Pria itu mengakui dirinya sebagai seorang petarung jalanan. Luka lebam, dan darah selalu menjadi perhiasan tubuh pria itu. Setiap dini hari pria itu datang dan membeli sekotak plester tetapi tidak sekalipun Kyungsoo melihat plester itu digunakan pada luka-lukanya. Layaknya seorang pramuniaga minimarket pada umumnya, Kyungsoo hanya mengucapkan selamat datang dan terima kasih. Tidak pernah ada kalimat, atau pembicaraan yang membuat mereka terlihat dekat. Kyungsoo mencoba menerka apa kiranya percakapan yang memicunya begitu sangat dekat dengan pria itu. Terakhir yang membuat Kyungsoo mulai mengenal si petarung jalanan itu ketika pria itu mulai menyewa gositel milik bibinya dan meminta sebuah pekerjaan kepada Kyungsoo.
Dia pria berparas menakutkan bagi siapapun yang melihat luka di wajahnya. Sebutan berandal tersemat pada dirinya tapi Kyungsoo menjamin pria itu lebih murah hati, jauh dari yang bisa Kyungsoo bayangkan hingga saat ini. Hanya saja pria itu terlalu misterius. Siapa, kenapa dan bagaimana ia bisa begitu merasa nyaman dengannya, satu yang bisa Kyungsoo sadari bahwa ia sama sekali tidak mengenal siapa Kai sebenarnya.
ANONYMOUS
©blossomkimp
.
.
Kaisoo
BL/Roman/Mystery
"Aku mengenalnya sebagai seorang pria biasa. Berhias luka dengan tatapan lugu yang menyedikan. Si petarung itu lebih lugu dari yang bisa aku bayangkan. Mungkin ini aneh, tetapi aku merasa dilindungi setiap kali dia berada di sisiku. Hingga pada akhirnya aku jatuh pada sebuah kenyataan bahwa dia hanyalah orang asing. Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya."
...malam itu dia datang. Keras kepala. Bagaimana bisa aku menerima seorang brandalan untuk tinggal di gositel ini?...
Ada banyak hal di dunia ini yang begitu sangat misterius untuk bisa ditelusuri. Kyungsoo bahkan tidak mengerti sejak kapan mitos tentang bersiul di malam hari akan mengundang kehadiran arwah halus. Itu konyol, hanya saja kini Kyungsoo mulai merasa waspada pada keadaan sekitar. Menjelang tengah malam, ketika semua orang telah mulai terlelap dalam tidurnya, ia baru saja bersiap untuk pergi bekerja.
Kyungsoo mulai merasa tidak karuan ketika dirinya mulai merasa tengah diikuti oleh sosok asing. Entah siapa dan apa itu yang jelas Kyungsoo masih mengingat hal apa yang telah dilakukannya beberapa menit yang lalu; bersiul.
Seperti sebuah kebiasaan, ketika ia tengah sendirian ia akan bersiul untuk mengusir rasa kesepiannya. Mungkin karena Kyungsoo terlalu terbiasa sendiri ia mulai sering bersiul setiap saat, seolah melantunkan alunan merdu pengusir kesepian. Kyungsoo bahkan terbiasa bersiul seperti ini setiap malam ketika ia hendak berangkat untuk bekerja. Hanya saja malam ini berbeda.
Sebelumnya ia menonton sebuah film horor. Konyol memang, dalam film itu diceritakan bahwa ketika seseorang bersiul pada malam hari itu akan mengundang ular untuk keluar dari persembunyian. Itu lebih baik dibandingkan cerita lain yang lebih menakutkan bahwa bersiul pada malam hari akan mengundang roh halus untuk mengikuti kita.
Semuanya terdengar konyol, mustahil, tetapi pada kenyataannya masyarakat Korea takut melakukan hal itu. Dan Kyungsoo, ia yang baru mengetahui tentang mitos itu kini mulai merasakan keanehan luar biasa kepada dirinya sendiri. Ia merasa, diikuti. Tidak, ini bukan sekali atau dua kali ia merasa diikuti seperti ini. Sudah berkali-kali ia merasakannya tetapi ia selalu menampiknya dan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa itu hanya perasaannya saja. Namun setelah menonton film itu, kini Kyungsoo mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain akan siapa yang selama ini seolah mengikutinya secara diam-diam. Mahluk halus? Arwah? Hantu? Ular?
Tidak, Kyungsoo tidak takut. Ia hanya sedikit waspada.
Kini tidak ada lagi perjalanan santai bagi dirinya sendiri saat ini. Kyungsoo melangkahkan kakinya lebar-lebar dengan tangan yang memeluk tubuhnya sendiri seolah menjadi sebuah pelindung. Kyungsoo bahkan tidak memberanikan dirinya untuk sekedar menoleh, semakin banyak ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan aneh itu. Semakin membuat ia was-was untuk berhadapan dengan apa yang akan ditemukannya nanti. Berpura-pura tidak tahu itu lebih baik sehingga ketika Kyungsoo baru saja menginjakkan kakinya di minimarket. Tanpa berpikir panjang ia lantas segera berjalan cepat ke belakang meja kasir dan berdiri siap—meski sebenarnya ia masih merasa tegang.
