Pair : KyuMin
Cast : Kyuhyun, Sungmin and Other Cast
Rate : T
Genre : Drama, Romance
Length : Chaptered
Warning : Ini ff Remake dari novel lama karya Ari Nur dengan judul yang sama, 'Dilatasi Memori'. Ada beberapa bagian yang saya rubah dengan menambahi atau mengurangi porsi cerita, agar sesuai dengan apa yang diinginkan. Mengingat ini novel straight dan saya mengubahnya menjadi BL, maka mohon dimaklumi jika menjadi sedikit aneh ^^. BXB, M-preg, typo (s).
Summary : Ketika cinta dikhianati, apa yang akan terjadi? Ketika ketulusan disalahartikan, akankah kesetiaan dipertahankan?. Kisah cinta mereka tengah diuji!.
Disclaimer : Cerita ini milik Ari Nur. Tapi, seluruh tulisan ini milik saya. Saya hanya meminjam nama-nama orang yang saya cintai ini semata-mata demi kelangsungan cerita.
enJOY
.
.
Seoul, siang hari...
Di salah satu ruas jalan yang penuh spot kemacetan, tampak salah satu mobil di antara deretan panjang mobil yang menyemut. Seorang namja tampan duduk di belakang kemudi dengan gelisah. Kemacetan memang selalu menimbulkan kegelisahan. Stres. Dia pun menekan tombol tape. Seketika sebuah lagu berirama blues mengalir lembut, mencoba menetralisasi suasana. Tapi dia tetap gelisah. Tak ada yang bisa dilakukan, kecuali cuci mata...
Pemandangan yang sama setiap hari, seperti biasa. Di seberang jalan, deretan toko tak kalah berdesakan. Manusia-manusia hilir mudik di pedestrian. Semua berebutan untuk mengambil sedikit posisi atau sekadar mempertahankan hidup. Tak peduli sang surya begitu garang memanggang bumi. Panas.
Tiba-tiba... pria di belakang kemudi itu tercekat. Cepat dia melepaskan kacamata hitamnya.
"Kau sedang melihat siapa?" tanya teman yang duduk di sampingnya, mengikuti arah padangan mata sang namja.
Sepasang manusia bergender sama baru keluar dari sebuah minimarket, berjalan menuju deretan mobil yang terparkir di pinggir jalan. Keduanya menenteng barang belanjaan. Yang namja jangkung membawa tas plastik yang lebih besar. Sementara namja yang lebih mungil menenteng belanjaan yang kecil-kecil.
Benarkah... dia...?
"Oh, orang itu... aku kenal! Yang namja jangkung, arsitek juga seperti kita."
"Oh ya?"
"Makanya, jangan terlalu lama di negara orang! Dia termasuk arsitek yang cukup diperhitungkan di negara ini. Tapi sayang, orangnya angkuh. Yang aku tidak mengerti, dia menikah dengan karyawannya sendiri. Bukannya yeoja cantik, malah dengan namja mungil itu. Aku akui memang wajahnya terlalu cantik untuk ukuran namja, tapi aku tetap tidak mengerti, kenapa orientasinya menyimpang? Dan kenapa seleranya seperti itu?"
Namja itu semakin menajamkan tatapannya. Benarkah itu kau...?
"Padahal, dulu sebelumnya pernah pacaran dengan Vic, temanku. Namanya kalau tidak salah... Cho Kyuhyun. Vic bilang mereka hanya berteman, tapi aku tidak percaya."
Jadi... kau sudah menikah? Kalau begitu, kuucapkan selamat...
"Kau kenapa, sepertinya perhatian sekali dengan mereka? Atau jangan-jangan, kau kenal juga dengan Cho Kyuhyun?"
"Tidak. Bukan Cho Kyuhyun, tapi namja mungil itu."
"Hah? Namja mungil itu?"
"Ne. Dia temanku. Teman sekelas saat kuliah dulu."
Namja yang duduk disampingnya itu pun seketika terdiam.
.
.
