Urband Legend
Warning : AU, OOC, OOT, Urband Legend, horror gagal, Analisa berantakan!
Summary : Trik sederhana + Urband Legend untuk menakut-nakuti! Bad Summary! Warning inside! Ehm, check this out! Don't forget to review!
(Kagamine Len = Kousaragi Len)
Don't Like Don't Read!
Happy Reading! ^v^
.
.
BRAK!
Jendela kelas 1-A digeser kasar oleh seorang pemuda berambut pirang madu yang baru saja masuk kelas lewat jendela itu.
Seluruh orang dalam kelas itu melotot ke arah si pemuda sementara yang dipelototi cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala dan pasang wajah watados.
Dia menengok ke arah kelas, tak ada guru killer itu di kelasnya. Dia menghela napas lega dan duduk di bangkunya.
"Len, apa kau tahu kalau hari Meiko-sensei absen?" tanya Kagene Rei yang duduk di belakangnya. Pemuda yang dipanggil Len itu pun menggeleng.
"Mana aku tahu. Kemarin 'kan aku bolos tiga jam pelajaran pertama."
Pemuda berambut hitam itu menepuk jidat. "Berhentilah masuk ke dalam kelas dengan cara masuk lewat jendela, Kousaragi Len."
"Dengar kata temanmu itu, idiot." timpal siswi yang duduk di sebelahnya.
"Siapa yang kau panggil idiot, pendek?" balas Len. Rei kembali duduk di bangkunya dan memasang headset untuk menutup telinganya.
'Oh, kapan mereka berdua akur dan nggak teriak-teriak saling meledek kayak tarzan?' gumam Rei.
"Ha, pendek kok ngomong pendek? Nggak tahu malu." Rin balik meledek.
"Bocah songong!"
"Otak kosong!"
"Cebol!"
"Otak o'on maksimal!"
"Rata!" Apaan tuh yang rata?
"Tukang cari perhatian!"
"Idiot!"
Len pun duduk di bangkunya, mengeluarkan bukunya dan kacamatanya.
"Ha, rupanya Kousaragi Len gagal membalas ledekanku. Fufufu." Rin tertawa sarkastik. Len tak peduli dan terus saja menulis soal yang ada di papan tulis itu.
"Heh, Kagamine, pinjam buku dong. Aku nggak bisa lihat soalnya dengan jelas."
Rin menengok ke arah sumber suara. Disitu Len berdiri mengulurkan tangan kanannya yang diperban.
"Bisakah kau bilang 'tolong'?"
Len mendelik. "Tolong, Kagamine-san."
Rin memberikan bukunya dan menatap Len yang kembali duduk di bangkunya. Rin menatap Len cukup lama.
Rin membenamkan wajahnya pada mejanya. "Kau lupa denganku, Len." gumamnya.
"Lupa? Memangnya sebelum ini kita pernah kenal?"
Rin terlonjak. Len menatap Rin bingung. Buku matematikanya sudah kembali ke mejanya.
"Makasih bukunya," ucap Len sambil berjalan balik ke bangkunya. "Oh ya, emangnya kita pernah kenal sebelum ini?"
"Nggak," jawab Rin lemas. "Kau bisa nulis dengan tanganmu yang diperban?"
Len mengangkat tangannya yang diperban lalu meringis. "Aku pake tangan kiri buat nulis."
Rin menatap Len yang sesekali mengusap tangannya yang diperban. Kasihan juga. Rin ingin bertanya darimana pemuda yang (anehnya) mirip dengannya itu mendapatkan luka di balik perban itu. Tapi Rin masih gengsi.
Kousaragi Len dan Kagamine Rin seringkali bertengkar namun tak jarang mereka berdua akur mengingat Rin yang sangat pintar di bagian akademis dan Len kurang dalam akademis. Rin (anehnya) tak pernah keberatan mengajari pemuda berambut pirang madu itu, sekalipun pemuda itu selalu saja menanyakan hal yang sama padanya.
.
.
.
Lagi-lagi Len menghabiskan jam istirahatnya dengan membaca. Dia memaju-mundurkan bukunya karena mata kanannya yang minus satu. Kalian tanya kenapa mata kirinya tidak disebutkan?
Karena mata kiri Len sudah tidak bisa dipakai melihat alias buta. Bola mata kiri Len memang masih sewarna dengan mata kanannya tapi karena perbuatan seseorang lah maka mata kiri Len tidak bisa dipakai melihat.
Len menutup bukunya dan melihat sekelilingnya. Kosong. Teman-teman sekelasnya mungkin berada di kantin atau di perpustakaan.
Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan meringis.
