Natsu No Yakusoku

Kuroko no Basuke Fanfiction

Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi

-Penikia-

AOKAGA

Rate : K+/T

Romance, Angst

Warn : semi AU, chara!death, OOC harap maklumi, alur kecepetan, romance yg errr fail, sinetron version, angst yang bukan angst/maksud L :v dan typos


Hawa panas menyeruak lewat jendela ruang keluarga sebuah rumah sederhana yang terbuka, didalamnya tergeletak seorang pemuda berkulit tan dengan rambut biru tuanya dan sebuah majalah dewasa yang menutupi wajahnya.

"Ngahhhhh... atsui..." erangnya.

Ia kini berguling sehingga badannya menyamping, majalah yang semula menutupi wajahnya kini jatuh ke lantai menampakan sepasang mata biru tua yang setengah tertutup dengan raut muka yang malas.

Musim panas hari ke dua, Aomine Daiki remaja berusia 18 tahun itu berlibur dirumah neneknya di Kyoto dengan bermalas-malasan seperti ini. Tidak ada niat untuk bermain atau mencari kenalan di desa yang asing baginya ini. Kecuali jika ada gadis berdada besar yang tiba-tiba lewat didepan rumah, mungkin dia dengan semangat akan keluar rumah. Sayangnya itu hanya angan belaka, jangankan gadis beroppai semua warga disini lebih memilih diam dirumah daripada harus berpanas-panasan.

Lelah dengan hanya berbaring lalu berguling tidak jelas, Aomine memutuskan untuk berdiri dan melangkahkan kakinya keluar jendela, tangan dimnya menutupi setengah kepalanya karena sinar matahari yang menyengat. "Mungkin berjalan-jalan sebentar tidak buruk." Ucapnya dan berjalan keluar rumah dengan hanya mengenakan baju tanpa lengan putih polos dan celana jeans.

Seperti yang ia duga, jalanan sangat sepi dimusim panas. Hanya ada segelintir orang yang berlalu lalang, itupun hanya untuk membeli sepotong es krim di konbini. Kakinya berjalan entah kemana, menyusuri jalanan tepi sungai. Kelereng navynya menyaksikan segerombolan anak lelaki yang ceria bermain di sungai dengan hanya memakai boxer warna-warni dengan berbagai corak lucu. bibirnya menyunggingkan senyum, Aomine teringat akan masa kecilnya, ia yang sering memancing di hilir sungai saat musim panas tiba.

Setengah jam berlalu kakinya kini membawanya ke sebuah kuil tua dengan anak tangga yang banyak, bukannya merasa lelah ia dengan senang hati menaiki anak tangga yang menjulang tersebut. Tidak tahu kenapa tapi ia merasa mungkin ada hal yang menarik jika dia kesana.

Satu persatu anak tangga ia lalui hingga akhirnya sampai diatas, didepannya berdiri kuil tua yang kumuh dengan dua patung rubah disisi kiri dan kanannya. Tak ada yang aneh dari tempat itu, hanya pohon-pohon yang menjulang tinggi sepanjang mata memandang. Mata Aomine memicing ketika melihat jalan setapak yang sebagian tertutup oleh semak belukar disebelah kanan tak jauh dari kuil. Ia penasaran, kedua tangannya ia masukan ke saku celana dan dengan santainya berjalan mengikuti jalan tersebut.

Sejauh ini hanya semak belukar yang ia temui, disaat dia akan menyerah dan berbalik pulang ia melihat siluet sesuatu berwarna merah didepannya, Aomine penasaran apa itu karena sebagian sesuatu itu tertutup semak, perlahan ia mendekat dan disana nampak seorang pemuda dengan rambut berwarna merah tua dan gradasi hitam dibawahnya sedang duduk dengan kakinya yang ditekuk hingga dagunya.

Dan saat itulah pemuda itu menoleh kebelakang, menampilkan sepasang mata merah yang bening bagaikan cermin dengan wajah tak bersahabatnya. Oh.. dan lihat alisnya bercabang, Aomine tertegun sesaat sebelum pemuda itu kembali memandang kedepan lagi.

"Hei.." Aomine mencoba menyapa, tapi tak ada jawaban dari sang lawan bicara. Satu urat muncul di dahinya, 'ah.. sabar Aomine. Mungkin dia ingat untuk tidak berbicara dengan orang asing'

"Na.. apa yang kau lakukan disini sendirian?" Aomine kembali bertanya, namun tetap tak ada jawaban. Dua urat muncul, 'sabar..sabar...sabar.. daiki.' Semangatnya dalam hati.

Baiklah ini yang terakhir.

"Cu..cuaca hari ini panas sekali ya haha."

Garing.

Segaring krupuk maicih yang pedesnya level 10. Aomine memuncah, dia mendekati pemuda itu dan..

Pletak

Menjitaknya tepat diubun-ubun. Dan aksinya berhasil membuat pemuda merah itu menoleh, "Itte... apa yang kau lakukan?" teriaknya.

"Tadi aku bertanya padamu bodoh.. cih, jangan bicara dengan orang asing itu memang tidak salah tapi berpikir dulu dong." Aomine menggerutu, dia menyilangkan kedua lengannya didepan dada.

"Jadi kau bicara padaku?" tapi yang ditanya hanya balik bertanya pertanyaan bodoh dengan polosnya.

"Memangnya kau pikir aku bicara dengan siapa hah!"

"Mungkin saja batu itu." Tunjuknya pada batu besar tak jauh dari posisi mereka.

"Kampret..."

Mata pemuda itu menelisiki Aomine dengan intens, mulai dari ujung sendal swallow yang dipakai Aomine hingga ujung rambut dan berhenti dikedua manik azurenya. Aomine yang diperhatikan secara seksama oleh sesama pria jadi berasa geli-geli gimana gitu.

"Na..nani?" Aomine mundur selangkah, jaga-jaga kalau orang didepannya ini humu dan tiba-tiba menyerangnya. Menciumnya, menggrepenya lalu mencumbunya hingga aomine tidak- STOP!

Sang tokoh utama kita menggeleng keras, cuaca panas benar-benar sudah membuat otaknya bertambah konslet. Dan walaupun begitu, mana mau dia dijadikan Uke.. Aomine itu Seme sejati pliss, bangganya dalam hati.

Eh

Iiieeee... Aomine benar-benar percaya kalau dirinya terserang virus musim panas.

Melihat orang dihadapannya jongkok dengan aura suram, membuat pemuda merah itu tergoda untuk bertanya. "Kau kenapa?"

"E..eh tidak.. aku hanya...panas..Ah! iya panas.. haha." Pemuda itu hanya mengangguk pura-pura paham.

Tidakkah kalian merasa ucapan Aomine ambigu?

"Kalau dilihat-lihat kau bukan orang sini ya?"

Pemuda dim kita telah kembali dari kondisi suramnya akibat pemikirannya sendiri, ia kini duduk bersila disebelah pemuda merah itu. "Ya begitulah." Jawabnya singkat.

"Hooo" si alis cabang kembali mengangguk, dan kembali memandang ke depan tanpa suara.

Senyap beberapa saat. Kelereng mata Aomine melirik sebentar, ragu-ragu akan bertanya takutnya tak dijawab lagi.

"Siapa namamu?" akhirnya Aomine membuka suara, dengan setitik keringat yang meluncur dipelipisnya.

"Kagami."

"Aku Aomine Daiki. Dari Tokyo, aku disini hanya selama musim panas." Sambung Aomine bertubi.