Sebuah rumah, perspektif
Bukan sebuah rumah mewah. Hanyalah satu di antara deretan rumah di sebuah kompleks permukiman. Dulu, mereka tinggal di sebuah apartemen yang cukup berkelas hingga si kecil lahir. Suasana apartemen yang cenderung individualis dirasa tidak terlalu baik untuk tumbuh kembang seorang anak balita. Kepindahan mereka juga terkait dengan badai yang menghantam JOY, sebuah biro konsultan arsiterktur yang mereka dirikan lima tahun silam. Kepindahan ini diharapkan bisa menekan biaya.
Rumah itu lebih besar dari apartemen mereka dulu meskipun secara kualitas tidak lebih baik. Ruangan-ruangan yang ada cukup standar. Rumah itu sangat fungsional. Mereka merasa tidak perlu terlalu mewah untuk satu keluarga kecil yang dibantu oleh satu orang pembantu. Funitur yang ada pun seperlunya saja. Minim aksesori. Dalam hal satu ini, mereka satu selera.
Interior dirancang sendiri oleh mereka berdua. Untuk memperkuat konsep kesederhanaan, mereka membuat pola-pola geometri sebagai pola hiasan, misalnya pada pintu, jendela, hiasan dinding juga lantai. Sedangkan penataan eksterior, yaitu dengan adanya taman kecil di belakang rumah. Ini juga menunjukkan bahwa orientasi bangunan lebih ke arah belakang.
Lingkungan di luar rumah tidak terlalu bagus. Interaksi antartetangga sangat kurang. Dulu, alasan memilih rumah itu karena harus segera pindah. Jadi, sedapatnya saja. Mereka berniat untuk tidak selamanya tinggal di sana. Jika sudah stabil dan ada pemasukan lebih, mereka akan pindah ke sebuah lingkungan yang lebih baik.
.
.
Pukul 19.30 KST
Hidangan makan malam sudah siap. Sungmin mengamati isi meja makan, siapa tahu masih ada yang kurang. Nasi putih, bulgogi, galbitang, japchae, dan beberapa bahan pelengkap untuk makanan itu. Juga buah-buahan sebagai pencuci mulut. Kyuhyun sudah berjanji, malam ini akan makan malam di rumah.
Tiba-tiba telepon rumah berdering. Sungmin mendesah, jangan-jangan...
"Sandeul, angkat teleponnya, Sayang!"
Tubuh mungil itu berlari, merayap naik ke atas sofa di samping meja telepon. Lalu duduk dengan gaya seorang direktur. Eh... siapa Sandeul?. Sungmin, si namja mungil itu, memang memiliki seorang anak dari hasil pernikahannya dengan Cho Kyuhyun. Bukan anak adopsi, tapi anak yang lahir dari perut Sungmin sendiri. Dia memiliki rahim, kejadian yang sangat langka, tapi dia mengalaminya. Male pregnant.
"Yoboceo."
"Yoboseyo. Halo, Honey...!"
"Appa...! Halo... Appa...!" Sandeul berteriak kegirangan. "Appa kok ndak puyang-puyang, cih?!" Sambil memegang gagang telepon, pantatnya bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Ser ser ser!
"Ya pulang, tapi nanti. Rapatnya belum selesai."
"Appa, oyeh-oyeh, ne!"
"Oleh-oleh apa, Honey?"
Sandeul memainkan rambutnya yang ikal. "Em... bongeobbang."
"Hah, bongeobbang?!"
"Ne, Appa... bongeobbang Meoni."
Kyuhyun tertawa. Beberapa waktu lalu, Halmeoninya datang dari kampung membawa oleh-oleh jajanan tradisional. Sandeul sangat senang karena itu makanan khas yang sulit didapatkan di sepermarket. Sebenarnya dijual juga di pasar tradisional Seoul, tapi Kyuhyun terlalu sibuk untuk bisa mengajak Sandeul ke sana.
"Wah... di kantor mana ada bongeobbang? Lagipula, nanti Appa pulangnya malam. Toko-toko semua sudah tutup."
"Ah, Appa... pokoknya oyeh-oyeh!"
"Gurae, setelah ini Appa keluar sebentar. Tapi bukan makanan, beli buku saja, ne?"
"Ah, ndak mau, bocan!"