"Uhh, kapan beresnya sih perihnya. Aduh.." Len mengusap punggungnya.
"Kau kenapa?" Rin yang tiba-tiba datang bertanya. Dia menyedot jus jeruk kemasannya sambil duduk di bangkunya.
"Nggak kenapa-napa." jawab Len sambil senyum-senyum nggak jelas.
Rin melongok ke arah punggung Len. Rin tak bisa melihat apa yang telah membuat pemuda yang duduk di bangku sampingnya meringis dari kemarin karena Len memakai sebuah t-shirt di balik kemejanya.
"Kagamine-san, bisa kau ajarkan aku tentang ini?" Len tiba-tiba sudah ada di depan Rin sambil menyodorkan bukunya. "Aku nggak ngerti-ngerti."
Rin mengambil buku Len dan melihat halaman yang ditanyakan Len.
"Ini 'kan sudah kubahas 20 kali, Len."
"Aku nggak ngerti."
"Ini 'kan pelajaran waktu zaman SMP."
"Aku nggak ingat." Len nyengir.
Rin mulai mengajarinya lagi.
"Kau paham?" tanya Rin setelah panjang lebar mengajari Len.
"Aku hanya perlu menyamakan variabel dan mengganti ruanya saja, 'kan?" Len merangkum penjelasan Rin. Rin mengangguk.
"Ingatlah, pelajaran yang kuajarkan ini dengan otak payahmu itu." Rin menyentil sudut kening Len. Len mengaduh sambil mengusap sudut keningnya yang disentil, membuat rambut depan cowok berkuncir itu acak-acakan.
Sekilas, Rin melihat ada lingkaran abstrak berwarna biru keunguan.
"Jidatmu kenapa?" tanya Rin sambil menyingkirkan rambut yang menghalangi lingkaran abstrak itu.
"Kejedut tiang listrik, hehehe.."
Rin tahu Len bohong. Rin mampu membaca ekspresi seseorang dengan baik.
"Bohong."
"Se-serius, hehehe."
"Tolong, jangan bohong padaku, Len. Kau membohongi orang yang salah," Rin menarik tangan Len. "Ikut aku ke UKS."
"Nga-ngapain?"
"Mengobati jidatmu yang kusentil-lah? Apalagi?"
"Tapi 'kan bentar lagi masuk."
Rin melepaskan tangannya dari Len. "Pulang sekolah kau harus menceritakannya padaku. Jangan berbohong."
'Jangan berbohong.' kalimat itu menggema di kepala Len. Ingatan Len saat SD dulu kembali.
"Rinny?"
Rin berbalik, mengulas senyumnya. "Akhirnya ingat juga, Lenny."
Len menarik pita putih di kepala Rin. "Ini pita dariku?"
Wajah Rin memerah. "Iya."
Len tertawa. "Hebat juga masih bisa dijaga pemberianku."
"Memangnya kau? Coba, mana cincin yang kuberikan?"
Len mengeluarkan kalung dari dalam kemejanya. Kalung dengan cincin logam mengkilap berukir yang dulu diberikan Rin saat mereka berpisah. "Ini, 'kan?"
Rin tersenyum dan meninju lengan Len pelan. Len meringis.
"Kau mudah sekali meringis? Kau kenapa sih?"
"Dibilang nggak apa-apa."
Bel pun berbunyi.
"Ayo masuk!" ajak Len.
Rin mengangguk dan berjalan masuk ke dalam kelas diikuti anggota kelas yang lain.
.
.
.
Sepulang sekolah, Len yang saat itu mau langsung pulang dicegat oleh seorang siswi dari kelas lain.
"Kousaragi-san, aku butuh bantuanmu." kata siswi itu sambil menarik tangan Len yang diperban. Len meringis namun siswi itu tak mau melepaskan tangannya.
"Len, tunggu aku!" Rin berlari mengejar Len yang ditarik oleh siswi berambut golden blonde yang diikat satu ke samping itu.
Rin menarik tangan siswi itu. "Ano, bisa lepas tangan Kousaragi-kun?"
"Apa hakmu?"
"Kau menarik tangannya yang sakit."
Siswi menengok ke belakang dan melihat Len menggigit bibir bawahnya untuk menahan sakit. Siswi melepaskan tangannya pada tangan Len. "Go-gomenasai."
"Daijoubu.." Len menjawab lemas. "Jadi, ada apa?"
"Aku ingin kau mencari siapa pelaku pencurian senar piano di ruang musik. Ketua kedisplinan sudah mencari tapi gagal. Aku sebagai OSIS mulai bosan dengan laporan anggota klub musik."
Rin menganalisa setiap ucapan dan perubahan wajah siswi itu.
