"Kalau tidak tahu apa-apa, diam saja. Jangan berlagak sok tahu, dan ikut campur. Ini 'kan permasalahanku, bukan kau, Mark."

Mark mendengus. Ia merotasikan bola matanya. Mungkin saat ini ia bisa menendang bocah yang saat ini sedang duduk di depannya sekarang juga. Apalagi melihat tingkah anak itu yang sangat menyebalkanㅡdi mata Mark.

"Ini memang bukan permasalahanku, Haechan. Dan apa? Berlagak sok tahu katamu? Hey, satu sekolah juga sudah tahu tentang masalahamu yang konyol ini. Dan satu lagi, aku tidak akan perlu repot-repot ikut campur, kalau bukan karena Ibumu!"

Haechan berdecih. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Jangan jadikan Ibuku sebagai alasan. Diam saja apa susahnya? Jangan mengurusi masalaku!"

Oh Tuhan. Tolong berikan Mark kesabaran lebih untuk menghadapi manusia di hadapannya ini. Ia sudah sangat lelah, sungguh. Seharusnya kini ia sedang berkutat dengan tugasnya di perpustakaan. Bukannya berada di kantin dan berhadapan dengan Haechan.

"Hey, Lee Haechan. Listen to meㅡ"

"Jangan berbicara menggunakan bahasamu. Aku tidak akan mengerti."

Mark menghela napasnya. Kemudian menatap manik kecoklatan milik Haechan dengan serius dan terkesan tajamㅡmenusuk. "Kau, berhentilah membuat onar. Jangan hancurkan reputasi Ayahmu sebagai seorang direktur di sekolah ini. Berhentilah main-main dan fokus saja belajar. Sebentar lagi aku akan lulus dan tidak bisa mengawasimu lagi. Aku sungguh bosan mendengar orang-orang yang membicarakan tentang perlakuan buruk dirimu ㅡ HEY! KAU DENGAR AKU TIDAK SIH?!"

Haechan mengusap telinganya malas. Menatap jengah pada Mark yang saat ini wajahnya sudah sangat memerah. Jelas sekali bahwa Mark sedang menahan emosinya.

"Peduli apa dengan omongan mereka?"

Mark kembali menghela napasnya. Kali ini terdengar berat dan sedikit berputus asa. Selama dua tahun di hadapkan dengan Haechan, membuatnya menjadi sosok yang penyabar dan banyak mengalah. Haechan si keras kepala, pembangkang dan bertindak semaunya. Jika Mark membalasnya juga dengan keras, maka sudah dari lama mereka menjadi musuh.

"Baiklah. Mulai saat ini, aku akan berhenti peduliㅡtapi kau selalu mengartikannya dengan aku yang selalu ingin ikut campurㅡ Aku tidak akan memberi laporan lagi pada Ibumu, tentang apa saja masalah yang kau buat selama di sekolah. Aku tidak akan berada di dekatmu lagi. Karena, kau pasti risih 'kan? Iya. Aku tahu. Dan mulai sekarang, aku tidak akan menjadi guru privatemu lagi. Aku yang akan menemui kepala sekolah untuk mencari penggantiku. Karena, daripada mengawasimu, ada baiknya waktuku yang terbuang sia-sia itu, aku manfaatkan untuk belajar. Sekarang, terserah padamu. Lakukan semua yang kau suka. Jangan mengadu padaku. Ingat? Jangan mengadu padaku, Haechan."

Mark berdiri dari duduknya. Menatap Haechan sekilas kemudian bersecak malas. Haechan melengos. Bersikap santai dan tidak peduli.

Tetapi, ketika Mark berbalik dan berjalan meninggalkannya, barulah Haechan menghela napas. Bibirnya mencebik lucu. Perkataan Mark yang panjang itu membuatnya semakin kesal.

"Dasar Mark sialan. Dia itu punya perasaan atau tidak sih?! Tidak peka! Kaku! Hah, menyebalkan."

Haechan mengacak rambutnya. Kemudian berdiri dan berjalan dengan langkah kaki yang sedikit dihentak-hentakkan. Wajahnya masam sekali.