Kagami menoleh dan kembali mengamati Aomine dengan wajah sangarnya. "Berhentilah memandangiku seperti itu, rasanya menggelikan." Protes Aomine tanpa balik memandang Kagami.

"Kau Hitam."

Jleb.

Panah-panahan imajiner menancap tepat diulu hati Aomine, dan membuat siempunya mengeluarkan aura panas. "Apa kau bilang?"

"Aku bilang kau hitam. Tentu saja untuk ukuran orang Tokyo." Kagami berkomentar, dengan wajah seakan jaksa yang sedang memberikan saksi di sidang hukum. Dan..

Bletak

Wajah kagami sukses mendapat ciuman keras dari sendal Aomine. Sendal yang tadinya menempel diwajah Kagami perlahan jatuh secara slow motion, memperlihatkan wajah Kagami yang wow.. sangar sekali.

"Berani-beraninya kau melempariku dengan sendal bututmu hah?!" marah Kagami.

"Mulut sialanmu memang pantas mendapatkannya!" teriakan Aomine tak kalah dari kagami, membuat hutan yang tadinya sunyi itu mendadak bising oleh mereka berdua.

"Apa? Apa salahnya bicara fakta hah!"

"Ehh sorry ya, meskipun hitam kulitku ini eksotis dan seksi." Aomine PD tingkat dewa sambil mengibaskan poni cepaknya. "Lagipula.. fuh.. apa-apaan dengan alismu itu? Haha.. apa itu tidak tertukar dengan ranting pohon." Balasnya.

Dan aksinya sukses membuat Kagami tambah marah, lihat saja berapa banyak perempatan yang muncul diwajahnya. "Kau... benar-benar ngajak ribut ya?!" Kagami sudah menyiapkan bogem andalannya.

"Heeeee siapa takut." Begitupun dengan Aomine.

"Grrrrrrrrrrrrrrrr... Hyaaaaaa..."

Saat mereka akan saling melayangkan tinjuan, tiba-tiba.

"Dai-chan..." suara seorang wanita terdengar. Aomine menurunkan kepalan tangannya.

"Cih.. Satsuki. Kenapa dia bisa tau aku ada disini sih." Aomine mengusap-usap rambut belakangnya kesal, karena acara ribut dengan Kagami terpaksa tertunda.

Gadis itu adalah Momoi Satsuki, sepupu Aomine Daiki yang ikut berlibur bersamanya disini.

"Dai-channnnnnn, Aku tau kau disini! Cepat pulang, Obaa-chan sudah menyiapkan makan malam!" suara Momoi kembali bergema.

"Ha'i..ha'i.. aku akan segera kesana!" Aomine berdiri, bersiap meninggalkan tempat pertemuannya dengan Kagami. Dan ngomong-ngomong soal Kagami, ekspresinya masih sama seperti tadi. Kesal.

Aomine yang melihatnya mendengus dan menyunggingkan senyum. "Urusan kita belum selesai Bakagami. Besok! Kita lanjutkan besok!" jari telunjuk Aomine menunjuk tepat sejajar dengan hidung Kagami.

'Bakagami' Kagami tambah panas dalam hati. Tapi kemudian membuang nafas, dan kembali memandang pemandangan desa didepannya yang terhiasi warna jingga dari matahari terbenam.

"Tidak usah. Kita tak usah bertemu lagi. Lagian..." terdiam sesaat, Kagami menunduk. "Tidak. Lupakan." Lanjutnya.

"Hah? Apa sih?" Aomine kembali berteriak.

"Dai-chan!"

"Ck.. iya.. iya sebentar lagi aku kesana. Jangan berisik Satsuki!"

"Mou... suaramu terdengar, tapi kau dimana sih?" Aomine dan Kagami bisa mendengar Momoi menggerutu dengan keras.

Aomine berjalan menjauh, tapi berhenti setelah mendengar teriakan Kagami.

"Pokoknya kau jangan kesini lagi Aomine!"

Aomine tak menjawab. Setelah mendengar teriakan Kagami, ia kembali berjalan untuk pulang. Setelah yakin Aomine benar-benar menghilang dari sana, Kagami memeluk lututnya dengan erat.

"...kau harusnya tak melihatku."

.

.

"Yo!"

Alis cabang Kagami berkedut satu, 'Nih anak.'

Aomine menepuk bahu Kagami friendly, tapi tak membuat wajah Kagami yang jengkel luntur begitu saja dan dengan cueknya Kagami menghadap ke depan seperti biasa, menikmati pemandangan desa tercinta.

Rahang Aomine mengeras, merasa kesal dengan tindakan 'Abaikan Aomine'. Tangan kekarnya meremas bahu Kagami, membuatnya sedikit meringis dan secepat kilat menoleh. Wajahnya tak berubah, masih garang seperti biasa dan alisnya tambah tertekuk akibat ekspresi ringisan tertahannya.

"Apa?" tanyanya galak.

Tak menjawab, manik Aomine hanya memandang lekat wajah didepannya. Wajah itu... Percayalah, entah kenapa Aomine tak merasa terganggu dengan wajah Kagami yang marah seperti itu, malahan dia...

Menyukainya?

Kelopak mata Aomine tertutup sebentar, mencoba proses dari kata 'Suka' tadi. Ya! Dia menyukai ekspresi itu, ekspresi yang membuatnya ingin lebih menggoda dan membuat si alis cabang itu tambah kesal, bukan 'Suka' dalam arti konteks perasaan.

"Tak apa." Balasnya, setelah mata itu kembali terbuka dan duduk disamping Kagami.

"Kau... kenapa selalu ke tempat ini? Ah. Maksudku kemarin juga kau disini, dan sekarang pun begitu. Kau menyukai tempat ini?" Aomine mencoba mempercair suasana hati Kagami. Dan tidak disangka Kagami menjawabnya tanpa tatapan jengkel padanya seperti tadi atau kemarin.

"Bukan suka atau tidak sukanya sih."

"Lalu?"

"Errrrrrr..." pemuda crimson itu melirik Aomine, gelisah haruskah ia menceritakannya pada orang yang baru dikenalnya kemarin.

Seakan paham lirikan Kagami, Aomine terkekeh, dan memposisikan kedua tangannya dibelakang untuk menopang badan.

"Aku tau apa yang kau pikirkan. Kau pikir aku hanya orang yang baru kau kenal, dan kau ragu untuk memberikan alasanmu berada disini atau tidak?" seringaian Aomine lontarkan. Membuat pemuda disampingnya membuang muka. Meskipun begitu, Aomine masih bisa melihat rona merah ditelinganya.

"Ppfft.." Aomine tertawa tertahan. Yang benar saja, pria seganas dia bisa menjadi manis seperti itu?

Aomine menyeka setitik air dipelupuk matanya. Yah... menahan tawa itu sangat lelah asal kalian tau.

"Kau tak usah menjawabnya jika tak mau." Lanjutnya.

Cukup lama untuk Kagami kembali membuka suara, dan yang tak disangka Aomine adalah ucapan dari Kagami yaitu jawaban atas pertanyaannya tadi. Bolehkah Aomine merasa jika Kagami mulai mempercayainya?

"Aku sedang menunggu seseorang."

Aomine bergeming. "12 tahun lalu. Dia berjanji akan datang kembali kesini saat musim panas, dan menagih hadiah yang dia inginkan saat ulang tahunnya."