Manager Yoon bahkan meliriknya bingung melihat keadaan Kyungsoo yang secepat kilat telah menggantikan posisi pramuniaga sebelumnya untuk bertugas. Bahkan belum 5 menit pramuniaga lainnya meninggalkan meja kasir itu dan kini dengan cepatnya telah kembali digantikan oleh Kyungsoo. Ini bagus sekaligus aneh. Tidak biasanya pegawainya itu datang lebih cepat dari sebelumnya.
Kyungsoo sendiri yang masih merasakan ketegangan aneh di dalam dirinya mulai menyibukkan diri dengan membereskan meja kasir yang sebenarnya nampak rapih. Bahkan ia mengelap meja itu dengan sapu tangannya sendiri tanpa menyadari bahwa atasannya kini tengah memerhatikannya dengan kening yang berkerut heran.
"Kau baik-baik saja Kyungsoo?"
Kyungsoo terlonjak. Ia menatap manager Yoon yang semakin mengerutkan keningnya rapat. Kyungsoo sadar mungkin Manager Yoon kini tengah menganggapnya aneh, tetapi ia berusaha bersikap biasa saja. Setidaknya ia masih bisa tersenyum.
"Tidak apa-apa." Dengan senyuman tipisnya Kyungsoo mengangguk.
Kyungsoo masih mendapati tatapan curiga Manager Yoon kepadanya tetapi itu hanya bertahan untuk beberapa detik saja. Setelah itu Manager Yoon kembali pada pekerjaannya untuk mendata barang-barang apa saja yang telah terjual—seperti tugasnya sebelum ia pulang. Tinggal menunggu hitungan menit lagi hingga Kyungsoo ditinggalkan sendiri.
Tunggu sendiri lagi? Oh, setidaknya ini di dalam ruangan bukan di luar ruangan. Tidak ada ular yang akan masuk kan? Dan hantu macam apa yang menghuni minimarket kecil seperti ini. Konyol.
"Jangan lupa laporannya Kyungsoo, aku ingin data yang rinci."
Kyungsoo hanya membungkukkan wajahnya mengerti ketika Manager Yoon memberikan sebuah buku laporan penjualan dan barang-barang kepadanya. Lantas pria itu segera pergi meninggalkan minimarket. Jam bekerjanya sudah berakhir sekitar lima belas menit yang lalu dan Manager Yoon baru menyelesaikan tugasnya tadi. Hanya Kyungsoo yang tinggal, ini adalah jam bekerjanya—menjelang tengah malam hingga pagi hari. Waktu yang normal, setidaknya bagi Kyungsoo. Bagi seorang mahasiswa mencari pekerjaan itu sangatlah sulit. Mengatur waktu antara kuliah, belajar dan bekerja mungkin nampak sulit bagi kalangan mahasiswa lainnya yang terbiasa hidup berkecukupan. Tapi tidak dengan Kyungsoo. Setidaknya bagi Kyungsoo, bekerja paruh waktu sebagai seorang pramuniaga sudah cukup baginya. Siang hari dia bisa kuliah, sore hingga malam waktunya belajar dan beristirahat dan tengah malam hingga pagi adalah waktunya untuk bekerja.
Satu-satunya kenapa ia memilih pekerjaan ini selama setahun belakangan ini adalah, ia tidak ingin bergantung kepada orang lain meski ia hidup sebatang kara. Tidak, tidak benar-benar sebatang kara—ia masih memiliki seorang bibi—dan tinggal menumpang di rumah orang lain meskipun itu adalah kerabatmu sendiri bukanlah keinginan Kyungsoo. Lagipula itu hanya sementara.
Melupakan tentang mitos-mitos aneh yang sebelumnya Kyungsoo pikirkan, kini ia lebih disibukkan untuk memikirkan laporan yang harus dibuatnya. Sudah pukul empat pagi, tidak banyak pengunjung yang datang ke minimarket—kecuali satu orang.
Suara lonceng pintu yang terbuka membuat Kyungsoo mau tak mau menoleh menyapa pengunjung datang. Ucapan 'selamat datang' terlontar begitu saja seperti telah terlatih dan satu orang itu kembali datang, setiap malam, pada jam yang sama.
Kyungsoo hanya mematung sesaat ketika pria itu menatapnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya menghilang di koridor lain. Kyungsoo lantas bergegas kembali berdiri di belakang meja kasir dan menunggu si pengunjung itu untuk kembali dan membayar belanjaannya.
