THE SECRET -CHAPTER 1-
GaaraxShijima Fanfiction
Summary :
Sudah memasuki minggu ketiga aku tinggal di mansion bersama si bungsu Sabaku. Tapi rasanya masih terlalu dini untuk menerima kenyataan bahwa harta dan segala jerih payah -termasuk seluruh gajimu- pada akhirnya terhempas begitu saja menjadi milik pemilik mansion ini. Gila. Ini gila. Sepertinya aku juga mulai gila.
Disclaimer :
Naruto n friends belongs to Masashi Kishimoto and Ukyou Kodachi (Gaara Hiden)
-oOo-
"Shijima, kau sakit?"
"Hm? Tidak… aku tidak apa-apa... aku tidak sakit." Jawabku sekenanya.
"Jangan melamun di depan kaca seperti itu. Aku kira kau kesurupan."
Aku pun mendengus mendengar jawabannya.
"Aku tidak apa-apa… tenang saja."
"Benarkah?"
Lalu aku hanya membalasnya dengan mengangkat pundakku.
"Hah~"
Kulihat seseorang yang sedang menemaniku di sini menghembuskan nafas beratnya. Sekarang sudah pukul 10 tengah malam. Aku mengakhiri latihanku. Bergegas melepas sepatu sneakersku dan menggantinya dengan sandal. Setelah itu kulanjutkan dengan menata dan mengemasi barang-barang.
"Kau sudah makan?"
Hening. Aku mendengarnya. Tapi aku merasa malas untuk sekedar menjawabnya.
"Ino sudah pulang lebih dulu dari tadi. Aku yakin kau pasti belum makan malam, hn?"
Lagi-lagi akupun diam dan hanya mendengarkannya saja.
"Kau… jangan keras kepala seperti itu Shijima… atau tunanganmu yang dingin itu akan-"
Aku melirik ke orang itu dengan cepat. Kembali aku mendengus dibuatnya. Tunangan? Siapa yang dia bilang tunangan? Jangan melucu! Aku… benar-benar tidak suka arah pembicaraan ini. Hanya saja… aku juga tidak tega dengan satu-satunya orang yang mengerti dan paham dengan kondisiku sekarang.
"Apa kau tidak punya uang untuk membeli makan?" Jleb. Tanganku terhenti meringkasi barang kala mendengar pertanyaannya. Aku memandang wajahnya yang iba itu… melihatku. Apa sebegitu menyedihkannya diriku hingga harus dikasihani? Dan jawabanya adalah BENAR! BENAR SEKALI! BAHKAN UNTUK MEMBELI MAKANAN SAJA AKU TAK SANGGUP!
"Tentu saja aku punya. Aku hanya… tidak ingin menggunakannya… dengan sembarangan"-karna uang itu bukan milikku, jawabku bohong.
Kemudian ia balik menatapku dan tertawa miris.
"Aku mengerti."
Ia menyodorkan sebuah susu kotak rasa coklat padaku.
"Sayangnya, kau tetap harus mengisi perutmu itu. Jadi… minumlah"
Aku mengangguk dan menerimanya.
"Segera pulang. Aku tidak mau karir dan pekerjaanmu terhenti. Jangan sampai masalahmu itu menambah beban pikiranmu. Istirahatlah" Ia tersenyum sambil menepuk pundakku dan kemudian berlalu.
Akupun hanya bisa melihat kepergiannya dengan wajah senduku.
Pak manager… trimakasih.
-oOo-
Mobil jemputan sudah menunggu dari tadi. Memang, aku saja yang ingin berlama-lama menghabiskan waktu ku di kantor atau di studio. Entah apa yang aku lakukan di sana. Tapi sepertinya aku punya kegiatan baru. Termenung. Ya, itu sudah menjadi kegiatan baru yang sering kulakukan kapanpun dan dimanapun aku berada.