Kyuhyun memang hampir selalu membawakan oleh-oleh untuk Sandeul berupa buku. Pergi jalan-jalan pun selalu mampir ke toko buku. Koleksinya sudah mencapai satu lemari penuh. Baik itu berupa buku bacaan, majalah, buku belajar menulis dan mewarnai, maupun komik untuk anak-anak.
"Lalu apa?"
Sandeul kembali menggaruk-garuk kepalanya. "Apa, ya?"
"Bagaimana kalau donat saja?"
Sandeul terdiam.
"Donatnya enak sekali. Bentuknya macam-macam. Ada yang berlubang, ada yang tidak. Meises-nya ada yang merah, ada yang hijau. Nanti Sandeul juga dapat boneka beruang. Mau, ya?" Kyuhyun membujuk.
Akhirnya Sandeul setuju. Dia mengangguk dengan mantap. Mengucapkan persetujuannya pun dengan sangat mantap, "Yah!"
Kyuhyun tersenyum lega. "Baiklah, setelah ini Appa mau turun ke bawah untuk membeli donat. Panggilkan Papa, Honey, Appa mau bicara."
"Papaaaaa!"
Sungmin menerima gagang telepon itu dengan enggan. Ada sedikit perdebatan di antara mereka saat menentukan panggilan apa yang akan mereka kenalkan ke Sandeul, mengingat mereka adalah pasangan dengan gender yang sama. Akhirnya setelah melalui pertimbangan panjang, mereka memutuskan Appa-Papa, untuk panggilan Sandeul pada mereka. Mempertimbangkan gender Sungmin juga, dan mereka yakin itu semua bisa dijelaskan pada Sandeul seiring dengan berjalannya waktu. Kenapa orangtuanya berbeda dengan yang lainnya.
"Ming...," sapa Kyuhyun lembut.
Sungmin hanya diam. Perasannya tidak enak. Dia sudah menduga apa yang akan disampaikan suaminya.
"Minimi Sayang..."
"Ne, Kyu?"
"Mianhae."
"Wae, Kyu?" tanya Sungmin dengan suara dibuat sewajar mungkin.
"Rapatnya ternyata belum selesai. Mungkin jam sebelas atau jam dua belas aku baru sampai di rumah."
Sungmin mendesah.
"Ming?"
"Ne?"
"Gwaenchana?"
Sungmin terdiam sejenak. "Kenapa kau tidak bilang sejak sore tadi? Aku sudah masak banyak." Sungmin tidak bisa untuk tidak merajuk. "Jadi sia-sia, deh..."
"Itulah. Aku sama sekali tidak menyangka, ternyata banyak sekali masalah yang harus dibicarakan. Kita belum bisa menentukan spot kawasan mana yang akan lebih dulu dibangung. Banyak faktor yang harus dijadikan pertimbangan. Jadi... ya... begitulah..."
"Oh, begitu. Ya, sudah!" Alasan saja...
"Ming..."
Sungmin sudah malas bicara. Dia ingin segera menutup telepon.
"Saat senja tadi, kuintip matahari dari balik jendela kantor. Sinarnya keemasan. Indah... sekali. Aku tahu, matahari itu juga ingin pulang. Sama sepertiku."
Hening. Kyuhyun sengaja membari jeda agar Sungmin meresapi kata-katanya.
"Saat itu, aku membayangkan, alangkah indahnya kalau aku menikmati senja di sebuah pantai. Bersama seseorang yang sangat... aku cintai..."
Seperti seorang pemain drama kawakan, Kyuhyun diam sejenak. Kemudian mendesah, berkata dengan suara berat, "Seseorang yang sangat aku rindukan. Di setiap detakan waktu yang terasa lamban berlalu... Di manapun keberadaanku..."
Kembali terdengar desahan.
"Yaitu kau, Ming. Bunga terindah yang tumbuh di sudut hatiku."
Jika merayu bisa disetarakan dengan pelatihan bahasa, kemampuan Kyuhyun bisa dibilang sudah mencapai tingkat mahir. Entah belajar darimana, Sungmin tidak terlalu tahu. Wajahnya yang semula masam mulai cerah. Perlahan dia tersenyum.
"Gombal! Kau ini, batal makan di rumah saja, pakai merayu segala."