Ia berdiri, kursi yang di dudukinya ia tendang begitu saja. Melampiaskan kekesalan. Kali ini, ia melangkahkan kakinya menuju rooftop. Dia berniat bolos pelajaran lagi.


Dan Mark sendiri, menjadi tidak fokus. Padahal, dia sendiri yang mengambil keputusan.

Sepanjang pelajaran matematika, dirinya dibuat tidak fokus. Bahkan, ia sampai tidak bisa membedakan Aritmatika dan Geometri. Padahal, itu adalah pelajaran yang sangat disukainya.

Pikirannya berkecamuk. Anehnya, ketika tadi ia mengatakannya dengan lancar dan yakin akan keputusan yang ia ambil akan membuatnya tenang. Dan pastinya ia tidak akan berurusan dengan bocah itu.

Bukannya menjawab soal-soal latihan, ia malah mencoret asal kertas buramnya. Ia memikirkan bocah itu. Hell, katakan saja bahwa Mark sudah gila.

Nyatanya, itu sangatlah tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. Walaupun pemikirannya memborontak agar terbebas dari ruang lingkup kehidupan Haechan, namun hatinya berkata lain. Bayangkan saja, selama dua tahun ia selalu berada di sisi bocah itu. Menjadi orang yang selalu mengawasi dan mengajarkannya tentang apa yang tidak dimengeri bocah itu. Selama dua tahun, ia juga menjadi sosok kakak bagi Haechan.

Dan kini, ia dengan mudahnya mengatakan akan berhenti?

Mark mengusap wajahnya dan menghela napas kasar. Hati dan pikirannya tidak sinkron.

Walaupun ia disibukkan dengan segala ujian dan tetek bengeknya, ia masih dan akan selalu menyempatkan diri untuk mengajari Haechan dan menasehatinya.

Waktu yang seharusnya Mark gunakan untuk belajar, mengingat sebentar lagi ia akan lulus dan ujian masuk universitas. Tentu, ia juga ingin masuk ke universitas yang bagus. Dan itu tidaklah mudah, tentu saja.

Tapi, adakalanya Mark juga merasa muak. Muak yang benar-benar muak sekali. Karena apa? Tentu saja karena perangai Haechan.

Mark tidak mengerti mengapa Haechan bisa keras kepala dan pembangkang seperti itu. Mengapa Haechan selalu bermain-main dan menganggap remeh sekolah. Sukanya berbuat masalah, ikut-ikutan tawuran (padahal tidak memiliki skill berkelahi yang bagus), dan membuat guru-guru pusing sendiri dengan kelakukannya.

Selama dua tahun, Mark sedikit banyaknya memahami karakter kepribadian Haechan.

Pernah sekali, ketika Mark datang berkunjung ke rumah Haechan, yang mana Ibu Haechan-lah yang menyuruh Mark untuk datang. Kala itu, Haechan sama sekali tidak tahu-menahu akan kedatangan Mark. Anak itu seharian berada di kamar saja. Tidak keluar untuk sarapan, makan siang, dan juga makan malam.

Awalnya Mark tidak mengerti kenapa harus dirinya. Iya. Ibunya menyuruh Mark datang hanya untuk membujuk Haechan keluar dari kamarnya dan makan. Mark mau tak mau mengiyakan.

Dan ketika ia sampai di depan pintu kamar anak itu, memanggilnya dan mengatakan untuk membuka kunci pintunya, Mark dibuat kaget.

Tepat setelah mengatakan agar segera membuka pintu, Haechan segera membukanya.

Penampilan Haechan yang kusut, di dapat Mark. Rambutnya acak-acakan, matanya yang... terlihat sembab? Dan juga piyamanya yang kusut. Anak itu terlihat seperti anak tak diurus saja.

Mark masuk ke kamarnya. Haechan tidak melarang. Malah, ia menutup kembali pintu kamarnya dan menguncinya juga.

