RajiFict ~ 3rd Eps
~~~ Opening: Kanesaki Kentarou & Yagami Ren - GALAXY ~~~
Aiko: Yak semuanyaaa~! Kita kembalii~! *lari-lari keliling studio RajiFict sambil tebar-tebar menyan*
Jackal: Sensei gila... (==)a
Aiko: Jaa~! Bersama dengan (calon) pacar saya, Jackkun~ *dinijek-injek* mari kita habiskan se-abad dengan RajiFict! *diguyur oli*
~~~ Opening again ~~~
Jackal: Yah, seperti biasa, sesi pertama adalah untuk menjawab Review. Selanjutnya, biar Iko-sensei saja yang melanjutkan. Douzo!
Aiko: Arigatou ne, Jacckun~ Jaa, kita bahas review dari FanFic 'Kazoku' kemarin. Haa~ai'! Jackkun! Tolong box review'a~
Jackal: Hai' kochira ni douzo!
Aiko: *ngerojok-rojok box* bahasa yang gak enak di dengar.... (==) NIH! *ngasi ke Jackal*
Jackal: Kita dapet dari Acha-san kara! Yomita ne~
Aiko: Ah~ Hai'! Ini langsung kita kabulin request'annya untuk happy ending~ Selamat membaca, dan... jangan lupa review yah~ :D
Motto kami di RajiFict adalah: "Setiap Review wajib, kudu, fardu'ain di balas!" jadi, tenang aja... (^^)
Uwah~ Yokatta ne? Syukurlah kalau mamah'a Acha-san bisa pulang cepet... (^^)
Kalau urusan Papah juga, nggak tentu pulang'a... *lha, malah gue yang curhat? bubar!*
Haaii~! Arigatou atas reviewnyaaa~~ m(_"_)m
Jackal: Hai'! Sugi ni~
Aiko: AoRyuto-senpai kara... Yomimasu yo~
Ahahahah~ pertengkaran adik kakak... seru desu ne?
Jackkun~ mau berantem sama akyu?
Jackal: *perasaan mulai gak enak* Boleh, *menyingsingkan lengan baju* dimana?
Aiko: Dikamar~ :D *ditendang Jackal guling-guling keluar studio*
Ah~! Gomenne, jadi ngaco...
Uh~waw! Iya donkz... :3 Walo Sanada badannya gede, Kite pake kacamata, tapi Kunikki tetep suami kyuh! XD *disilet Tezuka*
Jackal: Mou~ Semua review sudah dijawab!
Aiko: Hai~! Makasii ya, atas reviewnyaa~~
Jackal: Bagi pengirim Review kali ini, akan kami berikan Gundam Toy Kit! Aseli rancangan Akaya~
Aiko: Lha~ emang si Aka-chan sama ama Genki gitu? Otaku kambuhan? Daijoubu lah, yang penting ada hadiahnya~
Jackal: Hadiah akan dikirimkan ke alamat masing-masing menggunakan KETAPEL super canggih buatan BRAZIL
Aiko: Sa' karep mu lah~ aku iyo iyo ae~ (==)
Jackal: Jaa, Nantikan proses pembuatan FF kali ini, di sesi selanjutnya \(^_^)
Aiko: Selamat membaca, selamat menikmati (^.^)/
Jackal: Terima kasih sudah mendegarkan RajiFict ya~
Aiko: Terus dukung kami...
Jackal: Sampai jumpa,
Aiko: Sampai bertemu di lain FanFic~
Jackal - Aiko: Jaa~ nee!
~~~ Closing: Tezuka Kunimitsu (Okiayu Ryoutarou) - Road ~~~
Title: Fuyu Kara Haru Made [From Winter Till Spring]
Writer: Aihara Izumi
Disclaimer: - Pak'de Konomi yang sudah menciptakan Alpha Pair yang begitu Fabulous... Love you, Pak'de~ *dilempar granat*
- Mbak-mbak cantik yang menyanyikan lagu 'Story' makasii ya~
Genre: Taiga, Romance, Drama
Theme song: AI - Story
Current mood: Depressed
Note: Bersetting sekitar.... yah~ masa-masa perang pasifik lah~ (^^) Dari 'Showa-jidai' sampai ke-Kaisaran Jepang berakhir...
- Bagi kalian penggemar Niou, Bunta, Renji, dsb, maafkan saya jika mereka hanya tampil sekilas. Seluruh peran, saya berikan pada mamah Yuki, dan Papa Sana, (^^) *digebukin massa*
Warning: Kesalahan timeline, pengetikan, jidai... Gaje, dan lain sebagainya. Mohon di maafkan~
Semenjak saya bukan ahli sejarah, pelajaran sejarah aja saya tidur, maka itu... maaf jika ada kesalahan penulisan tanggal maupun kejadian (^^;)
~~~ SELAMAT MENIKMATI ~~~
(udah kayak tulisan di carik-carik makanan yang suka dibagi-in pas habis tahlilan ato kotak-kotak martabak yang sering gue beli)
------ Fuyu Kara, Haru Made ------
Cerita ini di mulai dari sebuah pertemuan kecil, yang berakhir menjadi bunga Matahari yang merekah di musim semi...
~Hiroshima, November 1933~
"Seiichi~! Jangan terburu-buru~"
Nampaklah seorang gadis cilik yang berumur sekitar 8 tahun, berkimono biru -- yang senada dengan warna rambutnya, sedang berlarian di sekitar istana yang sikelilingi parit penuh Ikan Koi tersebut. Hiroshima-jo, atau Istana Hiroshima. Dipimpin oleh seorang Kaisar berambut perak -- Niou Masaharu, dan permaisurinya Bunta-ko.
(author: sumpah nulis baru nyampe sini, tapi perut gue udah sakit! Ngakak! XD)
Namun gadis kecil tersebut tidak menghiraukannya. Ia tetap berlari dengan riang sembari membawa sekeranjang penuh dango*)hangat pemberian dayang istana nya.