Sekotak plester dan satu botol bir—seperti biasa. Kyungsoo menatap pria di hadapannya. Meski wajahnya tertunduk, Kyungsoo masih mendapati beberapa luka yang masih menghias wajahnya. Ini bukan sekali dua kali pria itu datang ke minimarket ini. Mungkin sudah sekitar lima bulan terakhir ini pria itu datang, membeli barang yang sama dan dengan luka yang sama. Meski tidak setiap hari pria itu datang, Kyungsoo penasaran kemana plester-plester yang dibelinya ini menghilang karena tidak satupun dari wajah pria itu yang nampak di tempeli plester.
"7000 won."
Dengan nominal yang sama, pria itu memberikan uangnya kepada Kyungsoo. Dengan telaten Kyungsoo menerimanya dan menyimpan uang itu. Kyungsoo lantas memberikan belanjaan itu kepada si pria misterius dan mengucapkan terima kasih.
Biasanya pria itu akan langsung berlalu meninggalkan minimarket tetapi setelah beberapa saat Kyungsoo menunggu. Pria itu masih berdiri mematung di depan meja kasir. Kyungsoo mengernyit ketika dengan tiba-tiba pria itu menunjuk ke arah dinding kaca di sampingnya.
"Apa itu masih ada?"
Ini adalah kali pertama Kyungsoo mendengar pria itu bicara dan suaranya jauh lebih terdengar dewasa untuk ukuran suara yang kecil. Dibawah keterpanaannya, Kyungsoo melirik dan menatap sesuatu yang ditunjuk oleh pria itu. Sebuah poster, penyewaan gositel kosong—milik bibinya. Kyungsoo masih ingat ketika ia meminta ijin Manager Yoon untuk menempelkan poster ini, bibinya memang keras kepala, minimarket bukanlah sebuah papan pengumuman kota. Bibinya mengatakan bahwa menemukan penyewa akan lebih mudah jika dilakukan di tempat umum—dan ini adalah idenya. Beruntung manager Yoon mengijinkannya dengan catatan dilarang menawarkannya langsung; biar pengunjung saja yang membacanya sendiri.
Kyungsoo kembali menatap pria itu lantas memerhatikan penampilannya yang lusuh dan terkesan berantakan. Ada sesuatu yang membuat dirinya ingin sekali menolak pria ini—ya jika pria ini memang ingin menyewa gositel bibinya, mungkin bibinya akan berpikiran yang sama tetapi Kyungsoo sendiri bingung, bagaimana cara ia menolaknya dengan sopan tanpa membuat pria ini tersinggung. Dengan mengatakan kamarnya telah penuh, mungkin?
"Aku butuh tempat tinggal," lanjut pria itu singkat membuat Kyungsoo bungkam. "Dan tidur." Lanjutnya lagi dengan lirih. Matanya menyanyu dan entah kenapa Kyungsoo merasa geli sendiri melihat wajahnya yang nampak merajuk. Sangat tidak cocok dengan garis wajahnya yang tegas dan nampak keras.
Menghilangkan keraguannya akan penampilan pria itu lantas Kyungsoo kembali meyakinkan dirinya sendiri. Satu penyewa, lumayan. Setidaknya sedikit mengurangi celotehan bibinya yang selalu mengomentari tentang keadaan hidupnya yang selalu susah; dan Kyungsoo salah satunya.
"Ya, anda bisa datang besok pagi. Nanti ada wanita—"
"Sekarang."
"Maaf?"
"Aku butuh tempat tinggal."
Lagi-lagi Kyungsoo hanya bungkam. Ia lagi-lagi menatap penampilan pria itu, memerhatikannya lekat-lekat. Sekarang bukan lagi penampilan menakutkan yang bisa Kyungsoo lihat, kali ini lebih terlihat mengenaskan. Rasa kasihan itu tiba-tiba muncul dan entah kenapa bagaimana cara pria itu yang menunduk dengan tangan yang saling mengepal erat kantung plastik dan pakaiannya membuat ia berpikir dua kali untuk menolak penyewa misterius ini. Lagipula bibinya butuh uang kan? Apa yang salah jika ia menerima satu penyewa dengan penampilan berandal seperti ini.
"Aku sedang bekerja. Aku tidak bisa mengantar." Balas Kyungsoo dengan sopan.
"Aku akan menunggu."
Pria keras kepala. Kyungsoo mendesah perlahan dan menatap jam dinding yang ada di minimarket. Jam empat pagi. Bukan cara yang baik bagi dirinya meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Apalagi dalam keadaan toko yang kosong. Siapa yang menjamin jika perampok datang ke minimarket ini karena Kyungsoo yang lalai pergi meninggalkan toko begitu saja demi penyewa gositel bibinya.
Lagipula siapa yang akan datang ke minimarket dini hari seperti ini? Dan siapa juga perampok yang ingin mencuri di minimarket yang lokasinya berhadapan dengan kantor polisi. Benar juga, Kyungsoo mencoba berpikir apa tidak apa-apa ia pergi.
Suara ketukan sepatu yang beradu itu menyadarkan Kyungsoo untuk kembali menatap pria di hadapannya. Kini ia sadar bahwa pria itu kini tengah menunggu.
