Disclaimer : Naruto and all the characters mentioned in the story they're all belongs to Masashi Kishimoto. I do not take any financial benefits from this.


He's Mine

[ You have to trust the person you love, or love someone else you can trust ]


Awalnya hubungan mereka berjalan manis seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta pada umumnya, tetapi salah satu dari mereka memutuskan untuk pergi tepat pada tahun keempat.

.

Naruto menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dasi yang mencekik lehernya dilepas bersamaan dengan dua kancing teratas kemejanya.

Di usianya yang menginjak kepala tiga, bekerja hingga larut malam memang sudah menjadi rutinitasnya setiap hari, tetapi kali ini berbeda, kepalanya sakit seakan ingin meledak. Statusnya sebagai direktur utama memang bukan hal yang mudah, ditambah lagi percakapannya dengan Sasuke lewat ponsel yang membuatnya sangat terganggu.

'Aku akan pergi ke Suna untuk menggantikan jabatan ayah.'

Kalimat itu terus berputar dalam benak Naruto. Ia tahu jika Sasuke adalah pewaris tunggal perusahaan besar yang terletak di Suna, tetapi membicarakannya hanya melalui ponsel. Ia merasa itu tidak cukup.

Pintu kamar mereka terbuka.

Tanpa perlu memastikan Naruto tahu siapa sosok yang saat ini melangkah menghampirinya.

"Sasuke, mengenai hal tadi pa—"

"Aku tidak ingin membahas hal itu," potong Sasuke.

Naruto mengangguk mengerti, ia mengusap puncak kepala Sasuke dengan lembut, sebelum mengecup pria itu tepat di dahi.

Perbedaan usia yang terpaut cukup jauh, tidak menjadi masalah bagi mereka, meskipun terkadang Naruto harus lebih sering mengalah.

"Tidurlah, ini sudah larut."

Naruto melangkah menuju dapur, mengambil beberapa cup ramen instan, membuat secangkir kopi, dan meminum sebutir painkiller, lalu perhatiannya terbagi pada siluet seorang pria yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.

"Kau akan cepat mati jika mengkonsumsi makanan tidak sehat itu, setiap hari."

"Apa kau akan kesepian jika aku mati?"

Sasuke melangkah mendekat, lalu duduk di salah satu kursi meja makan. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat sangat kontras dengan kulitnya yang pucat, pipinya juga terlihat lebih cekung.

"Kopi?" tanya Naruto.

"Aku akan pergi dua hari lagi," sahut Sasuke, mengalihkan pembicaraan.

"Secepat itu?" tanya Naruto meyakinkan.

Sasuke bergumam.

Naruto tidak punya pilihan selain tersenyum, meskipun hatinya menolak. "Aku akan mengunjungimu setiap hari libur, menghubungimu setiap malam sebelum kau tidur, dan mengirimkan pesan singkat 2 jam sekali."

Sasuke mengernyit. "Pembohong," ujarnya, "tidak mungkin, kau bisa melakukan itu di sela jadwalmu yang padat."

"Aku tidak berbohong," balas Naruto meyakinkan, bangkit dari atas kursinya, lalu melangkah mendekati Sasuke.

Keduanya saling menatap.

Sasuke mengusap lembut puncak kepala Naruto, lalu tersenyum tipis saat ujung surai pirang itu menggelitik sela-sela jemarinya. "Baiklah, aku percaya padamu."

"Aku akan sangat merindukanmu, Sasuke." Naruto memeluk erat tubuh Sasuke. Membenamkan wajahnya di perpotongan leher, dan pundak pria itu untuk menghirup aroma mint kesukaannya.

"Bodoh, kau pikir aku akan meninggalkanmu selamanya?" sahut Sasuke tertawa, meskipun kedua matanya memanas, dan dadanya terasa sesak.

.

Ketukan pintu terdengar sebelum sosok wanita melangkah masuk ke dalam ruangan tanpa di persilahkan. Wajahnya yang tampak masam terlihat begitu menyeramkan dengan sorot mata yang tajam.

"Seharusnya aku sudah mengira jika akan berakhir seperti ini. Kau terlalu sibuk, dan tidak akan mengingatnya."

"Sakura?" panggil Naruto mengernyit bingung, saat wanita itu melangkah menghentak ke arahnya, tampak sangat kesal.

"Kau pikir siapa? Besok adalah hari pernikahanku, apa kau lupa?! Kau pikir, untuk apa aku mengunjungimu sepagi ini? Naruto, kau adalah sahabat terburuk!"

Sakura berteriak, dan Naruto harus merelakan gendang telinganya tersiksa selama beberapa menit mendengar ceramah.

"Jika kau tidak datang besok, aku akan membunuhmu!"

Sakura pergi setelah merasa lebih baik, tetapi langkahnya di ambang pintu terhenti dengan sebelah alis terangkat.

"A-apa lagi?" tanya Naruto, tidak sanggup untuk mendengar ceramah untuk kedua kalinya.

Sakura menggeleng, lalu sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis yang manis. "Jangan lupa ajak, Sasuke."

