THE LAST HEART

A Minseok/Xiumin x ? Fanfiction

With other cast (Just find out them)

Story is MINE purely

(mungkin rada aneh yah)

Drama, Family, /Mystery, Hurt/Comfort, etc (temukan sendiri yaw)

WARN!

This is BOYS LOVE (DLDR)

, EYD belum sempurna.

Butuh Saran Bukan Bash. Makasih.

Happy Reading

Chapter 1

Gemuruh hujan menggelegar, sambaran petir menyapa satu demi satu celah sisi kota berpohonkan gedung-gedung. Jalan besar maupun kecil yang terbiasa ramai walau hari sudah menunjukkan malam gelapnya kini hanya terdapat beberapa kendaraan, bahkan didominasi mobil. Trotoar pejalan kaki tidak ada satupun jejak yang terlihat. Hampir seratus persen pejalan kaki lebih memilih menyelamatkan diri atau bahkan barang bawaan mereka dari basahnya air hujan, menepi di antara toko-toko kota besar itu. Atau mungkin juga sekedar mampir ke café-cafe yang masih buka, sekaligus melepas penat.

Musim semi yang ditemani dengan hujan. Satu mobil melaju cepat menerjang derasnya hujan. Tidak mempedulikan berbagai suara klakson yang berasal dari mobil-mobil yang dilewatinya. Lebih dari waktu 20 menit mobil sedan itu seakan tidak sadar kalau kondisi bumi yang dilewatinya sangat membahayakan. Bagi manusia didalamnya.

Seoul Hospital Center.

Brak

"Siapapun! Tolong saya!"

Seorang pria keluar dari sisi pintu pengemudi mobil sedan tadi, setelah memarkirkan mobilnya tepat di depan bagian UGD rumah sakit Seoul Hospital Center. Pria itu membuka sisi pintu penumpang mobilnya, menggendong seorang wanita yang terkapar lemah. Perut wanita itu terlihat besar. Hamil. Pria berambut sebahu rapih itu memasuki ruang UGD dengan langkah terpapahnya.

"Disini, Tuan.. Baringkan istri anda"

Beberapa petugas rumah sakit dengan cepat membuka ruang persalinan dan mempersiapkan segala peralatan bersalin. Wajah sang suami dari istri yang terbaring lemah ini tidak karuan, kepanikan dan kekhawatiran terhadap sang istri juga calon bayinya sungguh luarbiasa. Dia memegang erat sebelah tangan sang istri, mengecup dahi sang istri sayang. Walau begitu, dia harus tetap kuat dihadapan orang tercintanya.

"Sayang..Aku..Takut.."

"Tenanglah, semua akan baik-baik saja"

Dokter kandungan sudah memasuki ruang persalinan, diikuti dengan keluarnya pria tadi. Prosedur mengatakan bagi sang suami untuk menunggu proses persalinan diluar ruangan. Namun, pria itu tidak bisa menghilangkan kegelisahannya. Dia berdiri tepat di depan pintu ruang persalinan yang dibatasi kaca. Dia bisa melihat jelas bagaimana sang istri memperjuangkan hidup matinya saat ini. Tangan kanan pria itu mencengkeram kuat engsel pintu ruang persalinan, menyalurkan perasaannya.

.

Senyum haru serta bahagia terbentuk dari bibir sang suami. Suara tangis khas seorang bayi yang baru saja menyapa dunia indah ini terdengar merdu dikedua telinga pria itu. Tanpa menunggu apa-apa lagi, pria itu memasuki ruang persalinan. Namun, senyumnya luntur seketika melihat keadaan sang istri dengan mata terpejam dan kondisi tubuh terlampau lemah. Pria itu menolehkan kepalanya ke dokter yang sedang menaruh bayi mungil buah hati pasangan suami istri didepannya ke dalam sebuah kotak berukuran lumayan besar berlapis kaca. Inkubator. Mata sang ayah bayi mungil itu semakin takut, menuntut penjelasan dari sang dokter. Sang dokter pun hanya bisa tersenyum lemah.

"Mari ikut saya, Tuan Kim" ujar sang dokter menuntun jalan.