"Baiklah. Tapi hanya sebentar, saya tidak bisa meninggalkan toko ini lama."
"Ya." Jawabnya singkat dan Kyungsoo hanya memiringkan sedikit kepalanya ketika ia melangkah keluar dari belakang meja kasir. Merasa heran ada juga orang yang benar-benar membutuhkan tempat tinggal semacam gositel kecil secara mendadak.
Pukul empat pagi. Bibinya akan berteriak jika ia berani membangunnya di tengah pagi buta seperti ini. Meskipun Kyungsoo membangunkannya untuk sebuah kabar baik—bahwa gositelnya akan segera disewa—tetap saja pada situasi seperti ini, normalnya orang-orang tengah terlelap dalam tidurnya dan tidak ingin diganggu. Dan saat ini lah yang Kyungsoo lakukan, mengendap-endap memasuki rumah dan mengambil kunci gositel yang selalu tergantung di dekat pintu dapur. Setelah memastikan bahwa bibinya tidak terusik akan kedatangannya, lantas Kyungsoo melangkah keluar dari rumahnya dan menemukan pria itu kini telah berdiri dengan punggung yang bersender di dinding belakang rumah lain.
Pria itu menatapnya ketika Kyungsoo datang. Kyungsoo seketika bergidik, mata itu begitu sangat tajam. Dalam keadaan pencahayaan yang remang Kyungsoo masih bisa menemukan ketajaman tatapan pria itu yang terlihat dingin namun teduh dalam bersamaan.
"Aku akan menunjukkan tempatnya." Ucap Kyungsoo yang dibalas sebuah anggukan dari pria itu. Kyungsoo kini tidak lagi berbicara secara sopan karena sebelumnya pria itu telah mengintrupsinya untuk berbicara dengan kalimat bammal. Kyungsoo sempat bertanya berapa umur pria itu dan ia mengatakan dengan singkat bahwa dia berumur 22 tahun. Yah, dan Kyungsoo berumur 23. Hanya terpaut satu tahun, pantas bahwa ia bicara menggunakan banmal—sekaligus mengatakan kepada pria berandal itu bahwa Kyungsoo lebih tua darinya dengan nada mengingatkan.
Letak gositel milik bibinya tak jauh. Hanya berjarak beberapa meter saja dari belakang rumah bibinya dan dilahan kecil itulah, deretan gositel sederhana berjajar rapi disana.
Kyungsoo mengarahkan pria itu untuk menuju kesalah satu pintu yang letaknya terdapat di sisi ujung sebelah kiri. Lebih terpojok diantara bangunan-bangunan besar rumah lain.
"Apa ini cukup?"
Kyungsoo membuka lebar-lebar pintu gositel itu hingga menarik perhatian pria itu untuk melihatnya. Dia hanya berdiri di ambang pintu, diam dan seperti tengah memerhatikannya. Hanya ruangan kosong dengan luas kamar sekitar 5x4 meter. Cukup kecil memang tapi itu cukup untuk ditinggali satu orang atau dua orang penghuni. Lagipula ini hanya sebuah gositel dan bukan apartemen, tidak ada gositel berukuran besar lebih dari lima meter bukan?
Kyungsoo terdiam untuk beberapa saat. Memerhatikan bagaimana cara pria itu seolah tengah menilai keadaan gositel ini. Entah apa yang diperhatikannya namun bagi Kyungsoo ia yakin ini cukup layak. Untuk sesaat pria itu menoleh ke belakang. Entah apa yang ia lihat tetapi Kyungsoo merasa ia seperti tengah mencari sesuatu. Kyungsoo tidak tahu, karena setelah itu pria itu kembali menatap ruangannya dan mulai memasuki gositel setelah beberapa menit hanya berdiam diri di ambang pintu.
Pria itu masih diam. Ia tidak bicara, tidak berkomentar bahkan pria itu tidak menatap Kyungsoo sama sekali—dan Kyungsoo tidak memiliki waktu untuk ini, dia harus segera kembali ke toko. Kyungsoo harus segera membuat kesepakatan dengan penyewa baru.
"Ngomong-ngomong kapan barang-barangnya akan dipindahkan? Aku akan mengatakannya kepada bibi agar dia tahu bahwa ada penyewa baru disini.".
"Tidak, tidak ada barang-barang lain." Jawabnya singkat tanpa menatap Kyungsoo.
"Bagaimana dengan matras dan selimut? Kamar akan tersedia dengan itu semua dan harganya—"
"Sebenarnya aku tidak memiliki uang."
Kyungsoo langsung terdiam ketika pria itu memotong ucapannya. Kyungsoo menatap lekat-lekat wajah pria itu tak mengerti dan dia hanya menatap Kyungsoo untuk beberapa saat lantas menunduk seolah telah tertangkap basah karena berbohong.
Tidak memiliki uang? Lalu untuk apa pria ini menyewa gositel? Ya Tuhan, firasatmu sebelumnya benar Kyungsoo. Seharusnya kau tidak menerima pria ini.
