-Aku tak tahu apakah kau akan tetap bertahan dengan segala ketidaksempurnaanku...

-Aku tak butuh sempurna, hidupku sudah sempurna jika kau berdiri disampingku

-Biarkan aku menjadi kakimu, aku akan memanggulmu hingga seluruh dunia bisa melihatmu...

-Kau tak akan mampu, aku takkan membiarkanmu menderita lagi

-Aku tak punya seorangpun di muka Bumi ini

-Kau tak punya seorangpun kecuali aku, tetaplah disisiku...

Seoul, hari Kamis. Cuaca cerah.

Luhan berlari-lari kecil di sepanjang lorong kampus sambil menggerutu. Rasanya bukan salahnya kalau ia harus bangun kesiangan karena begadang semalaman. Ia harus menerjemaahkan buku yang tebalnya minta ampun sampai bisa ia jadikan bantal. Nam seonsaeng keterlaluan, pikirnya sambil mempoutkan bibirnya. Ia akhirnya tiba di kelasnya, di jurusan Sastra & Bahasa. Luhan yang notabene seorang namja gila buku akhirnya memilih masuk Fakultas Sastra demi cita-citanya sebagai seorang penerjemaah. Ia tengah mengambil jurusan Sastra Inggris & Sastra Prancis setelah mampu menguasai dengan baik Bahasa Korea, Mandarin, dan Jepang. Ia namja China yang mempunyai darah Korea dan memutuskan untuk merantau ke Seoul dari SMA.

"Xi Luhan! Kau terlambat!" Nam seonsaeng berkacak pinggang sambil menurunkan buku tebal yang sedang dipegangnya. Luhan cemberut.

"Jeoseonghamnida seonsaeng," Luhan bow dan menatap Nam seonsaeng dengan pandangan memelas.

"Arrasseo, karena kau baru sekali terlambat, silahkan duduk,"

"Gamsahamnida seonsaeng!"

"Tapi kau harus datang ke ruanganku setelah ini,"

Luhan tersenyum miris. Entah tugas apalagi yang akan diberikan.

"Geurae, please open your book at page..."

Sementara itu, pikiran Luhan melayang kemana-mana. Pikirannya hinggap di sandwich yang belum sempat ia habiskan, apartemennya yang ia sewa berdua dengan temannya, Kyungsoo, yang sangat berantakan karena mereka sama-sama sibuk akhir-akhir ini, cucian yang menumpuk, tugas-tugasnya yang kian bertambah karena ia mengambil 2 jurusan, sampai... ehm... pacar. Eommanya orang Korea dan menikah dengan ayahnya yang orang China. Dari kemarin-kemarin, ia selalu mendapat telepon dari eommanya yang isinya tetap sama, kapan kau punya pacar dan menikah? Bukan apa-apa, adiknya, Xi Lugao, telah melangkahinya untuk menikah. Pada awalnya, ia merasa biasa-biasa saja dilangkahi dan kerap mengejek adiknya yang menikah di usia muda. Namun, baru sekarang ia sadar, walaupun ia punya banyak teman, ia belum pernah punya pacar.

Apa ada yang salah dengannya yang selalu menolak ajakan beberapa teman untuk sekadar date atau bahkan beberapa temannya yang menembaknya? Ia selalu berpikir tentang pekerjaan, belajar, kuliah, masa depan. Hanya itu saja, sampai ia melupakan sesuatu terpenting, ia tidak punya teman hidup. Luhan populer karena sifatnya yang ramah, manis, perhatian, dan ia jago main sepak bola. Ia bahkan punya banyak fans, baik yeoja maupun namja. Seingatnya, ia belum pernah merasakan berdebar-debar di hadapan seseorang yang spesial. Padahal umurnya sudah menginjak 24 tahun.

"Yah, jodoh gak akan lari kemana," gumam Luhan.

"Kau mengatakan sesuatu?" tanya yeoja disebelahnya yang merupakan satu klub sepak bola dengannya, Amber, sambil berbisik pelan.

"Ah, aniyo..." Luhan merutuki dirinya dan tersenyum gaje. Amber hanya mengernyit dan mengangguk maklum.

"Kita ada pertandingan melawan kampus sebelah lusa, persiapkan dirimu!" bisik Amber takut ketahuan seonsaeng.

"Jinjja?" kali ini Luhan malah berujar agak keras karena kaget sekaligus berantusias. Amber melotot. Kalau tentang sepak bola, Luhan gak bisa diam.

