Batasku
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Pair : Kakashi H. x Sakura H.
Rated : T+
Warning : Ide pasaran, Gaje, Ooc, EYD berantakan, Typo dimana-mana
Don't Like Don't Read
Happy Reading ^^
Chapter 1
Sakura Pov
"Dasar wanita murahan! Apa yang sudah kau lakukan, ha?!" bentak Sasuke.
Aku tidak tahu apa yang sudah aku lakukan sampai Sasuke yang biasanya diam menjadi semurka itu. Ingatanku berputar pada beberapa jam yang lalu, aku bekerja di rumah sakit seperti biasanya, makan siang bersama Ino dan Sai seperti biasanya dan pulang malam karena sift sore dan terpaksa diantar Kakashi-sensei—astaga! Apa Sasuke tahu kalau aku diantar pulang mantan dosenku itu?
"Sasuke, i-ini tidak seperti yang k-kau—"
"Diam kau, wanita sialan!" Sasuke menyela, mendesis marah. Sama sekali tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Aku tak kuasa membendung air mataku. Aku memang diantar pulang oleh mantan dosenku, tapi itu tidaklah seperti yang dipikirkan Sasuke. Aku bukanlah wanita murahan seperti yang dituduhkan Sasuke. Dalam hatiku hanya ada satu nama yaitu Sasuke. Tapi sepertinya Sasuke tak pernah mengerti sedikitpun. Sasuke selalu bilang bahwa dia sangat mengenalku, namun kenyataannya seujung kuku pun dia tak mengenal siapa aku. Sasuke selalu mengikrarkan bahwa dia sangat mencintaiku, namun tindakannya saat marah tak menunjukan kalau pria itu benar-benar mencintaiku.
"S-sasuke, aku mohon dengarkanlah penjelasanku…" aku terisak pelan. "Kakashi-sensei adalah dosenku dulu, d-dan juga sahabatku… aku bertemu dengannya di halte bus saat aku mau pulang, d-dia tidak tega kalau aku pulang sendiri.. Semalam sudah jam 23.45 Sasuke. Demi Kami-sama!" aku menjatuhkan tubuhku berlutut di hadapan Sasuke, air mataku mengalir tanpa henti.
"Diam pembohong! Aku paling tidak suka dibohongi!" Sasuke meraih rambutku dan mencengkeramnya kasar.
"S-sasuke sakit—" aku memegang tangan Sasuke untuk mengurangi sakit yang kurasakan.
"Diam sialan!" Sasuke menghempaskan tubuhku dengan kasar hingga membentur sudut meja.
"Aw!" aku memekik kesakitan dengan kepala yang berdenyut nyeri. Tanganku bergerak meraba pelipisku yang mengeluarkan darah segar.
Namun sepertinya Sasuke tak sedikitpun merasa iba padaku—pria itu melangkah dengan cepat meninggalkan apartemenku dan membanting pintu dengan kasar. Membuatku tersentak kaget dan tersadar, bahwa untuk kesekian kalinya setiap kali kami bertengkar, Sasuke selalu pergi meninggalkanku entah kemana.
"Hiks... Sasuke... A-aku tidak seperti itu..."
.
.
.
Hembusan angin menerbangkan helaian pinkku. Aku memandang kosong pada langit kota Tokyo yang penuh bintang. Malam ini benar-benar indah namun sayang tak seperti hatiku.
Aku mengalihkan emerald-ku memandang padatnya kota Tokyo. Aku bisa melihat kerlap-kerlip Tokyo di malam hari dari balkon apartementku.
Aku menghembuskan napasku lelah. Entah sudah keberapa kalinya aku dan Sasuke bertengkar dan selalu berakhir dengan dia yang meninggalkanku. Dan aku hanya bisa menangis tak sedikitpun membela diri—Bukan! Bukan karena aku tak mau melakukannya, hanya saja dia tak pernah mempercayaiku, semua yang aku katakan selalu salah baginya.
Aku mencengkeram dadaku yang terasa sesak.
Tiba-tiba, sebuah tangan melingkar di perutku menghantarkan sebuah kehangatan. Ah—Sasuke. Sejak kapan dia ada di sini? Aku bahkan tak menyadari kedatangannya.
"Apa yang kau lakukan disini, sayang?" Sasuke menyusupkan kepalanya ke perpotongan leherku.
"Tidak ada." Air mata perlahan meluncur membasahi pipiku.