Seiichi -- nama gadis kecil tersebut, terus berlari menuju halaman belakang istana -- tempat dimana Ia akan menikmati dango hangat tersebut tanpa terhenti, Seiichi terus berlari dengan langkah mungilnya, bak tupai kecil yang baru mencuri biji kenari pertamanya. Sampailah Ia pada sebuah taman luas yang di penuhi pepohonan yang mulai merontokkan daun-daunnya. Ini adalah musim peralihan, dimana musim dingin sebentar lagi yang akan menguasai Hiroshima.
Nafasnya memburu seraya langkahnya melemah. Sesekali menoleh kebelakang agar tidak ada yang mengejarnya, atau menyuruhnya masuk ke dalam ruangan -- itu membosankan, menurut Seiichi.
Tanpa perlindungan dan kewaspadaan, Seiichi terus menoleh kebelakang, dan...
--- BUKHH!
Seiichi menabrak seseorang yang juga terpental saat dirinya menabrak orang tersebut.
Gadis kecil ini mengaduh. Kepalanya sakit saat terbentur (sepertinya) dengan siku, dan dango yang akan menjadi santapannya siang ini terjatuh berserakkan bak momiji yang menjadi coklat yang menghiasi tanah di musim kemarau kemarin.
Selagi Seiichi sibuk mengaduh, matanya sempat melirik siapa yang telah menyebabkan Ia terjatuh.
限られた時の中でどれだけのコトが出来るのだろう...
[Aku ingin tahu, berapa banyak hal yang dapat kulakukan dalam waktu yang terbatas ini....]
Nampaklah seorang pemuda yang seumuran dengannya. Berambut pendek lurus hitam dengan poni yang menutupi dahinya -- dan hampir menutupi matanya.
"Siapa Ia?"
Belum pernah Seiichi melihat seseorang yang sebaya dengannya. Matanya tajam, dengan alis yang runcing. Pemuda itu pun sibuk mengaduh sembari memegangi pinggangnya yang terbentur lantai.
Melihatnya, Seiichi malah diam. Terkesima.
Sejenak kemudian, pemuda itu menatapnya, yang membuat Seiichi langsung menurunkan pandangannya. Namun Ia masih dapat mendengar suara lantai kayu yang diinjak -- tanda pemuda itu hendak bangkit. Namun Seiichi tak sedikit pun mengangkat pandangannya. Sampai akhirnya Ia mengadah saat sebuah tangan terjulur padanya.
Pemuda itu hendak membantunya berdiri.
Seiichi hanya terdiam dan menatap lekat pemuda tersebut.
"Kenapa malah diam? cepat berdiri! Bantu aku mengumpulkan dango-dango ini," ujarnya dingin.
Dengan perasaan aneh, Seiichi menerima uluran tangan tersebut dan berdiri. Bukannya langsung membantu pemuda tersebut mengumpulkan dango, Ia malah mematung menontonnya.
"Emang dasar perempuan, paling tidak bisa yang namanya susah," gerutu pemuda tersebut setelah jengkel melihat gadis yang ditolongnya malah terdiam.
言葉にならないほどの想いを
[Perasaanku terlalu kuat untuk dituangkan ke dalam kata-kata...]
Seiichi terus terdiam.
"Nih!" pemuda tersebut menyerahkan keranjang dango-nya pada Seiichi, "kembali lagi sana ke dapur, dan minta lagi yang baru. Itu sudah dingin, dan tidak enak untuk dimakan," jelasnya, lalu pergi.
どれだけアナタに伝えられるだろう...
[Aku ingin tahu, seberapa banyak hal yang dapat kukatakan padamu...]
Baru kali ini ada orang yang menyuruhnya masuk ke dapur. Hampir semua pelayannya -- bahkan sang Pemaisuri, tidak mengijinkannya sekedar melongok ke dalam bangunan tempat memproduksi makanan dalam jumlah besar bagi seluruh warga Istana. Dan baru kali ini Seiichi dimarahi oleh orang lain selain sang Mamah - Bunta, yang paling gak tahan melihatnya manjat pohon di samping istana.
Sosoknya yang menghilang sembari menyeret shinai*) di kabut tipis pagi ini, membuatnya terus bertanya, "siapa pemuda ini...?"
"Permisi, o-tetsudai-san**) boleh minta dango baru lagi? Yang ini sudah jatuh tadi," pinta Seiichi sopan dari balik pintu dapur.
Gak peduli tukang racik bumbu, tukang jagal daging, ampe tukang bersih-bersih wajan (macam author), langsung pada menoleh cengok.
"Ah~! Ojou-sama***)... tolong jangan ke dapur, nanti anda akan jadi kotor," seorang pelayan buru-buru menghampiri Seiichi dan berlutut mengambil keranjang dango-nya.
"Aku hanya meminta dango saja, kok,"
"Tapi Ojou-sama bisa meminta tolong pada pelayan kamar,"
Seiichi mendengus kesal. Semua orang memperlakukan Ia selayaknya kertas rapuh yang akan sobek dengan sekali tiupan angin saja. Kecuali pemuda tadi. Pemuda yang memperlakukannya secara berbeda dari yang lainnya.
"Nanti orang tua Ojou-sama bisa marah kalau tahu, anda ada di sini," ujar pelayan itu sopan.
"Mereka takkan tahu kok," senyumnya.
Notes:
*) Dango = Kue bulat yang di tusuk seperti sate, biasanya berisi kacang
**) Shinai = Pedang Bambu yang biasa dipakai untuk latihan Kendo
***) O-tetsudai-san = Pelayan
****) Ojou-sama = Tuan Putri
"Ayah membawamu ke sini untuk tinggal di istana, Genichirou,"
Genichirou -- 10 tahun, duduk dihadapan Yanagi -- penasihat utama Istana ini, "terima kasih, Ayah..."
"... sekaligus, aku akan mendidikmu secara langsung untuk menjadi penasihat utama di sini,"
"Sudah ku bilang, aku tidak ingin menjadi penasihat. Hidupku itu jauh dari filosofi,"
Yanagi hanya tersenyum simpul mendengar penolakan mentah-mentah sang anak.
"Bagaimana hari pertamamu?"
"Tidak berkesan..."