Aku terlalu terlarut dalam pikiranku, hingga tak terasa mobil sudah berhenti dan tiba di rum-, maksudku di mansion super elit nan megah ini. Mansion berinterior klasik yang didominasi dengan kayu, warna coklat dan merah maroon. Dibelakang mansion ada kebun kaktus (?) yang katanya sang pemilik mansion sendirilah yang merawatnya. Selain itu kudengar juga ada ruangan di lantai bawah tanah yang aku tak tau (dan tak mau tau) apapun isinya. Sangat indah. Aku suka dengan mansion ini. Tetapi, tidak dengan pemiliknya, anak ketiga dari keluarga Sabaku. Sabaku no Gaara. Demi Tuhan,… menyebut namanya saja sudah membuatku memegang kepala.
Aku adalah Shijima Houki. Umurku 24 tahun. Aku sangat suka menari, hiphop dan street dance pada khususnya. Aku sudah berlatih menari sejak kecil. Kemudian aku melanjutkannya dengan menjalani training saat sekolah menengah untuk menjadi seorang penari, penyanyi maupun aktris. Lalu aku memulai debutku pada usia 18 tahun. Kedua orang tuaku sama sekali tidak melarang dengan jalan yang kupilih ini. Maka dari itu aku berusaha fokus dengan impianku dan membuat mereka bangga! Aku bersyukur mereka selalu mendukungku hingga dalam waktu singkat aku bisa menjadi orang yang sukses, terkenal dan tentu saja… memiliki penghasilan yang lebih dari cukup.
Namun seperti yang kalian ketahui, di atas langit masih ada langit. Aku sangat yakin, keluarga Sabaku adalah orang yang sangat-amat-super-duper-elit dan kaya. Aku sendiri tidak menyangka ayahku bisa mengenal pengusaha besar seperti dia. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah… ayahku memiliki hutang yang bahkan tidak sanggup ia bayar kepada Sabaku bungsu ini. Oh, demi Neptune… sekarang akupun harus bekerja keras menanggung semua apa yang telah ayahku lakukan.
-oOo-
"Maaf nona, ada tamu yang menunggu anda di dalam"
Baru saja tiba di rumah sudah ada tamu yang menungguku. Siapa? Teman-temanku tidak mungkin datang tanpa memberi kabar. Mungkin kerabat orangtu- maksudku kerabat almarhumah kedua orangtuaku. Semenjak ayah dan ibu meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan dinasnya, beberapa kerabat banyak berkunjung untuk menyampaikan belasungkawa. Hanya saja karena aku sibuk dengan dunia dan pekerjaanku, aku tidak terlalu mengenal dekat dengan mereka, termasuk pria yang sedang berada di depanku saat ini.
"Maaf siapa anda?"
Pria itu lalu melepas kacamata hitamnya.
"Aku Sabaku no Gaara. Aku kerabat almarhumah ayahmu." Jawabnya sambil menatapku.
"Jadi tuan Sabaku, apa keperluanmu?"
Ia tersenyum. Tapi dari yang kulihat senyumannya itu tampak… dingin. Hal itu membuatku merinding dan merasa akan jadi pertanda buruk.
"Aku kemari ingin mengambil sesuatu… sesuatu yang seharusnya menjadi milikku."
Untuk sesaat aku mendadak tuli. Apa yang dia bilang? Mengambil yang seharusnya menjadi miliknya? Apa dia meninggalkan sesuatu di sini?
"Maaf sebelumnya, aku tidak mengerti apa urusanmu dengan ayahku, dulu. Mungkin anda bisa sedikit jelaskan apa yang anda butuhkan di sini… tuan Sabaku?"
Ia pun menunjukkan sebuah map yang berada di atas meja, kemudian ia menyodorkan map tersebut kepadaku. Apakah ini tentang pekerjaan? Aku meraih map itu dan membukanya. Di dalam map itu ternyata berisi selembar surat pernyataan bermaterai, yang telah dibubuhkan oleh tandatangan ayahku. Surat itu menjelaskan tentang perjanjian hutang yang telah ayahku lakukan dengan salah satu anggota keluarga Sabaku. Lihatlah nominal ini! Aku tidak percaya. Aku harus menahan suaraku untuk tidak teriak karna terkejut, dan mengulang membaca surat tersebut hingga tiga kali. Tenanglah Shijima… tenang.