"Jadi laki-laki itu dosenmu dulu, hm?" Sasuke membalik tubuhku menghadapnya. Perlahan pria itu bergerak mendekat menyatukan kening kami. Aku menggangguk pelan, sementara air mataku masih mengalir.
Sasuke menyeka air mataku dengan ibu jarinya dan mengecup pelipisku yang terluka dan berujar lembut, "Jangan lakukan lagi, aku tak suka melihatnya. Kau mengerti?"
Aku kembali mengangguk sebagai jawaban, dan Sasuke melingkarkan tangannya ke punggungku, menarikku dalam sebuah pelukan hangat—sebuah pelukan yang penuh kasih sayang, seolah pria itu berusaha menyalurkan semua perasaannya lewat pelukan ini. Aku membalas pelukannya gamang—entahlah, ada yang terasa janggal dihatiku. Sebenarnya, apa artinya diriku bagi Sasuke? Pria itu kadang bersikap seolah dia mencintaiku, namun terkadang dia juga menyakitiku.
"Haahh..." aku menghela napas pelan. Semoga saja ini terakhir kalinya Sasuke menyakitiku. Ah, gomen ne, Kakashi-sensei... sepertinya aku harus menjauhi mu.
Sakura Pov end
.
.
.
"Hai, forehead, kau mau ikut makan siang denganku atau tidak?" Ino mendatangi meja kerja Sakura.
"Aku malas, Pig." Sakura menjawab sekenanya.
Mendapati keanehan dari sahabatnya, Ino membalikan tubuh Sakura menghadapnya dan gadis pirang itu sedikit terkejut mendapati luka di pelipis Sakura. "Hei, ada apa dengan pelipismu? Kau terluka, forehead."
Sakura menepis pelan tangan Ino yang hendak menyentuh lukanya, " Aku baik-baik saja, Pig. Aku jatuh di kamar mandi."
Ino mengerutkan kening. Jatuh di kamar mandi? Sejak kapan Sakura seceroboh itu? Ino akan terus mendesak Sakura sampai temannya itu buka mulut, kalau saja kekasihnya tak datang.
"Ino-chan!" Sai berdiri di ambang pintu, menatap Sakura dan memamerkan senyum palsunya, "Hai, Sakura-san!"
"Hai, Sai." Sakura menyahut malas.
"Ayo, forehead... atau aku harus menyeretmu." ancam Ino –yang masih memaksa Sakura untuk ikut makan siang bersamanya- sebelum kemudian mendekati Sai dan mengamit lengan kekasihnya itu dengan mesra.
"Baiklah, baiklah." akhirnya Sakura memilih mengalah pada sahabatnya.
Mereka bertiga berjalan beriringan ke luar rumah sakit menuju restoran favorit mereka.
.
.
.
"Kau mau mencoba saladku, Sai-kun?" Ino menyuapkan salad pesanannya pada Sai yang terlihat enggan, namun pria itu tetap membuka mulutnya. Kemudian, Ino mengalihkan aquamarine-nya pada sahabat merah mudanya. Menatap Sakura yang tengah memainkan jus yang ia pesan, sama sekali tidak ada niatan untuk menyentuhnya. Bahkan makanan yang ia pesan bernasib sama dengan jusnya. Terabaikan.
'Ada apa dengan Sakura, ya? Apa ia sedang ada masalah?' Ino masih saja berspekulasi dengan semua kemungkinan yang ada, saat seorang laki-laki mendatangi meja mereka dan mendudukan pantatnya di sebelah Sakura. Membuat Ino dan Sai terkejut—apalagi saat mengetahui bahwa laki-laki itu adalah mantan dosen mereka dulu. Apa yang dilakukan dosen mesum itu disini?
Sakura yang sedang melamun sama sekali tak menyadari ada seseorang yang sudah duduk di sebelahnya. Gadis itu masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
Hatake Kakashi memandang Sakura sendu. Andai dulu ia memiliki sedikit saja keberanian untuk menyatakan perasaannya pada mantan mahasiswinya dan melupakan sejenak status mereka sebagai dosen dan mahasiswi, mungkin sekarang ia yang akan menempati posisi Sasuke.
Ino yang lebih peka, menyadari tatapan tidak biasa Kakashi.
"S-sai-kun, temani aku ke toilet." Ino menggoyangkan lengan Sai pelan, berharap kekasihnya memahami kode yang ia berikan. Sai menaikan sebelah alisnya tak mengerti.
"Ke—" Sai tak sempat melanjutkan ucapannya karena Ino sudah menyeretnya pergi.