Yanagi terdiam. Ia tetap melanjutkan acara tulis-menulis sembari menunggu luncuran kata-kata selanjutnya dari sang anak.
"Hari pertama saja aku langsung bertubrukan dengan seorang gadis yang sama sekali tak mau berbicara padaku," Genichirou mendengus kesal sembari menatap keluar jendela. Hembusan nafasnya menyebabkan permukaan kaca tersebut berembun.
"Gadis?" Yanagi langsung mengernyitkan kedua alisnya.
"Iya~ sepertinya.... lebih muda dariku dengan warna rambut biru -- warna yang aneh..." gumam Genichirou panjang lebar.
"Kau apakan dia?" Yanagi seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan sang anak.
"Yang ada dia yang menabrakku!"
Terjadilah adu argumen murahan.
"Kau tahu siapa dia?"
"Tau! Seorang gadis manja yang hanya bisa diam saat dirinya menabrak orang lain,"
"Dia itu putri mahkota di kerajaan ini, tahu!"
"Maafkan atas kelancangan kami!" Yanagi memaksa Genichirou ikut menunduk dengannya.
Seiichi yang sedang damai menikmati teh jahe musim dinginnya di teras bersama dayang setia-nya pun jadi kaget.
"Maafkan... atas... perkataan saya yang kasar tadi..." ujar Genichirou terputus-putus.
Seiichi lagi-lagi diam. Ia mengamati pendaran mutiara hitam dibalik sapuan poni tersebut.
"Ah~ kau... yang tadi menabrakku ya?" tanya Seiichi lugu.
"Kau yang menabrakku!" protes Genichirou.
"Genichirou!" sang ayah malah merendahkan kepalanya -- dan membuatnya hampir mencium lantai teras, "maaf atas perbuatannya"
Seiichi tertawa kecil, "tidak apa-apa..."
"Yanagi-saan~~" panggilnya pada penasihat yang sudah akrab dengan sang Ayah, "jangan bersikap formal dihadapanku, ah~ di hadapan Chichi-ue *) saja tidak begitu~" senyum Seiichi.
"Ah... maafkan saya!"
"Sudah kubilang~ tak apa~ tak apa~"
Tanpa sengaja pandangan Seiichi dengan pandangan Genichirou.
"Ah! Genichirou-san ya?"
"Ah... itu namaku," ujar Genichirou dalam keadaan masih membungkuk.
"Namamu panjang sekali. Kupanggil Gen-chan saja ya?"
"Heh! Jangan seenaknya mengubah nama orang!"
"Mohon bantuannya, Gen-chan~"
"Kubunuh kau!"
"Genichirou! Sopan sedikit, kenapa?"
Dan dimulailah hari-hari mereka berdua...
~Hiroshima, Awal Desember 1933~
"Hei! Sedang apa kau di sana?" teriak Genichiro pada Seiichi yang sedang asyik mengamati sesuatu di atas pohon.
"Gen-chan! Lihatlah! Ada sarng burung di sini!" tunjuk Seiichi girang.
"Genichirou! Bukan Gen-chan! Setidaknya Genichirou-kun! Atau lebih baik Genichirou-sama!" protes Genichirou dari bawah.
"Kau mau melihatnya? bagus loh! Seperti burung murai~" nampaknya Seiichi tidak mempedulikan protes Genichirou barusan.
Genichirou mendenguskan nafas kesal. Dijinjingnya hakama yang menutupi mata kakinya tersebut, dan dipanteknya satu pijakan diatas pohon mahoni tersebut, "dasar merepotkan," gerutunya.
"Akhirnya, kau naik juga~" ujar Seiichi senang.
"Turun!" perintah Genichirou.
"Tapi... aku mau menjaga sarang ini sampai induknya datang..." pinta Seiichi.
Genichirou meninggikan dagunya untuk melihat sarang tersebut. Nampaklah jalinan rumit dari serat-serat kayu yang membentuk tempat seperti mangkuk, dengan 4 telur yang terbaring diatasnya.
"Memangnya, kau induknya?"
"Tapi kan..."
"Turun,"
"Tapi...."
"Turun, atau kupatahkan sarang mereka,"
"Aku tidak mau!" tolak Seiichi.
Genichirou menapaki kalinya ke dahan terdekat.
Lalu dengan satu tangan Ia menarik ujung lengan kimono Seiichi. Yang menyebabkan tubuh gadis kecil tersebut kehilangan keseimbangan sesaat.
"Gen-chan bodoh! Aku bisa jatuh tau!" protes Seiichi.
"Memang itu tujuanku,"
"Kalau aku mati, bagaimana?"
"Kau takkan mati selama ada aku," ujar Genichirou pede, lalu Ia menarik kain merah muda tersebut.
"KYAAAA!"
Seiichi tidak jatuh ke tanah, karena Genichirou sudah siap menopangnya dengan bahunya.
"Sudah, masuk ke dalam, jika kau masih di sini dalam 5 menit kedepan, maka kau akan jadi patung es," Genichirou membawa Seiichi masuk ke dalam bangunan utama.
"Tidak mau! Bagaimana kalau telur-telurnya mati kedinginan?" ronta Seiichi tanpa balasan dari Genichirou, "dasar kejam! Tidak punya perasaan!" Seiichi memukuli bahu Genichirou dengan kepalan tangannya yang kecil, "aku benci Gen-chan!"
Genichirou merenungi kata terakhir yang diucapkan oleh tuan putri kecilnya yang egois -- yang langsung melompat turun dan berlari menjauhinya, begitu dirinya membungkuk untuk menurunkan Seiichi dari bahunya yang mulai terasa pegal.
"Sebaiknya, aku harus melakukan sesuatu sebelum Ia ngambek lebih jauh...."
Seiichi terbangun di pagi yang cerah. Sinar matahari yang hangat mengalahkan hembusan angin dingin di bulan Desember ini. Seiichi baru tersadar kalau semalam Ia jatuh tertidur tanpa sadar setelah semalaman Ia ngambek terhadap Genichirou.
Kedua mata yang baru saja dibukanya, langsung bersiaga mengawasi sekitarnya. Setelah dirasanya aman, Ia langsung berlari menuju pohon yang terakhir dinaikinya kemarin.