Mark memilih duduk di kursi belajar milik Haechan. Melihat buku-buku pelajaran anak itu. Hanya sekedar mengecek catatan dan buku latihan. Dan yah, seperti biasa. Catatannya kosong. Anak itu benar-benar pemalas.

Sementara Mark sibuk dengan buku-bukunya di meja belajar, Haechan kembali membaringkan dirinya di atas ranjang.

Mark tidak berbicara. Tidak bertanya dan hanya diam. Ia membiarkan suasana kamar menjadi sunyi. Mark menunggu. Menantikan sebuah cerita atau mungkin keluhan yang akan keluar dari mulut anak itu.

Mark tidak ingin memaksa, walau ia sendiri sebenarnya juga penasaran. Hal apa yang membuat Haechan mengurung diri dan tidak mau makan seperti itu.

"Mark."

Mark tidak bisa menahan senyumannya ketika akhirnya Haechan memanggil namanya. Beruntung, saat ini ia sedang di posisi membelakangi Haechan. Sehingga anak itu tidak bisa melihat senyuman puas Mark.

Mark berdeham kecil, bermaksud mengatur ekspresinya. Ia memutar kursi yang didudukinya. Sehingga kini ia bisa menatap Haechan yang berbaring menyamping di kasurnyaㅡia juga menghadap Mark.

"Kenapa?"

Haechan memejamkan matanya. Membukanya kembali, dan kemudian menghela napas. "Aku benci Ibu," ucapanya. Nadanya sedikit tercekat.
"Dan juga Ayah."

Mark mengernyit. Menatap raut wajah Haechan, menelisiknya dalamㅡmencari arti.

"Kenapa mereka egois?"

Haechan seperti bermonolog. Dan di detik itu, Mark bisa melihat raut kesedihan yang terpancar samar.

Haechan memang sangat pandai menutupi perasaannya selama ini.

"Mereka selalu mementingkan perusahaan. Aku sendirian."

Mark paham. Paham sekali. Ia sekarang mengerti akan apa yang terjadi.

"Selalu menuntutku untuk menjadi nomor satu. Tapi tidak pernah mendukung dan memberiku semangat. Ah, memperhatikan ku saja tidak pernah. Haha,"

Dan malam itu, Mark mencerna semuanya.

Apa yang selama ini Haechan pendam, bisa Mark baca.

Haechan, hanya kesepian.

Membuat masalah, adalah salah satu modusnya untuk mendapatkan perhatian.


Pukul 7:45 PM.

Sekolah sudah sunyi. Hanya ada beberapa anak kelas akhir yang berkeliaran. Termasuk Mark. Hari ini ia ada pelajaran tambahan. Oleh karena itu, ia baru bisa pulang di jam ini.

Murid-murid yang saat ini masih di sekolah, hanyalah murid dari kelas akhirㅡseperti dirinya. Yang dominan disibukkan dengan pelajaran tambahan. Sementara siswa kelas pertama dan kedua, sudah pulang sejak sore tadi.

Langkah kakinya menggema di sepanjang koridor. Beban di punggungnya, entah mengapa terasa menjadi semakin berat. Padahal, Mark sudah meletakkan beberapa buku tebalnya di loker. Kepalanya sedikit berat. Namun ia masih bisa berjalan dengan normal.

Ia hanya lelah. Ia butuh membersihkan diri dan segera membaringkan tubuhnya yang lelah itu di atas kasur empuknya.

Ketika ia sudah keluar dari gedung sekolah, udara malam yang dingin langsung menyapa. Langkah kakinya membawa tubuh lelahnya menuju halte sekolah.

Seperti tidak asing. Netranya melihat sosok yang sangat dikenalinyaㅡsedang duduk dengan kepala tertunduk di bangku halte. Mark semakin mempercepat langkah kakinya. Ingin memastikan, apa benar yang ia lihat benar-benar sosok yang sangat dikenalinya.

"Haechan?"

