Disclaimer : Dunia pasti akan tertawa bila saya tiba-tiba memproklamirkan Gundam Seed/Destiny sebagai milik saya
Seribu burung kertas setara dengan satu permohonan…
Jemari gadis itu menari dengan lincah mengubah selembar kertas menjadi sebuah bentuk baru. Ditekuknya ujung-ujung kertas dengan hati-hati. Dirapikannya sisi-sisinya. Ia tersenyum ketika sebuah burung kertas menjelma dihadapannya. Digenggamnya burung kertas itu dengan lembut lalu dimasukannya dengan hati-hati ke dalam stoples kaca. Ia tersenyum puas.
"Kini tinggal 999 buah lagi."
Aktivitasnya terhenti ketika ia mendengar deru mesin motor memasuki teras yang tak jauh dari kamarnya. Merasa penasaran, ia melongok keluar jendela. Matanya mengamati sebuah motor Kawasaki Ninja hitam yang diparkir di pelataran.
"Milly," panggilnya pada temannya yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi di pojok kamar. "Apa itu motor pacarmu?"
Temannya ikut melongok keluar jendela. "Bukan. Nomor plat Dearka berbeda. Memangnya siapa?"
"Tidak tahu, aku tidak sempat lihat."
Sedetik kemudian bel berbunyi. "Mungkin tamu. Kamu saja yang bukakan pintu ya, Cagalli?"
Cagalli bangkit dari kursinya dengan ogah-ogahan. Ini sudah tamu keempat yang datang ke asrama mereka. Dan lagi-lagi Cagalli yang kelimpahan tugas membukakan pintu .
Ia menyusuri lorong asrama yang sepi dengan terburu-buru. Mahasiswi-mahasiswi lain sedang pulang ke kampung halaman masing-masing menikmati libur panjang pasca ujian. Saat ini hanya ada dia, Miriallia dan tiga mahasiswi lain di asrama.
"Ya?" sambut Cagalli ketika membukakan pintu. "Cari siapa?"
Tamunya tidak segera menjawab. Cagalli memandanginya. Seorang pemuda seusianya dengan rambut biru tua dan mata emerald. Pakaiannya terlihat rapi seperti akan pergi kencan. Cagalli bisa menebaknya dari bau parfum maskulin yang samar-samar dapat ia cium.
"Ng…" pemuda itu berkata dengan canggung. "Lacus Clyne ada?"
"Oh, Lacus-san ya? Ia pergi beberapa jam lalu."
"Pergi?"
"Ya. Dengan Yamato-san." Wajah pemuda itu berubah murung.
"Oh…"
Cagalli merasa tidak enak, mengira ia salah bicara. Ia buru-buru menambahkan ketika pemuda itu berbalik beranjak pergi, "Ada pesan yang ingin disampaikan?"
"Tidak." Pemuda itu diam lagi tetapi kemudian melanjutkan,"Maaf, bisakah kamu tidak memberitahu siapa-siapa mengenai kedatanganku kemari?" pintanya sopan.
Cagalli mengangguk. Ia menyempatkan diri memandang motor pemuda itu melesat pergi sebelum mengunci pintu dan kembali ke kamarnya.
"Siapa?" tanya Miriallia.
"Bukan siapa-siapa," jawab Cagalli singkat teringat akan perkataan si pemuda. Miriallia memandanganya dengan tatapan aneh. Cagalli tidak menghiraukannya karena perhatiannya sudah beralih pada origami di tangannya.
"Burung kertas?" Cagalli mengangguk.
"Aku ingin buat seribu buah."
"Eh? Banyak sekali! Buat apa?" Cagalli nyengir.
"Buat 'dia'."
Cagalli duduk anteng di bangku perpustakaan. Tangannya beraksi melipat-lipat kertas origami tetapi matanya sibuk menelusuri tiap jengkal ruang perpustakaan yang luas itu, mencari seseorang. Ia mendesah pelan ketika objek yang ia cari gagal ditemukannya.
"Hei."
Sebuah suara yang sepertinya familier terdengar di telinga Cagalli. Cagalli mendongakkan wajahnya untuk melihat siapa yang telah memanggilnya.
"Boleh aku duduk disini?" Ternyata pemuda yang tempo hari datang ke asramanya.