"Luhan? Amber? Apa yang kalian lakukan? Ke ruangan saya setelah ini!"

Amber dan Luhan sama-sama merosot di kursi masing-masing.

"Dasar rusa babo!" rutuk Amber.

"Yak!" Luhan tak terima.

"APA LAGI SEKARANG?" Nam seonsaeng melotot sambil bersiap-siap melemparkan novel terjemahan Agatha Christie.

Luhan geleng-geleng kepala cepat, dan Amber hanya tersenyum paksa.

Kyungsoo menguap lebar sambil memandang sekeliling. Jam berapa ini? Ia langsung melotot. Jam 10 pagi, lebih beberapa menit! kuliahnya dimulai dari pukul 7 tadi. Kemudian ia mengendikkan bahu dan bangkit sambil meregangkan ototnya. Masa bodoh dengan kuliahnya yang sudah berlalu. Ia pasti tak punya kesempatan lagi untuk memasuki kelas dan hanya akan mendapat hukuman. Lebih baik ia beristirahat seharian. Ia pikir mengambil hari libur selain minggu bagus juga. Ia berdiri di depan cermin dan melihat kantung matanya yang tebal. Benar-benar. Menjadi mahasiswa Desain & Lukis memang melelahkan. Ia terus begadang mengerjakan banyak proyek, dan malah lupa berteguran dengan Luhan yang satu apartemen dengannya. Ia menyikat gigi dan mencuci muka, lalu berjalan keluar kamarnya.

"Luhan hyung?" panggilnya. Ia benar-benar lupa kalau Luhan pasti pergi tanpa membangunkan dirinya. Ia menghembuskan nafas kesal dan melirik ke meja makan. Masih ada beberapa sandwich, ada satu yang ada gigitan. Ia meraih satu sambil memandang berkeliling. Ya tuhan, lihatlah apartemennya. Berantakan. Penuh sampah, dan debu menghambur dimana-mana. Akhir-akhir ini, ia sibuk sekali, bahkan bertemu Luhan pun jarang. Luhan bilang ia ada kerjaan menerjemaahkan novel Mandarin yang tebal, dan ia pasti menghabiskan waktu di kamarnya.

Kyungsoo membuka kamar Luhan. Tak jauh beda dengan kamarnya, berantakan. Bed cover tersampir di lantai, celana-celana berserakan tercampur dengan beberapa kemeja dan kaos yang entah kotor atau bersih.

"Omo... Luhan-ah..." Kyungsoo geleng-geleng kepala. Akhirnya ia berinisiatif untuk membereskan semuanya. Piring-piring kotor, bekas makanan cepat saji, sampah-sampah, baju kotor...

Alunan lagu EXO - Best Luck yang nyaring menyadarkannya dari kesibukannya mengurus baju kotor. Ia mencuci tangannya sebentar, dan berjalan, lalu tersandung botol mineral kemasan, menyumpah-nyumpah karena lupa membuangnya, dan kesal karena si peneleponnya mendialnya banyak sekali dan tak sabaran.

Ternyata dari Luhan.

"Kyungsoo-ya?" suara Luhan terdengar samar-samar diantara teriakan dan pekikan berbagai macam jenis manusia. Kyungsoo mengernyit.

"Ne?"

"Kyungsoo, berteriaklah. Gak kedengaran!" teriak Luhan.

"Nde, wae geurae hyung?" teriak Kyungsoo kepanasan.

"Hanya mengingatkanmu kalau tukang listrik bakalan datang jam setengah dua belas. Aku takut kau masih tidur. Tadi aku terlambat dan nggak sempat banguninmu lama-lama. Kayaknya capek banget!" Luhan masih berteriak. Kyungsoo menebak, ia pasti sedang menonton pertandingan sepakbola.

"Arrachi hyung. Dan tolong saat kau pulang, pesankan aku apa saja. Aku merasa amat kelaparan, dan berjuang membersihkan kapal pecah ini!"

"Oh, gomawo Kyungsoo-ya. Oh ya, kalau kau bereskan kamarku, jangan ganggu meja kerjanya arra? Nanti akan kupesankan makanan dan minuman terenak!"

"Ne hyung!"

"Geurae, sampai nanti!"

Luhan mematikan teleponnya dan Kyungsoo manyun. Tukang listrik? Iya sih. Lampu kamar mandi mereka korslet, itu menyebabkan TV nggak bisa nyala dan kulkas rusak. Nggak tahu apa hubungannya dan bisa kayak gitu.