Hari ini, ia harus membawa sarang burung itu ke tempat yang lebih hangat.
Dengan cekatan, Seiichi menaiki pijakan-pijakan licin pohon mahoni tersebut. Begitu dirinya sampai, dan melihat sarang burung tersebut....
"Eh?"
Seiichi melihat sebuah gulungan handuk kecil yang tebal, sudah melingkupi pasang mungil tersebut.
"Tak seharusnya kau berniat memindahkan mereka dari habitatnya,"
Belum selesai pertanyaan dalam kepala Seiichi terjawab akan 'siapakah yang menaruh handuk tersebut guna menghangatkan sarang burung tersebut?', terdengarlah suara Genichirou dari bawah pohon.
"Gen-chan!" Seiichi meneriakkan namanya, "terima kasih!"
Genichirou nampak terkejut, "he! Untuk apa?" Genichirou berpura-pura tidak tahu.
Seiichi tak lagi membalas, setelah ia memvonis bahwa Genichirou-lah yang 'menghangatkan' sarang burung tersebut. Gerakan kakinya mulai bersiap untuk terjun ke bawah.
"Hei! Bodoh! Apa yang akan kau lakukan!" Genichirou jadi panik sendiri.
Seiichi hanya tersenyum memamerkan gigi taringnya yang mungil. Lalu, tanpa aba-aba, ia meloncat turun, dan.....
---BRUUKHH!
Seiichi mendarat dengan selamat sentosa di atas tubuh Genichirou.
"Dasar bodoh! Meloncat seperti itu bisa membuatmu mati, tauk!" omel Genichirou.
Lagi-lagi Seiichi memamerkan deretan gigi susunya yang kecil-kecil dan tertata rapi, "aku takkan mati selama ada Gen-chan,"
Wajah Genichirou memerah. Kata-kata Seiichi barusan terdengar seperti sebuah lamaran. Ia memalingkan wajahnya guna menghindari pertanyaan Seiichi atas warna mukanya yang berubah.
"Sudah! Sana masuk. Sarapan sudah menanti di meja," Genichirou bangkit dari tanah yang bersalju tersebut, setelah menyingkirkan Seiichi yang menindih tubuhnya terlebih dahulu.
"Gen-chan mau sarapan bareng?" tanya Seiichi yang masih sibuk menguntit Genichirou.
"Tidak! Aku lebih baik sarapan bersama Ayah,"
"Ah! Kenapa, Gen-chan?"
"Nanti aku disuruh menyuapimu lagi,"
"Memang itu tujuanku," papar Seiichi tanpa dosa.
"Tidak mau! Memangnya aku pengasuh-mu?"
"Ah! Gen-chan~~!"
~Hiroshima, Mei 1939, Musim Semi~
"Gen-chan! Okaeri!" Seiichi --yang kini berusia 16 tahun-- menuruni anak tangga yang menghubungkan teras dojou*) dengan tanah.
Pemuda yang dipanggilnya dengan 'Gen-chan' tersebut menoleh sembari menutup pintu pagar kecil yang terletak di samping istana.
Dalam sekejap, Seiichi sudah berdiri dihadapannya dengan tatapan antusias.
"Ada apa?" Genichirou --yang kini berusia 18 tahun-- memandang tuan putri kecilnya tersebut yang kini tingginya 10cm di bawahnya.
"Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Seiichi.
Sejak berumur 14tahun, Genichirou dimasukkan ke sebuah sekolah umum, untuk menimba ilmu seperti kebanyakan anak-anak bangsawan lainnya. Berbaur dengan anak-anak lainnya, bahkan anak-anak dari orang asing, membuat Genichirou mendapat banyak pengetahuan, dan pengalaman. Dan membuat Seiichi setia menunggunya sepulang sekolah, karena biasanya Genichirou akan menceritakan pengalaman menariknya hari itu.
"Yah, lumayan menyenangkan," Genichirou melangkahkan kaki masuk dengan dikuntiti oleh Seiichi dari belakang, "kau sendiri?" tanya Genichirou balik.
Sedang majikan kecilnya ini, bersekolah privat di dalam istananya. Dengan seorang guru yang dipilihkan oleh Kaisar secara langsung -- yang menurut Seiichi, adalah guru yang membosankan.
"Aku... biasa saja," Seiichi beralih. Dari sisi kiri Genichirou, ke sisi kanannya.
"Benarkah? Belajar apa?" sudah pasti Genichirou bertanya demikian.
"Hari ini, aku belajar 'shodo'**)," jawab Seiichi cepat.
"Seru ya?" Genichirou duduk di teras dojou, yang lalu diikuti oleh Seiichi.
"Seru sih, tapi... Aku mau Gen-chan yang mengajarkan," ujarnya riang sembari mengayunkan kakinya.
"Memangnya, ada apa dengan pengajaran Yagyuu-sensei --nama guru privat Seiichi-- ?"
"Terlalu banyak aturan! Harus begini-lah, tangannya begitu-lah, dan macam lainnya," sungut Seiichi, "sedang waktu aku belajar dengan Gen-chan, biasa saja. Tanpa aturan,"
Genichirou hanya tersenyum tipis dengan pujian yang dilontarkan oleh Seiichi, "sebenarnya shodo itu banyak aturan loh,"
"Ah, tidak juga. Tergantung yang mengajarinya," lagi-lagi Seiichi membela teman kecilnya tersebut.
Sejenak angin yang berbau wangi berhembus. Ini sudah pertengahan musim semi.
"Giliranmu," Seiichi melemparkan pandangannya pada Genichirou yang sibuk mengamati lebah yang asyik bercumbu dengan bunga Hinagiku yang ada di hadapan mereka.
"Giliran apa?"
"Giliran bercerita, Gen-chan~"
"Oh, hari ini..." Genichirou mengerutkan alisnya --mengingat-ingat apa yang sudah terjadi hari ini-- "..... hari ini, aku pergi ke pantai," ujar Genichirou memotong ceritanya, agar Seiichi bertanya padanya.
