuat perut melilit tak karuan. "Kakek tenang saja, kami bergaul dengan baik. Aku bahkan sudah menidurinya tadi malam."
Hampir terbiasa dengan bahasa kurang sopan cucunya, Genryusai tidak menunjukkan ekspresi terganggunya. Ia harus lebih bijak, mengkesampingkan sikap cucunya untuk mendapat klarifikasi bahwa prilaku si muda Kurosaki tidak memperburuk nama keluarga. "Ah—kau tidak memaksanya kan? Bisa lebih buruk kalau seandainya kau dilaporkan ke keluarganya karena sudah berbuat kasar padanya."
"Kakek tenang saja, apakah perlu kuceritakan berapa kali kami melakukannya? Atau perlukah aku menjelaskan seperti apa prosesnya—"
"Bicaramu terlalu vulgar, Kurosaki Ichigo!" suara sang tetua meninggi, mengejutkan beberapa ekor burung yang sedang bermain di teras luar hingga terbang menjauh ketakutan. Ichigo tidak mengambil pusing, nampak acuh membuang muka keluar memandang mengikuti arah terbang burung kecil yang melarikan diri terbang ke langit tadi.
"Tidak perlu marah, Genryu-ji. Bukankah kau memanggilku hanya ingin bertanya tentang itu?"
Kurosaki Genryusai menggeram halus. "Kau sungguh manusia yang paling angkuh dan tidak tahu sopan santun."
Terbiasa dengan makian dan sumpah serapah, Kurosaki Ichigo tidak sedikitpun menaruh perhatian pada makian sang tetua. Memicu nyengat panas darah sang tetua hingga ke ubun-ubun, menciptakan emosi yang sudah tidak terbendung lagi.
"Tidakkah kau berpikir, kau hanya beruntung terlahir sebagai lelaki." Kurosaki Genryusai menumpahkan racunnya. Mungkin Ichigo masih terlihat tidak mendengarkan, tapi Genryusai tahu, tidak ada pembicaraan yang lebih menyinggung perasaan sang cucu selain tentang tua itu telah hidup jauh lebih lama dan sudah amat paham dengan tabiat semua cucunya.
"Kau tahu kan apa yang terjadi kalau seandainya saat itu ibumu melahirkan seorang anak perempuan." Kurosaki Ichigo masih bersidekap di depan dada, tapi wajah masam pemuda itu telah kembali menatap tidak suka pada sang Genryusai terkembang, mulutnya telah membuka untuk menyempurnakan racun yang telah ia keluarkan. "Nah—tampaknya kau sudah paham. Pastinya kau akan lebih cerdas untuk memberikan pewaris laki-laki."
.
.
.
"Tu,tu—an... maafkan, saya." Seorang pelayanan malang bersimpuh ketakutan. Ia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Ia hanya berjalan di koridor, namun tiba-tiba sosok sang majikan muncul menabrak dirinya hingga terdorong jatuh. Meskipun ia yang terjatuh, tanpa banyak pikir ia langsung bersimpuh meminta maaf begitu tahu siapa yang menjadi objek penabrak dirinya. Tak kunjung mendapat jawaban, wajahnya takut-takut mendongak dan mendapati sang majikan tampak tidak perduli dan terus melanjutkan langkahnya. Menggemakan langkah disepanjang koridor dengan hentakan kaki penuh emosi.
"Kau tidak apa?" seorang pelayan lain tampak bersimpati membantu si pelayan malang berdiri.
"Apa yang terjadi pada Kurosaki-sama?" si pelayan malang berbisik penasaran, sedikit perasaan lega karena malaikat pencabut nyawa hanya sekilas lewat saja.
"Seperti Kurosaki-sama sedang dalam suasana hati buruk. Sebaiknya kita jauh-jauh saja."
Si pelayan malang mengangguk mengerti. Meski belum begitu lama bekerja di rumah besar Kurosaki Ichigo, ia sudah tahu dari pelayan lain yang suka bergosip bahwa majikan mereka punya temprament yang buruk.
.
.
.
"Kau kenapa!"
Itu mungkin bukan pertanyaan, tapi hanya bentuk protes yang disertai jeritan ketika tubuh mungil Rukia dilemparkan tidak hormat ke atas tempat tidur. Merasa frustasi bercampur emosi bersinggut untuk duduk di pinggiran ranjang namun tidak terlalu berhasil karena tubuhnya kembali diterjang oleh tubuh yang dua kali lebih besar ukurannya milik sang suami. Putus asa menggerayangi serta menarik-narik bawahan kimono yang dikenakan Rukia.