.
.
.
"Saki." panggilan yang terasa familiar menyapa gendang telinganya. Sakura menghentikan acara melamunnya dan menolehkan kepalanya ke asal suara.
Deg!
Ia mendapati mata heterokrom Kakashi menatapnya intens.
"Ah, Kakashi-sensei, a-apa yang sensei lakukan disini?" entah kenapa tiba-tiba tenggorokan Sakura terasa kering.
Kakashi menyipitkan matanya pertanda ia sedang tersenyum di balik masker yang ia kenakan. "Apa aku tidak boleh menemui mu, hm?"
Sakura makin gugup dengan kedekatan mereka. Bagaimana kalau Sasuke tahu? Ia pasti akan salah paham lagi. Ia hanya tak ingin kehilangan Sasuke.
Kakashi mengacak rambut Sakura gemas, "Kenapa diam?"
'Apa yang harus aku lakukan. Ino kau kemana?' Sakura menundukan kepalanya saat mendapat perlakuan sedemikian manis dari mantan sensei-nya itu. Ia menarik napas dalam-dalam.
Aku harus menjauhi Kakashi-sensei.
"Sensei, aku mohon jangan pernah temui aku lagi." Sakura mengucapkannya dalam satu tarikan napas, membuat Kakashi menghentikan gerakan tangannya. Ia terkejut dengan apa yang Sakura ucapkan. Apa Kakashi melakukan kesalahan? Ia hanya ingin selalu berada di samping Sakura, meski pun hanya di anggap sebagai sensei dan sahabat. Ia tak masalah asalkan Ia tetap bisa melihat Saki-nya baik-baik saja.
"Apa aku melakukan kesalahan, Saki?" Kakashi menatap Sakura lembut namun kedua irisnya menyiratkan luka yang dalam.
Sakura menggelengkan kepala pinknya.
"Lalu kenapa?" Kakashi masih tak mengerti apa yang Sakura inginkan.
"A-aku mohon, sensei. Hiks... A-aku mohon menjauhlah dariku..." tanpa diminta air matanya menetes. Entah kenapa saat sudah berhadapan dengan sensei-nya ia bisa memperlihatkan sisi rapuhnya yang tidak bisa ia perlihatkan pada orang lain.
Kakashi terkejut mendapati Saki-nya menangis. Ia menggerakan tangannya untuk menghapus air mata Sakura.
Sakura mendongakkan kepalanya, Ia terharu dengan apa yang sensei-nya lakukan.
.
.
.
"Jadi, Teme... kau harus memenangkan proyek ini, apa pun caranya." Naruto masih saja mendikte Sasuke.
Tak ada respon apapun dari Sasuke, padahal biasanya paling tidak Sasuke akan mengucapkan bahasa planet yang sampai sekarang tidak ia mengerti artinya.
Naruto mengikuti arah pandang Sasuke, dan ia begitu terkejut dengan apa yang ia lihat. Sakura berpelukan dengan seorang pria. 'Bukankah itu kekasih Sasuke? Lalu kenapa ia berpelukan dengan lelaki lain?'
"Kau saja yang menemui mereka, dobe. Aku muak pada tempat ini." Sasuke melangkahkan kakinya keluar dari restoran tanpa menunggu reaksi sahabatnya.
"T-tapi, teme..."
.
.
.
Kakashi merengkuh tubuh Sakura dalam dekapan hangat. "Aku tidak tahu apa salahku, Saki. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi satu hal yang harus kau tahu. Aku... akan selalu ada saat kau membutuhkanku. Kau tahu di mana harus mencariku." Kakashi mengecup puncak kepala Sakura untuk yang terakhir kalinya. "Aku pergi, Saki."
Kakashi melepaskan pelukannya dari tubuh Sakura. Ia meninggalkan meja Sakura tanpa menoleh kebelakang. Ia hanya tak ingin melihat air mata yang kembali menetes dari manik emerald gadis yang sangat dicintainya. Kakashi takkan sanggup melihatnya. Ia memang sakit hati jika harus meninggalkan Sakura, tapi ia akan lebih sakit lagi jika kehadirannya membuat Saki-nya menangis. Biarlah ia yang menanggung sakit ini sendiri. Cukup ia saja yang terluka. Ia cukup bahagia melihat Sakura dari jauh.
.
.
.
"Ino-chan, bukankah kau ingin ke toilet?" Sai bertanya dengan polos.