Saat pintu membanting tembok dengan keras, Naruto bersyukur wanita—sahabat yang menurutnya setengah iblis—itu telah pergi.

"Apa yang dilihat pria dari wanita seperti Sakura ..., kecantikannya?" Ia tertawa pelan sambil menggeleng. "Secantik apa pun tetap saja menyeramkan."

"Direktur, kau belum selesai menandatangani beberapa dokumen penting."

Kali ini pria bersurai merah dengan tato di dahinya, membawa beberapa dokumen di tangan.

"Benarkah?" Naruto memperhatikan beberapa map yang kini diletakkan di atas meja. Ia mengira seluruh pekerjaannya sudah selesai untuk hari itu, meskipun sebenarnya tidak. "Kau benar Gaara, baiklah tunggu di sana aku akan menyelesaikan ini semua."

Gaara mengangguk, ia menunggu dengan sabar di atas sofa sembari mencuri pandang sesekali ke arah Naruto. Saat wajahnya memerah, ia akan berpura-pura dengan memalingkan wajahnya ke arah lain, menggeleng pelan, atau berdeham.

"Gaara," panggil Naruto, "aku akan mengambil cuti selama dua hari."

Gaara menoleh, lalu melangkah mendekat untuk merapikan dokumen yang berserakan di atas meja. "Selama itu? Besok ada meeting yang harus kau hadiri."

"Kau saja yang datang, oke? Catatkan semua data penting, dan kirim melalui email padaku."

Gaara hanya mengangguk saat Naruto menepuk bahunya pelan, sebelum pria bersurai pirang itu berlari ke arah pintu.

"Baik direktur."

.

Sasuke menekan tombol lift, tampak tidak begitu peduli saat namanya diteriaki berulang kali dari arah belakang.

"Kau menungguku?" tanya Naruto, menarik dagu Sasuke mendekat ke arahnya, untuk mengecup bibir pucat itu.

Sasuke bergumam saat pintu lift terbuka. Mereka melangkah beriringan menuju ruangan yang terletak di ujung koridor, yang dihiasi dinding dari kaca.

"Bagaimana pekerjaanmu?"

"Cuti dua hari tidak akan membunuh," sahut Naruto tersenyum tipis.

"Tidak membunuh, tetapi sekarat." Sasuke menaikkan sebelah alisnya.

Naruto tertawa, hingga kedua matanya terpejam rapat. "Ayolah Sasuke ..., saat seseorang memutuskan sebuah pilihan mereka bisa menggunakan otak, atau hati, bukan? Jika kau ingin bahagia, kusarankan ikuti hatimu."

"Itu karena otakmu terlalu bodoh," ketus Sasuke, melangkah lebih cepat mendahului Naruto. "Jangan menyesal dan bunuh diri jika saham perusahanmu anjlok karena ini."

"Aku tidak peduli! Lagipula aku sudah mati karena kau meninggalkanku!" teriak Naruto diikuti tawa puas, saat Sasuke menoleh ke arahnya dari ambang pintu sambil menatap tajam.

"Kalian ini norak sekali, cinta kalian membuatku muak."

Naruto menoleh saat protes seseorang dari arah belakang terdengar olehnya.

"Itachi?"

"Apa kau terkejut? Membuatku menyaksikan opera sabun murahan itu selama lima menit, kalian ini jahat sekali," ujar Itachi menghela napas, lalu mengernyit hingga kerutan di matanya semakin terlihat jelas.

"Tidak ..., kusangka akan bertemu denganmu di sini," ujar Naruto berbasa-basi, meskipun di dalam hatinya ia merutuk sangat kasar.

"Aku tentu ingin melihat ketampanan wajah kekasih adikku." Itachi menatap Naruto lapar dari kepala hingga kaki, lalu menyeringai. "Hanya bercanda. Ada beberapa dokumen yang harus Sasuke tanda tangani, aku di sini untuk itu."

"Naruto tentang yang se—"

Keduanya menoleh ke arah pintu. Ada Sasuke di sana, menatap ke arah mereka, tampak bingung.

"Kau harus berhati-hati, Sasuke. Jika kau terlalu sibuk bekerja di Suna, bisa saja Naruto akan berpaling darimu. Dengan wajah seperti itu, tentu sangat mudah untuk membawa pulang beberapa wanita atau pria, bukan?" ujar Itachi menyeringai, menyerahkan beberapa dokumen pada Naruto, sebelum meninggalkan mereka menuju lift.

"Aku ..., tidak tahu akan bertemu Itachi di sini," ujar Naruto, menutupi rasa gugupnya saat raut wajah Sasuke terlihat tidak senang.

"Kau pikir aku tahu jika dia ada di sini?!" Sasuke menarik paksa dokumen miliknya dari tangan Naruto, lalu kembali ke dalam ruangan dengan langkah menghentak kesal.

Dan Naruto hanya bisa menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Sekali lagi merutuk kasar dalam hatinya karena tingkah laku Itachi.

.

Continued