Jam setengah dua belas, tukang listrik datang mengetuk pintu. Kyungsoo yang sedang mencuci piring buru-buru melepas sarung tangan karetnya dan setengah berlari menuju pintu.

"Annyeong hasimnikka!" tukang listrik itu bow 90 derajat, lalu membawa alat-alatnya yang tampak berat dan membawanya. Kyungsoo menatap tukang listrik itu kasihan. Ia pasti amat lelah. Di lehernya ada sebuah handuk kecil yang kusam, dan ia memakai seragam hijau tua (anggap aja itu seragam resmi tukang listrik :P!), kulitnya tan kecoklatan, dan ia tampaknya kuat sekali. Kyungsoo mempersilahkan tukang tersebut bekerja sementara ia kembali mencuci piring.

Luhan membuka pintu apartemen pelan. Ia meletakkan dua buah bungkusan berisi makanan dan minuman di atas meja makan, lalu mengernyit. Sepi sekali, tapi semuanya kelihatan rapi dan bersih.

"Kyungsoo? Eodisseo?"

...

"Ya! Kyungsoo-ya!" Luhan mondar-mandir keliling ruangan, lalu menepuk kepalanya pelan. Kyungsoo tidur dengan damai di salah satu sofa, sebuah selimut putih tebal menutupi tubuhnya sampai sebatas leher. Luhan melirik sebuah post-it card yang tertempel di atas meja, tepatnya di sebuah vas bunga. Ia mencabutnya.

Pulang terlebih dahulu, telah mengunci semua pintu dan jendela. Listrik anda telah diperbaiki, harap mengirimnya ke rekening xxxxx. Tidak punya waktu untuk membangunkan.

Eh? Luhan mengernyit. Ini dari tukang listrik? Formal banget!

"Hyung?" Kyungsoo tersadar dan mengucek matanya, lalu mulai duduk. Luhan melambaikan sebuah post it card.

"Omo, aku ketiduran!" ujar Kyungsoo kaget saat membacanya. Luhan duduk di sampingnya, lalu melirik ke sekeliling.

"Rapi sekali Kyungsoo-ya. Gomawo!"

"Ya tuhan hyung, aku bahkan tak mengucapkan terima kasih, dan membiarkannya pergi tanpa mengucapkan apa-apa!"

"Yak, siapa suruh kau tidur, eoh? Pakai selimut pula!"

"Lho, tadi kan nggak ada selimut?"

"Mwohae?"

"Ya ampun, apa tukang listrik itu yang..." wajah Kyungsoo merasa bersalah.

"Ya sudah, besok, kau saja yang kirimkan uang ke rekeningnya. Oh ya, ada makanan dan minuman yang kau pesan di meja makan. Kau makanlah, aku ingin beristirahat!" Luhan meregangkan tubuhnya.

"Hyung, apa kau terlambat ke sekolah?"

"Ya!" Luhan cemberut.

"Lalu, apa hukumanmu?"

"Aku kena hukuman dua kali, Kyungsoo-ya. Gara-gara sepak bola. Pertama aku disuruh menjadi asisten dadakannya selama jam istirahat dan makan siang, setelah itu aku disuruhnya mencari berbagai macam buku biografi penulis terkenal dan buku referensi sastra. Setelah itu, aku diminta menerjemaahkan drama Shakespeare. Hari ini benar-benar!" Luhan jadi duduk lagi di sofa dan curhat.

"Tapi hyung masih bisa menonton pertandingan sepakbola?"

"Eh, kenapa kau tahu?"

"Tadi kan hyung meneleponku dan aku mendengar suara berisik supporter,"

"Owh, habis makan siang, aku memang menonton pertandingan sepakbola. Lusa ada lomba antar kampus. Aku memutuskan besok saja mencari bukunya. Ya begitulah," Luhan bangkit dan mengendikkan bahunya.

Kyungsoo mengangguk mafhum. Ia segera melesat menuju meja makan, setelah seharian belum memakan makanan berat ditambah kerja bakti, ia merasa lapar sekali. Ia menoleh ke arah jam. Jam 6 lewat. Pantas saja perutnya keroncongan. Ia ketiduran dari jam berapa tepatnya? Ia pun tak ingat dan berkonsentrasi pada makanan yang cepat-cepat ia habiskan.