"Tapi, bagaimana istri dan anak saya?" khawatir .

"Suster akan menangani dan merawat mereka, jadi tolong ikut saya dahulu." Dengan berat hati melangkahkan kakinya keluar ruang persalinan. Sebelumnya dia mengamati bagaimana rupa anak pertamanya. Tampan juga manis. Seperti ayah dan ibunya.

Sang dokter bernama lengkap Shim Changmin menghela nafas pelan. Matanya terpejam sekali. Raut wajahnya tidak bisa diartikan, begitulah yang bisa ditangkap dari penglihatan . Kim Jeongsuk. Dan karena itulah semakin memperburuk perasaan Jeongsuk. Segala praduga berkeliaran dalam pikirannya. Kalut.

"Jelaskan semuanya pada saya, dok"

.

Jeongsuk menangis dalam diam, airmatanya tidak dapat keluar selayaknya manusia lain disaat menangis. Ini yang dia takutkan. Sejak awal kabar sang istri tengah mengandung dia begitu mengkhawatirkan kondisi tubuh Kim Minyeon, sang istri. Pasalnya kondisi Minyeon sangat tidak memungkinkan untuk mengandung, bahkan Jeongsuk pun rela jika mereka berdua tidak bisa mendapatkan buah hati darah daging mereka. Jeongsuk berniat untuk mengadopsi anak. Tapi, dengan keyakinan dan kesungguhan Minyeon yang ditunjukkan kepada Jeongsuk bahwa dia akan baik-baik saja merawat calon bayi mereka serta keinginan hati Minyeon sebagai seorang istri sekaligus calon ibu begitu besar mampu meluluhkan Jeongsuk. Karena pada dasarnya Jeongsuk juga begitu menginginkan buah hatinya yang kini sudah terlahir di dunia ini.

Lemahnya fungsi organ hati serta jantung yang diderita Minyeon itulah membuat kondisinya saat ini kritis. Walau sudah berhasil dalam proses melahirkan, namun Minyeon sempat mengalami pendarahan hebat beberapa waktu sebelum melahirkan. Seperti itulah penjelasan dokter. Membuat saat ini Minyeon tertidur dengan berbagai macam alat medis terpasang di tubuhnya. Terlebih buah hati Jeongsuk dan Minyeon terlahir dalam kondisi lemah. Setelah melewati tahap pemeriksaan yang dilakukan suster terhadap bayi mereka. Jeongsuk semakin kalut. Berat badan sang bayi tidaklah sampai pada titik normal bayi lainnya. 1.5 kg dengan tinggi badan 40cm.

Jeongsuk berdiri disamping inkubator yang membantu bayinya untuk tetap dalam kondisi dan suhu stabil. Mengamati lekat-lekat setiap inchi tubuh mungil darah dagingnya. Bentuk wajahnya lebih besar mengambil bagian dari sang istri. Walaupun badannya kecil namun pipi bayinya terlihat sedikit tembam. Bibirnya mirip dengan sang ayah. Hidung dan matanya juga lebih seperti duplikat sang istri, walau kedua kelopak mata sang bayi tengah terpejam Jeongsuk dapat melihatnya. Mata besar persis dengan mata yang mampu menjatuhkan hati Jeongsuk kepada seorang wanita bernama Shin Minyeon. Kim Minyeon. Senyum Jeongsuk perlahan terukir.

"kau begitu mirip dengan ibumu"

Cuaca di musim semi bulan maret ini sangatlah sejuk atau bahkan bisa menjadi dingin akibat turunnya hujan. Terlebih pada pagi hari ini rintik-rintik hujan membasahi bumi Seoul. Dengan udara seperti ini membuat sebagian besar orang-orang lebih memilih berada dikamar tidurnya dibanding keluar, jika saja tidak ada tuntutan bernama Pekerjaan ataupun Sekolah.

Sebuah rumah sederhana berdominasi warna cokelat kayu terlihat sepi namun terdengar sedikit gemiricik air dari salah satu kamar mandi rumah itu.

Cklek..