"Silakan."
Fokus Cagalli kembali kepada burung-burung kertasnya. Pemuda itu duduk di samping Cagalli, menaruh bukunya di atas meja, lalu memperhatikan kesibukan Cagalli dari sudut matanya.
"Itu… burung kertas kan?"
Dengan refleks Cagalli menyembunyikan
burung-burung kertas itu dalam genggamannya. Pemuda itu tersenyum dan senyumannya membuat Cagalli tersipu malu. Cagalli hanya mengangguk mengiyakan. Pemuda itu masih menatapnya. Merasa jengah, ia buru-buru membereskan barang bawaannya dan pergi menghampiri meja pustakawan.
"Ng, saya ingin meminjam buku."
"Boleh pinjam kartu anggotanya?"
Cagalli merogoh saku bajunya. Kosong. Kemudian ia membuka dompetnya, tetapi kartu anggotanya tidak ada. Ia terdiam sebentar untuk mengingat-ingat lalu memeriksa tempat pensilnya, tidak ada juga. Dengan panik ia mengacak-acak isi tasnya namun benda yang ia cari tidak dapat ia temukan. Pustakawan dapat menebak apa yang sedang terjadi dan menatap Cagalli dengan mengangkat sebelah alisnya.
"Um…"
"Pakai saja ini." Cagalli menoleh. Pemuda yang tadi duduk di sebelahnya menawari Cagalli kartu anggotanya.
"Eh?"
"Pinjam buku ini ya," kata pemuda itu sembari menyodorkan kartu anggotanya pada pustakawan. Setelah pustakawan selesai mencatat data di komputer, pemuda itu menyerahkan buku pinjaman tersebut pada Cagalli yang masih kebingungan dan pergi keluar perpustakaan.
"Tung…tunggu!" Cagalli berlari mengejarnya.
"Hm? Ada apa?"
"Kartumu… Kan aku yang pinjam."
"Tidak apa-apa," katanya santai.
"Tapi…" bantah Cagalli.
"Tidak apa-apa. Aku ke perpustakaan setiap hari. Cari saja aku kalau ingin mengembalikan buku."
"Aku Cagalli." Wajah Cagalli tiba-tiba merona merah. "Cagalli Yulla Atha. Kalau ternyata aku tidak kunjung mengembalikan buku kau bisa datang mencari dan memarahiku."
Pemuda itu tersenyum lagi. Ia mengulurkan tangannya kepada Cagalli,"Aku Athrun. Athrun Zala."
"Aku kira kau mahasiswa Kedokteran…"
"Benarkah?"
"Ya." Cagalli mengalihkan pandangannya sejenak dari buku yang dibacanya dan menatap Athrun dalam-dalam. " Habis matamu teduh…" Athrun tersenyum lalu menundukkan kepalanya sedikit untuk memutus kontak matanya dengan Cagalli. Tangannya menyentuh belakang kepalanya dengan salah tingkah.
"Begitu ya? Lalu kamu sendiri dari jurusan apa? Teknik?" Cagalli langsung tertawa terbahak-bahak tanpa mempedulikan tatapan orang-orang disekelilingnya dan teguran singkat dari pustakawan.
"Salah besar! Hahaha… Aku di jurusan Ilmu Pemerintahan. Hahaha…"
"Lho, tapi kamu meminjam…"
"Oh, ini?" sela Cagalli. "Hanya sekedar ingin tahu. Lagipula buku ini tebal jadi bisa dipakai untuk menyembunyikan ini!" Cagalli berkata dengan riang sembari menunjukkan kertas-kertas origami yang ia sembunyikan di antara lembaran-lembaran buku yang ia pinjam. Athrun menggeleng-gelengkan kepalanya, tanpa sadar tersenyum melihat tingkah Cagalli.
"Kamu suka sekali burung kertas ya?"
"Tidak juga… Aku hanya ingin buat seribu buah supaya permohonanku terkabul. Kau tahu kan, katanya kalau berhasil buat seribu maka satu permohonan kita akan terkabul." Athrun mengangguk mengiyakan.
"Kamu percaya?"
"Hmm… Antara ya dan tidak sih. Aku hanya coba-coba saja, barangkali manjur."