'Dia jujur.' ucap Rin dalam hati.
"Bolehkah aku membantu?" tanya Rin.
"Jika kau punya insting atau kemampuan hebat atau pernah masuk camp militer, aku mengizinkanmu," jawab siswi itu. "Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Akita Neru, kelas 2-B."
"Aku Kagamine Rin, sekelas dengan Kousaragi-kun."
"Baiklah, ayo ikut aku ke ruang musik."
.
.
.
Koridor menuju ruang musik sangatlah sepi. Ada sensasi-sensasi menyeramkan saat melalui koridor ini.
"Siapa yang sedang memainkan Cho-pin? Aku baru tahu ada pianis hebat di sekolah ini?" komentar Rin begitu suara dentingan piano memainkan sebuah lagu.
Lagu pun berubah kembali. Lagu dengan nada menyeramkan. Neru menutup telinganya dan berlari menuju ruang musik. Len dan Rin ikut berlari di belakang Neru.
"Hentikan lagu itu, sialan!" teriak Neru sambil menendang pintu ruang musik. Lagu berhenti. Neru menyapu pandangannya pada ruang musik.
Kosong. Tak ada siapapun disana.
Rin dan Len yang baru sampai melihat Neru yang gemetar hebat di depan pintu itu.
"Tidak ada siapa-siapa." kata Rin sambil berjalan masuk ke dalam ruang musik, nggak takut sama sekali.
Neru kabur. Meninggalkan Rin dan Len yang masih menyelidiki piano misterius itu.
Rin memeriksa semua sudut piano itu. Rin meregangkan jari-jarinya dan mulai menekan tuts-tuts piano. Rin yang saat SMP dulu sempat menjadi pianis hapal dengan sangat kuat partitur nada lagu 'Cho-pin'.
Tiba-tiba Rin menghentikan permainan pianonya. Rin balik menekan tuts-tuts sebelumnya, mengulang di nada yang sama.
"Nadanya sumbang, Rin," kata Len sambil menyangga penutup piano dengan sanggaanya. "Senarnya kendur dan beberapa hilang."
"Apa kau melihat ada piano lain di ruangan ini?" tanya Rin. Len menggeleng.
"Menurutmu, suara piano barusan sebelum kita masuk ke sini berasal dari semacam player dengan synethizer?" Len giliran mengajukan pendapatnya.
"Coba periksa active speaker-nya."
Len memeriksa active speaker yang dipasang di setiap sudut atas tembok dan menggeleng. "Nggak ada yang nyala."
Len meloncat dan berjalan menuju pintu keluar ruang musik diekori Rin.
BLAM! Pintu ruang musik tiba-tiba tertutup.
"Len.." ucap Rin takut. Rin menggenggam tangan Len. Mereka berjalan mundur takut-takut.
'Ane wa chi wo haku, imouto wa hikaku
Kawaii tomino wa tama wo haku
Hitori jihoku no ochiyu tomino,
jigoku kurayami hana mo naki'
Rin dan Len melotot. Orang gila mana yang mau membaca..
Tomino's Hell dengan suara selantang itu?
Bulu kuduk mereka berdua berdiri. Tak ada jendela dan pintu tertutup secara tiba-tiba.
'Muchi no shubusa ga ki ni kakaru'
Pembacaan puisi itu terus berlanjut, hanya ada suara lantang tanpa ada orang.
Mereka hanya pernah mendengar jika orang yang membacakan puisi Tomino's Hell dengan suara lantang bakal dapat bencana. Tapi bagaimana nasib orang yang mendengarkannya?
Rin menarik ponselnya, mencoba memanggil seseorang. Tapi niatannya terhalang saat tulisan 'No Service' tertulis di layar ponsel flip-nya itu.
Mereka berdua hanya bisa mengeratkan genggaman, berdoa dalam hati, sambil mencoba membuka pintu.
'Jigoku gozarabumo de kitetamore
Hari no oyama tomebari wo
Akai tomehari date niwa sasanu
Kawaii tomino no mejirushini.'
Akhirnya, puisi itu selesai dibacakan. Rin dan Len mendesah napas lega.
'SSSZZZZZHHHHH'
Itu suara noise..
Rin dan Len saling berpandangan, ini pasti ulah jahil seseorang.
"Kalian ngapain disini? Pacaran?" tanya Al-sensei, guru musik.
"Enak saja. Apa wajah kami ini seperti orang pacaran?!" balas Rin ketus. Al-sensei mengedikkan bahu tak peduli dan berjalan kembali menuju gedung utama.