Ino menepuk dahinya pelan, kekasihnya ini benar-benar...
"Sai-kun, apa kau tak melihat kalau Kakashi-sensei ingin bicara empat mata dengan Sakura?"
Sai menaikan sebelah alisnya tak mengerti, melihat reaksi kekasihnya membuat Ino gemas sendiri.
"Jadi begini—" penjelasan Ino terhenti di ujung lidah saat manik aquamarine-nya tanpa sengaja melihat sekelebat bayangan Sasuke. Apa Sakura tahu kalau Sasuke ada di sini juga?
Sai mengibaskan tangannya di depan wajah Ino, bertanya penasaran. "Jadi apa Ino-chan?"
"Ah, tidak-tidak." Ino mengibaskan tangannya, sebelum kemudian bertanya, mengalihkan pembicaraan, "Sai-kun, apa menurutmu Kakashi-sensei menyukai Sakura?"
"Entahlah—" Sai mengedikan bahunya tak acuh, "Yang jelas sih, aku menyukaimu, Ino."
Blush
Muka Ino memerah sempurna. "K-kau.."
Sai hanya tersenyum melihat reaksi kekasihnya.
.
.
.
"Apa yang terjadi padamu, Sakura? Apa yang sudah Kakashi-sensei lakukan?" Ino kaget melihat Sakura menangis sesenggukan.
Sakura menggelengkan kepalanya, "A-aku jahat, Ino.. Hiks.. Aku jahat..."
Ino memeluk sahabatnya. "Sstt... sudahlah, Sakura... jangan menangis lagi."
"Tidak, Ino, aku jahat.. Hiks.. A-aku sudah membuat Kakashi-sensei pergi." Sakura menggelengkan kepalanya lagi.
Ino tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi antara Sakura dan Kakashi dan apa hubungannya dengan kepergian sensei-nya. Yang ia tahu, Kakashi-sensei tak akan mungkin membuat Sakura menangis dan meninggalkannya seorang diri.
"Sudahlah hapus air matamu, kita kembali ke rumah sakit."
Sakura menganggukan kepalanya meski air matanya tetap tak mau berhenti mengalir.
.
.
.
Kakashi memandang langit-langit kamarnya. Apa yang harus pria itu lakukan sekarang? Kakashi tak bisa meninggalkan Sakura meski gadis itu sendiri yang memintanya.
Masih lekat dalam ingatannya kebersamaan mereka. Dan—entahlah, membayangkannya membuat Kakashi sakit dan bahagia dalam waktu karena yang ada dalam pikiran Sakura hanya Sasuke saja, dan bahagia karena bisa melihat senyuman di wajah gadis yang dicintainya. Kakashi memejamkan matanya, mengingat setiap detil kebersamaan mereka.
Flasback on
Kakashi dan Sakura sedang berada di taman Universitas Tokyo. Tepatnya dibawah kerindangan pohon sakura. Mereka memang biasa menghabiskan waktu berdua seperti sekarang. Sakura bersandar di punggung sensei-nya begitu pun sebaliknya.
"Sensei..."
"Hn." Kakashi menjawab sekenanya, matanya tak pernah lepas dari buku bersampul orange yang sedang ia tekuni.
"Aku sedang jatuh cinta, sensei." Sakura mengucapkannya dengan malu-malu dan dengan wajah merona.
Deg!
'Apa Sakura sudah menyadari perasaanku?' tebak Kakashi.
Namun tentu saja Kakashi tak menyuarakan isi hatinya begitu saja, ia ingin mendengar langsung dari mulut Sakura membalikan tubuhnya menghadap Sakura. Wajah Sakura yang merona membuat Kakashi ingin menciumnya.
"Jadi, siapa laki-laki yang beruntung itu, Saki?" Kakashi menepuk puncak kepala Sakura.
"Sasuke-kun.. Aku sudah lama menyukainya, sensei.. Dan kemarin dia menerima pernyataan cinta ku, sensei. Aku senang sekali!" Sakura menceritakannya penuh semangat tak menyadari perubahan wajah senseinya.
Kakashi menghentikan gerakan tangannya seketika, hatinya sakit. Tapi ia paksakan untuk tersenyum.
"Begitu..." Kakashi menunduk lesu tapi tak berapa lama ia paksakan untuk tersenyum.
"Kalau begitu... sampai jumpa, Saki. Ada kelas yang harus aku isi sekarang." Kakashi berdiri dari posisi duduknya dan menepuk celananya.