"Kalau menurutku, tidak baik jika terlalu percaya dengan hal-hal seperti itu." Athrun diam sejenak tetapi buru-buru melanjutkan ketika Cagalli membuka mulut untuk membantah,"Itu kan cuma kepercayaan. Mungkin pesan sebenarnya adalah ketika kamu membuat seribu burung kertas sambil terus berdoa dengan sungguh-sungguh maka setidaknya ada satu doa yang sampai padaNya dan dikabulkan. Atau bisa juga diartikan harus berusaha sungguh-sungguh walau harus mengulang seribu kali demi mencapai suatu tujuan."
Cagalli mengerucutkan bibirnya. "Iya sih…" ujarnya setengah hati menyetujui pendapat Athrun. "Tapi tidak apa-apa kan kalau aku terus membuatnya? Habis aku sudah buat lebih dari 400 ekor dua minggu belakangan ini… Rasanya sayang kalau dibuang."
Athrun tertawa kecil. Ia lalu meraih selembar kertas origami yang Cagalli bawa kemudian dengan terampil mengubahnya menjadi seekor burung kertas. Cagalli terperangah.
"Kau juga bisa buat?"
"Sebenarnya tidak. Aku hanya memperhatikanmu terus menerus membuatnya beberapa hari belakangan ini sehingga aku hafal cara mambuatnya diluar kepala…"
"Hebaaat! Buatanmu bahkan lebih rapi daripada punyaku!" kata Cagalli terkagum-kagum sembari memainkan burung kertas Athrun di telapak tangannya.
"Itu buatmu."
"Eh, serius?" Athrun mengangguk. "Terimakasih!" kata Cagalli dengan penuh antusias, tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya. "Oh ya, ngomong-ngomong jam berapa sekarang?"
Athrun mengecek arlojinya lalu menjawab,"Jam dua. Kenapa?"
"Ah, gawat! Aku ada janji dengan temanku, harus cepat pulang ke asrama," kata Cagalli panik.
"Mau aku antar?"
"Tidak deh, terimakasih."
"Oh ya, Cagalli!" panggil Athrun ketika Cagalli sudah beranjak beberapa langkah. "Boleh minta nomor handphone-mu?"
Hari itu akhir pekan. Tidak ada mata perkuliahan, tugas-tugas sudah terselesaikan, cucian sudah berbaris rapi di tali jemuran, kamar asrama sudah dibersihkan, dan Miriallia cukup kooperatif untuk tidak memulai debat dengannya. Sempurna. Setidaknya ada cukup banyak waktu luang bagi Cagalli untuk menyelesaikan proyek burung kertasnya.
Ia mengeluarkan burung-burung kertasnya dari dalam stoples lalu memasukannya lagi satu per satu untuk dihitung. Tiga ratus tujuh belas, tiga ratus delapan belas, tiga ratus sembilan belas, dan… Cagalli mendadak lupa akan hitungannya ketika Miriallia masuk dengan hebohnya ke dalam kamar.
"Tadaaa! Makan siang datang!" ujar Miriallia riang sembari menenteng dua bungkusan di tangan kanan dan kirinya. Cagalli memutuskan untuk tidak menyahut dan melanjutkan hitungannya. Merasa sedikit kesal karena tidak diladeni, Miriallia mendekat menghampiri Cagalli.
"Nona Atha… lagi-lagi anda sibuk dengan mainan anda itu. Sebegitu penganggurannya kah anda?"
Cagalli memutar badannya menghadapi Miriallia. "Oh, sudahlah Milly. Aku sedang tidak mau berpura-pura ribut denganmu. Aku sedang butuh konsentrasi." Miriallia terkikik.
"Betapa tekunnya dirimu… Kuberi tahu ya! Daripada susah payah buat seribu burung, lebih baik kamu bilang langsung ke orangnya. Katakan dengan jantan apa yang ingin kamu katakan! Jangan malah buat prakarya…"
"Sembarangan!" Cagalli melempar Miriallia dengan bantal terdekat yang bisa diraihnya. "Aku ini perempuan. Seenaknya kau bilang jantan!" Miriallia tertawa lalu membalas melemparnya. "Lagipula aku tidak bisa tiba-tiba bilang padanya tanpa berpikir apa konsekuensi kedepannya kan? Dia bisa salah sangka dan aku malu kalau… Umph!" Lemparan Miriallia telak mengenai wajah Cagalli. "Hentikan, Milly!" Miriallia menghentikan aksinya sambil menggerutu.