Anak itu mendongak, menatap Mark dengan wajah lesunya. Bibirnya sedikit pucat. Mark ingin mengumpat rasanya. Di cuaca sedingin iniㅡbahkan Mark yang sudah memakai mantel pun, masih kedinginan. Dan Haechan hanya memakai rompi seragamnya. Tidak memakai jaket, hoodie ataupun mantel.

Mark dengan segera membuka mantel yang dikenakannya. Ia berjalan ke hadapan Haechan, dan memakaikan mantel itu ke tubuh Haechan.

"Kau, kenapa belum pulang?"

Haechan merapatkan mantel milik Mark ditubuhnya. Ia memang kedinginan sedari tadi. Haechan lupa sudah berapa lama ia duduk di halte ini.

Mark duduk di samping Haechan. Tangannya tergerak membuka tasnya dan mengambil hoodie polos bewarna hitam dari dalam tasnya. Mark memang selalu membawa hoodie cadangan di tasnya. Mengingat sebentar lagi akan memasuki musim dingin. Setelah memakainya, Mark menoleh ke samping. Melihat Haechan yang kembali menunduk.

"Haechan?"

"Aku menunggumu."

Mark tercekat. Ia membukatkan matanya tidak percaya. Seharusnya, Haechan sudah pulang sejak sore tadi. Mendengar Haechan yang mengatakan bahwa ia menunggunya, sangat tidak masuk akal bagi Mark. Anak itu tidak pernah repot-repot menunggunya selama ini. Lagi pula, untuk apa Haechan menunggunya? Bukankah Mark sudah mengatakan bahwa ia tidak akan menjadi guru private Haechan lagi?

"Sudah berapa lama?"

Diantara sekian banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, hanya itu yang bisa Mark ucapkan.

Haechan menggidikkan bahunya. "Tidak tahu," ucapnya.

Mark mendengus setelah mendengar jawaban Haechan. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul 7:55 PM. Lima menit lagi, bus akan tiba. Ia masih tidak mengerti kenapa Haechan menunggunya seperti ini.

"Kenapa? Ada yang ingin kau katakan?"

Haechan mengangkat kepalanya. Ia menghela napasnya berat. Mark masih memperhatikan Haechan dengan diam.

"Jangan berhenti," ujar Haechan. Mark mengernyit heran. Dan ketika Haechan menoleh ke samping, menatap netra kecoklatan miliknya, Mark merasa darahnya berdesir. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Apa yang dilihatnya, adalah mata Haechan yang berkaca-kaca.

Mark semakin payah mencerna keadaan. Haechan, tidak biasanya bersikap seperti ini. Dan ia merasa deja vu. Terakhir kalinya ia melihat ekspresi ini, di malam ituㅡmalam dimana ia datang ke rumah Haechan dan melihat anak itu seperti sedang frustrasi.

"Jangan berhenti mengawasiku," tutur Haechan pelan. Mata mereka masih saling menatap.

"Apa kau baik, Haechan?"

Mark memang sangat payah. Haechan tahu itu. Merupakan fakta jika seorang Mark adalah sosok kaku dan tidak peka. Juga sangat payah dalam masalah mengungkapkan perasaannya. Mark terkesan dingin dan terlihat seperti tidak bersahabat.

Haechan sungguh ingin menangis saat ini juga. Seharusnya Mark sadar, bahwa ia tidak baik-baik saja.

"Mark, jangan berhenti ya?"

Mark tidak akan berhenti. Karena ia masih ingin, dan terus berada di sisimu, Haechan.

Mark bergeming. Ia masih menatap Haechan dengan bibir yang terkatup rapat.

"Aku tahu, kau pasti juga sangat muak melihat sikapku yang kekanakan dan tidak mau diatur. Kau pasti lelah 'kan, mengawasiku, mengajariku dan menasehatiku. Mark, aku mohon, jangan berhenti ya? Tetaplah mengawasiku. Menjadi guru privateku, ya?"

Tanpa disangka, respon Mark setelah mendengar ucapan Haechan barusan adalah sebuah kekehan. Haechan terdiam sebentar, kemudian merengut tidak suka. Mark seperti menertawakan ketulusannya. Terlihat seperti Mark mempermainkannya.

