Borus' Confession
Suatu sore yang cerah di Benteng Budehuc. Borus Redrum, salah seorang dari Zexen's Six Mighty Knights, memutuskan untuk berjalan keliling benteng setelah tidur siangnya yang panjang. Setelah mengenakan kemeja, jaket berbahan wol, celana, dan sepatu bot kesayangannya, ia berjalan ke luar kastil. Saat membuka pintu kastil, ia disambut oleh angin sejuk yang berhembus menerpa wajahya. Langit sore terlihat cerah dengan semburat oranye kemerahan.
"Aah, sore yang indah." desahnya.
Borus berjalan santai menuju gerbang benteng. Disana, terlihat Cecil sedang menjaga gerbang bersama anjing-anjing peliharaannya.
"Ah!" serunya. "Selamat sore, Tuan Borus!" Cecil memberi hormat padanya layaknya seorang prajurit yang memberi hormat pada komandannya.
"Selamat sore, Cecil," balas Borus sambil tersenyum kecil. "Sungguh sore yang indah, ya?"
Cecil mengangguk semangat. "Yap! Benar sekali!"
Kemudian, dengan tiba-tiba ia menoleh ke arah Borus. Matanya berbinar-binar. Borus menghela nafas. Ia tahu betul maksud dari matanya yang berbinar-binar itu. Ladeni saja, deh.
"Ba… Bagaimana keadaan Benteng Budehuc saat ini,….Prajurit Cecil?" tanyanya.
Wajah Cecil berubah cerah, secerah matahari. "Siap! Saat ini Benteng Budehuc berada dalam keadaan aman dan tentram. Tidak ada ancaman maupun tanda-tanda penyusup!" jawabnya.
"Bagus, bagus," Borus mengangguk bangga layaknya seorang ayah yang bangga mendengar anaknya mendapat nilai bagus. "Lanjutkan pekerjaanmu dengan penuh semangat, ya."
"Siap, tuan! Serahkan penjagaan benteng padaku!" sahut Cecil lantang. Lalu, ia kembali fokus pada tugasnya.
Borus kembali melanjutkan jalan-jalan santainya. Semenjak benteng dijadikan sebagai lokasi perdagangan antarnegara, tempat ini menjadi ramai. Terlihat banyak orang yang berlalu lalang membeli barang. Toko rune Jeane selalu penuh—terutama oleh pria. Restoran Mamie pun demikian. Tadinya, Borus berencana untuk makan disitu. Namun, melihat kondisi restoran itu begitu ramai, Borus jadi mengurungkan niatnya.
Borus cukup senang tinggal disini. Semua orang begitu ramah dan menyenangkan. Borus memang bukan tipe orang yang senang beramah-tamah maupun mengobrol dengan orang lain, tapi ia menyukai bagaimana bersahabatnya orang-orang disini.
Setelah berjalan-jalan cukup lama, Borus memutuskan untuk pergi ke bar. Meminum wine segar Kanakan merupakan salah satu kesenangannya. Tak disangka, saat membuka pintu bar, ia menemukan Percival sedang duduk menikmati minumannya di salah satu kursi di bar milik Anne tersebut.
Setelah memesan minuman, Borus mendekati Percival dan menyapanya. "Selamat sore, Percival. Boleh aku bergabung denganmu?"
"Borus! Silahkan, silahkan," Percival menepuk-nepuk kursi yang kosong di sebelahnya; memberi isyarat pada Borus untuk segera duduk. Kemudian, Borus pun duduk di sampingnya. Sambil menunggu pesanannya, Borus bersenandung kecil.
"Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Nona Chris?" tanya Percival memulai percakapan. Sebuah cengiran terlukis di wajahnya.
"Ya Tuhan," Borus mendengus kesal. "Kenapa di setiap pertemuan kita selalu dimulai dengan topik ini, sih?"
Percival tertawa. "Habis, aku gemas melihatmu! Hanya bisa memandangnya dari jauh tanpa berbuat apapun!"
Wajah Borus berubah merah. "Sialan kau, Percival!" serunya. "Bukannya aku nggak berani atau bagaimana! Dia seorang kapten! Sedangkan aku… Aku hanya seorang prajurit biasa yang tidak akan pernah bisa mendapatkan dia, bahkan dalam mimpi sekalipun!"
"Aduh, Borus," Percival menggelengkan kepala. "Sejak kapan Borus, sang Swordsman of Rage, menjadi pengecut seperti ini?"
"Hei, aku bukan penge—"
Percival merangkul Borus dengan bersahabat. "Dengarkan aku, Borus. Aku sarankan kau untuk segera bergerak. Ada banyak pria yang sudah mengincar Nona Chris, lho~" katanya dengan nada yang terdengar menyebalkan.