Kagami kembali menggantung ceritanya, lalu mengehembuskan nafas. Baiklah! Sudah terlanjur! Demi apapun dia harus menceritakan cerita ini pada Aomine.

"Apa dia pacarmu?" tanya Aomine to the point dengan polosnya.

Sontak saja wajah Kagami memerah total. "Bu...bukan." tangannya ia kibaskan ke sembarang arah.

'Heeee..'

Aomine menyeringai, 'Sikap gugup mu mudah dibaca Bakagami.'

"D..dia hanya teman masa kecil. Da...dan juga kami hanya bertemu beberapa hari."

"Lalu? Dimana dia sekarang?" pipi kanan Aomine ditopang oleh kepalan tangannya, sikunya ia tempelkan dengan lutut yang sedang ditekuk, mencoba menggoda Kagami lebih.

Kagami menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Soal itu... aku tak tahu hehe."

Uhuk

Duh.. hampir saja hidung Aomine pendarahan. Sumpah, entah mata Aomine yang kelilipan sambel atau minusnya bertambah? Sesaat tadi Aomine melihat senyum Kagami yang demi dewa! Manis sekali.

Lihat baik-baik Daiki! Dia cowok! Berotot lagi! Mana ada manis-manisnya kek Le minerale!

Aomine berdehem, mencoba menetralkan pemikiran anehnya. "Jadi? Kau menunggu seseorang yang tak tahu keberadaannya gitu? Yang benar saja! Memangnya kau tidak tau darimana dia berasal?"

Gelengan sebagai jawabannya. Dan Aomine hanya menepuk jidatnya sendiri. "Bukannya dia teman masa kecilmu? Memang kau tak pernah menanyakan tempat tinggalnya?"

"Kan sudah kubilang Ao. Aku dan dia hanya bertemu beberapa hari. Err mungkin 2 hari? Dan selama itu kami sibuk bermain dari pagi sampai sore."

Aomine jadi gemas sendiri mendengar cerita Kagami. Masih ada saja orang bodoh yang asyik bermain dengan orang asing yang tak kau kenal darimana dia berasal.

"Tapi kau tau namanya kan?"

Entah sejak kapan Aomine sudah duduk dihadapan Kagami, menuntut kelanjutan kisah si alis belah.

Alis kagami tertekuk, mencoba mnegingatnya. Dan setelah beberapa menit, dia menghembuskan nafas. "Sialnya aku lupa." Dan entah kenapa Aomine juga ikutan menghembuskan nafas. "Tapi hal terakhir yang ku ingat hanyalah cengiran lebarnya yang hangat."

Bersamaan dengan itu Kagami tersenyum, matanya menerawang langit luas. "Makanya sejak saat itu aku selalu disini. Karena ditempat ini..." Kagami berdiri, berjalan melewati Aomine dan membelakanginya. "Kami membuat janji." Kagami menoleh dan menampilkan cengirannya.

Aomine paham sekarang. Ditempat Kagami berdiri, ditempat sunyi ini menjadi saksi bisu janji kecil mereka dulu. Hanya ini yang bisa dilakukan Kagami.

Pemuda bermarga Aomine itu tersenyum, mungkin senyuman tertulus yang pernah ia ciptakan. "Keh. Biar ku tebak! Orang yang kau tunggu itu pasti seorang gadis cantik berdada besar kan?" alis Aomine naik turun jail.

Kagami kicep. "Dia laki-laki kok."

Dan Aomine membeku saat itu juga. Hanya satu pertanyaan yang ada diotak pas-pasannya sekarang.

'Apakah Kagami homo?'

...

Sejak hari itu Aomine selalu mengunjungi tempat 'Favorit' Kagami. Tempat itu sekarang sudah seperti markas rahasia mereka berdua meskipun yang mereka lakukan disana hanya mengobrol, dan seringnya obrolan mereka hanya dipenuhi dengan adu mulut atau saling lempar ejekan tapi Aomine menikmatinya, ia... tak pernah menemukan orang yang lebih bodoh darinya. Sekiranya itulah pikiran Aomine.

Seperti sekarang, sudah 2 minggu lebih mereka bertemu ditempat ini. Aomine yang sedang selonjoran dengan badan yang menyender dipohon besar sambil membaca kitab sucinya–Majalah Mai-Chan–. Sedangkan Kagami tengkurapan–kebetulan disana penuh rumput hijau, jadi Kagami bisa leluasa tidur atau tengkurapan bahkan berguling-guling–disana dengan psp milik Aomine yang ia mainkan.

Aomine menutup majalahnya, lama-lama ia merasa bosan juga jika seperti ini terus.

"Oy!" panggilnya pada Kagami.

"Hm?"

"Apa kau tidak merasa bosan disini terus? Main yuk! Kemana kek."

Hening

Hanya ada suara tembak-tembakan dari game yang dimainkan Kagami. Alis Aomine berkedut.

Bruggg

Tubuh Kagami berasa ditimpa tank tempur. Demi boxer udang Aomine, nih bocah hitam ngapain ngedudukin bokongnya.

"Oy Aomine minggir! Berat tau!" Kagami menggoyang-goyang kan pantatnya berharap makhluk astral yang sedang berpose seperti jin diatas nya jatuh.

"Suruh siapa pertanyaanku diabaikan!"

Fix Aomine merajuk ini mah namanya. Yahh 2 minggu itu waktu yang cukup untuk lebih mengenal pribadi anak songong item ini, contohnya Aomine sifat kekanakannya seperti sekarang.

"Khhh.. tidak bisa Aomine! Bagaimana kalau dia datang?" Kagami masih mencoba menjatuhkan Aomine.

"Duhhh plis Kagami sudah 2 minggu kita disini. Tapi orang itu gk pernah keliatan batang idungnya sedikitpun. Lagipula sebentar lagi liburan musim panas akan berakhir. Mungkin dia gak akan datang."

"Bagimu 2 minggu. Nah aku, selama 11 tahun selalu disini." Sembur Kagami.

"Makanya kau jadi kuper sekarang!"

"HAH!"

"Aduh!"

Dengan sekali gulingan Kagami duduk, membuat Aomine terjungkal kesamping.

"Kira-kira napa kalo kaget Bakagami!" protes Aomine yang sedang mengelus-elus hidungnya akibat jatuh tadi.

"Makanya jangan bikin kesel orang terus!"

"Fyuhhh.. sebagai teman aku hanya mengingatkan. Jika disini terus tak ada yang berubah, kau pasti akan larut dalam masa lalumu lagi. Makanya sesekali refreshing."

"Tapi..."

"Tenang. Kita gak akan main jauh-jauh kok. Di tepi jalan besar kan ada sungai, kita kesitu saja." Tawarnya.

Kagami menimang. "Errrr okelah."

"Yosh! Ikou!" Aomine menarik lengan Kagami.

Yang tidak diiketahui Aomine, dibalik punggung lebarnya, Kagami sedang tersenyum...

...miris

.

"Kau gila Aomine!" manik crimson melotot horror pemandangan didepanya. Demi apa, si ganguro itu apa tidak punya rasa malu? Lihat saja!

Sekarang dia hanya memakai boxer udang berwarna biru kesukaannya dihilir sungai, perut sixpack hitamnya terekspos kesana kemari. Badannya ia rentangkan, bergerak kekiri kekanan bilangnya sih pemanasan.

Kagami bisa mendengar kikikan dari wanita-wanita yang berlalu lalang. Duh sumpah, Kagami jadi ingin bilang ke mereka 'Maaf dia bukan teman saya.'