"Malam ini aku tidak memiliki uang tapi saat ini aku butuh tempat tinggal. Bisakah aku tinggal untuk sementara?"
Kyungsoo masih diam memerhatikan wajah pria itu lekat-lekat. Bahkan dibandingkan wajah samarnya, suaranya kali ini seperti suara seorang anak yang tengah merajuk.
"Aku akan segera membayarnya. Aku menjamin itu, aku jujur."
Kata 'Jujur' yang ditekankan pria itu membuat Kyungsoo berpikir. Ia bisa saja marah namun ia tidak tahu apakah ia pantas marah saat ini? Selama hidupnya tentu ia pernah merasakan marah, bahkan hampir setiap hari—hanya saja ia tidak tahu bagaimana cara untuk meluapkannya—termasuk kepada pria satu ini. Dia masih diam ditempatnya dengan wajah yang menekuk.
Entahlah melihat pria ini dia seperti;
Dirinya.
"Baiklah." Akhirnya Kyungso bersuara setelah keheningan yang cukup lama. "Tanpa selimut dan matras bagaimana? Setelah kau mendapatkan uang, aku akan memberikan matras beserta selimutnya."
Pria itu mengangguk dan sedikit ia mendengar bahwa pria itu bergumam. Kyungsoo yakin dia mengatakan terima kasih tetapi Kyungsoo hanya diam saja tidak menanggapinya agar pria itu mengatakannya lebih keras.
Ada sesuatu yang Kyungsoo lihat dalam pria ini. Dia tidak memiliki apa-apa, tidak juga memiliki uang, mungkin juga dia tidak memiliki siapa-siapa. Pria berandal ini benar-benar mirip dengannya. Tidak ada salahnya juga jika Kyungsoo membantu bukan. Hanya saja bibinya, wanita itu pasti akan murka ketika ia menemukan tamu gratis yang tinggal di gositelnya. Pekerjaan Kyungsoo bertambah, ia harus mengurusnya.
"Sebelumnya aku ingin memberikan syarat," Kyungsoo kembali membuka suara membuat pria itu mendongak. Matanya menatap lekat Kyungsoo dibalik rambut depannya yang terurai berantakkan. "Keluarlah pagi-pagi sekali, aku tidak ingin bibiku tahu bahwa ada seseorang yang tinggal tanpa uang muka sewa disini. Kau bisa kembali malam harinya. Tidak apa-apa kan?"
"Tidak," balasnya singkat. "Terima kasih telah membantuku." Lanjutnya dan kali ini Kyungsoo dapat dengan jelas mendengar kalimat terima kasih itu terucap dari bibirnya langsung. Entah kenapa Kyungsoo tiba-tiba tersenyum namun pria itu hanya diam tanpa ekpresi. Ia tidak menunjukkan balasan senyum Kyungsoo ataupun bereaksi akan sikap ramah yang ditunjukkan Kyungsoo. Sebaliknya pria itu malah berbalik dan mulai berkeliling seolah mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat—meskipun tanpa selimut dan matras.
Kyungsoo mulai merasa bersalah. Malam ini suhu sangat dingin, apa pria itu sanggup bertahan berbaring di lantai kosong seperti ini. Membayangkannya saja membuat Kyungsoo bergidik.
"Apa benar tidak apa–apa jika kau tidur tanpa menggunakan matras dan selimut?"
Kyungsoo terdiam menunggu pria itu untuk menjawab pertanyaannya. Setelah ia duduk di pojok ruangan barulah pria itu kembali menatap Kyungsoo. "Tidak, aku sudah terbiasa."
Sudah terbiasa katanya? Kyungsoo penasaran, apa biasanya pria ini tidur di tempat yang tidak layak juga, namun Kyungsoo memilih diam. Waktu mengobrol masih ada di lain waktu, ya setidaknya jika mereka memiliki kesempatan untuk bertemu kembali. Ini sudah terlalu lama dan Kyungsoo harus benar-benar kembali ke minimarket.
Kyungsoo mengucapkan kata pamit untuk kembali bekerja lantas melangkahkan kakinya pergi. Sebelum kakinya melewati ambang pintu., Kyungsoo mengingat satu hal yang penting. Ia masih belum tahu siapa nama pria penyewa gositel ini. Akhirnya Kyungsoo menoleh dan kembali menatap pria itu yang kini telah melepas jaketnya dan dijadikan sebuah bantalan untuk tidur.
"Ngomong-ngomong siapa namamu?"
Kyungsoo berhasil membuat pria itu menoleh dengan cepat. Pria itu tidak mengatakannya secara langsung, tidak—sebaliknya pria itu seperti tengah berpikir dan tiga puluh detik kemudian barulah pria itu membuka suaranya. Waktu yang lama untuk sekedar menjawab nama saja.
"Orang-orang memanggilku Kai." Jawabnya lirih.