Borus melirik Percival dengan tajam. "Ooh, jangan berani-beraninya kau, Percival…"
"Heh, dan kenapa tidak?" ujar Percival sambil terkekeh. "Setiap pria punya kesempatan yang sama denganmu untuk mendapatkan dia."
Borus merengut kesal. Aura kemarahannya menjulur ke segala arah. Bahkan, Anne yang datang mengantar pesanan Borus, langsung merinding dibuatnya.
"Haha, tenanglah Borus. Aku hanya bercanda, kok!" Percival melepas rangkulannya. Lalu, ia menatap Borus dengan serius. "Tapi, aku bersungguh-sungguh. Kalau kau nggak segera bergerak mendekati Nona Chris, aku akan mendahuluimu."
'Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!' batin Borus. "Dan bagaimana cara untuk memulainya, Tuan Cassanova?" tanyanya sambil mencibir.
Percival meletakkan tangan di dagunya. "Hmm," gumamnya. Borus meneguk minumannya dengan tidak sabaran.
"Aku punya ide!" serunya. "Borus, aku akan mempertemukanmu dengan Nona Chris malam ini, tepat jam 9. Dengan begitu, kau punya kesempatan untuk mengutarakan perasaanmu. Bagaimana?"
"BRUUUUUHHHH!" Borus menyemburkan minumannya. "MALAM INI!?"
Percival mengangguk mantap. Borus melotot tepat ke arah kedua mata Percival.
"KAU GILA YA!? Memandangnya saja sudah bikin aku deg-degan, gimana kalau bicara empat mata dengannya, haaah!?" teriaknya. Beberapa orang di bar memperhatikan Borus dengan tatapan bingung, tapi mereka memutuskan untuk diam saja. Wah, bisa gawat kalau cari gara-gara sama ksatria yang satu ini.
"Ooh, aku yakin kau bisa melakukannya," jawab Percival santai. Percival sialan! Dia tidak tahu, sih, rasanya menjadi Borus. Membayangkan ngobrol berdua dengan Nona Chris saja sudah membuat jantungnya berdetak kencang.
"Ayolah, Borus. Kau 'kan seorang ksatria! Berperang di medan perang saja kau bisa, apalagi masalah kecil seperti—NONA CHRIS!" Percival bangkit dari kursinya dan melambaikan tangan pada seseorang yang baru saja masuk ke bar.
Disana, berdiri seorang wanita berambut panjang silver. Dia—dia adalah wanita idaman Borus, Chris Lightfellow.
Chris tersenyum. "Selamat sore," sapanya. Percival segera beranjak mendekati Chris dan mendorongnya sampai ke meja dimana Borus sedang terduduk kaku saking gugupnya.
"Kebetulan sekali nona datang kesini! Silahkan duduk," ujar Percival senang.
"T—tapi, ini 'kan tempat dudukmu—"
"Saya sudah selesai minum, kok. Nona duduk saja disini bersama Borus." Percival menengok ke arah Borus sambil mengedipkan matanya. Borus hanya bisa melotot.
"Oh, baiklah." ujar Chris. Lalu, ia duduk di kursi tersebut. Chris tersenyum ke arah Borus, menyebabkan semburat merah muncul di muka ksatria blonde itu.
"Nona mau pesan apa? Biar saya yang memesannya," tawar Percival. 'Sialan, sialan, sialan kau, Percival!' umpat Borus dalam hati. Dia berjanji, setelah semua ini berakhir, ia akan menghajar Percival habis-habisan.
"Kalau begitu, lemon tea hangat saja, ya. Terima kasih." Chris tersenyum lembut. Jantung Borus hampir copot dibuatnya. Percival pun segera bergegas memesan minuman, meninggalkan Borus dan Chris berduaan.
Dalam keheningan diantara mereka berdua, Borus melirikkan matanya ke arah Chris.
Wajahnya yang cantik, kedua matanya yang indah, bibirnya yang menawan, rambutnya yang lembut—sungguh sempurna.
"Ng, ada apa, Borus?" tanya Chris. "Kenapa menatapku seperti itu?"
Borus langsung memalingkan wajahnya. 'MAMPUS!'
"Ah, ti… tidak ada apa-apa, kok," jawabnya.
Beberapa menit kemudian, Percival datang sambil membawa pesanan Chris. "Silahkan, Nona."
"Terima kasih banyak, Percival."
"Sama-sama," balas Percival. "Oh iya, saya baru ingat ada hal penting yang harus saya urus. Jadi, saya permisi dulu, ya."