Seorang pria berumur sekitar 30 tahunan keluar kamar mandi dengan tubuh segar. Sepertinya dia sangat menikmati mandinya, tidak mengingat betapa dinginnya air pagi hari. Pakaian lengkap ala khas seorang detektif polisi sudah melekat rapih ditubuhnya. Dia sudah membiasakan segala hal tersiapkan dengan tangannya sendiri sejak 10 tahun lalu.

"errr..arrghh…huhuuuuhh…appa…huks..huks…appa..dingin"

Telinga Jeongsuk menajam mendengarkan erangan sakit dari arah kamar anaknya. Dia yang sedang membersihkan sepatunya juga sepatu anaknya langsung berlari menuju kamar anaknya.

Brak

Dibukanya cepat pintu kamar berwarna cokelat kayu sang anak. Jeongsuk segera mendudukkan dirinya diranjang sang anak. Dibukanya selimut yang menutupi seluruh tubuh anaknya kini. Matanya berkilat panik.

"Appa..dingin..hukss..hukss"

Segera Jeongsuk menempelkan sebelah tangannya didahi sang anak mencoba memeriksa suhu tubuhnya. Aneh. Suhu tubuh anaknya masih dalam batas normal keadaan dingin. Namun, ringkukan tubuh sang anak yang memeluk dirinya sendiri seperti menahan sakit. Pendingin ruangan kamar anaknya sudah otomatis mati dari semalam mereka memulai tidurnya, jendela kamar anaknya pun masih tertutup.

"Umma..huks..dingin..hukss…Umma..huks"

Sang anak semakin mempererat pelukannya pada tubuhnya sendiri. Ditariknya kembali selimut yang tadi dirasanya sempat terlepas dari tubuhnya. Tangan mungilnya meraih bantal gulingnya untuk menutup wajahnya dan menenggelamkan tubuhnya dalam tebal si selimut.

Jeongsuk kembali ke kemar sang anak setelah sempat meninggalkannya sebentar. Dia membawa baskom berisikan air hangat lalu dengan segera menaruhnya diatas dahi sang anak setelah sebelumnya memposisikan tubuh sang anak telentang. Mata sang anak terpejam erat, alisnya tertaut keras menahan dinginnya.

"hukss..appa..dingin…"

Merasa tidak berhasil dengan upayanya. Jeongsuk kembali menuju dapur. Diporak porandakan seisi dapur mencoba menemukan sesuatu untuk sang anak. Dengan inisiatifnya, dia memanaskan air dan menyiapkan beberapa botol kaca bersih. Mengisi semua botol kaca yang disiapkannya dengan air panasnya tadi.

Segera saja Jeongsuk berlari menuju kamar sang anak, membawa tiga buah botol berisikan air panas di kedua tangannya. Dengan sedikit ragu, dia mencoba memasukkan satu botol kaca air panas itu ke tautan pelukan sang anak yang memeluk bantal gulingnya. Paniknya sedikit berkurang.

"appa...hangat"

Dirasakannya kondisi sang anak mulai perlahan membaik, Jeongsuk mendekatkan satu lagi botol kaca air panas yang kini sudah menghangat ke daerah leher sang anak. Jeongsuk menaikkan dan membenarkan posisi selimut sang anak ditambah dengan selimut miliknya. Mencoba menambahkan kehangatan pada tubuh anaknya.

"andai umma-mu disini nak," pelan Jeongsuk.

Selang beberapa menit kemudian. Terdengar hembusan nafas teratur dari sang anak, rupanya dia sudah mulai membaik. Jeongsuk menghela nafas lega, dikecupnya dahi sang anak singkat dan memutuskan untuk membiarkan sang anak istirahat terlebih dahulu. Lalu menuju ke dapur rumah mereka, mempersiapkan sarapan untuk mereka berdua.

.

"APPA…!"

Acara persiapan hidangan sarapan yang dilakukan Jeongsuk harus berhenti oleh teriakan bersumber dari kamar sang anak. Lagi-lagi dia harus meng-olahragakan kakinya di hari yang masih pagi seperti ini.

"ada apa?"

"kenapa bisa aku memeluk botol ini, huh?"