"Untuk apa pergi ke pantai?" tanya Seiichi --seperti apa yang sudah diduga Genichirou--
"Untuk mengamati lalu-lintas laut," pandangnya pada langit biru yang ada diatas kepala mereka.
"Kapal dagang ya?"
"Tidak hanya itu. Banyak juga kapal asing yang datang,"
"Apa menariknya sih?"
"Entahlah..." Genichirou menrendahkan tubuhnya kebelakang dengan disangga oleh kedua tangannya, "Menemukan sesuatu yang baru, pengetahuan baru... berjalan-jalan, banyak deh!"
Seiichi tertegun dengan perkataan tersebut.
"Aku..." tanpa sadar Seiichi bergumam, "....aku.... ingin sekali melihat dunia yang kau lihat..."
"Ada saatnya nanti," ujar Genichirou menanggapi pernayataan Seiichi yang hampir membuatnya kelabakan.
"Besok,"
"He?"
"Besok! Bagaimana kalau besok kita keluar bersama?" tawarnya antusias.
Sesaat Genichirou memandang Seiichi tak percaya, "jangan bercanda! Kau pikir gampang, untuk beradaptasi dengan dunia luar secepat itu?"
"Ayolaahh~~ aku hanya melihat-lihat saja~~"
"Sebelum itu, kuasailah ilmu geografi-mu dengan benar, baru akan kuajak berkeliling Hiroshima," Genichirou bangkit dari sisi Seiichi.
"Tapi ilmu Geografi itu membosankaann~~"
"Mau kuajarkan?"
"Tak peduli kau atau Yagyuu-sensei, Ilmu Geografi itu hal yang menyusahkanku," sungut Seiichi.
"Terserah kau. Aku akan berada di dojou seharian ini. Tolong jangan ganggu,"
"Tapi..."
--- BRAAAKK!
Pintu dojou tertutup. Seiichi mengerti, hari itu, siang itu, Genichirou sedang tidak ingin diganggu kalau sudahpacaran dengan Shinai-nya. Kalau tidak, yah... Genichirou bisa ngamuk-ngamuk lebih parah dari dirinya saat ngambek sewaktu tidak diperbolehkan memegang Katana milik Genichirou.
"Jahat..."
Notes: dojou*) = Tempat latihan. Baik kendo, archery, maupun judo
shodo**) = Seni melukis kaligrafi Jepang
"Gen-chan, bangun," bisikan lirih tersebut mengusik tidur Genichirou yang tidak terlalu lelap, karena semalaman ia harus membantu sang ayah di perpustakaan.
Dibukanya kelopak mata yang baru tertutup itu. Dan nampaklah sosok Seiichi di pelupuk matanya, "aku baru tidur, Seiichi," Genichirou mengerang seraya membalikkan tubuhnya -- memunggungi Seiichi.
"Hei, bagaimana kalau kita jalan-jalan keluar?" ujar Seiichi antusias.
Genichirou sedikit mengintip pagi dari balik selimutnya, "ini masih subuh. Jangan bercanda, ah!"
"Ya sudah, kalau kau tidak mau menemaniku, aku akan berjalan sendiri," ancam Seiichi.
"Pergi saja sana! Paling-paling dalam waktu 5 menit, kau akan kembali lagi ke sini sambil menangis, gara-gara tersesat," tantang Genichirou.
Lalu terdengar suara langkah kaki yang menjauh dari futon*), dan menutup pintu dengan keras. Seiichi sudah pergi.
Walau masih rada kesal karena istirahatnya terganggu, Genichirou tetap menghitung waktu menuju 5 menit kedepan.
Ada sedikit rasa khawatir jika dalam jangka tersebut, Seiichi tidak kembali.
Dan kekhawatirannya itu, terwujud. Seiichi belum nampak kembali. Tak terdengar suara Seiichi yang menangis, memanggil namanya karenatersesat. Dan Genichirou bergegas mengenakan Hakama**)-nya.
Notes: futon*) = tempat tidur Jepang yang berupa kasur lipat
hakama**) = pakaian bawah laki-laki di Jepang dengan Happi (pakaian atas) sebagai pasangannya
Seiichi berjalan keluar istananya, tanpa sepengetahuan siapapun yang ada di dalam istana -- kecuali Genichirou yang barusan ia bangunkan paksa.
Kakinya yang terbiasa memanjati pohon-pohon sekitar istana, kini berhasil memanjat pagar selatan istana melalui gerbang kuil yang terbilang rendah.
Saat masih terbilang subuh -- saat pendeta Kuwahara belum bangun untuk membereskan kuil, dan para dayang belum sibuk menyiapkan sarapan pagi ini, Seiichi menapaki tanah diluar istana untuk pertama kalinya.
"Uwaaahh~ segarnyaa~" Seiichi merentangkan kedua tangannya.
Langkah kakinya langsung berlari menyusuri jalan setapak menuju pusat kota, seiring bunyi geta yang dipakainya.
---BRUUKKHH!
Seiichi jatuh tersungkur diatas rerumputan yang lembut dan basah karena embun.
Ujung yukata-nya terinjak tanpa sengaja, sehingga keseimbangan tubuhnya timpang lalu terjatuh.
"Ah, kalau begitu, kulipat saja kain sialan ini," Seiichi menggulung yukata-nya hingga sebatas lutut.
Seiichi bagai burung yang baru terbang melintasi samudera. Ia melihat banyak hal baru yang sangat dikaguminya di kota.
Orang-orang yang sibuk menggotong dagangan kesana-kemari, gadis-gadis seumurannya yang ikut berjualan, aneka barang-barang yang dijual, dan... sejuta hal lain yang membuat Seiichi kagum akan kesederhanaan kota kelahirannya ini.
"Silahkan kue-nya, ojou-san," tawar seorang penjual.
"Ini harganya berapa?"
"Hanya 2yen saja, kok,"
Seiichi mengambil satu dango dan mengeluarkan sekantung uang emas yang entah berapa jumlahnya -- yang jelas, membuat pedagang tersebut terkejut dan tak mampu berkata-kata.
"Terima kasih atas dango-nya~!" Seiichi pun pergi.