"Hu-um." Sakura menganggukan kepalanya semangat.
Tidak sadarkah ia telah melukai perasaan seseorang yang senantiasa menjaga dan membuatnya tersenyum?
.
.
.
Di malam yang dingin penuh salju Sakura mendatangi apartement sensei-nya. Dengan tangan bergetar menahan dingin, ia mengetuk pintu apartement Kakashi.
Tok Tok Tok
Dengan langkah malas Kakashi berjalan menuju pintu. Siapa gerangan yang mendatanginya di malam sedingin ini? Dan betapa terkejutnya ia saat mendapati Sakura menangis dengan badan menggigil. Kakashi membawa Sakura masuk dan mendudukannya di sofa ruang tamu apartementnya.
"Sensei...Hiks... S-sasuke..."
Kakashi menarik Sakura kedalam pelukannya, ia mengusap surai Sakura lembut."Apa yang bocah itu lakukan padamu, hm?"
"K-kami bertengkar da-dan dia meninggalkanku begitu saja sensei. A-aku—hiks—benci dia, sensei... tapi aku tidak bisa meninggalkannya. Hiks..." Sakura masih sesenggukan di pelukan Kakashi.
Hati Kakashi sakit mendengar Sakura diperlakukan demikian, namun ia juga tak mungkin meminta Sakura meninggalkan lelaki itu. Ia tahu seberapa besar Sakura mencintai Sasuke.
Yang bisa ia lakukan hanyalah selalu ada saat Sakura membutuhkannya dan mendekap Sakura saat gadis itu seperti sekarang ini.
"Tenanglah. Mau ku ambilkan segelas coklat panas?" Sakura mengangguk mengiyakan.
Tak berapa lama kemudian Kakashi kembali dengan membawa secangkir kopi pahit untuknya dan segelas coklat panas kesukaan Sakura.
"Minumlah, Saki." Kakashi menyodorkan susu coklat buatannya pada Sakura. Dengan tangan bergetar Sakura menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit.
"Sudah merasa lebih baik?" Kakashi kembali mengelus rambut Sakura—salah satu kebiasaan kecil Kakashi yang membuat ia ketagihan untuk terus melakukannya. Lagi dan lagi.
Sakura mengganggukan kepala pink-nya lesu.
Kakashi memandang wajah damai Sakura yang tertidur di pangkuannya dan mengusap pipi Sakura lembut. Kalau yang ini salah satu kebiasaan Sakura saat sedang lelah. Tidur dipangkuan Kakashi. Dan Kakashi sama sekali tidak keberatan dengan semua ini, ia malah senang. Walaupun Sakura hanya menjadikannya tempat berkeluh kesah tapi ia menikmati setiap detik kebersamaan mereka.
.
.
.
"Sensei..." Sakura merengek dengan manja, "bagaimana cara mengerjakan ini?" Sakura menunjuk-nunjuk soal yang tidak ia mengerti dengan bolpoin yang ada di tangannya.
"Ck... apa kepala pink mu ini isinya hanya Sasuke? Soal semudah ini saja kau bertanya padaku." jawab Kakashi kesal dan menyentil dahi lebar Sakura.
"Ittai, sensei... kau memang kejam!" Sakura mengerucutkan bibirnya lucu.
Melihat hal itu membuat Kakashi ingin mencium bibir Sakura. "Jangan menggodaku, aku jadi ingin menciummu." Kakashi menyeringai yang menurut Sakura adalah seringai mesum. Semua mahasiswa di kampusnya tahu kalau sang dosen memang terkenal dengan kadar kemesumannya yang tinggi, tapi ia juga tidak menyangka akan menjadi objek kemesuman dosennya ini.
Pletak
"Dasar sensei mesum!" wajah Sakura memerah menahan marah.
"Ittai, Saki... aku kan hanya bercanda." Kakashi mengusap kepalanya yang menjadi sasaran keganasan (?) Sakura.
"Salah sensei sendiri."
Sakura terlihat berpikir sejenak yang menurut Kakashi imut, kemudian melontarkan sebuah pertanyaan yang terlintas diotaknya. "Nee, sensei... kenapa sampai sekarang aku tak pernah melihat sensei kencan dengan seorang wanita?" namun sejurus kemudian Sakura membulatkan kedua emerald-nya seolah mendapat hal yang mengejutkan, dan memicingkan matanya menatap Kakashi dengan curiga, "Apa jangan-jangan sensei—ukh—gay?"
