Sebuah taksi berhenti tepat di depan gerbang sebuah rumah bergaya klasik Eropa. Seorang namja keluar dari taksi, mengeluarkan beberapa koper dari bagasi dibantu oleh sang sopir taksi, kemudian bergegas membayar dan membungkuk sambil berterima kasih pada sang sopir.

Namja itu memencet bel di sisi pagar rumah dengan tidak sabaran.

"Ugh menyebalkan sekali, padahal beberapa menit lalu aku sudah memberitahunya kan kalau aku sudah dekat, kenapa lama sekali sih membukanya?" gerutunya sebal.

Tak berapa lama kemudian tampak seorang yeoja berlari-lari keluar dari pintu rumah. Ia melambaikan tangannya dengan semangat kepada namja itu tapi hanya ditanggapi dengan mulut manyun sang namja yang merasa telah menunggu terlalu lama.

"Mianhaeeee, tadi aku di kamar mandi, tidak mendengar suara bel" kata yeoja itu meminta maaf sambil bergegas membuka kunci pagar.

"Seenaknya saja membiarkan kakakmu yang jauh-jauh datang dari London ini menunggu lama, huh menyebalkan! Memangnya kau tidak merindukanku eoh?" namja itu memasang wajah cemberut, tapi justru tampak imut di mata sang yeoja.

"Hei, Xi Luhan jangan memasang wajah sok imut begitu! Kau jadi tampak lebih cantik dariku tahu!" yeoja itu mencubit pipi namja bernama Xi Luhan dengan gemas.

"YA! Xi Luna! Aku itu oppa-mu bersikaplah sopan sedikit! Dan apa itu menyebutku cantik, aku itu namja dan aku manly, titik!" Luhan merajuk dan memanyunkan bibirnya.

Xi Luna, sang adik yang hanya berselisih 2 menit dengannya hanya terkekeh melihat kelakuan kakaknya yang sangat jauh dari kata manly itu. Tapi walaupun begitu sang kakak adalah atlet sepakbola cukup diandalkan oleh sekolahnya di London sana.

"Iya, kakak kembarku yang paling manly, maafkan adikmu ini. Sekarang ayo masuk, kau pasti lelah kan?" kata Luna sambil membantu Luhan membawa salah satu kopernya.

"Sepertinya ada yang berbeda dari rumah ini" komentar Luhan saat menginjakkan kakinya di ruang tamu,

"Yap. Aku mengecat semuanya berwarna pink. Lucu kan?" kata Luna berseri-seri, "dan ada banyak barang Hello Kitty, kau pasti suka—"

Luhan meringis malu saat ada maid-nya yang lewat dan mendengar perkataan Luna barusan.

"Luna-ya! Jangan berkata seolah-olah aku juga suka Hello Kitty! Kau membuatku mau tahu!" omel Luhan memutus penjelasan panjang lebar Luna mengenai detail segala hal berbau Hello Kitty-nya.

"Loh kau kan memang su—"

"Ah sudahlah, aku mau ke kamarku saja!" kata Luhan sambil meninggalkan Luna yang kebingungan dan bergegas menaiki tangga putih di sudut ruangan.

Namja manis itu berjalan sambil terus menggerutu, dan tampak semakin kesal saat teringat kopernya tertinggal di bawah. Tapi ia meneruskan langkahnya sampai di pintu bercat putih dengan hiasan Hello Kitty—lagi. Luhan mendengus kesal dan mencopot hiasan itu asal kemudian masuk ke dalam. Paling tidak isinya masih sama, segala hal berbau Manchester United—klub favoritnya.

Luhan merebahkan tubuhnya di ranjang yang mungkin sudah setahun ini tidak dipakainya. Ia sudah 2 tahun bersekolah di Inggris, setelah dengan susah payah membujuk orang tuanya. Dan akhirnya dikabulkan karena disana ada paman Xi, adik ayah Luhan yang bersedia menampung Luhan dan mengawasi gerak-gerik Luhan disana.

Ayah Luhan awalnya tidak mengizinkan karena takut anak lelaki semata wayangnya itu akan lebih fokus terhadap hobinya bermain bola, mengingat Inggris merupakan negara yang dipenuhi dengan klub-klub bola ternama. Tuan Xi sama sekali tidak menyetujui cita-cita Luhan menjadi pemain sepakbola karena menurutnya profesi itu sama sekali tidak menjamin masa depannya. Ia ingin Luhan meneruskan posisinya di perusahaan suatu saat nanti, dan Luhan sudah terlanjur mengiyakan. Tetapi selama di Inggris Luhan tetap aktif bermain bola, bahkan ia menjadi salah satu pemain inti salah satu klub di kota London, tempatnya tinggal. Dengan susah payah selama 2 tahun ini ia menyembunyikan itu semua dari pamannya dan terutama ayahnya.

"Hei kenapa melamun?"

Suara Luna mengagetkan pikiran Luhan yang tengah menerawang sambil menatap langit-langit kamarnya.

"Tidak kok" Luhan mendudukkan diri, kemudian Luna ikut duduk di sampingnya.

"Kau libur berapa bulan?" tanya Luna.

Luhan memutar bola matanya malas. "Kenapa masih bertanya sih? Aku yakin Robert sudah memberitahumu kan?"

Luna nyengir. "Hehe galak sekali sih, aku kan hanya mencoba perhatian padamu, kau kan satu-satunya saudara yang kumiliki."