Sebenarnya, bukan niat Seiichi untuk membantu, maupun memang ia ingin dermawan. Tapi.... Seiichi memang lemah dalam hal hitung-menghitung ekonomi, terlebih uang.
Seiichi berjalan menyusuri jalan yang ada di hadapannya. Tak peduli kemana, yang penting ia keluar sementara dari Istana yang membatasinya dengan keindahan kota selama ini.
Tanpa terasa, langkah kakinya sudah keluar dari tempat yang bisa dibilang pasar tersebut. Dan sampailah Ia di tempat sepi.
Selagi Seiichi terhipnotis oleh tarian bunga di sepanjang jalan, hutan mulai terbentang di hadapannya tanpa disadarinya...
Genichirou bergegas lari menuju luar istana melalui gerbang utara -- arah yang berlawanan dengan jalan keluar Seiichi.
"Selamat pagi, Genichirou-kun~" sapa para penjaga gerbang.
"Pagi," jawab Genichirou cepat karena persediaan nafasnya mulai habis, "apa........" Genichirou menghentikan kalimatnya untuk menanyakan keberadaan Seiichi.
"Bisa heboh orang-orang istana kalau tahu putri manja itu menghilang," pikir Genichirou.
"Mau kemana pagi-pagi begini?" tanya mereka lagi ditengah lamunan pemuda tanggung ini.
"Ke sekolah!" Genichirou langsung melesat keluar gerbang tanpa basa-basi lagi.
"Anak Yanagi-sama, rajin sekali ya? Pagi-pagi begini sudah berangkat ke sekolah,"
"Ia pasti anak pintar,"
"Memangnya kenapa?"
"Ke sekolah saja tidak membawa buku...."
Walhasil, akhirnya, pada kenyataannya, Genichirou mencari-cari gadis berambut biru laut tersebut dengan usahanya sendiri.
"Sebaiknya, kucari di sekitar Istana, sebelum orang-orang Istana heboh tak menemukan Seiichi dimana pun," pikirnya.
Dari utara, Genichirou menuju barat. Di barat pun ia tidak menemukan apa-apa, sampai instingnya membawanya ke selatan.
Di selatan, Genichirou menemukan hiasan rambut yang biasa Seiichi salah sehari-hari; bunga lily yang terbuat dari perak. Terbaring diatas rumput saat pemiliknya terjatuh tadi.
"Mungkin Ia pergi ke arah kota," gumamnya.
Dan di pasar yang barusan dikunjungi Seiichi pun terjadi kehebohan dengan adanya malaikat yang datang dengan membeli sebuah dango dengan sekantung koin emas.
"Itu sih, bukan malaikat, tapi anak bodoh yang tidak bisa berhitung itu," gerutu Genichirou setelah menghampiri dan mengetahui kerumunan tersebut.
"Tidak salah lagi... Ia pasti melewati jalan ini,"
Langkah kaki Genichirou terhenti saat hutan terbentang di hadapannya.
"Kalau sampai si bodoh itu masuk ke hutan ini, akan ku hukum dia! Tak peduli putri mahkota atau apalah..." tekad Genichirou sembari memasuki wilayah hutan tersebut.
Sialnya, hari ini langit tak bersahabat. Awan hitam menghiasi langit Hiroshima.
"Ah... jalannya kok, berhenti di sini ya?" tanya Seiichi polos pada dirinya, "sebaiknya aku kembali sebelum mereka mengerahkan seisi istana untuk mencariku," Seiichi mulai bergumam untuk dirinya sendiri -- mengusir sepi. "Terlebih Gen-chan... Ia pasti yang pertama kali mengomel padaku,"
--- BRUUKHH!
Ini adalah kedua kalinya Seiichi terjatuh hari ini. Jika tadi karena ujung yukata-nya terinjak oleh dirinya sendiri, kali ini karena tali geta-nya putus.
Sambil mengaduh, Seiichi mencoba bangkit dan membersihkan noda tanah yang terlanjur mewarnai yukata yang berwarna hijau muda tersebut.
"Ahh... robek... Gen-chan bisa mengamuk nih," ratap Seiichi membayangkan wajah garang calon penerus penasihat kerajaan tersebut, kalau sudah marah-marah sambil memegang apalagi mengacungkan shinai-nya.
"Apa... sebaiknya tadi aku tidak keluar istana ya?" sesalnya.
Walau sesak dengan kesialannya hari ini, namun Seiichi mencoba untuk tidak menangis.
"Seiichi!"
Terdengar suara Genichirou di ujung pandangannya.
"Gen-chan?" Seiichi menyebut nama orang yang sedari tadi dipikirkannya itu.
Namun Seiichi tidak beranjak. Ia takut, kalau pikirannya itu hanya fatamorgana.
Tapi sosok tersebut malah mendekat, dan semakin mendekat.
Tidak salah lagi, gadis berambut biru itu adalah Seiichi. Genichirou terus memacu langkahnya untuk segera meraihnya.
Dilihatnya Seiichi yang sudah ternoda tanah dengan bulir-bulir airmata di sudut-sudut matanya.
"Seiichi?"
Genichirou memanggil sekali lagi nama orang itu -- yang sudah membuatnya khawatir habis-habisan hari ini, untuk memastikan kalau ia tidak kerasukan arwah hutan.
Gadis bermata amethyst tersebut, diam memperhatikan dirinya dari ujung-ke-ujung, dan sempat membuat Genichirou berpikir kalau ia sudah kerasukan karena tatapannya yang terkesan polos.
"Gen-chan!" tiba-tiba Seiichi melompat dan menggabruk dirinya, "syukurlah kau baik-baik saja~" isaknya.
Genichirou langsung menarik wajah Seiichi dari pundaknya, ke depan wajahnya, "aku yang seharusnya bilang begitu, bodoh!" Genichirou meluapkan kekhawatirannya, "ku kira kau sudah tewas dimakan harimau!" Genichirou buru-buru menenggelamkan Seiichi ke dalam pelukannya. Airmatanya hampir menetes, dan Ia tidak ingin Seiichi melihatnya walau hanya sebutir.