Kyuhyun tertawa lega. Percakapan pun ditutup.
Sampai di meja makan, Sungmin masih menyimpan senyum.
.
.
Anak adalah permata, permata yang bersinar ke segenap penjuru. Betapa indah terus bersamanya, meniti rantai waktu, detik demi detik, jam demi jam, hari demi hari. Menyaksikannya tumbuh, belajar, meraba-raba kehidupan.
Sungmin begitu antusias mencatat semua perubahan yang terjadi pada sang permata. Perkembangan kemampuan motoriknya; kapan pertama kali dia mulai belajar berjalan dan kapan sudah benar-benar bisa berjalan. Kapan mulai belajar berlari dan benar-benar bisa berlari. Juga semua perkembangan lingualnya; ketika pertama kali mengucapkan, Appa... Papa... ataupun ucapan sederhana lainnya.
Berbagai permainan edukatif dia pelajari. Seperti para orangtua lain, dia menginginkan anaknya cerdas. Dia juga melewati masa sulit itu. Masa ketika Sandeul sangat sulit makan. Masa ketika tubuhnya begitu lemah dan sering sakit-sakitan. Masa ketika mulai besar dan aktif luar biasa sehingga sering jatuh.
Pernah suatu hari Sandeul berlari dengan kencang dan terjatuh membentur pinggiran meja yang tajam. Lengannya robek dan harus dijahit. Darah membanjiri seluruh tubuh dan bajunya. Tangis Sandeul langsung meledak, seperti petir menggelegar, mungkin terdengar di seluruh penjuru komplek. Sungmin langsung lemas. Matanya berkunang-kunang. Untung ada Kyuhyun yang sigap menolong. Saat tersadar, dia ikut menangis, menyesali kelalaiannya, menyalahkan dirinya yang saat itu lengah. Kyuhyun pun jadi ikut kerepotan. Selesai membujuk Sandeul, giliran dia membujuk Sungmin untuk diam.
Akan tetapi, ia juga menyaksikan masa-masa emas itu. Saat Sandeul semakin besar dan pintar. Saat mulai pandai berbicara, bernyanyi, dan aktifitas lainnya. Fisiknya juga berkembang pesat. Tubuhnya montok, menggemaskan. Kalau lari, pantatnya megal-megol. Sungmin kadang-kadang khawatir, jangan-jangan nanti lepas, jatuh di jalan. Apalagi kalau sudah mulai bergoyang ketika mendengar lagu-lagu kesayangannya.
.
.
Sore hari, sepulang dari kantor, Sandeul baru menyalakan televisi, dan Sungmin mendekatinya dengan perlahan.
"Sandeul sedang apa, Sayang?"
"Nonton Pololo, cini Papa ikut nonton cama Candeul." Sandeul menarik pelan tangan Sungmin dengan kedua tangannya untuk duduk di sampingnya.
Sungmin berfikir. Dia ingin mengalihkan perhatian Sandeul dari layar televisi itu. Sebenarnya Sungmin tidak melarang Sandeul menonton televisi. Kalau dilarang, Sandeul malah penasaran dan akan menonton sembunyi-sembunyi ketika orangtua tidak ada. Akan tetapi, orangtua memberi pemahaman secara psikologis bahwa televisi bukanlah benda istimewa yang harus selalu diutamakan, yang harus ditunggu-tunggu acaranya.
"Shireo, Papa mau main saja," ucap Sungmin sambil beranjak dari sofa.
"Eoh? Papa mau kemana?"
"Papa mau main."
"Aaa... Papa cini, doooong!"
"Aniya. Papa mau main."
"Main apa?"
"Makanya siniii... ikut Papa!"
Sejenak Sandeul berfikir, keningnya sedikit mengernyit, dan bibirnya mengerucut imut minta dikuncir.
"Baiklah." Sandeul bergegas mematikan televisi dan mengikuti sang papa.
Dulu Sandeul sangat suka menonton, mungkin karena televisi adalah salah satu benda yang menarik perhatiannya. Sama seperti benda-benda lain di sekitarnya. Apalagi ketika dia mulai mengerti apa saja acara yang ada. Tapi lama-lama dia merasa bosan sendiri. Apalagi melihat appa-papa-nya yang juga lebih suka bekerja di studio daripada menonton. Acara yang biasa dia tonton dengan orangtuanya hanya acara discovery, binatang, tumbuhan, dan alam lingkungan ke tempat-tempat wisata.