"Baiklah, Kai. Selamat malam."
Kyungsoo pulang pagi harinya. Seperti kebiasannya, ketika ia pulang ke rumah ia akan mendapati bagaimana bibinya akan kembali mengomel membahas tentang semua pengeluaran yang harus ia bayarkan. Entah itu karena biaya listrik, air, kebutuhan sehari-hari hingga yang membuat Kyungsoo semakin tidak nyaman untuk tinggal bersama bibinya adalah mengatakan bahwa ia harus memberi makan anak dari kakaknya yang tidak berguna.
Kyungsoo tidak mengambil pusing hal itu. Ya, ayahnya memang tidak berguna. Bahkan istrinya saja pergi meninggalkannya bersama anak malang ini—ibu Kyungsoo. Kyungsoo tidak tahu bagaimana wajah ibunya. Terakhir kali ia ditinggalkan oleh ibunya sejak ia berumur 12 tahun. Kyungsoo dapat mengerti segalanya saat itu. Tentu saja, siapa yang akan bertahan untuk tinggal bersama sang ayah yang hidup untuk mabuk-mabukan dan berjudi. Setelah ibunya pergi meninggalkan mereka, keadaan semakin buruk ketika sang ayah di pecat dari pekerjaannya. Semua menjadi begitu sangat rumit ketika ayahnya mulai banyak berhutang hingga akhir hayatnya ketika Kyungsoo berumur 15 tahun.
Keluarganya memang menyedihkan dan satu-satunya yang dapat menyelamatkan hidupnya saat itu adalah bibinya. Dia mau membantu, Kyungsoo yang bahkan belum bisa mengerti untuk menyelesaikan masalah-masalah sang ayah—termasuk hutang yang ditinggalkannya—memberi jalan keluar kepada Kyungsoo agar dia mau menjual rumah yang selama ini ditinggali oleh mereka. Kyungsoo menyerahkan segala keputusan itu kepada sang bibi dan ia hanya bisa mengekor dan mengikutiapa yang bibinya perintahkan. Memang, bibinya bersikap baik tetapi itu hanya di awal saja. Setelah setahun ia tinggal bersama sang bibi saat itulah bibinya mulai mengeluh akan keberadaan dirinya; terlebih saat Kyungsoo sakit.
Dibandingkan mendengarkannya, Kyungsoo memilih untuk segera memasuki kamarnya. Ia hanya diam merenung ketika lagi-lagi bibinya bicara tentang apa saja yang telah ia korbankan untuk menghidupi dirinya sendiri dengan keponakannya. Dulu, Kyungsoo bahkan sempat berpikir untuk pergi dan tinggal seorang diri di tempat lain—dengan keadaan yang jauh lebih baik lagi. Tetapi ia tidak pernah melakukannya hingga sejauh itu karena Kyungsoo tidak mungkin tega meninggalkan bibinya yang hidup sebatang kara. Setidaknya, hanya dia satu-satunya orang yang dapat memberikan obat ketika bibinya tengah sakit kepala—seperti kebiasannya yang selau mengeluh.
Kyungsoo memiliki kelas siang ini, beruntung. Setidaknya ia bisa sedikit beristirahat dan mememjakan matanya untuk beberapa jam. Setelah mengganti pakaiannya, Kyungsoo lantas membaringakn tubuhnya ke atas ranjang. Suara ocehan bibinya sudah menghilang, itu menandakan bahwa bibinya telah pergi keluar; seperti menagih uang penyewa gositel yang telah menunggak. Syukurlah, setidaknya ia bisa beristirahat dengan tenang sata ini.
Bahkan Kyungsoo baru memejamkan matanya bebeapa detik saja ketika ia sadar kemana bibinya akan pergi. Ah, penyewa baru itu!
Kyungsoo lantas bangun dari berbaringnya, ia segera berlari keluar dari kamarnya dan meninggalkan rumah begitu saja. Tujuannya kini ke tempat gositel yang berada tepat di belakang rumahnya. Ia teringat seseorang. Ia teringat Kai. Bagaimana jika bibinya tahu bahwa terdapat seorang penyewa baru tanpa uang muka tinggal di gositelnya? Bagaimana jika pria berandal itu lupa untuk pergi?
Ia dapat menemukan bibinya yang kini tengah bercakap dengan seseorang. Beruntung, bibinya belum sampai di gositel itu sehingga dengan cepat, Kyungsoo memilih berlari melewati bibinya, mengabaikan teriakan sang bibi yang mungkin merasa aneh akan sikapnya. Ia tidak peduli.
Ketika Kyungsoo tiba di gositel. Langkahnya segera tertuju ke kamar yang letaknya berada paling ujung. Sebelumnya Kyungsoo menengok dari jendela kamar kecil kamar itu. Sayangnya ia tidak dapat menemukan apa-apa karena pandangannya tertutup oleh kain tipis yang digunakan menjadi tirai jendela itu. Kyungsoo mencoba membuka pintu kamar itu, terkunci. Kyungsoo menghela napas perlahan lantas untuk meyakinkan dirinya sendiri, telinganya ia tempelkan di muka pintu. Mencoba mendengarkan bahwa kamar gositel itu benar-benar kosong dan memastikan bahwa Kai telah pergi meninggalkan gositel ini. Hening, sama sekali tidak ada suara.