"Uhuk!" Kakashi terbatuk dengan tidak elitnya. "Dari mana kau mendapat pemikiran seperti itu?" Kakashi cukup terkejut dengan apa yang Sakura ucapkan.
"Lalu, kenapa aku tak pernah melihat sensei kencan?" Sakura masih keukeuh dengan pendapatnya.
Kakashi menghembuskan napasnya, kemudian menjawab tak acuh, "Kalau sudah ada kau, siapa yang butuh teman kencan?"
"Tapi aku sudah punya Sasuke-kun, sensei. Aku mana bisa selalu menghabiskan waktu berdua denganmu? Karena itu carilah temen kencan, sensei."
"Aku tak tertarik." Kakashi menyibukan dirinya dengan soal-soal yang Sakura tanyakan tapi pikirannya tidak tertuju pada soal di hadapannya. 'Mencari teman kencan, katamu? Cih! Bagaimana aku bisa melakukannya kalau bayangmu selalu mengikutiku, Saki?'
Flashback off
Kakashi mengacak surai peraknya frustasi. 'Arghhh! Apa yang harus aku lakukan sekarang?'
.
.
.
'Sepatu? Apa Sasuke-kun ada di dalam?' tanya Sakura dalam hati. Tak mau menebak lagi, ia melangkahkan kakinya dengan riang memasuki apartementnya.
"Sasuke-kun!" Sakura memeluk leher Sasuke dari belakang. "Aku merindukanmu! Kenapa tak bilang kalau mau kemari?" rajuk Sakura.
"Apa aku harus bertanya dulu sebelum datang ke apartementmu?" jawab Sasuke datar.
"Bukan begitu, hanya saja—"
"Hanya saja apa? Selingkuhanmu akan datang kemari?" potong Sasuke.
"S-selingkuhan? Apa maksudmu dengan selingkuhan?" sanggah Sakura.
"Cih! Wanita jalang! Lalu apa yang kulihat di restoran tadi siang, ha?!" hardik Sasuke.
"Ap—"
"Aku sudah bilang kalau aku paling tidak suka di bohongi, kan? Lalu kenapa kau membohongiku? Kau tinggal bilang kalau memang sudah ada yang lain!"
"Demi Kami-sama, Sasuke... aku tak punya laki-laki lain! Kakashi mantan dosenku!"
"Diam!" hardik Sasuke
"Apa ada mantan dosen yang memeluk mahasiswinya, ha?! Kau pikir aku tidak tahu apa yang sudah kau lakukan di belakang ku?!"
"Hiks... Sasuke, dengarkan aku... d-dia benar-benar mantan dosen ku..."
"Sudah kubilang diam!" Sasuke mencengkeram dagu Sakura kasar.
"Hiks... Sasuke, sakit..." Sakura merintih kesakitan tapi sepertinya Sasuke tak mengindahkannya.
Plak!
"Dasar wanita jalang!" Sasuke melepaskan cengkeramannya dan menampar pipi Sakura. Tubuh Sakura terhuyung hampir mengenai sudut meja setelah mendapatkan tamparan dari Sasuke. Ia memegang pipinya yang merah bekas tangan Sasuke.
Prang!
Sasuke melempar vas bunga yang ada di hadapannya sebagai pelampiasan amarahnya. Sedangkan Sakura menangis ketakutan melihat apa yang Sasuke perbuat. Kemudian, Sasuke meninggalkan Sakura begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang. Ia menutup kasar pintu apartement Sakura seperti biasanya.
Tubuh Sakura merosot ke lantai yang dingin, seakan tidak ada tenaga sama sekali. Ia meneteskan air matanya kembali. Apakah cintanya yang tulus harus di balas dengan sedemikian kasar oleh lelaki itu? Sekelebat bayangan Kakashi saat mendekapnya berputar bagai rekaman di , sensei-nya itu tak akan pernah berbuat sedemikian kasar padanya. Jangankan berbuat kasar, lelaki itu tak akan pernah membuat air matanya mengalir begitu saja.
Sakura memeluk tubuhnya sendiri. Ia mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Sakit—itu yang selalu ia rasakan saat Sasuke dibutakan oleh kecemburuan.
"Hiks... Sensei... " Sakura menyebut nama sensei yang selalu ada untuknya.
Dengan langkah terseok-seok, Sakura menaiki tangga menuju kamarnya. Namun bukan tempat tidur yang ia inginkan sekarang. Sakura memeluk kakinya sendiri, tubuhnya menggigil kedinginan, bibirnya membiru. Guyuran shower pada tubuhnya tak ia hiraukan. Ia hanya ingin menjernihkan pikirannya.