Kenapa?

Karena siapapun pasti tak ingin kenal dengan seorang pemuda berusia 18 tahun bertelanjang dada dan memakai boxer sambil nyengir-nyengir gaje padamu.

"Oy! Kagami! Cepat! Buka bajumu!" Aomine melambai. Membuat Kagami merinding dan meneguk ludah.

"Tidak, terima kasih."

Aomine merengut, tapi kemudian menyeringai menyeramkan. Dan Kagami harus meneguk ludahnya lagi yang terasa pahit. Oh Kamisama! Tolong dede Gami!

.

"Hwaaaaaa Aomine berhenti... tidak! Apa yang kau lakukan!" kedua kaki Kagami menendang ke sembarang arah, membuat perlawanan. Pasalnya Aomine kini sedang membuka celananya paksa.

DIPAKSA PEMIRSA!

Kepala Kagami menggeleng kesana kemari, tangannya dengan kuat mempertahakan kain penutup asetnya. Bayangkan saja, celanamu akan dilepas oleh orang yang sedang topless. Kagami berasa jadi korban pemerkosaan jadinya.

Badan Kagami berguling, menjadi menungging. "Gahhh.. Kagami, kau kenapa sih. Gak usah malu napa...keh...liat seorang Aomine Daiki dong, pede."

"PEDE ENDASMU! Yang ada kau itu malu-maluin, mana ada orang gede yang waras berenang disungai pinggir jalan cuma pake boxer doang! Mana banyak cewe yang liatin lagi!"

"Kau benar-benar tak tau style ya ckckck."

"AHO GA OMAE!"

Grep

"BANGSAT!"

Duaggggggh

Hidung Aomine sukses hujan darah. Tau apa yang dipegang Aomine tadi?

Yup.

'Anu' Kagami. Berdoalah Aomine masih selamat berkat tendangan super Kagami tadi.

Akhirnya dengan perjuangan 'berdarah' akibat tendangan Kagami tadi. Aomine sukses mengajak Kagami berenang disungai, dengan satu syarat. Kagami tidak membuka bajunya. Cukup boxernya saja yang bikin malu, dia tak mau tambah malu dengan bertelanjang dada mirip Aomine.

Warna orange menghiasi sore yang melelahkan itu. Mereka kini sedang duduk dipinggiran sungai. Celana mereka sudah terpasang kembali, Aomine hanya memakai jaketnya yang tak disletingkan, sedangkan Kagami masih memakai baju basahnya.

"Hatchii..." Kagami menggosok hidungnya.

"Uhhhh ini salahmu Aomine."

"Ha? Kau sendiri yang tidak mau buka baju. Lihat! Kau jadi terserang flu kan?" balas Aomine jengkel.

"Cih.. urusai!" srok..srok

Tangan kecoklatan itu mengusap-usap kedua pangkal lengannya, mencoba menyalurkan rasa hangat yang tak seberapa. Aomine yang melihatnya sedikit kasian, pengennya ngebantu sih. Tapi bagaimana?

Ah!

Aomine ingat, ibunya dulu penah mengajarinya tentang cara menghangatkan badan secara alami.

Aomine beranjak dari tempat duduknya. Dan...

Grep

Memeluk Kagami dari belakang. Wajah kagami sukses memerah total. "A..apa yang kau lakukan Aho?"

Meskipun Aomine yang memeluknya tenang-tenang saja, tapi tak bisa dipungkiri jika ia juga malu. Pipinya muncul rona merah yang sangat samar. "I..ibuku dulu mengajarkanku untuk menyalurkan rasa hangat. Y..yaa seperti ini." Wajahnya ia palingkan.

Ini mah bukan hangat lagi namanya, tapi PANAS!

Jerit Kagami dalam hati.

Hening menyapa, dan posisi mereka sangat awkwrd. Kagami menutup kelopak matanya, mencoba mengatur detakan jantungnya yang takut terdengar oleh si bodoh Aomine. Entah apa yang ada dipikiran Aomine sekarang, tapi Kagami merasa tangan hitam yang melingkari badannya semakin mempererat dekapannya membuat kepala Kagami bersandar didada bidang Aomine. Dan Kagami bisa mendengar detak jantung Aomine yang berpacu cepat.

Harum dan segar...

Itulah yang Kagami rasakan, matanya masih terpejam menikmati aroma yang menguar dari tubuh Aomine. Terasa damai... jujur jika boleh... Kagami ingin seperti ini lebih lama lagi.

Ujung rambut Kagami yang tertiup angin menggelitik dagu Aomine, membuatnya tergoda untuk menggesekan hidungnya dengan helaian merah itu. Wangi seperti mint dan manis seperti apel merah.'Memabukan' batinnya.

Cukup lama posisi mereka seperti itu, tak ada yang berniat memisahkan diri. Terlalu nyaman satu sama lain. Tapi Kagami sadar, jika begini terus orang-orang akan menganggap mereka pasangan homo. Wajahnya memerah kembali akibat memikirkan itu.

"Ne.. Aomine." Kagami mendongak, dan alangkah terkejutnya ketika dia tau jika Aomine sedang menciumi puncak kepalanya. Entah sudah berapa kali wajahnya dibuat semerah tomat oleh orang ini.

"Hm?" Aomine menjawab, masih menciumi rambut Kagami. Ciuman Aomine turun ke kening Kagami, dan terus turun ke kelopak matanya bergiliran mengecupnya.

Kagami hanya diam, lidahnya terasa kelu untuk berbicara. Ciuman itu kini turun ke hidung Kagami, lalu menjauhkan wajahnya beberapa centi dari Kagami. Mata azure Aomine mengabut, itulah yang dilihat Kagami. Jari Aomine bergerak naik, mengusap bibir kenyal berwarna peach milik lelaki manis itu.

"Kagami..."

Kagami bisa merasakan nafas hangat Aomine yang memberat. Membuatnya sedikit takut...? Kagami meneguk ludah. "A..Aomine. kau kenapa?" tanyanya gemetar.

Hanya tatapan nafsu yang dibalas Aomine, Kagami semakin ngeri. Dia mencengkram pergelangan tangan Aomine dibibirnya, berusaha menjauhkannya. Tapi wajah Aomine semakin mendekat, tidak ada cara lain!

Kraukkk

"ITTE! Kenapa memakan jariku Baka?" jari Aomine yang tadinya dibibir Kagami digigit oleh si empunya. Alhasil Aomine sudah 100% kembali seperti semula.

"Kau itu yang kenapa? Ha..hampir saja men..menci..ci..cium...ku.." Kagami bergumam semakin pelan sambil menunduk.

Aomine tersentak kemudian menutupi wajahnya dengan telapak tangannya. Duh malunya!

"Gomen.." bisiknya.

Kagami tertawa, dan memberi pukulan kecil pada bahu Aomine. "Nanda yo... jarang-jarang mendengarmu meminta maaf haha."

Membuat Aomine juga tersenyum, untuk kemudian mengucel-ngucel rambut Kagami."Sialan kau Bakagami!"

'Ahhh... apa kau tidak sadar kalau senyum dan tawamu itu manis Bakagami?'

.

Malam itu Aomine tidak bisa tidur. Kalian tanya kenapa?

Karena Aomine juga tidak tahu. Tidak tau... kenapa otaknya dipenuhi Kagami... seperti tadi siang, padahal dia hanya menghirup aroma rambut Kagami tapi efeknya sangat luar biasa. Aomine hampir menciumnya tepat dibibir.