Jeongsuk menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sang putra tunggalnya yang kini tengah terduduk sehat sembari mencondongkan kedua botol kaca kearahnya.

"ckck..anak ini.. tadi pagi kau mengeluh kedinginan, apa perlu appa perlihatkan rekamannya, huh?" memang, rumah mereka terpasang beberapa cctv, termasuk di kamar sang anak. Upaya Jeongsuk untuk meminimalisir adanya bahaya yang akan mengancam sang putra tunggalnya.

Jeongsuk mengambil kedua botol itu dan menaruhnya di atas meja samping ranjang sang anak. Dan menurunkan selimut yang masih menutupi tubuh sang anak. Sang anak hanya mengernyitkan tautan alisnya. Menatap heran ayahnya.

"lihatlah, bahkan kau memakai dua selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Arrgghhh..appa…dingin…" ledek Jeongsuk didepan putranya yang kini sudah memasang ekspresi kesalnya. Sungguh ayah yang sangat konyol, pikir sang anak. Tapi walau begitu rasa sayangnya pada sang ayah tidak bisa diibaratkan dengan apapun. Terlalu besar.

"appa.. berhenti bersikap bodoh seperti itu.. kalau begitu aku tidak yakin aku punya ayah seorang detektif.."

Sang anak sudah berlalu santai dari hadapan ayahnya. Berjalan ke kamar mandi. Dan menyegarkan diri lebih baik dari pada harus melayani ayahnya yang konyol ini –batin sang anak-.

"yaa! KIM MINSEOK… aishhh!... anak itu.. mandi yang cepat! Appa menunggumu dibawah.. "

'Minyeon, putramu sangat ajaib, tapi aku harus secepatnya memeriksakan kondisi kesehatannya setelah apa yang terjadi tadi pagi?' batin Jeongsuk sesaat sebelum meninggalkan kamar tidur Minseok. Ya, walau tinggi badan Minseok belum mengalami perkembangan pesat seperti anak-anak lainnya tapi dia tidak pernah mempermasalahkan itu. Walau tidak memungkiri dia pernah merasa sedih tapi itu semua tidak berlangsung lama karena sang ayah berkata, bukan fisik seseorang yang menentukan orang itu, tapi otak orang itu yang lebih penting.

Minseok yang berada di dalam kamar mandi hanya mengangguk-angguk saja mendengar teriakan sang ayah walau dia tahu kalau tindakannya tidak akan terlihat oleh ayahnya. Sesaat sebelum Minseok membasahi seluruh tubuhnya dibawah kucuran air dari shower kamar mandinya, dia marasakan tubuhnya sedikit kedinginan. Dan dengan pikiran bocahnya, dia memutuskan untuk tidak jadi mandi. Dasar anak-anak.

.

"apa kau sudah siap?"

Jeongsuk merasakan kehadiran Minseok di meja makan mereka. Minseok kecilnya sudah berpakaian rapih, berpakaian ala khas murid Elementary School dengan sedikit catatan kalau dia tidak mandi pagi ini. Tapi toh tidak ada yang akan mengetahuinya selama dia tidak membocorkan sendiri aibnya pagi ini pada siapapun.

"sudah appa.."

Minseok menduduki kursi meja makan tepat menghadap ayahnya. Meminum susu putih yang sudah terhidang. Lalu, dengan pelan dia menyendokkan nasi goreng disebuah mangkok besar didepannya ke piring sarapannya. Kegiatan itu pun juga diikuti oleh Jeongsuk. Tapi sedikit berbeda, karena Jeongsuk meminum kopi bukan susu.

"appa.. sebenarnya aku ingin ikut ke kantormu, bukan kesekolah baruku.. tidak menyenangkan"

Disela-sela suapan nasi gorengnya, Minseok tiba-tiba bersuara. Mengutarakan apa yang ada dipikirannya saat ini. Memang benar, dia terpaksa datang ke kota yang penuh dengan berbagai macam hal yang tidak dia sukai. Dia lebih suka tinggal di kota yang sudah 10 tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Dia sudah menganggap itu sebagai kampung halamannya sendiri. Meninggalkan teman-teman juga semua tetangga yang sudah dia anggap sebagai saudara dia sendiri itu sangatlah menyedihkan. Tapi, karena dia sangat menghormati sang ayah dia akan mengikutinya. Karena hanya ayahnya-lah sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya sekarang ini. Juga berhubungan tentang cita-citanya.