"Papa mau apa, cih?"
"Mau main musik. Nanti Sandeul yang bernyanyi, ne?"
"Aciiik...!"
Sandeul sangat suka musik. Mungkin menurun dari kedua orangtuanya yang sama-sama suka musik. Musik sebagai iringan belajar. Kebetulan mereka memiliki beberapa perangkat musik, seperti gitar, piano, DVD, kaset, instrumen musik, tape recorder, juga peralatan musik dengan alat-alat apapun yang menghasilkan bunyi.
Sungmin menunjukkan beberapa lagu anak-anak untuk Sandeul pelajari. Tapi mereka juga tidak bisa terus-menerus mengawasinya dua puluh empat jam. Sejak dia sudah bisa menyetel televisi dan tape sendiri, dia suka mendengarkan lagu-lagu apapun yang kebetulan terdengar di telinganya.
Yongwoni hepi tugedel...
"Lagu siapa itu?" tanya Sungmin.
"Cupel Juniol," jawabnya bangga. Sang papa pun kebingungan.
Sandeul berlari mendahului sang papa ke ruang tegah.
"Piano saja, Papa."
"Kalau piano, nanti sama Appa. Papa tidak begitu bisa. Gitar saja, ne?"
"Yah!"
"Nah, sekarang Sandeul siap-siap. Mau lagu apa?"
"Tiga beluang!"
"Oke. Sandeul harus tahu kapan masuknya, ya?"
Sandeul pun langsung berteriak sekencang-kencangnya.
"GOM CEMALI GA HAN JIBE ICCEO...!"
Sungmin kaget. "Beluuuum! Belum mulai, Sayaaaaang! Lagi pula, tidak usah teriak-teriak begitu, dong! Yang kalem saja. Kalem, oke?"
Sandeul terbahak-bahak. Sungmin sampai heran, anak kecil, apa... saja ditertawakan. Padahal, apanya yang lucu, ya?"
Sungmin mencoba beberapa nada. "Ayo masuk, ikuti Papa!"
Gom cemali ga han jibe icceo...
"Yah... fals..."
Sandeul kembali terbahak-bahak. Senang sekali dia berhasil meledek papanya.
"Sekarang harus benar!"
Setelah mengantarkan masuk ke dalam nada, Sungmin membiarkan Sandeul menyanyi sendiri agar peka terhadap ketuka irama dan melodi. Tapi dasar Sandeul, kesempatan itu digunakan untuk meledek sang papa lagi. Di akhir lagu, dia plesetkan dengan lirik buatannya sendiri. Sesukanya.
Gom cemali ga han jibe icceo
Appa-gom, eomma-gom, aegi-gom
Appa-gomeun ddung ddung ddung
Eomma-gomeun ddang ddang ddang
Aegi-gomeun ddong ddong ddong
Tuttut tuttut tatatta
"Lho, lagunya kok jadi bagus seperti itu, Sayang?" tanya Sungmin gemas.
Bisa ditebak, Sandeul pun terbahak-bahak...
.
.
TBC
Annyeooooong ^^. Saya membawa sebuah ff remake lagi, kali ini nuansanya lebih dewasa, masalah dalam rumah tangga.
Ah ya... di sini saya memakai panggilan Appa-Papa untuk KyuMin, entahlah... saya benar-benar tidak bisa kalo disuruh memberi sebutan Mommy/Eomma untuk Ming, mempertimbangkan gender Ming juga. Kata teman saya, di AFF panggilan yang sering digunakan untuk pasangan ber-gender sama adalah Appa-Papa, jadi ini bukan yang pertama . Mohon dimaklumi ya... saya tahu pasti ada yang kurang nyaman dengan itu, tapi... sekali lagi mohon pengertiannya, kekeke, untuk ff iniiiii saja, oke ^^
Oke, semoga berkenan, dan selamat membaca ^^. Sampai jumpa di chapter selanjutnya, saranghae ^^.