"Sensei... Hiks... Gomen, sensei..."
.
.
.
Sementara itu di apartement Kakashi..
Kakashi sedang membaca buku favoritnya di ranjang tapi pikirannya tidak tertuju pada buku bersampul orange yang sedang ia tekuni, entah kenapa tiba-tiba ia memikirkan Sakura. Apa gadis itu baik-baik saja?
Kakashi mendudukkan dirinya di ranjang, ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan melangkah dengan malas ke balkon kamarnya. Ah, mungkin menghirup udara segar bisa menjernihkan pikiranku.
Bukan pemandangan Tokyo yang ia lihat, bukan juga ribuan bintang di langit. Pandangannya kosong, hanya memikirkan satu nama yang selalu ada dihatinya.
'Hentikan pikiran bodohmu, Kakashi. Ia sudah bahagia dengan orang yang dicintainya.' Kakashi memaki dirinya sendiri. 'Arrgg! Persetan dengan ia yang melarangku menemuinya! Aku hanya ingin tahu apakah Saki baik-baik saja.'
Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, Kakashi akhirnya memutuskan untuk tetap menemui Sakura. Dengan langkah terburu-buru ia menuruni anak tangga dan menuju mobilnya.
Beberapa saat kemudian..
Kakashi sudah sampai di depan apartement Sakura, tapi ia tidak langsung menemuinya. Ia masih ragu dengan keputusannya untuk menemui Sakura.
'Bagaimana kalau Saki tak mengijinkanku menemuinya?'
Kakashi menurunkan kaca mobilnya dan melihat kamar Sakura dari bawah. Mengerutkan keningnya, Kakashi melirik arloji di pergelangan tangan kanannya. Apa yang dilakukan Sakura tengah malam begini? Tidak biasanya gadis itu belum tidur jam segini.
.
.
.
"Saki!" Kakashi memanggil Sakura. "Kemana dia?"
Tak ada jawaban apa pun. Tapi begitu melihat ruang tamu Sakura yang berantakan dengan serpihan vas bunga dimana-mana, perasaan Kakashi tiba-tiba tidak enak. Ia mengkhawatirkan keadaan Sakura. Dengan setengah berlari Kakashi menaiki tangga menuju kamar Sakura. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Sakura tapi ia tidak menemukan keberadaan Saki-nya. Namun setelah mendengar suara gemericik air dari kamar mandi, Kakashi bisa bernapas lega.
'Mungkin Saki sedang mandi,' pikirnya, 'Tapi sejak kapan Saki mandi tengah malam begini?' Kakashi seakan mengingat kebiasaan gadis yang di cintainya. Dengan langkah pelan ia mendekat ke kamar mandi Sakura dan mengetuk pintunya.
Tok Tok Tok!
"Saki, kau di dalam?" panggil Kakashi
"..."
"Saki?" ulang Kakashi lagi.
"..." masih tak ada jawaban apapun dari dalam.
Wajah Kakashi gusar, ia takut terjadi sesuatu pada Sakura. Kakashi mendobrak paksa pintu kamar mandi Sakura. Dan betapa terkejutnya ia saat mendapati Sakura sudah tak sadarkan diri di bawah shower yang masih menyala. Dengan sigap Kakashi menggendong tubuh Sakura yang basah dan membaringkannya di ranjang gadis itu.
"Apa yang terjadi padamu Saki?" Kakashi mengusap rambut Sakura sayang, tapi betapa terkejutnya pria itu saat mendapati pipi kanan Sakura memerah bekas tamparan dan dagunya ada bekas cengkeraman tangan. Kakashi merogoh ponselnya dan menghubungi sahabat pirang Sakura.
"Yamanaka, bisa kau ke apartement Sakura? Akan kujelaskan nanti—baiklah."
.
.
.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada Sakura, sensei?"
Kakashi mengedikan bahunya tak mengerti, "Aku juga tidak tahu, aku menemukannya sudah tak sadarkan diri di kamar mandi." Raut wajah Kakashi tiba-tiba berubah sendu."Sebenarnya, Saki tak mengijinkan ku menemuinya lagi. Tapi... aku tidak bisa, Yamanaka." Kakashi mulai bercerita.
'Oh jadi ini yang di maksud Sakura' batin Ino.