"kau bisa ke kantor appa setelah pulang sekolah nanti, juga tunggu appa yang akan menjemputmu.. terlalu bahaya Minseok-ah.."

"ya..ya… appa janji? Jangan sampai aku melakukan hal yang nekad"

"iya. Appa janji.."

Minseok sedikit mewarisi sifat sang ibu, keras kepala. Jeongsuk seperti selalu melihat diri sang mendiang istri terdapat dalam diri Minseok. Tapi tidak dengan jiwa kecurigaannya, Minseok mewarisi sang ayah.

"appa, jangan terlalu sibuk, ingat tanggal 26 kita harus apa"

Minseok menyudahi sarapannya dan segera memakai sepatunya. Mengingatkan kepada sang ayah tentang satu hari paling berarti dalam hidupnya.

"iya.. tenang saja Min.."

Jeongsuk meraih tas ranselnya. Senyumnya merekah mendengar ucapan anaknya. Minseok-nya yang sangat ajaib, baginya.

"baiklah.. sekarang kita berangkat"

Kedua pasangan ayah dan anak ini meninggalkan rumah mereka menuju sekolah dan kantor mereka menggunakan mobll audi hitam milik Jeongsuk.

.

Jeongsuk memarkirkan mobil audinya di depan gerbang besar sekolah baru Minseok, The Star Elementary School. Minseok keluar dari mobil ayahnya, lalu menundukkan kepala sejajar jendela mobil yang terbuka memperlihatkan wajah ayahnya. Sekali lagi Minseok menagih janji ayahnya.

"Jangan sampai aku melakukan hal nekad, appa.. jangan telat menjemputku.."

"ya..ya…tuan Kim.. bisakah lebih sopan lagi mengucapkan salam pada appamu ini"

"selamat pagi ayah.. hati-hati dijalan.. sudah sana pergi, aku tidak mau pekerjaanmu terbengkalai.. "

"appa berangkat ya.. "

Selepas perginya Jeongsuk, Minseok menghembus nafasnya pelan. Menetralisir kondisinya. Langsung saja dia melangkahkan kakinya memasuki pekarangan sekolah barunya ini. Mencari dimana letak kelasnya. Seingat dia, dia masuk dalam kelas IV-A.

Tengtengteng..

Bunyi bel menandakan bahwa semua murid harus segera memasuki kelasnya masing-masing ini mengagetkan Minseok masih dalam misi mencari kelasnya. Bukannya dia tidak mau bertanya, hanya saja dia juga sambil ingin melihat-lihat bagaimana keadaan sekolahnya ini. Keadaan koridor sekolah kini sudah sepi, Minseok sedikit bingung apa yang harus dia lakukan saat ini, sampai ada seorang guru yang memanggil dan menghampirinya.

"hey..kau..sedang apa? Cepat masuk ke kelasmu"

"ehm..maaf, saya murid baru guru, dan saya sedang mencari kelas IV-A"

"ah, kau murid baru itu ternyata, kebetulan sekali, saya guru yang akan mengisi jam pertama kelasmu, ayo ikut saya. Siapa namamu?"

Seorang guru yang ternyata bernama Park Yoochun ini ramah, walau diawal terlihat tegas, pikir Minseok. Mereka berdua berbincang sedikit disaat menuju kelas mereka. Seputar pertanyaan pribadi tentang Minseok tentunya yang dilontarkan Guru Park. Tentu juga dijawab singkat oleh Minseok. Dia sebenarnya paling tidak suka diberi pertanyaan seperti itu, menurut dia itu pertanyaan seorang yang terlalu ingin tahu tentang seseorang. Bahasa kerennya KEPO. Padahal terkadang dia juga seperti itu jika sudah tertarik pada sesuatu.