Beberapa saat lalu Rukia sedang berdiskusi dengan juru masak tentang menu-menu apa saja yang disukai oleh suaminya. Pembicaraan masih berjalan serius sampai ia melihat kedatangan suaminya, semakin mendekat dengan wajah merah padam. Dan yang terjadi berikutnya Rukia sudah berada dalam gendongan suaminya.
"Bicara padaku, Ichigo. Kau kenapa?" susah payah tangan mungil Rukia mendorong dada si pria pemilik surai orange, menghindari kecupan brutal pada persimpangan lehernya. Namun jangankan menjauh, tangan suaminya itu malah sudah berhasil menarik lepas ikatan obi kimononya. Jangan lagi bertanya apakah Rukia paham dengan isyarat jelas dari suaminya, tentu ia tahu. Tapi Rukia belum siap. Ia tahu Ichigo hanya ingin melampiaskan emosi, ia tahu tubuhnya hanya sebagai alasan. Dan Rukia juga tahu—tubuhnya tidak akan siap bila harus mengulang lagi pengalaman pertamanya tadi malam.
"Tidak, tidak, tidak, Ichigo. Jangan lakukan sekarang," Rukia menghindar, mendorong, serta menggeliat kesana-kemari—mengerahkan segala cara. Pokoknya mereka belum bisa melakukannya untuk waktu sekarang. Dan bunyi dentingan ikat pinggang dari stelan pakaian ala barat yang dikenakan suaminya membunyikan alarm tanda bahaya semakin kencang. "Kau tidak boleh—"
Dan—ada jeritan.
Pernah mendengar bahwa ular yang dipukul ekornya akan melompat menggigit balik sang pemukul? Ular itu merasakan sakit, secara insting ia akan melakukan pertahanan diri dengan cara yang menakutkan. Dan itulah yang terjadi pada Rukia.
Tubuh Rukia lekas mengambil posisi duduk, nafasnya tidak teratur, sudut bibirnya memperlihatkan ada noda darah. Matanya masih tidak fokus menatap jejak bercak darah di sprei putih, mengikuti arah tetesan sampai pada tangan suaminya yang meneteskan darah segar.
Mata kuning madu milik suaminya berkilat keemasan, menampilkan ekspresi horor menahan amarah. "Kau menggigitku, perempuan gila?"
Ya, benar. Rukia menggigit tangan suaminya.
Semua tejadi di luar kendali. Ia hanya tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan saat Ichigo tidak menghiraukan perkataannya, lalu semakin tidak terkendali saat suaminya mencoba menyatukan tubuh mereka. Ia marah, merasa tidak dihargai, dan muak. Seharusnya tidak hanya menggigit, Rukia juga ingin memukulkan lampu meja pada kepala suaminya hingga pemuda itu tidak bernyawa. Tapi—itu tidak diperbolehkan bukan? Terlebih lagi ia adalah seorang Kuchiki, dan juga—istri Kurosaki Ichigo.
"Ma,maafkan aku," Rukia berbisik pelan, membungkukkan badan. Berkebalikan dengan semua isi kepalanya yang memikirkan sejuta cara membunuh sosok jingga dihadapannya, telah memilih hukum dasar yang selalu keluarganya katakan dalam hirarki rumah tangga, apabila seorang suami melakukan kesalahan—itu adalah karena kesalahan seorang istri.
Ichigo mendengus mencemooh, memandang jijik pada perempuan kanibal yang sudah dinikahinya. Haruskah mereka bercerai saja? Ichigo cukup ngeri membayangkan masa depan pernikahan yang tampak suram kedepannya. "Maaf?"
"Ya," suara perempuan pemilik surai hitam mulai terdengar serak dan bergetar. "Maafkan aku karena menikah denganmu belum pernah disentuh pria manapun."
"..."
"Sekali lagi, maafkan aku." Rukia membungkuk terakhir kali sebelum akhirnya turun dari ranjang. Sebaik mungkin membenarkan kimono yang tampak mengerikan meskipun jalannya sedikit tertatih.