Byun Baekhyun manyun sambil membalik-balik buku Ekonomi yang tebalnya minta ampun. Ia benar-benar menyesal menuruti keinginan ayahnya untuk jadi pewaris perusahaan. Yah, ia adalah pewaris satu-satunya perusahaan Byun Corp yang berkiprah di bidang elektronik dan perminyakan. Ia bebas memilih mata pelajaran apa saja, kalau ayahnya tidak mengancamnya untuk mengeluarkannya dari daftar warisan. Terpaksa Baekhyun menerimanya. Apa lagi. Ia bahkan tidak punya eomma lagi, juga halmeoni. Sementara bibi-pamannya sama seperti ayahnya, mata duitan dan gila kerja, hanya mempermasalahkan urusah saham, saham, saham. Ia jadi merasa kalau drama The Heirs terinspirasi dari dirinya. Duh, maafkan Baekhyun yang tak sopan dan aneh ini.

"Apa ada masalah Tuan Muda?" seorang bodyguard berpakaian hitam bow ke arahnya. Baekhyun mendecak kesal. Yah, ia memang kuliah di universitas terkenal di Seoul, tapi tetap, jika sore hari sampai malam, ia akan didikte untuk belajar bersama tutor pribadi, diringi seorang bodyguard yang selalu siap kapanpun ia menolehkan kepala.

"Yang masalah itu adalah kau!" bentak Baekhyun kasar. Bodyguard tersebut hanya tersenyum sabar. Sudah sering begini. Tutor pribadinya mendadak izin setelah sejam mengajar, karena seorang kerabatnya kecelakaan. Dan ayahnya mewajibkan dari dulu jika jam belajar bersama tutor pribadi belum selesai, ia tidak boleh keluar dari ruangan khusus itu. Jika dia berontak, bodyguard akan siap dengan komunikasi khusus dan beberapa bodyguard yang menjaga di seluruh penjuru rumah akan menangkapnya dimanapun ia pergi.

"Sialan!" dengus Baekhyun. Ia menopang dagu kesal. Alat elektronik yang tak berhubungan dengan pelajaran, handphone pribadinya misalnya, tak diperbolehkan dibawa ke ruangan tersebut. Ia merasa kesal setengah mati. Apalagi? Tutor menjijikkan itu tak ada, haruskah ia meminta diajarkan bodyguard yang hanya diam menunggu perintah sementara seharusnya ia bisa bersenang-senang bersama teman-temannya? Hidup memang tak adil.

"Hei Pak Shin," ia menoleh jutek. Bodyguard tersebut langsung bow.

"Aku lapar. Bawakan aku es krim dan parfait apa saja!" pinta Baekhyun bete. Bodyguard itu langsung sigap meraih alat komunikasinya.

"Ya, ya! Aku memintamu mengambilnya, bukan menyuruh orang lain!"

"Tapi Tuan Muda..."

"Berisik! Cepat ambilkan! Kau pikir aku begitu nekat hingga mau saja loncat melarikan diri dari lantai 3 ini?"

"Algeusseumnida!"

Sementara bodyguardnya keluar, yah panggil aja Pak Shin, Baekhyun merutuki diri, lalu pergi ke jendela. Tak ada tempat untuk kabur. Abeoji memang perfeksionis. Sialan! Rutuk Baekhyun kesal. Tak lama kemudian, Pak Shin datang membawa sebuah meja dorong kecil dan meletakkan isinya diatas meja setelah menggeser berbagai buku dan kertas yang sengaja Baekhyun buat berantakan. Baekhyun manyun dan melirik es krim stroberi dengan lapar. Ia melirik jam, lalu bersorak. Jam 07.45. 15 menit lagi, ia bisa bebas dari ruangan berbau menyebalkan ini. Bayangkan, Baekhyun harus duduk di ruangan ini dari jam 5 sore sampai jam 8 malam, setelah dari pagi kuliah dari jam 7 sampai jam 1 siang, jam 2 sampai jam 4 ia harus mengikuti pelajaran non-eksak, seperti olahraga, dan segala tetek bengek lainnya. Dari jam 8 lah ia bisa melakukan pekejaan bebas, chatting, berselancar di dunia maya, dan lainnya.

ZZNGG... (apaan neh? Udah, anggap aja bel rumah khas keluarga Byun!)

"Yess!" Baekhyun berdiri dari kursinya dan meregangkan tubuhnya, lalu mengusap mulutnya dengan serbet. Ia menoleh jutek ke Pak Shin.