Terdengar ketukan di pintu. Miriallia berteriak mempersilakan si pengetuk untuk masuk. Seorang gadis berkuncir dua masuk dengan canggung.
"Ada apa Meyrin-chan?" tanya Miriallia ramah, menyadari ketidaknyamanan Meyrin.
"Anu, Cagalli-san… ada tamu yang mencari Cagalli-san."
Miriallia serta merta melongok keluar jendela dan mendapati motor yang familier terparkir dihalaman sebelum Cagalli dapat mengucapkan sepatah kata pun.
"Waaaa! Dia datang lagi!" seru Miriallia kegirangan.
Cagalli dapat dengan mudah menebak siapa tamu yang dimaksud Meyrin. Ia tersenyum kecil. "Terimakasih Mey. Tolong katakan padanya untuk menunggu sebentar," kata Cagalli. Meyrin mengangguk lalu pergi.
"Kalian pacaran?" tanya Miriallia dengan penuh semangat. Cagalli menggeleng.
"Mey-chan manis sekali ya. Kita harusnya bersyukur masih ada adik angkatan yang bersikap sopan seperti dia," kata Cagalli mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Jangan mengganti topik seenaknya! Kalian pacaran kan? Jangan bohong."
"Tidak," jawab Cagalli singkat. Ia cepat-cepat memasukan burung-burung kertasnya kembali kedalam stoples, berpura-pura mengacuhkan Miriallia.
"Kalau begitu dia suka sama kamu? Eeeh… atau kamu yang suka sama dia? Ayolah, pasti ada alasannya kenapa dia rajin apel kesini tiap akhir pekan sebulan belakangan ini!" Miriallia masih belum menyerah akan rasa ingin tahunya. Cagalli memutar bola matanya.
"Semua yang kau sebutkan barusan sama sekali tidak ada yang benar! Sudah ah, aku mau beres-beres!" Setelah sukses memasukkan semua burung kertasnya ke dalam stoples, Cagalli beranjak menuju lemari dan mengambil baju dengan asal, lalu berjalan menuju kamar mandi di ujung ruangan.
"Okee.. Kalau begitu sementara kau 'berdandan' aku temui dia dulu ya!"
Cagalli buru-buru keluar untuk mencegah atau setidaknya meneriaki Miriallia, tetapi Miriallia sudah terlebih dulu melesat keluar kamar.
"Miriallia Haww! Awas saja kalau berani bilang macam-macam padanya!" Miriallia cekikikan mendengar teriakan Cagalli yang gemanya sampai ke lorong asrama.
Athrun mengecek arlojinya sekali lagi, hal yang biasa ia lakukan bila merasa tidak nyaman. Duduk sendirian di ruang tamu asrama putri selalu membuatnya canggung, ditambah lagi beberapa gadis sengaja wara-wiri didepannya sambil cekikikan tanpa alasan yang jelas. Oh Tuhan, lengkaplah sudah. Padahal baru semenit lalu gadis berkuncir dua itu memberitahunya untuk menunggu.
Ia sedang mengecek pesan masuk di ponselnya ketika seseorang memanggilnya. "Ng, Athrun… Zala kan?" Miriallia Haww. Ia mengenalnya, Cagalli berkali-kali menceritakan tentangnya walau mereka belum pernah berkenalan secara resmi.
Miriallia mengusir para gadis yang tanpa tujuan berseliweran di ruang tamu sebelum perhatiannya kembali kepada Athrun. "Aku Miriallia Haww teman sekamar Cagalli," katanya ramah sembari menjabat tangan Athrun.
"Athrun Zala," balas Athrun yang mencoba menampilkan senyum senormal mungkin tanpa merasa canggung.
"Cagalli masih dikamar membereskan peliharaannya. Kamu tahu kan? Burung kertas." Athrun tertawa pelan. "Wah, ternyata kamu tahu juga ya… Harap dimaklumi, Cagalli memang agak aneh untuk ukuran anak perempuan seusianya," kata Miriallia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Athrun tersenyum,"Dia bilang ingin buat seribu buah."