Minseok memasuki kelas barunya mengikuti Guru Park. Dia mengedarkan pandangannya ke penjuru sisi-sisi kelas. Cukup menarik sepertinya, batin Minseok.

"Selamat pagi semua. Kita punya anggota kelas baru mulai hari ini. Silahkan perkenalkan dirimu Minseok"

Sapaan Guru Park disahut meriah oleh semua murid dikelas itu. Minseok memajukan sedikit langkahnya. Menatap semua teman-teman barunya dengan senyuman yang entah datang darimana.

"Perkenalkan, Nama saya Kim Minseok. Kalian bisa memanggilku Minseok. Mari berteman"

Setelah sedikit acara perkenalan tadi, kini Minseok sudah duduk dikursi barisan paling belakang disamping seorang anak bertubuh tinggi, berkulit putih dan juga kenapa rambutnya pirang. Pikir Minseok.

"Hai.. Namaku YiFan, Wu YiFan. Tapi kau bisa memanggilku Kris.. salam kenal"

Minseok menautkan kedua alisnya menatap seorang anak yang kini menjulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan didepan Minseok.

"Chinese?"

Kris menganggukan kepalanya sekali seraya tersenyum menjawab pertanyaan Minseok. Minseok hanya membentuk huruf O pada bibirnya.

"Hanya itu? Apakah tidak sopan kalau kau tidak menyambut jabatan tanganku?"

Minseok tersadar dalam pikirannya, sebenarnya banyak yang ingin dia tanyakan pada teman barunya ini tapi dia merasa sekarang bukan waktunya. Dia segera menjabat uluran tangan Kris. Singkat.

"ah maaf.. salam kenal Kris.."

Keduanya fokus pada pelajaran yang diberikan oleh Guru Park didepan kelas mereka.

.

Minseok berdiri bersandar pada dinding gerbang sekolahnya. Menunggu sang ayah menjemputnya. Sekolah masih ramai, tentu saja. Minseok baru saja menyelesaikan hari pertamanya di sekolah barunya ini. Cukup menyenangkan, pikir Minseok. Dan temannya yang bernama Kris itu sebenarnya sedikit dingin, begitulah yang bisa disimpulkannya pada saat kerja kelompok di pelajaran seni dan keterampilan Guru Jung. Tapi herannya, kenapa dengan Minseok dia biasa saja. Aneh, sekali lagi pikir Minseok.

"Appa.. Lima menit kau belum juga sampai disini, aku benar-benar akan menyusulmu ke kantor, tidak peduli aku tidak tahu jalanan Seoul"

Minseok mulai sedikit kesal. Pasalnya, saat ini sekolah mulai kelihatan sepi. Hanya ada beberapa anak yang mungkin juga sedang menunggu jemputan mereka masing-masing.

Tin Tin….

Minseok tersenyum lega melihat didepannya sudah terparkir mobil sang ayah. Dengan cepat dia membuka pintu mobil audi hitam itu, namun gerakannya terhenti ketika yang didapatinya bukanlah sang ayah melainkan seorang pria yang menurutnya asing. Pria berambut sedikit ikal dengan kisaran usia seperti ayahnya dan juga seragam yang melekat pada tubuh pria ini mirip dengan pakaian detektif ayahnya.

"Siapa kau?"

Minseok masih belum masuk ke dalam mobil, malah terkesan sedang meninterogasi pria yang kini sudah berdiri diseberangnya, di depan pintu pengemudi mobil ini. Pria itu hanya tersenyum singkat.

"Detektif Shin, teman ayahmu. Tadi dia menyuruhku untuk menjemputmu. Dia masih sibuk dengan kasus yang tengah ditanganinya"

"Apa kau tidak berbohong?"

"haha.. Kau persis dengan ayahmu. Percayalah, aku ini orang baik. "

"baik, aku percaya.."

Minseok akhirnya sudah menduduki kursi disamping kursi pengemudi, Detektif Shin. Selama perjalanan menuju kantor sang ayah aura dalam mobil itu sangat mencekam. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada suara selain suara halus mesin mobil itu. Dua orang didalamnya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Minseok dengan matanya yang selalu melihat jalanan yang dilewatinya, mengingat titik demi titik penting yang dilewatinya menuju kantor sang ayah. Siapa tahu saja dia ingin berpetualang sendiri. Dengan sedikit mengetahui sela-sela jalanan Seoul ini sedikit membantu dia juga nantinya.