Kepalanya ia benturkan ke bantal dibawahnya. "Aku kenapa sih...?" geramnya. Matanya tak mau terpejam, selalu menampilkan bayangan segala ekspresi Kagami. Aomine mengubah posisinya menjadi tengkurap, menutupi kepalanya dengan bantal. Rona merah tanpa sadar hinggap di kedua pipinya. 3 kata yang ia gumamkan sebelum mencoba menutup matanya.

'Kagami sangat manis'

...

Kakinya berjalan terburu menuruni tangga dirumahnya. Pagi-pagi sekali Aomine sudah siap-siap berangkat untuk main bersama Kagami. Tangannya dengan sigap mengambil susu dimeja makan, dan meneguknya brutal. Momoi yang sedang adem ayem makan disana jadi penasaran, apa hal yang bisa membuat Aomine jadi ceria seperti ini? Selain Mai-chan tentunya.

"Dai-chan. Aku lihat akhir-akhir ini kau selalu semangat keluar rumah." Mata pink Momoi memicing, "Siapa yang kau temui?" godanya jail.

Uhuk..

Susu yang diminum Aomine menyembur keluar. "Bu..bukan siapa-siapa. Hanya teman bermain."

"Heeee... teman apa teman?"

"Uruse.. Satsuki." Tangan Aomine kini mengambil potongan roti panggang dan mengolesinya dengan selai stroberi berwarna merah.

Merah...

Duh Aomine jadi ingat Kagami lagi kan. Momoi yang melihat Aomine cengengesan dengan pipi merona jadi merinding dan heran, tapi kemudian.

Pok! Momoi membenturkan telapak tangan kirinya dengan kepalan tangan kanannya. Ia tahu Aomine kenapa...

"Dai-chan kau sedang jatuh cinta ya?"

Aomine langsung tersedak makanannya. "Mana ada... lagipula dia cowok..." teriaknya tak terima.

Ups.

Ia lupa jika Momoi itu... Fujoshi. Dengan patah-patah kepalanya ia tengokan kesamping dimana Momoi berada. Dan benar saja Momoi sekarang dengan mata berbinar menatap Aomine 'lapar'. Aomine membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

"I..ini bukan seperti yang kau bayangkan Satsuki." Siaganya 86.

"Kenapa kau tak memberitahuku jika kau humu Dai-chan. Kalau begitu kan aku tak usah repot-repot cari asupan di internet. Yang Live Action lebih seru!" Momoi memekik nyaring sekali, membuat Aomine menutup telinganya.

"AKU TIDAK HOMO!" tandasnya.

"Oh ya? Lantas kenapa kau selalu semangat jika bertemu temanmu itu?"

"Itu...sih...ngggg...karena..."

"Terus kau pasti selalu tersenyum gak jelas kalau mengingatnya kan?"

"Yaaa...itu...errr.."

"Dan terakhir wajah mu memanas jika memikirkannya, lalu jantungmumu berdetak tak karuan kan?"

"Satsuki berhenti menyimpulkan seenaknya!"

"Itu tandanya kau jatuh cinta padanya Dai-chan."

Aomine menggebrak meja. "Cukup Satsuki! Aku masih normal. Ku akui aku memang selalu memikirkannya, tapi itu mungkin karena aku terlalu sering bersama dengannya. Jadi... jangan jadikan aku sebagai boneka fantasi gay mu itu." Dengan itu Aomine beranjak dari ruang makan yang mendadak menyebalkan itu.

Dibelakangnya Momoi memandang iba. "Otak dan tubuhmu memang merasakannya, tapi hatimu belum mau mengakuinya Dai-chan." Bisiknya.

.

Sepanjang perjalanan Aomine hanya menendang batu kerikil malang dijalanan, disampingnya Kagami keheranan. Padahal kemarin dia ceria sekali mengajak Kagami ke kedai es krim tak jauh dari kuil, tapi sekarang kok auranya berbeda.

"Aomine kau kenapa?" bibir Kagami tergerak untuk bertanya.

"Tak apa."

Singkat. Padat. Tak jelas. Dingin. Mungkin itu yang dapat Kagami simpulkan. Alis cabangnya mengerenyit, 'Ada yang tak beres' dan dengan sigap Kagami bergerak kedepan membuat mereka berhadapan. Wajah mereka hanya berjarak beberapa centi, mata Aomine melotot kaget dan tiba-tiba mendorong Kagami agar menjauh.

"Sudah kubilang tak apa, jangan dekati aku!" Aomine berteriak, seakan meluapkan emosi yang ditahannya selama ini.

Tangan Kagami mengepal, kepalanya tertunduk. "Baiklah." Jawabnya parau.

"Aku pulang. Kita tak usah main hari ini."

Aomine sadar apa yang telah ia perbuat, tangannya dengan reflek menahan lengan Kagami yang akan pergi. "Kagami... maaf...bukan itu maksudku.. aku hanya sedang punya masalah dirumah."

Bohong.

Sebenarnya bukan masalah keluarga tapi masalah dihatinya. Kagami yang melihat Aomine seperti orang frustasi lalu menghela nafas. "Aho..Aho.. kalau ada masalah makanya bilang. Jangan dipendem, masalahnya aku juga yang kena." Kagami manyun.

Kagami yang monyong-monyong sok imut membuat emosi dan pemikiran aneh yang dari tadi hinggap dipikiranya hilang entah kenapa. Digantikan gelak tawanya. "Haha... apa sih. Jangan berpose seperti ikan kembung begitu. Hah..." Aomine membuang nafas, "Bukan masalah besar kok, cuma Satsuki yang terus-terusan ngomel tentang PR musim panas yang belum ku sentuh sama sekali. Sekarang sudah tidak apa-apa. Yok lanjut!"

"Eittt tunggu dulu. Kau belum mengerjakan PR mu yang banyak itu? Dan selama beberapa minggu ini kau malah asyik bermain? Kau benar-benar parah Aomine." Kagami menggeleng tak percaya.

Tangan dim itu mengusap tengkuknya, "Masalah PR nanti saja. Yang penting aku bisa main sepuasnya denganmu. Waktuku tinggal 3 hari lagi disini, sebelum pulang ke Tokyo."

Dada Kagami menghangat dan pipinya menempel sedikit rona merah. "Aho ga..." gumam Kagami pelan.

"Hyuk ah!"

Perjalanan ke kedai es krim hanya butuh waktu sekitar 10 menit berjalan kaki. Kedai tersebut cukup kecil tapi dekorasinya bagus dan cukup indah ddengan berbagai hiasan bunga. Aomine masuk kedalam untuk memesan, sedangkan Kagami sudah duduk dikursi dan meja yang disediakan diluar kedai tersebut.

Tak butuh waktu lama Aomine datang membawa 2 es krim, Macha Ice Cream Chocolate milik Aomine dan Sweet Apple Ice milik Kagami. "Nih."

Dinginnya es krim meleleh dimulut mereka, rasanya begitu segar. Aomine menatap Kagami yang pipinya menggembung merah akibat suhu dingin es yang ia makan tak terkira. "Baka! Kalo makan es pelan-pelan, jangan kek orang ikut lomba aja." Kekehnya.

Kagami menelan semua es krimnya. "Berisik!"

