Disclaimer: Naruto's characters belong to Masashi Kishimoto.
A Way
Ada sebuah jalan yang harus kutempuh untuk menemukan tempat di mana seharusnya aku berdiri. Aku belum tahu di mana, bisa jadi itu di sampingmu.
o
o
o
o
o
Chapter 1
"Echo Beta India Sierra Uniform, melaporkan target menuju barat daya dari Konoha Tower."
Tanpa membalas suara yang terdengar dari radio komunikasi, ia terus mengemudi menuju tempat yang dilaporkan. Deru napasnya stabil, setenang alunan musik yang suaranya ia keraskan. Ia menyeringai miris, berani bertaruh kalau si pelapor dan rekan-rekan lainnya sedang frustrasi karena tak ditanggapi.
Melodi klasik yang terdengar dari pemutar musik di dalam mobil sangat kontras dengan emosi yang menghentak-hentak keempat bilik jantungnya tak karuan. Namun, ada yang mengatakan bahwa emosi yang terwakili oleh musik lembut adalah emosi paling dingin dan membahayakan, seperti hujan di luar sana. Lebat dan membutakan. Suara musik dan hujan berlomba untuk memekakkan telinga dan pria itu tak peduli. Ia terus mengemudi untuk mengejar sesuatu, atau dua hal. Target dan pelepasan emosional.
Keempat ban AT (All Terrain) tanpa ampun menggilas jalanan aspal yang kuyup oleh hujan. Pria itu sedang mengendarai mobilnya dengan kecepatan abnormal. Laju mobilnya cukup bisa dijadikan alasan oleh polisi lalu lintas untuk menilang si pengendara, namun malam itu jalanan sedang sepi. Andaipun ada polisi lalu lintas, ia hanya akan butuh beberapa menit saja untuk lepas demi melanjutkan perjalanannya, tapi untungnya tidak ada.
Keberuntungannya.
Namun, apakah keberuntungan itu akan tetap berpihak padanya jika secara tiba-tiba sebuah kendaraan yang sangat besar menabrak mobilnya? Mungkin keberuntungan memang tidak berteman baik dengannya kali ini, atau memang tak pernah.
Lelaki berambut hitam sepunggung itu sempat terkejut sebelum akhirnya pasrah ketika sebuah truk muatan yang menyerobot jalur mendorong mundur mobil jeep hitamnya. Pada benturan pertama, kantong udara (airbag) di depannya secara otomatis mengembang sehingga ia sedikit terselamatkan. Tetapi, tak ada yang menjamin keselamatannya manakala bagian belakang mobil membentur sesuatu dengan sangat keras atau malah bisa jadi masuk ke jurang. Ketakutan dan harapan untuk mengakhiri segalanya bercampur jadi satu. Entah bagaimana dengan harapan hidupnya, ia tak tahu lagi. Mungkin karena ia tahu bahwa dalam keadaan seperti ini, harapan untuk hidup itu terdengar lucu.
Dan, entah keadaan yang mana. Ada dua keadaan yang membuatnya tertawa getir sambil menutup mata, seakan ia menikmati detik-detik terakhirnya sekaligus rasa berat karena ada sesuatu yang ia pikir tak dapat ia selesaikan. Tak akan pernah.
Ya, detik-detik terakhir...
XxX
Buram. Segalanya menjadi buram. Air hujan dan air mata sama-sama sialannya. Ia nyaris tak dapat melihat apa pun malam itu. Andai ia tak takut mati, sudah dari tadi saja ia lajukan mobil SUV abu-abunya, apalagi jalanan malam itu sangat sepi. Hujan dan air mata seakan enggan berhenti sejak petang tadi. Wanita itu tak peduli jika terjadi banjir di belahan wilayah lain sebab tak ada lagi yang ia pedulikan sampai sesuatu sekonyong-konyong menghantam nuraninya.
Tak tahu apakah ini karena nasibnya yang sedang sangat sial atau karena sebuah truk muatan yang mengagetkannya dengan menyalip dari belakang, wanita berambut merah muda sebahu itu mendesiskan beberapa kata sumpah serapah. Makian-makian tersebut ia maksudkan untuk dua hal yang berhasil memporak-porandakan hatinya hari ini. Pertama, bagaimana bisa ia mengalami kejadian yang memukul pertahanan mentalnya, lalu kedua, truk muatan macam apa yang bisa melaju sedemikian kencang? Memang tidak sekencang pembalap liar dalam film mengendarai mobil, hanya saja sebuah truk muatan tidak seharusnya melaju dengan kecepatan seperti itu, apalagi sampai keluar jalur.
Tiba-tiba, jantungnya berdegup selaju mobil jeep hitam di depannya; mobil yang ia yakin tak sempat menyelamatkan diri dari hantaman truk tersebut. Truk muatan itu memakan hampir setengah badan jalan dan dengan ukuran itu, tidak mungkin bagi si pengemudi jeep langsung membanting setir. Kedua pengemudi kendaraan-kendaraan naas itu sama-sama tak bisa menghindar.
Atau memang sudah takdir.
Takdir kematian bagi siapa pun yang berada dalam mobil jeep itu. Wanita itu ketakutan sekali, tapi sebagai seseorang dengan profesi yang mengharuskannya berurusan dengan hukum, ia tak mungkin membiarkan begitu saja dengan cara kabur. Itu sama saja melakukan kejahatan jika ia abai, seperti yang dilakukan truk itu; kabur setelah mobil jeep hitam menabrak pembatas jalan dan tertimpa pohon. Sial. Lagi-lagi sial! Mengapa air matanya mendadak berhenti, tetapi air hujan tetap deras sehingga ia tak dapat menghapal nomor plat truk itu?