.

"Sepertinya kasus ini sangat rumit. Terlalu banyak pihak yang terlibat dalam kasus ini."

Minseok mendengar sedikit percakapan ayahnya dengan beberapa rekannya ketika dia sedang berkeliling di kantor sebuah lisensi detektif swasta tempat ayahnya bekerja ini. Setelah sampai di tempat ini sekitar 15 menit lalu, Minseok mendapati ayahnya sedang mendiskusikan sebuah kasus bersama rekannya. Karena itu, Minseok memilih untuk berkeliling melihat-lihat keadaan sebuah kantor detektif ayahnya yang baru ini. Walau usianya masih muda namun ketertarikannya dengan dunia detektif bisa dibilang besar. Dia terinspirasi dari sang ayah. Sebenarnya Minseok penasaran tentang kasus yang tengah ditangani ayahnya ini, tapi dia juga tidak mau menganggu ayahnya sekarang ini.

Kriukk..kriukk..

"Aku lupa aku belum makan siang, ck"

Minseok melangkahkan kakinya, seingatnya tadi dia melihat ruang pantry di dalam kantor ini. Tidak lama, dia menemukan ruangan itu. Minseok memasuki ruangan yang berisikan peralatan masak sederhana juga sebuah meja dengan dua kursi sedikit panjang yang mengelilingi meja itu. Minseok mengeluarkan makanan daruratnya dari dalam tas ranselnya. Sebungkus roti, air mineral dan beberapa snack kecil. Bisa saja dia melakukan acara makan siangnya di ruang tunggu kantor ini tapi dia merasa lebih leluasa dan nyaman untuk makan ditempat yang tidak banyak orang seperti pantry ini.

Brak

Hampir saja Minseok memuntahkan isi mulutnya kalau saja tidak dia tahan dengan air mineralnya. Sungguh Minseok ingin merutuki betapa tidak sopannya tingkah si pelaku pembuka pintu dengan kasar tadi. Belum saja Minseok ingin memprotes tapi dia kembali dikejutkan dengan duduknya seseorang didepan seberang mejanya. Mau tidak mau dia harus melihat siapa orang itu. Matanya mengernyit heran mendapati orang yang ada dihadapannya kini sedang tertunduk diam tanpa suara. Apa sosoknya tidak dianggap diruangan ini, pikir MInseok. Seakan ruangan ini hanya ada dia dan orang itu tidak mengucapkan sepatah kata pun atas perilakunya tadi. Tidak mau ambil pusing, Minseok kembali melanjutkan acara makannya. Sesekali matanya melirik-lirik sekilas orang dihadapannya. Dari penangkapan mata Minseok, orang didepannya ini bisa diperhitungkan tidak jauh beda tingginya dengan tinggi badan Minseok, kulitnya putih, rambutnya juga sedikit pirang, secara keseluruhan orang didepannya ini mempunyai kesan tampan dan cantik bersamaan. Simpul Minseok.

"Apa kau sudah selesai mengamatiku?"

Uhukk..

Lagi-lagi, Minseok tersedak dalam minumnya. Jadi, pengamatan yang Minseok lakukan itu diketahui semua oleh orang didepannya. Tidak mau terlalu terlihat tertangkap basah, Minseok menjaga imagenya.

"Kalau iya, memangnya kenapa?"

"Itu tidak sopan, kau tahu?"

"Sopan? Apakah tingkahmu yang membuka pintu dengan kasar dan mengagetkan seseorang didalamnya lalu kau hanya duduk diam tanpa sepatah kata pun itu sopan? Hm?"

"Huftt.. Kalau begitu, maafkan aku"

"Tidak usah minta maaf. Kita sama-sama bertingkah tidak sopan."

"Iya, baiklah.. Tapi siapa kau? Kenapa bisa ada disini?"