ずっと閉じ込めてた胸の痛みを消してくれた
[Kau menghapus luka dihatiku yang selalu kukunci...]
"Gen-chan mengkhawatirkanku?" tanya Seiichi sembari berusaha melihat wajah Genichirou.
"Tentu saja bodoh! Jika kau tidak ketemu sampai siang, kepalaku ini jadi taruhannya tauk!" ujar Genichirou berbohong. Ia hanya tidak ingin Seiichi tahu perasaan yang sebenarnya.
"Yatta~! Gen-chan mengkhawatirkan aku~" ujar Seiichi senang dalam isakannya.
"Dasar bodoh..." gerutu Genichirou.
今 私が笑えるのは, 一緒に泣いてくれたキミがいたから
[Sekarang aku bisa tertawa lagi, karena kau menangis bersamaku....]
Genichirou mengadah pada celah-celah hutan yang mempertemukannya dengan langit yang semakin gelap.
"Ayo, pulang... sebelum kita kebasahan di sini," Genichirou menarik tangan Seiichi.
"Tunggu," Seiichi menahannya.
Genichirou mengerutkan alisnya. Lalu mengikuti arah pandang Seiichi ke bawah, dan menemukan geta-nya dengan tali yang putus.
"Dasar merepotkan~" Genichirou langsung berjongkok dihadapan gadis itu.
"Hee?" namun Seiichi terlalu lugu untuk menangkap isyarat 'ayo naik ke punggungku'.
"Kok malah 'hee'? Ayo cepat naik!"
"Tapi..."
"Mau kutinggal di sini?"
"Aku berat loh Gen-chan~"
"Sudah tauk!"
Dengan Ragu Seiichi naik ke punggung pemuda yang 2 tahun lebih tua darinya.
"Sudah kuduga," erang Genichirou saat menegakkan kedua kakinya, ".... kau berat,"
"Kalau aku berat, turunkan saja aku. Biar ku bertelanjang kaki,"
"Kau mau, kaki-mu terluka parah atau di gigit serangga?"
Mendengar kata 'serangga', Seiichi langsung merapatkan tubuhnya pada punggung Genichirou. Genichirou mengerti detail kalau Seiichi itu benci dan jijik terhadap serangga jenis apapun. Yaahh... kecuali belalang kupu-kupu, kalau pagi makan nasi, malem minum susu~~ *kok nyanyi?*
Baru saja Genichirou menyebutkan kata 'serangga', Seiichi tiba-tiba menjerit.
"Ada apa?" otomatis Genichirou ikut panik.
"Itu! Ada laba-laba di punggungmu!" Seiichi langsung panik gak karuan.
"Hei! Tenanglah! Cuma serangga," Genichirou berusaha menenangkan Seiichi.
"Tapi aku takut serangga!" Seiichi tetap bergerak-gerak sementara Genichirou kewalahan menyeimbangkan mereka berdua dan....
---- SRRAAKK!
Mereka berdua berseluncur bebas tanpa hambatan layaknya jalan tol ke sebuah jurang di sisi kanan mereka *ditabok Genichirou*.
"Seiichi!" tanpa meminta izin, Genichirou langsung menutupi tubuh Seiichi dengan tubuhnya. Sebisa mungkin, gadis itu tidak terluka.
Dan...
---- BRAAKK!
Mereka terhenti oleh sebuah pohon yang ada. Genichirou mempertahankan kesadarannya setelah beberapa kali kepalanya terbentur ranting, maupun batu yang ada. Dengan sigap ia memeriksa kondisi sekelilingnya.
Mereka terjatuh ke jurang yang tidak terlalu dalam. Hanya berjarak 5 meter dari tempat semula mereka berdiri.
"Seiichi? kau tidak apa-apa?" Genichirou memastikan keadaan gadis itu baik-baik saja.
Seiichi masih meringkuk dalam dekapan Genichirou. Kejadian tadi membuatnya shock.
"Hei~ sudah tidak apa-apa... bukalah mata mu. Kita akan memanjat keluar,"
Perlahan, Seiichi mengadahkan pandangannya. Wajah Genichirou adalah hal yang pertama kali ingin dilihatnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Genichirou sekali lagi untuk memastikan.
"Aku... aku baik-baik saja," ujar Seiichi sembari sibuk memeriksa tubuh orang yang melindunginya tadi ini.
Tanpa sengaja, Seiichi menarik bahu kiri Genichirou terlalu keras.
"ARGH!" kontan saja Genichirou langsung mengerang.
Merasa ada yang salah, Seiichi lalu mengamati, "ya ampun! Gen-chan! Bahu-mu!" pekik Seiichi.
"Bahu ku? Bahu ku kenapa?" Genichirou jadi ikutan panik.
Seiichi tak dapat menggambarkannya secara langsung. Kulit yang menempel pada bahu kiri Genichirou robek, dengan lebar sejengkal, mungkin. Seraya kain yang membungkus punggungnya. Kedalaman luka yang menampakkan pemandangan putih -- yang Seiichi anggap itu adalah tulang, membuat gadis ini bergidik, dengan darah segar yang mengalir.
"Bahu-ku kenapa?" Genichirou sedikit mengguncang tubuh Seiichi.
"Bahu-mu.... robek..." ujar Seiiichi takut-takut.
Agak ngeri juga sebenarnya saat Genichirou mendengar bahunya demikian. Tapi, Ia menyembunyikannya. Daripada membuat tuan putri-nya malah menangis panik.
"Pantas saja berasa sakit..." pikirnya.
"Cuma luka robek saja kok. 3-4 bulan juga sembuh~ apalagi dengan pengobatan (aneh) tabib Sadaharu --tabib istana--," ujar Genichirou menenangkan Seiichi.
Tanpa diduga-duga oleh Genichirou. Seiichi yang tadi diduganya akan menangis panik, malah membuka gulungan yukata-nya, lalu merobeknya hingga kain yang tadi menutupi kaki-nya, kini menampilkannya sebatas lutut.
"Hei! Apa yang kau lakukan?"
"Membalut luka mu," Seiichi menahan airmata sembari sibuk memintal robekan kain tersebut.
"Kau bodoh! Itu yukata mahal tauk!"