"Pastikan bahwa kalian tidak terkunci lagi disitu. Pintunya rusak dan hati-hati soal tekanan udaranya. Juga cepatlah pulang!"
"Terkunci?" Rin dan Len mengucapkan kata yang sama berbarengan.
Rin keluar dari ruang musik dan menutup pintu.
"Heh, kau mau mengunciku disini?!" seru Len dari dalam ruang musik.
"Len, coba buka pintunya dari dalam!" perintah Rin.
"Nggak bisa! Kau sudah tahu sendiri, 'kan?!"
Rin membuka pintunya, mendorongnya sampai membentuk sudut siku-siku. Rin membiarkan pintu itu tak disentuh siapapun dan pintu itu bergerak dengan sendirinya untuk bersatu kembali dengan kusen pintu. Rin menahannya.
"Seperti pintu kulkas," ucap Len disambut anggukan Rin. "Hey, apa ini?"
Rin menengok ke arah benda yang ditunjuk Len. Dia menarik tali tipis yang melingkar pada gagang pintu itu. "Senar piano."
"Lihat-lihat apa yang kutemukan disini," ucap Len sambil meyeringai. "Paku yang dibengkokkan."
Banyak sekali paku yang dipasang bengkok di sepanjang sudut tembok. Rin dan Len menyeringai.
"Ini pasti pengait untuk mengatur agar senar pianonya tetap pada jalannya." analisa Rin.
"Coba lihat dimana berakhirnya paku itu," Len menyibakkan tirai panggung ruang musik selebar-lebarnya. Terlihat sebuah speaker ukuran raksasa yang dilengkapi dengan synethizer. "Mereka menggunakan senar piano untuk membuat jebakan. Seakan-akan puisi Tomino's Hell juga mengundang celaka bagi pendengarnya."
"Maksudnya?"
Len memanjat ke atas panggung dan mengambil sesuatu lalu meloncat.
SRETTT! Len menarik senar piano yang dihubungkan dengan sebuah roll film zaman dulu. "Trik sederhana. Kau mengerti maksudku, 'kan?"
Rin berpikir sekejap dan mengangguk. "Aku mengerti!"
"Coba jelaskan."
"Orang itu menalikan senar piano yang sudah disambungkan-sambungkan sampai berapa belas meter ke pintu dengan model seperti pintu kulkas ini dan mengatur kabelnya agar tetap tak kelihatan dengan merapatakannya dengan tembok dan menjaganya dengan paku yang dibengkokkan.
"Orang itu memasang senarnya dengan roll film kolot ini agar saat roll ini berputar, tali akan semakin terus tertarik dan tertarik sampai putus dan menyebabkan pintu tertutup karena tak ada yang menjaga pintu tetap terbuka juga karena tekanan udara yang kuat pada pintunya. Orang itu sengaja membuat tali agak panjang agar pintu leluasa dibuka dan roll film tetap berjalan meskipun pintu tak dibuka.
"Roll film ini akan tetap berputar selama ada listrik. Sekalipun tidak diproyeksikan dengan proyektor tapi jika roll film ini disambungkan dengan active speaker, roll ini akan memutar gulungan dan speaker akan mengeluarkan suara gulungan itu. Di dalam roll film itu mungkin berisi rekaman Cho-pin dan puisi Tomino's Hell."
Len mengacak rambut Rin. "Masih pintar rupanya." Rin tersenyum.
"Bisa kupastikan orang yang mencuri senar piano adalah orang yang sama dengan orang yang melakukan trik ini." lanjut Len.
"Well, well, kemampuan kalian memang sama tingkatannya. Padahal sudah kubikin rapi-rapi jebakannya." ucap seseorang yang berdiri depan pintu. Dia mengenakan seragam berwarna biru kehitaman berbeda dengan Rin dan Len yang mengenakan seragam berwarna berwarna biru dongker. Rambut cowok itu ditutupi sebuah topi. Cowok itu menundukkan kepalanya agar matanya tak terlihat. Dari gelagat dan ucapannya, bisa dipastikan cowok inilah pelakunya.
"Kau lah pelakunya!" ucap Rin.
"Haha, benar sekali aku pelakunya." jawab cowok itu.
"Kau bukan siswa disini! Siapa namamu?!" Len bertanya galak.
"Kau tak perlu tahu namaku," sekali lagi cowok itu menjawab dengan suara kalem. "Aku adalah titisan Arséne Lupin."
Sejurus kemudian, cowok itu menghilang.
"Ayo pulang, Rin! Biarkan saja ruangan ini seperti ini."
"Cowok tadi gimana?"
"Dia pasti akan muncul lagi. Lihat saja."
To Be Continued.
.
.
.
.