"Kau menertawakanku?!" Haechan menyipitkan matanya. Menatap Mark tajam, karena ia yang masih terkekeh geli.

Mark menggeleng, "kau terdengar sedang merengek kepadaku, Haechan. Kau sangat menggemaskan sekali." Dan Mark tertawa kecil setelahnya.

Haechan dibuat shock. Mark sama sekali tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dan tawa kecil yang lolos dari bibir tipis Mark, itu terlihat sangatlah tampan di mata Haechan! Haechan hanya menganga kecil. Terpana melihat Mark yang bersikap semanis itu.

Mark menggeser duduknya. Tangannya terangkat, menangkup kedua pipi Haechan yang terlihat chubby. Ia menatap lekat netra kecoklatan milik Haechan.

"Dengar ya, anak bandel. Anggap saja perkataanku di kantin tadi sebuah ancaman. Kau harus berjanji, bahwa kau akan berubah. Mulai rajin belajar, dan jangan membuat masalah lagi." Mark berujar dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

"Tapi, kau akan tetap menjadi guru privateku 'kan?"

Mark menggangguk. Ia mencubit pelan hidung bangir milik Haechanㅡyang mana membuat anak itu memekik pelan. "Tapi kau harus berjanji," ujar Mark. "Bagaimana? Bisa menepati janji 'kan?"

Haechan terdiam sebentar. Ia masih terlihat ragu.

"Kalau aku tidak bisa menepati janji... bagaimana?"

Mark menyeringai tipis. "Simple. Aku akan berhenti."

"Jangan!"

"Oleh sebab itu kau harus tepati janjinya."

Haechan mendengus. Bibirnya mengerucut lucu. "Iya. Aku berjanji!"

Mark tersenyum puas. "Bagus."

Dan tepat setelah itu, bus tiba. Mark berdiri dan berjalan memasuki bus. Haechan mengekori di belakang.

Mereka memilih kursi paling belakang. Mark duduk tepat di samping jendela, dan Haechan di sampingnya.

Ketika bus mulai berjalan, Haechan menguap. "Aku mengantuk," ujarnya.

Mark menempatkan kepala Haechan di bahunya. "Tidurlah," ucap Mark.

Senyuman Haechan terkembang begitu saja. Ia menyamankan posisi kepalanya di bahu Mark dan melingkarkan tangannya di lengan Mark. Dan setelahnya ia memejamkan mata. "Bangunkan aku kalau sudah sampai ya?"

Mark hanya bergumam membalas Haechan. Dan ia tersenyum gemas setelahnya.

Hubungan mereka apa? Entahlah. Mark tidak tahu pasti.

Tapi, mengenai perasaannya, sepertinya Mark sudah yakin. Ia sangat-sangat yakin kali ini. Mark berterima kasih banyak untuk malam ini, karena ia bisa meyakinkan diriㅡbahwa ia mencintai Haechan.

Untuk Haechan, Mark tidak akan meragukan. Cukup dengan sikap Haechan malam ini, Mark bisa menilai. Bahwa anak itu, juga memiliki perasaan yang sama sepertinya. Mark tidak percaya diri, karena semua sangat jelas.

Dan untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati. Biarkan waktu mengalir dengan sendirinya. Hingga dimana waktu yang pas dan tepat, ia bisa mendapatkan Haechan, dan menjadikan Haechan miliknya seutuhnya.

Napas Haechan terdengar teratur di telinganya. Mark mengusap rambut Haechan lembut. Mencubit pelan pipi Haechan yang terlihat menggemaskan itu. Mark merasa perutnya seperti dikelilingi oleh banyak kupu-kupuㅡterasa menggelikan. Haechan sudah tertidur pulas dibahunya. Tangan Haechan yang melingkar dilengannya terasa hangat.

Mark tersenyum, dan mengecup pucuk kepala Haechan. "I love you,"

Ah, seharusnya Mark melakukannya dikala Haechan terbangun. Bukan diam-diam seperti ini.