"Apa yang kau lakukan disini?"
Kyungsoo terlonjak, ia menjauhkan telinganya dari pintu lantas berbalik dan menemukan tatapan sang bibi dengan kerutan di keningnya. Kyungsoo tahu bibinya tengah merasa bingung dengan sikapnya kali ini.
"Ah tidak." Balas Kyungsoo cepat dan bibinya hanya menghela napas perlahan.
"Apa? Kau ingin menyewa kamar ini?" tanya bibinya sinis dan Kyungsoo hanya menggeleng sebagai jawaban. "Kupikir kau ingin menyewa, semua tidak ada yang gratis bukan?" Sang bibi lantas berbalik dan pergi meninggalkannya begitu saja. Sindiran yang sangat halus, ucapan bibinya tidak jauh berbeda seperti; "Cari rumah lain jika kau tidak ingin membayar untuk tinggal dirumahku."
Kyungsoo tidak peduli dengan apa yang dikatakan bibinya. Ia sudah terbiasa sekaligus Kyungsoo juga berhutang kepada bibinya. Jika dia tidak bersamanya, keadaan Kyungsoo mungkin akan jauh lebih buruk saat ini—atau mungkin ia telah mati.
Pikirannya kembali teringat tentang pria berandal itu. Sejak kapan pria itu pergi? Dia hanya tinggal untuk berapa lama, kurang dari empat jam? Entah kenapa tiba-tiba Kyungsoo merasa bersalah telah memaksa pria itu pergi pagi-pagi sekali. Tetapi apa boleh buat, itu sudah ketentuannya jika dia mau selamat—termasuk Kyungsoo.
***/
Ini adalah hari yang melelahkan bagi Kyungsoo. Entahlah, menghabiskan banyak waktu di kampus memang membuatnya tenang—setidaknya ia tidak dapat mendengarkan ocehan dari bibinya—tetapi Kyungsoo tidak setenang itu. Tidak sepenuhnya menghabiskan di kampus membuat ia lega. Justru ia semakin merasa bahwa ia tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini.
Malam tadi seperti biasa Kyungsoo kembali bekerja. Ia tidak dapat menyembunyikan wajah kelelahannya saat pertama ia masuk di hadapan manager Yoon. Pria itu mengernyitkan keningnya ketika ia datang tapi manager Yoon bahkan tidak menanyakan lebih jauh lagi tentang kondisi Kyungsoo. Setelah meliriknya lantas pria itu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Ya sudahlah, Kyungsoo juga sedang bosan untuk mencari alasan.
Kini hitungan menit lagi waktu bekerjanya akan usai. Kyungsoo tidak teralalu banyak melayani pengunjung yang datang ke minimarket semalaman ini. Tidak banyak yang dilakukan Kyungsoo selain menumpu dagunya di atas meja dan menonton acara lama di tv semalaman. Kebetulan malam tadi hujan turun membasahi Seoul. Hujan sudah mulai reda, hanya menyisakan jejak basah dengan gerimis sisa hujan.
Kyungsoo bahkan tengah mempersiapkan dirinya untuk kembali pulang ketika suara pintu yang terbuka membuat ia menoleh. Awalnya ia mengira pramugara lain atau Manager Yoon yang datang pagi ini. Tetapi ternyata yang datang adalah pria yang malam kemarin menyewa gositel bibinya—Kai.
Pria itu melangkah masuk tanpa menatap Kyungsoo yang tengah memerhatikannya. Seperti kebiasaannya, pria itu berjalan menuju area minuman untuk mengambil sebotol bir lantas melangkah untuk mengambil sekotak plester—seperti kebiasannya di sekat yang lain. Tidak membutuhkan waktu lima menit hingga pria itu kembali melangkahkan kakinya menuju meja kasir.
Kyungsoo menatap pria itu lekat-lekat selagi ia melangkahkan kakinya mendekat. Jaket sweater abu yang dikenakannya nampak basah, kepalanya tertutupi oleh hoodie namun tidak dapat menyembunyikan poni rambutnya yang ikut basah—mungkin karena gerimis yang masih turun pagi ini. Selain itu Kyungsoo juga dapat menemukan sedikit lebam di sudut matanya.
Kyungsoo segera mengerjap ketika Kai telah berdiri di depan meja kasirnya. Pria itu menatapnya membuat Kyungsoo lantas menundukkan wajahnya. Perasaannya kini mulai terasa aneh, entahah Kyungsoo hanya merasa ia seperti tengah diperhatikan. Kyungsoo dengan segera menghitung total barang yang dibeli Kai namun suara itu—suara yang baru beberapa waktu yang lalu ia kenali—kembali ia dengarkan.