"Ya, karena ada yang dia idam-idamkan."
"Memangnya apa yang Cagalli inginkan?"
Miriallia mendecakkan lidah,"Biasa lah… Seperti yang kebenyakan orang lain inginkan. Keberanian untuk berkata jujur untuk mengungkap kebenaran yang selama ini terpendam."
Athrun terlihat agak bingung,"Maksudmu?" Miriallia sadar kalau 'tanpa sadar' ia telah membocorkan informasi yang 'mungkin saja' rahasia. Ia sepenuhnya menyalahkan sifat supel dan senang bicara warisan dari ibunya.
"Um…Pokoknya begitu deh," jawab Miriallia asal. Sunyi sejenak, Athrun masih menatapnya meminta jawaban yang lebih konkret. "Kenapa tidak coba tanya langsung ke Cagalli?" usul Miriallia kemudian.
"Athrun?"
Serentak Athrun dan Miriallia menoleh. Seorang gadis berambut pink baru saja masuk dan berdiri selangkah dari pintu masuk ke ruang tamu.
Athrun tidak sempat merespon pertanyaannya. "Sedang apa disini?" Gadis itu memandang Miriallia lalu menepukkan kedua tangannya dengan mata berbinar-binar. Miriallia menyadari gelagatnya, dengan mudah menebak apa yang ada dipikiran gadis itu.
"Tunggu Lacus-chan… Kamu benar-benar salah sangka. Kedatangannya kesini sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Yang dia kunjungi itu…"
"Ma-maaf lama!" Cagalli datang menyela dengan melompat di atas satu kaki. Kaki kanannya diangkat, tangan kanannya sibuk membantu memasukkan kaki kanannya ke dalam sepatu. "Jangan dengarkan apapun yang dikatakan Mi…" Suara Cagalli tiba-tiba mengecil ketika mendapati Lacus juga berada di ruang tamu. Matanya menatap Lacus, lalu beralih ke Athrun. Lalu ke Lacus lagi. Miriallia memandang Cagalli yang tampaknya 'kebingungan', mencoba berinteraksi dengannya melalui telepati-bisikan-bahasa mata-atau apapun itu. Ada apa sebenarnya? Aku kok baru tahu kalau Lacus-chan kenal Athrun?
Lacus kembali berbinar-binar. Ia menghampiri Cagalli lalu memeluknya. "Selamat ya! Aku tidak menyangka Caga-chan dengan Athrun. Ini kabar besar, bibi Lenore pasti senang sekali mendengarnya!" katanya dengan riang.
Athrun dan Cagalli terdiam karena bingung sekaligus shock. Ketika Cagalli membuka mulut untuk meluruskan kesalahpahaman Lacus, seorang pemuda masuk.
"Yamato-san," sambut Miriallia ramah. Lacus menoleh lalu tersenyum. Tetapi perhatian pemuda itu telah beralih kepada Athrun.
"Athrun?"
"Kira," jawab Athrun tanpa ekspresi.
"Sedang apa disini?"
Athrun tersenyum dengan kaku,"Mengunjungi Cagalli. Kamu sendiri…" Tatapannya berpindah ke Lacus lalu ia melemparkan senyum jahil kepada Kira. "Bertandang ke tempat kost pacar?" Wajah Kira bersemu merah.
Cagalli memandang Athrun dangan kasihan. Ia menarik tangan Athrun lalu menyeretnya keluar. "Semuanya kami pergi dulu ya! Milly, kau habiskan saja makanannya. Sekalian tolong awasi Yamato-san," kata Cagalli sembari mengedipkan sebelah matanya pada Kira. "Permisi Lacus-san, Yamato-san. Dah, Milly! Nanti aku belikan makan malam!" Cagalli memaksa Athrun menaiki motornya dan melaju pergi meninggalkan asrama.
Author's Note :
Mohon direview... Apakah fic ini lebih baik dilanjutkan atau saya kirim langsung ke Recycle Bin. Oh ya, berhubung besok saya akan melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan... Saya mohon maaf lahir bathin atas kesalahan-kesalahan saya pribadi maupun fic-fic saya...
Review adalah BBM ( Bahan Bakar Menulis ) bagi saya. Terimakasih :)