Aomine tertawa geli. "Nih!" lalu menyodorkan sesendok es machanya. Kagami mengerjap sebelum akhirnya membuka mulut dan memakannya.

Bibir Aomine tersenyum. "Enak?"

Kagami mengangguk semangat. Aomine hanya diam, tangannya tetap menopang dagunya. Matanya tak lepas dari bibir Kagami yang kadang terbuka dan menutup.

"...mine!"

"Aomine!"

Aomine tersentak. "Ya?"

"Kau kenapa sih? Mau ini?" tunjuknya pada es krim applenya. Dan wajahnya memerah total saat Aomine berkata dengan entengnya, "Aku mau yang ada didalam mulutmu."

Berasa De Javu dengan tatapan Aomine, Kagami menyentil dahi Aomine. Dan benar saja kelopak matanya mengerjap dan kemudian wajahnya juga jadi merah seperti Kagami.

"A..ahhh maaf Kagami. Abaikan ucapanku tadi." Tuh kan! Aomine hilang kendali lagi. Bibir Kagami itu memang bahaya!

'Psssstt... cowok hitam itu bicara dengan siapa?'

'Aku tidak tau. Tapi dia keren juga yaa'

'Keren sih keren. Sayangnya dia gila bicara sendiri.'

Twitch

Muncul siku-siku dikepala Aomine. Hey! Yang benar saja, gadis-gadis itu apa tak punya mata, dan apapula mereka menyebutnya gila. Didepannya Kagami hanya tersenyum miris mendengar ucapan para gadis yang lewat tadi.

"Oh iya Kagami! Kemarin Satsuki bilang kalo besok malam akan ada festival dikuil basecamp kita. Bagaimana kalau kita kesana nanti?"

"Benar juga.. besok kan tgl 31, malam festival. Aku lupa." Kagami menepuk jidatnya sendiri.

Aomine nyengir, "Aku mau coba pakai yukata."

Kagami hanya mendengus. "Pakai yukata atau nggak, tetep aja item."

"Sialan!"

Dan Kagami tertawa sangat puas sekali. Aomine juga tersenyum, sangat damai ketika melihat orang didepannya ini tertawa.

'Apakah benar aku menyukai Kagami?' tanya batinnya entah pada siapa.

...

"Ara Daiki jarang-jarang melihatmu pakai yukata?" Takjub nenek Aomine, melihat cucunya memakai yukata biru tua bergaris seperti ini.

"Obaa-san! Ketuk dulu sebelum masuk kamar!" kagetnya. Bak perawan yang keintipan.

"Wajar saja Obaa-chan, Dai-chan sedang jatuh cinta." Momoi tiba-tiba menyembul dibalik punggung sang nenek.

"Satsuki!"

"Ara hontou?"

"Bohong Obaa-san. Jangan dengarkan Satsuki!"

"Oh ya? Lalu siapa itu Kagami?" Momoi mengerling genit.

Aomine mematung, darimana dia tau nama bocah merah itu.

"Kagami?" Nenek Aomine tampak kaget.

"Kenapa Obaa-san?" tanya Aomine penasaran, masalahnya kenapa neneknya sampai terkejut seperti itu.

"Iie.. setau nenek keluarga Kagami sudah 10 tahun yang lalu pindah ke Amerika dan tak pernah kembali lagi. Ah Daiki siapa nama depan pacarmu itu?"

Dan Aomine baru sadar jika selama ini dia tak pernah menanyakan nama depan Kagami. "Bodohnya aku." Rutuknya. "Aku lupa menanyakannya Obaa-san. Dan satu hal lagi, dia bukan pacarku."

"Memang sih keluarga Kagami punya seorang anak laki-laki jika tidak salah umurnya sama denganmu."

"Apakah rambutnya merah bata? Dan alisnya bercabang?"

Neneknya mengangguk. Itu benar Kagaminya, lalu dengan siapa dia tinggal disini jika keluarganya di Amerika?

"Tapi..."

Momoi dan Aomine sukses fokus pada si nenek. Nafas Aomine tertahan entah kenapa. Tapi dia punya firasat buruk tentang ini.

"...Dia sudah meninggal 10 tahun lalu."

Rasanya jantung Aomine ingin berhenti saat itu juga.

...

Aomine terus berlari sekuat tenaga, meminta kepastian apa yang sebenarnya terjadi pada Kagami.

Uso da!

Uso da!

Kakinya berpacu dengan angin, yukata yang ia pakai berantakan, nafasnya terengah, anak tangga menuju kuil itu diterjangnya. Dipikirannya sekarang hanyalah Kagami.. Kagami.. dan Kagami...

Sampai! Aomine sampai di pintu gerbang Festival. Banyak stand makanan disana, warna merah menghiasi kuil kumuh itu, lampion terpasang dimana-mana, orang-orang berlalu lalang ada yang berpasangan ataupun bersama teman dan keluarganya.

Nafas Aomine tercekat. Berasa familiar dengan suasana ini.

'Daiki! Choto matte!' bocah 6 tahun berambut merah itu berlari kecil mengejar temannya yang seumuran dengannya.

'Kau lama Taiga!' bocah bernama Daiki nyengir lebar, dan berhenti untuk menunggu bocah Taiga dibelakangnya.

'Mou aku kan pakai yukata. Jadi susah jalan.'

Daiki yang melihat kawannya kesusahan berinisiatif membantunya. Lalu mulai berjongkok memunggungi Taiga.

'Ayok!'tangan kecilnya menepuk-nepuk punggungnya. 'Aku akan menggendongmu.'

Wajah Taiga memerah karena malu. 'A..aku bukan wanita. Lagian aku masih bisa jalan kok.'

'Tapi jalanmu pelan. Nanti aku tinggal loh.'

Tidak ada cara lain, akhirnya Taiga menurutinya meski wajahnya tambah merah, lalu menyembunyikan wajahnya dibelakang leher Daiki.

Kesadaran Aomine kembali. Ia ingat! Ya! Ia ingat sekarang! Orang yang ditunggu Kagami adalah dirinya sendiri. Tangan Aomine memukul penyangga gerbang disampingnya. "Kuso! Taiga maafkan aku.. maafkan aku tak mengingatmu." Sialan! Kenapa kepingan memori itu baru muncul sekarang.

Cukup dengan penyesalannya Aomine kembali berlari mencoba mencari keberadaan Kagami.

"Taiga!" teriaknya.

"Taiga dimana kau?!"

Nihil. Tak ada sahutan sedikitpun.

'Dia sudah meninggal.'

Aomine masih terngiang ucapan neneknya tadi. Yang benar saja! Memangnya ia percaya itu. Pikiran aomine akan menolak semua sugesti buruk itu tapi sesaat teringat gadis-gadis kemarin saat dia dan Kagami berada di kedai.

'Psssstt... cowok hitam itu bicara dengan siapa?'

'Keren sih keren. Sayangnya dia gila bicara sendiri.'

Aomine mengacak-acak rambutnya kesal. Bingung harus percaya atau tidak. Tapi buktinya gadis-gadis itu tak melihat Kagami atau lebih tepatnya tak bisa melihat. Aomine tersentak, ia lupa. Ia harus temukan Kagami secepatnya.

'Daiki apa tidak berat?' tanya Taiga dibelakang punggungya.

'Tidak, tenang saja. Aku kan kuat.' Dustanya. Mereka –hanya Daiki– berjalan menuju jalan bersemak yang Taiga pernah ceritakan. Tapi sebelum sampai ke jalan kecil tersebut Taiga dengan polosnya bertanya.