"Tidak harganya jika dibandingkan dengan luka-mu!"
"Kau bisa diomeli!"
"Kau bisa infeksi!" ujar Seiichi tak kalah tinggi intonasi, "aku tak mau melihatmu kena infeksi... nanti... nanti... nanti kau tak lagi bisa latihan kendo lagi! Tidak ada lagi orang yang akan melindungiku dengan pedang bambu itu!" mau tak mau, airmata Seiichi jadi mengalir. Butir demi butir membasahi pipinya yang memerah karena emosi.
Mereka berdua hanyut dalam simfoni hutan. Dan angin pun berdesir...
"Baiklah," ujar Genichirou, "tolong ya," Genichirou merelakan bahu-nya.
一人じゃないからキミが私を守るから
[Aku tidak sendirian, karena kau melindungiku...]
Dengan segera, Seiichi membalut dan menghentikan pendarahan. Sesekali Genichirou meringis. Namun Seiichi tidak mempedulikannya.
"Pelan-pelan, bodoh!" erang Genichirou.
"Kalau tidak sekencang mungkin, darahnya takkan berhenti!"
Genichirou tersenyum dengan kata-kata itu.
"Kau semakin dewasa ya?"
Seiichi melirik Genichirou sekilas, "kau semakin cerewet,"
"Enak saja! Itu juga kan, karena mu!"
Seiichi membuat simpul terakhir. Ia telah selesai menutup luka yang menganga itu.
"Maafkan aku," Seiichi menunduk di hadapan Genichirou, "selama ini, aku telah banyak merepotkanmu... dan selalu saja kau yang menanggung akibatnya," ujar Seiichi kembali merobek yukata-nya.
Ingin Genichirou menahannya untuk tidak lagi merobek yukata-nya lagi. Tapi, laki-laki ini melihat kesungguhan hati Seiichi. Ia menutup luka di lututnya dengan sabar.
強くなれる, もう何も恐くないよ..
[Aku menjadi kuat, dan tidak takut lagi...]
Genichirou hanya diam, diam, dan diam.
Lalu, sekejap saja Seiichi meletakkan dahi-nya di atas lutut yang berbalut sobekan yukata itu.
"Terima kasih sudah melindungiku..." lirihnya, "aku...jadi jatuh cinta dengan Gen-chan,"
Seketika itu juga, Genichirou langsung menjauhkan wajahnya dari hadapan Seiichi. Nampak guratan merah di sekitar pipinya, sampai ke telinga.
"HEE? Wajah Gen-chan memerah!" pekik Seiichi, "uwah! Gawat! Kau jadi demam ya?" Seiichi buru-buru menempelkan sisa sobekan kain yang berasal dari pakaiannya itu ke dahi Genichirou.
"Seiichi..." lengan Genichirou yang besar mencegahnya, "aku tak pantas menerima cinta-mu,"
Seiichi menampakkan wajah tak mengerti.
"Sadarlah akan posisi-mu kelak..." Genichirou meletakkan tangan itu kembali diatas pangkuan Seiichi.
"Kenapa?"
"Aduu~uh! Jadi orang tulalit banget, sih?" Genichirou jadi geram akan pertanyaan-pertanyaan polos yang dilontarkan Seiichi tak peduli suasana romantis yang tengah tercipta.
"Aku bawahanmu, dan kelak kau akan memerintah di atasku, Seiichi~" ujarnya sembari menarik-narik pipi kiri Seiichi dan berharap menjadi melar seperti soumen yang di rendam terlalu lama.
"Tapi Gen-chan sudah melindungiku..." Seiichi melihat jauh ke dalam dua mata Genichirou dan seakan mengetahui isi hati pemuda tersebut,
"apa tidak boleh, aku mencintai orang seperti Gen-chan?"
Genichirou dapat merasakannya --aliran darahnya menjadi tenang.
時がなだめてく, 痛みと共に流れてく
[Waktu berlalu, mengalir dengan rasa sakit itu....]
"Seharusnya..." Genichirou menarik telapak tangan Seiichi yang lebih kecil darinya, "aku yang bilang seperti itu," ... dan meletakkannya di jantungnya.
Terasa oleh Seiichi degup jantung laki-laki itu tak beraturan --tandanya Genichirou gugup.
"Aku... mencintaimu,"
----BRUUKKH!
Genichirou terjatuh di pangkuan Seiichi. Dan terlihat oleh gadis itu, darah yang menyeruak serat-serat kain. Pendarahannya sudah terlalu hebat.
Seiichi langsung membatu. Ini adalah pemandangan yang terlalu mengerikan baginya. Tapi.... tapi ini adalah Genichirou.
"Tuhan... tolonglah Gen-chan..."
日の光がやさしく照らしてくれる
[Sinar mentari pun perlahan menyinariku...]
Author no Komento:
Minna-minna! Aiko ni tadaimaaa~~
Fheeww~~ FanFic yang penuh perjuangan~~ *lebay!*
Berawal dari dengerin lagu AI -- Story dan nonton video HETALIA, terciptalah suasana intrik perang yang romantis. Hew~ hew~ :3 Kali ini korban saya (masih) Papa Sana, dan Mama Yuki. :D *dijedotin*
Maaf kalau masih ada kekurangan... maklum, masih amatiran. Maaf kalau timeline-nya salah~ saya bukan penulis profesional~ Maaf kalau bahasanya lebay~ authornya juga lebay~ *dihajar massa*
Sekaligus menjadi hadiah istimewa untuk ulang tahun sang fukubuchou Rikkai; Sanada Genichirouu~~~~~ *cium2 tiang listrik*
Otanjoubi Omedetto, Gen-chaaannn~~~~ Semoga makin ganteng *buagh!* tinggi *desh!* keren~ *plak!* dan... seksi~~ *kruwes~ kruwes~* ini ngapain sih?
Lanjut? Selesai? tergantung pembaca~ Silahkan cerca dan dimaki-maki~~ m(_"_)m
Jaa, minna-minna de!
Review ga honto ni, taisetsuna mono de...
Onegaishimasu!
~With All My Might~
-Aiko-