"Aku yakin ada sesuatu yang kau inginkan dariku karena kau sudah mulai membahas 'satu-satunya saudara yang kumiliki' dan hal menggelikan semacam itu" tebak Luhan sambil menatap malas Luna yang nyengir lagi.

"Kau memang benar-benar saudara kembarku—"

"Cepat katakan apa yang kau inginkan, aku lelah" kata Luhan malas, ia ingin segera melepas rindu dengan kasurnya.

"Uhm—begini, kau kan libur musim panas 2 bulan, Robert juga, dia ingin aku kesana me—"

"MWOOOOOO? Tidak, tidak, tidak" potong Luhan setelah tahu arah pembicaraan saudara kembar identiknya itu.

"Dengar dulu aku tidak akan bolos—"

"TIDAK AKAN BOLOS BAGAIMANA? Pantas saja si Robert sialan itu tidak merengek ikut denganku kesini, ternyata kau yang disuruhnya kesana, dasar busuk—" gerutu Luhan. Sambil membayangkan wajah menyebalkan Robert, teman sekolahnya yang berasal dari Inggris dan teman satu klub bolanya juga. Dan sialnya ia juga namjachingu Luna.

"Boleh ya oppa? Boleh ya?" Luna memohon dengan puppy eyes-nya.

Luhan mendecih. "Tidak akan mempan kau ber-aegyo dan memanggilku oppa segala! Lagipula nanti bagaimana sekolahmu kau tinggalkan selama 2 bulan hah?"

"Aku sudah memikirkan itu, tenang saja. Tunggu sebentar" kata Luna sambil menyeringai licik dan meninggalkan kamar Luhan. Tiba-tiba Luhan merasa ada hal yang tidak beres akan terjadi sebentar lagi.

Luna kembali ke kamar Luhan dengan senyuman aneh di wajahnya. Di tangan kirinya tampak seragam sekolah yang biasa ia pakai dan di tangan kanannya ada wig? Luhan membulatkan matanya bingung, sebenarnya apa yang Luna rencanakan?

"Nah, jadi kau yang akan menggantikanku pergi ke sekolah" ucap Luna to the point.

Luhan melongo. Benar-benar sulit mencerna perkataan Luna barusan.

Dia?

Ke Sekolah?

Menggantikan?

Apa maksudnya?

"Jadi—kau berpura-pura menjadi aku dan pergi ke sekolah, gampang kan?" lanjut Luna enteng, sambil tersenyum tanpa dosa.

Luhan masih setia dengan style melongonya. Sungguh semua kata-kata dikepalanya terasa menguap begitu saja.

"Bagaimana? Jawab dong!"

"KAU—BENAR-BENAR TIDAK WARAS!" tampaknya hanya itu kata-kata yang masih tersisa di otak Luhan, dan tampaknya cukup pas untuk mendeskripsikan apa yang ada di otak Luna. Dengan gontai Luhan pun meninggalkan kamarnya.

"YA! YA! Xi Luhan!" Luna mengejar Luhan dan berhasil menarik lengan saudara kembarnya itu.

"Aku mohon, aku sudah merencanakan ini sejak lama, dan tidak 2 bulan penuh aku pergi paling hanya sebulan—sebulan saja kau menggantikanku jebaaaaal" Luna memohon sambil menarik-narik lengan Luhan layaknya anak kecil.

Muka Luhan memerah menahan amarah. "TI-DAK MA-U!" tegasnya.

"Baiklah, kalau begitu aku tinggal menelepon appa saja dan memberitahunya kalau di London kau ikut klub bola" ancam Luna dengan entengnya.

Luhan menggeram kesal. "Ugghh KAU—LICIK! Menyebalkaaaan!" teriak Luhan yang hanya ditanggapi Luna dengan cengirannya.

"Hanya itu satu-satunya cara agar kau mau menurutiku. Lagipula tidak seburuk itu kok, di sekolahku kau bisa bermain bola dengan leluasa—"

"Yeah, tapi sebagai yeoja—" potong Luhan dengan tampang suram.

"Sekolahku tidak memiliki klub sepakbola perempuan, kurasa kau bisa bergabung dengan klub namja. Nanti bisa kita rundingkan dengan Minseok oppa—"

"Minseok? Kim Minseok? Dia satu sekolahan denganmu?" tanya Luhan antusias, karena Minseok adalah salah satu rekannya bermain bola dulu, ketika ayahnya belum mulai melarangnya.

"Yap. Dia pelatih klub sepakbola sekolahku. Bagaimana? Kau tertarik kan? Kau pasti ingin bermain bola dengan Minseok oppa lagi kan?" Luna masih berusaha merayu.

Luhan tampak berpikir keras, jika dia menolak maka habislah sudah karir sepakbolanya di London sana, jika dia menerima dan menjadi yeoja—ugh sangat menjijikan sebenarnya—dia bisa bertemu dengan kawan lamanya Minseok, dan ada kemungkinan turun ke lapangan bersamanya lagi.

"Jadi—bagaimana?"

Luhan menghela nafas. "Baiklah, mau bagaimana lagi? Aku tidak mau karir sepakbolaku di London hancur gara-gara mulut licikmu yang mengadu pada appa."

"Wohoooo—kau memang saudara terbaikku!" Luna berjingkrak kegirangan, "aku harus segera memberitahu Robbie."

"Aku sungguh menyesal mengenalkanmu pada Robert" gumam Luhan lirih.


.

.

See You in the Next Chapter :)