"Baiklah tuan Sabaku… sepertinya ayahku punya sesuatu yang harus dibayarkan kepadamu…"
"Tentu saja." Jawabnya santai sambil duduk dengan menyilangkan kedua tangan dan kakinya.
Aku mengambil nafas dan berusaha untuk tidak terlihat gugup.
"Kalau begitu aku akan- "
"Aku akan menyita rumah ini."
Bloody hell! Inner ku berteriak.
Ia mulai berdiri dan berjalan ke arahku.
"Kau sudah melihatnya. Apa kau yakin akan sanggup membayarnya.. hm?"
Ia berjalan semakin dekat hingga kini wajahnya tepat berada dihadapanku. Kedua tangannya mengurungku yang sedang duduk. Bisa kulihat dengan jelas dibalik kacamata hitamku. Rambut merah maroonnya yang sedikit berantakan. Kulit wajahnya sangat putih dan juga pucat. Di keningnya tercetak sebuah tato bertuliskan "Ai" yang entah kenapa terlihat cocok pada wajahnya. Selain itu ada sebuah lingkar hitam melekat di mata mint-nya yang tajamanya. Lalu aroma citrus yang tercium dari badannya, sangatlah menggoda. Dari bermacam-macam hal yang kusebutkan di atas iapun tampak berkarisma. Dia… tampan.
"Jangan bercanda…"
"Atau kau… memiliki sesuatu yang lain untuk ditawarkan?"
Aku menengguk ludahku. Aku sangat yakin, bahkan rumah dan mobil-mobilku masih belum cukup untuk melunasi hutang ayahku. Arghh! rasanya aku frustasi dalam seketika.
Perlahan, bungsu Sabaku ini memperpendek jarak wajah diantara kami dan ia membisikkan sesuatu ditelingaku.
"Bagaimana dengan adikmu?"
Refleks aku memalingkan wajahku yang hanya tinggal beberapa centi dengan wajahnya.
"Jangan pernah - berani - menyentuh - adikku, Sabaku"
"Lalu bagaimana denganmu? Apa aku bisa… menyentuhmu?"
Aku menangkis tangannya yang membelai pipi kananku.
Ia pun menyeringai.
"Kalau begitu, kau pasti tau apa yang harus kau lakukan."
Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto-yang lebih tepatnya adalah foto adikku, Hakuto. Aku terbelalak hingga hampir saja aku merebut ponselnya itu. Foto itu diambil tepat saat Hakuto sekarang ini berada. Luar biasa. Bahkan dia mengirim seseorang untuk memata-matai adikku?
"Kau mau mengancamku?"
"Tidak. Aku hanya tidak ingin kau membantah." Ia menyimpan poselnya kembali.
Akupun menghela nafas panjang di depannya.
"Apa maumu? Setelah semua hartaku, kau mau mengambil adikku juga?"
"Itu bukan pilihanmu, nona Shijima." Ia tersenyum, lagi.
"Kuberi waktu tiga hari untuk mengemasi semua barangmu lalu kau… akan tinggal bersamaku."
Aku terdiam cukup lama dan memandang wajahnya. Dia pasti merencakan sesuatu.
"Apa? Apa kau gila? Aku bahkan tidak mengenal-."
"Maka-kau-akan-mengenalku." Jawabnya cepat.
"… kecuali kau ingin tinggal di pinggir jalan seperti gelandangan dan-"
"Baiklah baiklah aku-mengerti-tuan Sabaku. Asalkan kau tidak mengganggu adikku."
Ia hanya mengangkat bahunya.
"Bukan tempatmu untuk mengambil keputusan … akulah, yang memegang kendali di sini"
Sial.