Ia tahu bahwa mengejar truk muatan itu sama artinya ia membiarkan entah berapa nyawa dalam mobil malang tadi melayang. Itu pun kalau ada harapan. Tapi, apa pun alasannya, hati dan intuisinya mengatakan bahwa ia harus menolong siapa saja yang dapat ia tolong.
Tanpa memedulikan betapa derasnya hujan saat itu, ia berlari menuju mobil jeep hitam tadi. Hatinya mencelos saat ia merasa tidak asing dengan mobil itu, maka ia tambahkan kecepatannya untuk berlari. Tibalah ia di samping mobil jeep yang sudah tertimpa pohon tumbang dan matanya tak lagi merasakan pedih akibat hujaman hujan setelah menangis selama kira-kira dua jam.
"Tidak, tidak! Jangan!" desisnya dalam gigil.
Mengetahui bahwa mengetuk kaca jendela tidak akan membuahkan hasil, maka ia mengambil sebuah batu yang cukup besar untuk memecahkannya. Kaca itu cukup tebal sehingga perlu beberapa kali hantaman sampai akhirnya pecah. Ia ulurkan tangan ke dalam jendela demi membuka kunci pintu mobil itu dan ia dapati sesosok laki-laki yang membuat degup jantungnya makin kencang. Wajah laki-laki itu tenggelam dalam kantong udara (airbag). Kemudian, ia sandarkan tubuh lunglai itu ke sandaran kursi pengendara.
"Kak Itachi!" pekiknya.
Tepat seperti dugaannya.
Ia tak mau berlarut-larut dalam keterkejutannya. Dengan segera ia membuka sabuk pengaman lelaki itu, kemudian setengah mati mengeluarkannya. Sudah jelas lelaki ini cidera di dalam sebab darah mengalir melalui sela samping mulutnya.
Umpatan kembali meluncur dari bibir yang dipoles dengan lipstik merah muda itu saat ia kesulitan mengeluarkan sang korban dari mobil. Pasalnya, bagian depan mobil yang ringsek hingga menyebabkan kaki pria itu terjepit. Mungkin tidak sampai membuat tulang keringnya hancur, tapi yang pasti membuat proses penyelamatan ini berjalan tidak lancar.
"Demi Tuhan, cepatlah!" ujarnya pada diri sendiri.
Ketegangan semakin menjadi saat ia mencium bau bensin. Ini gawat! Tangki bensin bocor dan itu artinya ia harus segera mengeluarkan sang korban atau ... ia harus memilih. Melarikan diri atau mati bersama. Tapi ia tak ingin mati dan tak ingin pria itu mati. Alasannya sederhana, ia mengenal pria itu. Maka, tak ada jalan lain selain menarik paksa kaki korban.
Darah mengucur dari kaki itu. Ia hanya berdoa semoga ia tak mematahkan kaki orang yang ditolongnya. Kaki pria yang ia panggil 'Itachi' itu sangat berharga; mereka adalah sumber penghidupannya. Tak tahu sudah berapa kali ia mengumpat dalam beberapa menit terakhir ini, ia memang tak dapat mengatasi ketidakberuntungan yang ia dan pria itu sama-sama alami.
Entah mengapa ia merasa takdir sedang mempermainkannya saat ini. Tidak ada satu mobil pun yang lewat sehingga ia harus sepenuh tenaga, setengah mati menyeret tubuh Itachi; menopang kedua lengan dengan cara memeluknya dari belakang lalu menyeretnya. Meski tubuhnya bisa terbilang tinggi untuk ukuran wanita Asia, namun tubuh Itachi tetap cukup jauh lebih tinggi darinya.
"Shannaro!" geramnya sambil terus menyeret tubuh pria itu.
Entah bagaimana caranya dan entah dari mana kekuatan itu datang, yang jelas tubuh wanita dengan tinggi 5,5 kaki dan dengan berat badan 50 kilogram itu akhirnya berhasil membawa tubuh lelaki dengan tinggi 6 kaki dan berat badan 70 kilogram itu ke mobil SUV-nya. Setidaknya Tuhan masih punya keadilan. Semoga keadilan-keadilan yang ia butuhkan selanjutnya muncul. Itu saja.
Semoga...
Jauh setelah ia meninggalkan tempat kejadian kecelakaan, ia mendengar sebuah ledakan, kemudian ia melihat dari kaca rear-view bagaimana mobil milik pria yang sedang berbaring tak sadarkan diri di kursi penumpang belakang itu meledak dan terbakar sempurna.
Sedikit saja ia terlambat, ia akan kehilangan pria itu dan dirinya juga. Ia mematung, tak memahami situasi ini dengan mudah sebab ada rasa syukur terselip di antara protes-protes yang ia layangkan kepada takdir. Atau, haruskah ia kembali mempertanyakan kehendak Pencipta tentang mengapa ia harus mengalami semuanya sebab pria itu adalah seseorang yang memiliki hubungan dengan orang itu? Itachi memberinya satu alasan untuk membatalkan niatnya meninggalkan semua yang ada di kota itu.
o
o
o
o
o
Bersambung...