"Apa sensei mencintai Sakura ?" tanya Ino tiba-tiba. Sebenarnya Kakashi cukup terkejut dengan apa yang gadis di sebelahnya katakan. Namun dengan cepat ia tutupi dengan wajah datarnya. Kakashi tak menjawab apapun tapi Ino tahu kalau senseinya ini mencintai sahabatnya.
"Bagaimana keadaan Sakura?" Kakashi mengalihkan pembicaraan.
"Dia baik-baik saja. Aku sudah memberinya obat penurun demam." Ino menjelaskan. Hening sejenak. Ino melirik Kakashi sembari menggigit bibirnya pelan, sebelum kemudian bertanya ragu-ragu, "Errr... Sensei, apa kau sudah melihat bekas memar diwajah Sakura? Da-dan didagu Sakura?"
"Ya, aku melihatnya. Tapi aku tidak tahu bagaimana ia bisa mendapatkannya." Kakashi menunduk.
"Kau akan menginap disini?" tanyanya pada putri tunggal Inoichi.
"Tidak, sensei. Aku tidak bisa." Ino terlihat menyesal.
"Tidak masalah, aku yang akan menjaga Saki malam ini." putus Kakashi.
.
.
.
"Enghh..." Sakura menggeliat pelan, ia mengerjapkan matanya membiasakan dengan cahaya di menolehkan kepalanya ke kanan, namun betapa terkejutnya ia saat mendapati sensei-nya ada di kamarnya.
Di kamarnya..
Berdua..
Semalaman..
Sakura memandang bajunya dari atas sampai bawah, ini bukan baju yang terakhir ia kenakan. Apa senseinya ini yang menggantikannya?
"Kyaa!" Sakura memukul kepala Kakashi dengan bantal yang ada di sebelahnya.
"Aduh! Saki, apa yang kau lakukan?! Kau mau membunuhku?" dengan sangat terpaksa Kakashi terbangun dari mimpi indahnya.
"Apa yang kau lakukan disini, sensei mesum?!" Sakura kembali menjerit histeris, sebelum kemudian kembali menyerang (?) Kakashi dengan brutal. "Mati saja kau, sensei!"
"Saki!" Kakashi berusaha mengelak dari serangan bantal Sakura. "Aku tak melakukan apa pun padamu."
Sakura menghentikan serangannya, ia memicingkan matanya curiga, "Benarkah? Kenapa aku tak yakin? Sensei kan mesum?! D-dan pakaian ku?"
"Apa kau yang sebenarnya berharap aku melakukan sesuatu padamu, Saki? Hm? Hm?" Kakashi menaik turunkan alisnya menggoda Sakura.
Sakura mendekap tubuhnya sendiri, seolah-olah melindungi dirinya dari tatapan mesum sensei di hadapannya.
"Hahaha!" Kakashi tergelak melihat reaksi Sakura. "Aku takkan menyakiti orang yang ku cintai, Saki. Hahaha!" Kakashi tanpa sadar mengungkapkan perasaannya.
"A-apa!? Apa yang barusan sensei katakan?"
Tiba-tiba Kakashi berhenti tertawa, menyadari betapa bodohnya ia yang hampir saja membuat Sakura membencinya. Bagaimana pun Sakura tak pernah mencintainya. Dan hanya menganggapnya sensei dan juga sahabat.
"Apa? Aku tak mengatakan apapun." elak Kakashi.
"Sensei..." Sakura merajuk.
"Sekarang yang lebih penting adalah keadaanmu, Saki. Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Kakashi.
Sakura menundukan kepalanya, jujur saja ia tak merasa baik-baik yang menyadari perubahan wajah Sakura hanya bisa menarik Sakura dalam pelukannya. Ia mengelus rambut Sakura sayang.
"Tak perlu dipaksakan, Saki. Bicaralah saat kau sudah siap." Sakura mencengkeram erat kemeja Kakashi, menumpahkan segala apa yang ia rasakan pada sensei-nya.
"Hiks... Hiks... " akhirnya pertahanan Sakura hancur. Ia menangis sesenggukan di dada bidang Kakashi, membuat kemeja yang dikenakan sensei-nya itu basah oleh air mata Sakura. Namun, Kakashi tak masalah kemejanya kotor. Asal itu bisa membuat Sakura hanya bisa mengeratkan pelukannya. Ia berharap sang waktu berhenti berputar. Ia ingin selalu memeluk Sakura seperti sekarang. Hanya ada ia dan Saki-nya, tanpa orang lain dan tanpa Sasuke.
Tbc