"Ooh, begitu. Baiklah. Sampai nanti, Percival." ujar Chris.
Percival menunduk hormat. "Sampai nanti, Nona Chris, Borus." Ia kembali mengedipkan matanya ke arah Borus, yang langsung dibalas dengan tatapan mata tajam. Percival menggigit bibir bawahnya untuk menahan tawa, lalu ia berjalan pergi meninggalkan Borus dan Chris.
Sumpah, situasi ini merupakan situasi paling awkward dalam sepanjang kehidupan Borus Redrum.
Keringat dingin mengucur dari kening Borus. Tubuhnya gemetar. Kedua tangannya mengepal. Dia benar-benar mirip seperti orang yang lagi menahan buang air. 'Ayolah, Borus. JADILAH SEORANG PRIA SEJATI!'
"Ekhem," Borus membersihkan tenggorokannya. "Ba… Bagaimana kabar Nona sekarang? Nona… pasti lelah sekali, ekhem, akhir-akhir ini,"
Chris meneguk minumannya. "Semua perang memang melelahkan, Borus. Kita tidak akan pernah bisa beristirahat dengan tenang sampai perang ini berakhir," jawab Chris pelan. Borus terdiam mendengar jawaban Chris. Sial! Sepertinya dia salah memulai pembicaraan ini—eh, tidak. Ini salah karena Nona Chris memberi jawaban serius nan menyedihkan itu!
"Kalau Borus sendiri, bagaimana kabarmu?" lanjut Chris sambil tersenyum.
"Ah, eh, ng…" Borus jadi salah tingkah, lagi. "Sa… Saya baik, kok, Nona. Cukup istirahat sebentar, dan saya akan bugar kembali! Haha," jawabnya. Dia sedang berusaha mencairkan suasana dengan caranya sendiri, tapi, hal itu tetap tidak membuat tubuhnya berhenti gemetar.
"Fufu. Istirahat yang cukup memang baik, asal jangan sampai istirahatnya dipakai untuk minum-minum. Kita harus tetap dalam keadaan prima saat berperang." jelas Chris. JLEB! RIGHT AT THE KOKORO!
'Aduh, Nona. Saya jadi merasa tersinggung, nih...' ucap Borus dalam batinnya. Borus memang gemar minum-minum, dan perkataan kaptennya tadi benar-benar nge-jleb hatinya yang mungil.
"Y—ya, tentu saja," kata Borus pada akhirnya.
Chris menghirup aroma lemon tea pesanannya dan kembali meneguknya. Lalu, ia menatap Borus dengan intens. Sebenarnya, sudah cukup lama ia memperhatikan Borus. Gelagatnya saat ini sungguh berbeda dari biasanya.
"Borus?"
Borus tersentak kaget. "Ya? A—ada apa, Nona?"
"Kamu dari tadi gemetaran dan mukamu memerah. Apa kamu sedang sakit?" tanya Chris khawatir.
Kedua mata Borus membulat. Gawat. Nona Chris sudah menyadarinya. Inilah… Inilah saatnya!
"Ng, anu, sebenarnya…" Bulir-bulir keringat mengalir di wajah Borus. Jantungnya semakin berpacu cepat. "Ada hal penting yang ingin saya… katakan…" ujarnya lirih. Kedua matanya tak sanggup menatap iris ungu milik Chris.
"Hal yang penting?" ulang Chris. Borus mengangguk lemas.
Borus mengangkat kepalanya. Matanya bertatapan dengan Chris. Kedua mulutnya terkatup rapat, seperti ingin mengatakan sesuatu namun enggan mengatakannya. Perlahan namun pasti, tangannya bergerak mendekati tangan Chris. Meraihnya, dan menggenggamnya dengan erat.
Chris sedikit kaget karenanya. Semburat merah muncul di wajahnya yang seputih salju. "Bo—Borus?"
Borus semakin mempererat genggamannya. Saking eratnya, ia sampai bisa merasakan keringat di telapak tangannya.
'AYO, BORUS! KATAKAN!'
"Sebenarnya, saya…"
'KAU PASTI BISA!"
"Saya…"
'KATAKAN!'
"Saya sudah lama…"
Borus menatap Chris. Lama. Lama sekali.
'…Tapi… Tidak… Aku tidak bisa…'
Borus melepas genggaman tangannya. Lalu, ia berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Chris yang kebingungan hanya bisa menatap punggung ksatria blonde yang pergi menjauh darinya.
'Borus, kau memang seorang pengecut.'
…to be continued to Chapter 2