-oOo-
Sudah memasuki minggu ketiga aku tinggal di mansion bersama si bungsu Sabaku. Tapi rasanya masih terlalu dini untuk menerima kenyataan bahwa harta dan segala jerih payah -termasuk seluruh gajimu- pada akhirnya terhempas begitu saja menjadi milik pemilik mansion ini. Gila. Ini gila. Sepertinya aku juga mulai gila. Untuk sementara waktu ini memang tidak terjadi apa-apa. Aku sendiri juga jarang melihatnya. Padahal kamarnya saja hanya bersebrangan dengan kamarku. Mungkin dia sedang sibuk. Tidak apa-apa, aku juga malas bertemu dengannya. Itu akan merusak moodku. Tapi sia sangka. Selama di sini ternyata masih ada seseorang yang berbaik hati dan mau peduli kepadaku.
"Shijima… kau pulang larut lagi."
Aku tersenyum melihat seseorang tengah menunggu untuk menyambut kepulanganku.
"Iya, paman Yashamaru. Aku harus berlatih untuk tampil di beberapa tempat."
"Ayo kemarilah, aku tau kau pasti belum makan." Paman Yashamaru menuntunku menuju dapur. Dan lihatlah. Ia sudah menyiapkan barberque panggang yang aku tau pasti paman baru saja memasaknya.
"Paman Yashamaru, terimakasih" Aku mulai mengambil beberapa daging tersebut dan segera menyantapnya. Tidak kupungkiri perutku sudah lapar sejak beberapa jam yang lalu. Dan aku benar-benar tidak punya uang untuk membeli makanan sedangkan Ino, asisten baruku yang diperintahkan langsung oleh Gaara untuk mengawasiku, sudah pulang terlebih dahulu tanpa meninggalkan uang sepeserpun untukku. Dasar menyebalkan. Mungkin lain kali aku akan mengambil makanan dari mansion ini untuk kujadikan bekal.
Paman Yashamaru tertawa melihatku makan dengan lahap.
"Kau sangat kelaparan, Shijima? Apa Gaara menyiksamu lagi?" tanyanya tulus.
"Tidak, paman. Aku hanya… terlalu lelah setelah berlatih." Jawabku penuh dusta, walau tidak sepenuhnya dusta.
"Kalau begitu akan paman siapkan makanan untukmu agar kau tidak kelaparan saat latihan."
Aku terkejut dan menatap wajah paman Yashamaru. Apa paman bisa membaca pikiranku? Tapi nyatanya itu adalah ide yang sangat brillian. Minimal aku tidak akan merepotkan managerku lagi soal makanan.
"Jika itu tidak merepotkan paman, aku akan sangat berterimakasih." Benar. Untuk sekarang hanya itu yang bisa kukatakan. Trimakasih paman. Trimakasih Tuhan, yang sudah mengirimkan salah satu malaikat-Nya di saat perutku menjadi taruhannya.
Paman Yashamaru tersenyum dan mengusap kepalaku. Walau baru hitungan hari aku mengenal paman, aku merasa paman adalah salah satu orang yang dapat aku percaya dan menjadi penopang hidupku. Aku tau dia sangat tulus saat mengatakan ia akan menjagaku selama di mansion ini. Maka dari itu aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengambil hati paman. Siapa tau si bungsu Sabaku itu akan menyakitiku, sehingga paman akan bisa membelaku di kemudian hari. Boleh juga.
"Kau ini sangat mirip dengan Gaara."
"Uhukk" Aku tersedak daging bbq mendengar ucapan paman. Pernyataan macam apa itu.
"Paman sedang bercanda?"
"Hahaha. Entahlah paman hanya merasa kalian itu mirip."
Tidaaaak! Aku bukanlah orang yang suka mengancam orang lain seperti dia, paman!
"Shijima…, aku hanya berharap kau tidak akan membenci Gaara."
Tentu saja aku bisa jika dia berjanji tidak akan mengganggu adikku dan memberikanku uang untuk bertahan hidup. Mungkin aku bisa mempertimbangkannya.
"Aku berusaha mencobanya, paman." Aku tersenyum getir. Setidaknya selama ada paman, aku masih bisa bertahan.
ーつづくー
maafkan jika terdapat banyak typo, ooc, bahasa ga jelas, alur berantakan, ide pasaran, imajinasi pas-pasan dsb, karena author memaksakan diri -saking cintanya ama Gaara- untuk bikin ff...
Kritik dan saran akan sangat membantu! Yoroshiku~