'Ne..ne Daiki lihat-lihat nii-chan dan nee-chan disana! Apa yang mereka lakukan?' tunjuknya pada sepasang anak muda yang tengah...

...berciuman?

Wajah kecil Daiki memerah. Terang saja, Daiki ini pikirannya dewasa sebelum waktunya. Jadi wajar saja jika dia mengerti arti dari perbuatan dua sejoli tadi.

'Ka..kau masih kecil Taiga. Jadi gak usah tau.' Ucapnya sok bijak. Ngaca Daiki!

'Tapi kau juga kecil Daiki.'

'Pokoknya tak boleh!'

Bug! Bug! Tangan Taiga terus-terusan memukul kepala biru Daiki dibawahnya. 'Daiki bodoh! Aku juga ingin tau ergghhh..'

'Aduh..aduh.. iya.. iya nanti kuberitahu jika sampai.'

Jalan kecil bersemak itu sangat sepi,Taiga bilang hanya ia yang sering datang kesini. Orang-orang sering sulit menemukan jalan ini, ceritanya.

Tak lama kemudian mereka sampai. 'Huwaaa..' Daiki menurunkan Taiga dan langsung berjalan ke sisi lereng. Matanya berbinar melihat pemandangan didepannya, seluruh lampu kota nampak seperti bintang di angkasa.

Taiga berlari kecil mendekati Daiki. 'Daiki cepat ceritakan yang tadi!' tangan kecil Taiga memegang ujung kaos yang dipakai Daiki.

Duh... benar nih Daiki harus cerita? Taiga kan masih polos, dia gak mau mencemari otak polos nan manis Taiga. Tapi puppy eyes Taiga meluluhkan pertahanan Daiki.

Daiki berdehem, 'Kau siap mendengarnya Taiga?' si manis mengangguk mantap.

'Kakak-kakak itu sedang ciuman.' Akhirnya.

'Ciuman? Apa itu?' tuh kan? Taiga gak tau.

'Errr... semacam...' Daiki menggaruk pipinya, mencoba mencari kata yang tepat dan tidak terlalu vulgar. 'Menyalurkan rasa suka dan cinta.' Sambungnya.

Crimson Taiga berbinar, 'Suka? Aku juga suka Daiki. Apa aku juga harus mencium Daiki?' tanyanya semangat.

Hidung Daiki mimisan seketika itu juga. Maji tenshi didepannya ini terlalu bahaya jika dibiarkan bicara. 'Daiki kau mimisan!' pekik Taiga.

'Tak apa Taiga.' Daiki mengelap darah terjunnya dengan punggung tangan. 'Kau... maksudku kita tak boleh ciuman.' Tandasnya.

'Ehhhhh nande? Apa Daiki tidak suka denganku?'

'Chigau!'

'Ore...Taiga ga suki da yo.' Aku Daiki sambil memalingkan muka. Dia bukan Taiga yang dengan gampangnya bilang suka. 'Tapi...kita masih kecil. Belum saatnya.'

'Terus kapan kita bisa ciuman?'

Ingatkan Daiki untuk minta donor darah jika pulang dari sini. 'Eto.. kalo kita udah SMA mungkin?' jawabnya tak yakin.

Taiga manyun. 'Lama.. nanti Daiki keburu ciuman sama yang lain.'

Bibir kecil Daiki tertawa gemas lalu mengusap-usap rambut Taiga. 'Tenang saja. Orang yang kusuka cuma Taiga. Nanti besar aku akan kesini lagi dan kebetulan hari diadakannya festival sama seperti ulang tahunku. Jadi, besar nanti hadiah ulang tahunku yaitu ciuman dengan Taiga.'

Taiga tersenyum sangat lebar. 'Un. Aku akan menunggumu Daiki.'

Langkah kaki Aomine kini berlari menuju tempat itu... tempat favorit Kagami. Dan benar saja, Kagami sedang memunggunginya menikmati pemandangan kota. Kagami menoleh "Aomine kau lam..."

"Taiga!"

Kagami berjengit. Sejak kapan dia tau nama depannya.

"Aku ingat semuanya."

Shock Kagami bertambah. Dia tak bisa berkata apa-apa sekarang, hatinya terlalu bahagia.

"Kau... ingat semua?" Kagami mencoba mencari kepastian. Dan anggukan sebagai balasannya.

"Kau... ingat janji itu?" anggukan lagi. Cukup lama Kagami bergeming. Ekspresinya masih dipenuhi oleh rasa terkejut.

Kemudian tersenyum, "Gomen membohongimu selama ini. Sebenarnya aku sudah tau jika itu kau, sejak kau menyebutkan namamu." Kagami menghela nafas. "Tapi melihatmu yang tak mengingatku dan sangat antusias untuk berkenalan denganku, rasanya aneh jika aku bilang aku teman masa kecilmu haha."

Aomine menunduk, "Gomen..."

"Ke..kenapa minta maaf? Wajar saja kan kau lupa, itu sudah berlalu 12 tahun yang lalu."

"Tapi kau masih mengingatnya!"

Keheningan menyapa mereka, mencoba menetralisir perasaan rindu yang membuncah. Dan Aomine ingat satu hal lagi yang belum ia tanyakan. "Kagami...apa benar kau...sudah meninggal?"

Kagami tersenyum miris, "Kau juga sudah tau itu ya."

Badan Aomine serasa melemas, "Jadi...kau hantu?" suaranya bergetar, entah karena terlalu shock tau Kagami adalah arwah atau karena takut hantu.

Si kepala merah mengangguk. "Aku menderita penyakit kebocoran hati waktu itu. tapi mengingat janji kita membuatku melupakan semuanya. Dan tanpa sadar, ajalku sudah tiba saat berumur 8 tahun."

"...Lalu entah kenapa arwah ku kembali kesini. Saat aku bertanya pada penunggu kuil ini, mereka bilang aku masih terikat dengan tempat dan desa ini untuk menepati janjiku."

Kagami menelengkan kepalanya dan tersenyum paksa, "Kau pasti takut kan?"

"Tidak!" jawabnya mantap. Aomine mendekat, tangannya menggapai pipi Kagami, mengelusnya lembut. "Malahan aku rindu padamu... Taiga."

Setitik air mata tiba-tiba jatuh dari kelopak mata Kagami. "Kau memang bodoh." Omelnya terisak. Tangan dim itu membawa orang yang disukainya untuk mendekat, memeluknya erat.

"Aku juga minta maaf telah berbohong padamu."

Kepala Kagami mendongak, "Bohong apa?"

"Bohong kemarin marah soal PR musim panas. Sebenarnya bukan masalah itu, tapi masalah hatiku yang tak berhenti memikirkanmu, yang selalu menolak untuk menyukaimu. Tapi sekarang aku tau aku menyuk...iie..aku mencintaimu dari dulu sebelum aku menyadarinya."

Kagami terkikik, "Jadi kau homo?"

"Persetan dengan homo. Aku menyukaimu.."

Jari Kagami mencengkram kaos belakang Aomine. "Aku juga."

"Ngomong-ngomong janji itu kan sebuah ciuman. Tapi saat disungai kenapa kau malah menghentikanku untuk menciummu?"

Kagami memerah, "Ja...janjinya kan pas ulang tahunmu, saat itu kan bukan harinya."

Kekehan Aomine luncurkan, "Kau tetap manis seperti dulu Bakagami." Dan mencium kagami tepat dikening.