Awalnya perkataan Rukia terdengar ambigu. Ichigo merasa perempuan itu yang bersalah karena sudah membuat tangannya berdarah. Namun kenyataan di depan mata tidak bisa ia abaikan saat melihat cara berjalan istrinya yang sedikit aneh. Membuat mulut Ichigo terkatup rapat dihantui rasa bersalah. Bagaimana bisa ia melakukan kesalahan yang amat fatal? Lupa bahwa Rukia tidak sama dengan perempuan-perempuan penghibur yang kadang ditidurinya di luar sana. Perempuan itu seharusnya masih merasakan sakit dari pengalaman pertama di malam pengantin mereka.
Terbersit kenginginan kecil untuk mengejar, meminta maaf atas tindakan yang tidak seharusnya ia lakukan, namun logika dengan tegas menolak. Karena sejak awal pernikahan mereka bukan atas keinginannya, maka tidak masalah kan perempuan itu menerima akibatnya—tidak akan dicintai.
Benarkah begitu?
Ah—apakah sebentar lagi keluarga Kuchiki dan Kurosaki akan menghakimi Kurosaki Ichigo?
.
.
.
Langkah kecil Rukia berjalan memasuki ruang istirahat di ujung koridor gedung bagian barat. Berjalan anggun memainkan lakon sebagaimana rutinitas harian seorang nyonya bangsawan, seolah tidak pernah terjadi masalah pada dirinya.
Beberapa orang pelayan telah heboh menatap saat keluar dari kamar peristirahatan dimana sang suami membawanya tadi. Mereka sudah mencoba menutupi, namun rasa penasaran masih terlihat membayangi wajah mereka satu per satu. Beberapa mungkin juga menatap prihatin, tidak sedikit juga yang mencibir. Berani bertaruh mereka pasti mendengar pertengkaran dirinya dengan Ichigo, terlebih lagi pada saat meninggalkan kamar kondisi Rukia terbilang cukup mengerikan. Tentunya dengan gampang para pelayan menyimpulkan nyonya mereka telah menjadi korban amukan kemaran si Kurosaki muda.
"Ini tehnya, Nyonya."
Rukia mengangguk sekilas, refleks merubah ekspresi muram menjadi senyum. Mungkin saja ekspresinya tidak akan dilihat sama sekali, Rukia juga tidak perduli. Ia hanya terbiasa membuat semua terlihat baik-baik saja. Orang menyebutnya tidak berperasaan, tapi Rukia lebih setuju menganggapnya sebagai pertahanan diri. Karena di dunia ini kita hanya hidup untuk diri sendiri, tidak perduli sebanyak apapun orang yang mengelilingi, itu semua hanya ilusi.
"Tolong antarkan obat luka ke kamar Ichigo,"
"Ya?" si pelayan tersentak terkejut, sedikit tidak menduga bahwa akan mendengar suara nyonya rumah yang seharusnya masih shock.
Rukia tersenyum kecil, mengabaikan ekspresi kebingungan pelayan. Tangan kecilnya meraih cangkir teh yang masih mengepulkan asap, menyeruput ringan seolah sedang menikmati waktu santai yang damai. "Tangannya terluka. Tidak perlu mengajaknya berbicara kalau kau takut. Cukup tinggalkan saja kotak obat itu di kamar kami."
Meski sedikit enggan dan dikuasai kebingungan, sang pelayan menjawab dengan anggukan patuh. Membantah perintah majikan bukan bagian dari tugasnya. Jadinya ia hanya patuh dan keluar dari ruangan setelah memastikan majikannya tidak membutuhkan apapun lagi.
Sejenak setelah kepergian sang pelayan, Rukia meletakan kembali cangkir teh agar tidak terlepas dari pegangan. Angin dingin menyusup ke pori-pori kulitnya, tubuh kecil yang tampak tenang mulai gemetar halus. Emosi yang sedari tadi disimpan meguar sekujur tubuh. Segaris aliran terbentuk dari sudut mata mengalir ke ujung dagu, memberi tetesan kecil saat jatuh terbawa gravitasi.
Inilah alasan kenapa semua bisa menjadi palsu. Setiap hari ia hidup demi keuntungan orang lain, membunuh rasa dengan masuk jurang yang gelap, mengunci diri dengan semua sisi tergelap dirinya. Oh—tenang saja, tidak perlu repot mengakhawatirkan dirinya, dia baik-baik saja. Karena Rukia selalu menjadi seorang iblis menakutkan, tidak berperasaan dan tidak bernyawa.
.
.
.
To be continued...