"Ada apa dengan bibirmu?"
Tanpa sadar Kyungsoo menyentuh luka yang berada di ujung bibirnya. Ia menggigit bibirnya sesaat dan meringis menyadari bahwa luka itu masih belum hilang—tentu saja. Kyungsoo mengangkat wajahnya lalu mencoba tersenyum meskipun kaku.
"Jatuh." Balas Kyungsoo singkat dan Kyungsoo dapat kembali menemukan bahwa pria itu tengah menatapnya. Benar-benar menatap matanya dengan dingin. Rasanya aneh tetapi Kyungsoo segera memalingkan wajahnya dari Kai lantas memberikan sebotol bir dan sekotak plester itu kepada Kyungsoo. "Semuanya 7000 ribu won."
Kai mengangguk lantas mengeluarkan uang dengan nominal yang sama dari balik saku sweaternya. Setelah Kyungsoo menerimanya, Kai sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Pria itu malah berdiri dan sibuk dengan kotak plesternya yang kini mulai ia buka.
Kyungsoo tidak memerhatikannya, lagipula ia masih harus menyiapkan dirinya sendiri untuk bergegas pulang. Kyungsoo bahkan baru mengenakan jaketnya ketika pria itu memanggilnya.
"Hey!" Kyungsoo menoleh dan mengernyit ketika Kai menggeserkan sebuah plester di atas meja kasir. Kyungsoo memandang plester itu tidak mengerti, ia menaikkan wajahnya dan mengernyit ketika pria itu menunjukkan gestur untuk menyarankan Kyungsoo agar memakai plester itu di sudut bibirnya.
Kyungsoo tergagap, ia tidak tahu harus mengatakan apa selain diam dengan tangan menarik plester itu dengan perlahan. Kyungsoo mengambilnya tanpa mengalihkan tatapannya dari pria itu. Kai, bahkan dia masih bersikap tenang dengan bir dan kotak plester yang tengah ia pegang.
"Ngomong-ngomong apa aku masih boleh menempati gositel itu?" Tanya Kai dengan ragu, memecah keterdiaman diantara Kyungsoo dengannya.
Kyungsoo mengangguk. Bahkan Kyungsoo tidak ingat tentang hal itu. Kyungsoo benar-benar lupa bahwa pria ini masih memegang kunci gositel bibinya. Apa pria itu semalam pulang ke gositel dan tidur disana? Apa bibinya masih belum tahu bahwa terdapat penghuni yang masih belum membayar uang muka untuk tinggal di gositenya. Mengingat hal itu tiba-tiba membuat Kyungsoo ragu, teringat kemungkinan lain yang terjadi jika Kai masih tinggal di gositelnya tanpa uang muka.
"Aku sudah memiliki uang sekarang."
Apa pria ini bisa membaca pikirannya? Kyungsoo menyipitkan matanya memerhatikan pria itu dengan tatapan bingung. Bagaimana bisa pria ini tahu apa yang tengah dipikirkannya, atau memang ini hanya kebetulan? Bukannya membalas tatapan Kyungsoo, pandangan tenang nan dingin Kai tiba-tiba menghilang setelah dia menunundukkan kepalanya. Entahlah tetapi Kyungsoo merasa bahwa Kai merasa kikuk untuk ia tatap. Hingga akhirnya Kyungsoo memutuskan untuk melepaskan tatapan penasarannya dari pria itu.
"Seberapa banyak?" Tanya Kyungsoo.
Tanpa menjawab pria itu mengeluaran gulungan uang kertas yang terikat oleh gelang karet. Kyungsoo memcicingkan matanya memerhatikan uang itu. Kembali, pria itu hanya menyimpan uang itu di meja kasir lantas menggeserkannya untuk mendekat ke arah Kyungsoo—seperti bagaimana dia memberikan plester tadi kepadanya.
"Apa ini cukup?" Tanyanya dan Kyungsoo tidak mungkin menolak. Untuk kedua kalinya ia kembali melihat bagaimana wajah itu yang terlihat begitu menyedihkan.
Pria misterius ini benar-benar seperti dirinya.
To Be Continued
Hehe.. Cuma pemanasan aja, sekian lama gak nulis ff Yaoi dan yah.. semoga ini berhasil. Kenapa tiba-tiba muncul dengan ff baru sedangkan ff yang lama masih belum di update chap endingnya? Jawabanya simple sih.. nanti keburu males, keburu lupa, keburu mager duluan buat aktif nulis lagi lmao. *kayak yang mau update tepat waktu aja* haha
Tapi ya itu.. aku Cuma ingin tetep nulis biar isi kepala ringan lagi. Mau coba nulis genre baru, misteri. Dududu~ lebih susah dari bikin genre crime dan aku nunggu respon teman-teman untuk cerita ini. Semoga kalian suka...
Samapi ketemu lagi lain waktu.
Salam blossom~