"Kau siap ciuman?" tanya Aomine tak tau malu.

"Un... dengan begitu aku bisa pulang dengan tenang."

"Apa maksudmu?"

"Eh?"

"Apa maksudmu dengan pulang?"

Kagami melepaskan pelukan Aomine, "Aku kan arwah Aomine. Tempatku bukan disini, jika janjiku sudah terpenuhi aku akan menghilang."

Aomine menggeleng keras. "Tidak mungkin! Kau tak boleh menghilang! Aku baru bertemu denganmu setelah 12 tahun! Mana bisa aku membiarkanmu pergi begitu saja!"

"Aomine..."

"Tidak Kagami kumohon!"

"Aomine... dengar dulu..."

"Aku tidak akan menciummu! Tidak! Kita jangan pernah tepati janji itu!"

Kagami menggeram melihat Aomine berteriak seperti orang gila. "AOMINE!"

Dan amukannya membuat Aomine bungkam, ia menuntun tangan Aomine kebibirnya untuk kemudian mengecupnya. "Aku sudah meninggal Daiki. Relakanlah aku."

"Tapi..."

"Aku yakin... pasti! Kita akan dipertemukan kembali dalam kehidupan yang lain. Dan selama itu aku akan menunggu." Senyuman Kagami terlalu hangat bagi Aomine.

"Sudah cukup kau menungguku disini Kagami. Aku tak tega melihatmu untuk menungguku lagi, kau begitu banyak menderita karenanya."

"Tidak Aomine. Itu tak menderita sama sekali, kenapa? Karena yang kutunggu itu adalah dirimu."

Right! Aomine tak bisa berbicara apa-apa lagi, dia sudah kalah telak. Lagipula didalam hati kecilnya dia ingin sekali menepati janji itu. Tak ada cara lain lagi, hanya ini cara agar Kagami bahagia dan pergi dengan tenang.

"Aku mencintaimu..."

Wajah Aomine semakin mendekat, tangannya melingkari pinggang orang yang dicintainya.

"Shiteru..." dan Kagami hanya tersenyum, sedikit demi sedikit air mata jatuh dari kristal crimson itu.

"Maafkan aku Taiga..." wajah mereka berjarak lima centi. Mata Kagami terpejam, merasakan hembusan nafas hangat Aomine. Janji yang selalu ia tunggu akhirnya tercapai, orang yang selama ini ia tunggu ada didepannya. Tak bisa dipungkiri jika dia sangat bahagia sekarang. Sampai akhirnya bibir Aomine menyatu dengan bibirnya. Begitu lembut, hangat, penuh cinta dan sakit saat sadar jika ini ciuman pertama dan terakhirnya. Mereka melepas tempelan bibir itu setelah 5 menit lamanya.

Dan Aomine bersumpah tak ingin melihat senyum Kagami yang teramat manis dan menyakitkan ini. "Arigatou... sayounara.." perlahan tubuh Kagami memudar menjadi kepingan cahaya.

Aomine mempererat pelukannya. Mencoba mencegah tubuh itu menghilang, mereka baru saja bertemu sebentar, Aomine tak mau melepasnya meskipun itu mustahil. Sampai akhirnya Kagami benar-benar sudah menjadi butiran cahaya yang melayang dilangit malam diiringi setitik air mata terakhir Kagami, ia berkata dengan lembut.

"Otanjoubi Omedetou Daiki. Aku mencintaimu."

Kaki Aomine melemas, ia jatuh terduduk. Tangannya meremas rumput, mata yang selalu terlihat kuat itu tak bisa menampung lagi kesedihannya, hingga untuk pertama kalinya Aomine menangis, setitik air mata yang melambangkan rasa sakit kehilangan orang yang dicintainya.

"Aku sangat mencintaimu Taiga..."

'Dan terima kasih telah menungguku...'

OMAKE

Kaki kecil berbalut sepatu digoyangkan bergantian, tubuh berusia 6 tahun itu berteduh dibawah sejuknya atap kuil. Rambut merah bata gradasi hitam dibawahnya terlihat lepek oleh keringat. "Panas~" keluhnya.

Tap Tap

Telinganya mendengar langkah kaki dari tangga menuju kuil tersebut. Dan beberapa saat kemudian dipintu gerbang kuil nampak seorang bocah dengan kulit hitam dan rambut biru tuanya berjalan kearahnya. Kakinya berhenti didepan si rambut merah dan menyodorkan es krim cone yang hampir meleleh."Aku sudah kenyang. Jadi kuberikan padamu." Yang ditawari dengan senang hati mengambil es krim yang menggiurkan itu.

"Arigatou."

Mata Azure milik bocah berambut biru mengerling menelisiki sekeliling kuil.

"Kau sendirian?"

Si merah mengangguk. Dan kemudian duduk disamping si bocah merah. "Aku Aomine Daiki. Dari Tokyo."

Bocah itu menengok dengan mulut belepotan lelehan es krim, "Aku Kagami Taiga."

Daiki terkikik geli, "Mulutmu belepotan tuh!" jarinya menunjuk mulut Taiga.

"Eh?" Taiga mengerjap kaget. Lalu mencoba membersihkan dengan tangan kecilnya, namun naas tambah belepotan. Daiki mendengus, "Sini!" Daiki menyuruh Taiga mendekat.

"Kalo ngebersihin itu yang bener!" tangan dimnya dengan telaten mengelapnya dengan kaos miliknya sendiri. Rela berkorban.

"Nah udah!"

"Arigatou." Taiga tersenyum, imuttttt sekali...

"Kau lucu."

"Kau hitam." Air susu dibalas air tuba, mungkin itu pepatah lama tapi sangat mirip seperti apa yang Daiki rasakan sekarang.

"Biarpun hitam tapi ganteng." Elaknya tak terima, "Lagipula alismu aneh kenapa belah?"

Taiga menyentuh alisnya sendiri. "Oh ya? Mamah bilang lucu kok."

EMANG!

Daiki emang masih kecil, tapi sudah tau namanya cinta. Seperti saat ini, Aomine yakin ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Maji Tenshi yang baru dikenalnya ini.

"Daiki?"

"Ya?"

"Mau main?"

"Tentu.."

Taiga tersenyum senang.

"Besok malam disini akan ada festival musim panas. Daiki mau kesini bareng aku?"

"Un.."

Sang malaikat kecil memberikan cengirannya, menampilkan deretan gigi kecil yang berderet rapih dan putih.

'Mamah.. kalo nikah itu bisa dilakuin saat kecil, ingin sekali Daiki menikahi Taiga saat ini juga.' Ratapnya. Yahhhh mereka masih kecil, belum tahu yang namanya homo-homoan. Jadi sah-sah saja bagi Daiki.

Tapi tak apa, dia harus bersabar menunggu besar nanti. Jika sudah saatnya tiba, saat dia sudah sukses, dia akan langsung melamar Taiga secepatnya. Ya! Itu impiannya. Tapi sebelumnya ada hal yang harus ia sampaikan juga, sayangnya Daiki belum siap jika sekarang. Daiki ingin sekali bilang...

...'Aku mencintaimu Taiga...'...


domo... lama tak jumpa, ada yg rindu saya/GAK

betewe Happy AoKaga/KagaAo Days pertama buat kita semua, moga mereka makin unyuh dalam segala-galanya :'^

oke... saya gk tau mau ngomong apa lagi :v pokoknya Review dan Saran pliss :v