"Sudah, jangan ikuti aku. Beristirahatlah!" Baekhyun melenggang pergi keluar kamar yang menurutnya menjijikkan itu, dan dengan ceria masuk ke kamarnya, merebahkan diri di kasur empuknya, dan memejamkan matanya sejenak. Hpnya berdering kencang, ia meraihnya dan membaca chat grup. Notifnya penuh, dan Hpnya tak berhenti berdering dari tadi ternyata.

"Ckk... membosankan. Mereka selalu punya waktu untuk bersantai dan membalas chat tak berguna. Kapan-kapan aku harus keluar dari grup sialan itu!"

TOKTOK!

"Nuguya? Masuk!" teriak Baekhyun. Seorang maidnya masuk.

"Permisi Tuan Muda. Tuan Besar ingin bertemu anda!"

"Mworago?" Baekhyun terlonjak. Ia merasa kepalanya mendidih tiba-tiba.

Setelah maid itu keluar, Baekhyun menghembuskan nafas berkali-kali. Ia merasa... amat... membenci ayahnya setelah ibunya meninggal dunia saat ia berusia 7 tahun. Ia jarang berbicara dengan ayahnya, bercengkrama layaknya ayah-anak, jarang melihatnya, hanya pada beberapa saat penting saja. ia jadi penasaran, apa yang akan ayahnya bicarakan padanya.

Ia keluar kamar dengan langkah gontai, turun ke lantai 1, dan melihat ayahnya dalam setelan jas lengkap duduk meminum anggur di ruang tamu.

"Ah, duduklah!" ujar ayahnya tegas.

"Apa ada yang abeoji ingin bicarakan?" ujar Baekhyun tanpa basa-basi. Ayahnya tersenyum kaku.

"Aku... hanya... ingin memastikan... kau baik-baik saja..." ucap ayahnya pelan. Baekhyun melotot. Apa ia tak salah dengar? Ayahnya berbasa-basi pada dirinya.

"Aku baik saja abeoji. Apa tujuan abeoji berbicara denganku?" Baekhyun masih tetap pada nadanya. Tak peduli, malas, masih tetap menyimpan rasa benci. Ayahnya yang tersenyum, kemudian senyumnya menghilang, wajahnya berubah menjadi raut wajah khas bisnis dan uang.

"Aku memintamu untuk mendengarkanku. Aku punya seorang sahabat saat kecil, sekrang ia adalah CEO Kim Corp. Kami berencana untuk menikahkan anak kami saat besar nanti. Dan besok, ia akan datang untuk bertemu denganmu, minggu depan kalian akan bertunangan!"

JGDERRR!

"MWOYA?!" Baekhyun terlonjak dari tempat duduknya. Ayahnya menatapnya tajam.

"Andwae!" ujarnya agak keras. Wajahnya memerah. Ia berdiri, bow sebentar, lalu menaiki tanggga dengan gusar.

"Kau tahu apa konsekuensi seorang Byun," ujar ayahnya tenang. Baekhyun terdiam sesaat menahan amarahnya. Ia berlari menuju kamarnya, dan menangis tumpah ruah. Ia benci harus diatur-atur. Sekarang, jodoh pun harus diatur? Memang ini zaman apa, masih ada perjodohan!

"Eomma..." lirih Baekhyun. Ia mangis terisak-isak di atas kasur, setidaknya ia merasa hatinya sedikit membaik setelah menyetel lagu keras-keras, dan ia tertidur sampai pagi.

Kyungsoo mengendap pelan-pelan, lalu membuka pintu apartemen.

"Eodiya Kyungsoo-ya?" Luhan sudah berdiri dibelakangnya sambil berkacak pinggang.

"Oh, hehehe, aniyeyeo Hyung, sudah bangun?" Kyungsoo tertawa paksa.

"Yak! Kau mau membalas dendam karena kemarin aku tidak membangunkanmu ya?" Luhan dalam posisi ngamuk sekarang. Rambutnya acak-acakan, dan kantung matanya lebih tebal dari punya Kyungsoo. Kyungsoo menelan ludah, lalu membuka pintu, dan... kabur.

"YAKK! Kyungsoo!" Luhan memijat kepalanya. Apa yang Kyungsoo pikirkan, datang ke kampus jam setengah 6? Untung ia terbangun, kalau tidak, nasibnya bakalan absen sama seperti Kyungsoo kemarin.

"Hosh... hosh..." Kyungsoo duduk menunggu bus. Ia menyeka keringatnya, lalu mengeluarkan Hpnya. Ia masih sibuk surfing di internet sampai busnya datang.

"Kyungsooo?" seorang namja berpipi bulat melambaikan sebungkus makanan, lalu berlari mendekat.