"Aku? Minseok. Aku ada disini karena sedang lapar dan memakan makananku disini."

"Bukan itu maksudku, identitasmu?"

"Kim Minseok.. jelas.. aku harus pergi sekarang.. "

Setelah sedikit perbincangan dengan orang yang baru dikenalnya tadi Minseok langsung keluar ruangan pantry. Dia tidak menghiraukan perkataan terakhir dari orang tadi. Dia melirik jam tangannya, seharusnya diskusi ayahnya dengan rekannya tadi sudah selesai dan Minseok rasa dia juga sudah cukup puas dengan berkeliling di tempat kerja sang ayah.

Minseok berdiri didepan ruangan sang ayah sambil menghentak-hentakkan kakinya pelan.

"Apa kau sudah puas berkeliling di kantor ayah?"

"Yups.. Sekarang kita pulang, besok aku akan bertemu umma"

Jeongsuk mengacak rambut hitam anaknya. Minseok yang diperlakukan seperti itupun hanya tertawa saja, dia begitu suka saat ayahnya mengacak rambutnya. Menurut dia itu bentuk perhatian sang ayah kepadanya. Keduanya kini berjalan menuju tempat parkir mobil mereka.

"Ada hubungan apa anak itu dengan Paman Kim?"

Seseorang sedang memperhatikan pasangan ayah dan anak itu dari koridor. Namun tidak lama, dia berjalan juga menuju tempat parkir motornya. Menjalankan motornya berlawanan arah dimana mobil Jeongsuk melaju kearah barat.

.

Sebuah perbukitan terasa sejuk. Dikelilingi pohon-pohon rindang. Tersusun dan terjajar rapih gundukan-gundukan tanah besar. Seorang ayah bersama putranya kini terlihat berdiri didepan sebuah gundukan besar dengan sebuah batu bertuliskan

Rest In Peace

Kim Minyeon

26 March 1990

Minseok bersama ayahnya menyiapkan segala keperluan untuk ziarah ke makam mendiang sang ibu seperti bagaimana kebanyakan orang bawa untuk mengunjungi makam keluarganya.

"Umma.. aku rindu padamu.. Apakah kau rindu padaku?"

Setelah memberi hormat dan berdoa, Minseok berbicara sendiri. Sebenarnya bisa dibilang dia sedang berusaha berbicara dengan ibunya tapi tentu saja ibunya tidak akan menjawab ucapannya.

"Tentu saja umma-mu merindukanmu.. bagaimana bisa dia tidak merindukan putranya yang ajaib ini. Walau usianya baru genap 10 tahun hari ini, tapi sifatnya luarbiasa."

"Appa... tidak seharusnya kau membicarakan itu semua didepan umma. Aku jadi tidak terlihat keren"

Jeongsuk tertawa melihat putranya kini sedang memasang wajah cemberutnya. Dihari yang sangat berharga ini dia masih bisa bercengkrama dengan putranya yang juga tengah berulang-tahun ke sepuluh. Ingatannya kembali pada sang istri dahulu.

.

.

"kau begitu mirip dengan ibumu"

Jeongsuk masih setia memandangi bayinya yang masih saja memejamkan kedua matanya. Suara lemah tertangkap oleh pendengaran Jeongsuk, dia menolehkan kepalanya kearah sang istri yang masih terbaring lemah. Jeongsuk seperti mendapatkan sebuah secercah cahaya ketika yang dilihatnya kini sang istri membuka matanya menatap Jeongsuk, walau masih dengan suara terbatanya. Jeongsuk menggenggam tangan Minyeon erat.

"Kau sudah bangun, sayang?"

Minyeon hanya sanggup memejamkan matanya sekilas dan mengangguk lemah sebagai jawabannya. Minyeon membuka mulutnya berusaha untuk mengucapkan sesuatu pada suaminya.

"Aku merasa tidak sanggup sayang.."

Dengan terbata Minyeon mengucapkan sebuah kalimat yang mampu membuat Jeongsuk langsung menggeleng keras menolak kata-kata sang istri. Dia tahu kemana arah pembicaraan istrinya tadi.

"Tidak.. kau pasti bisa, bayi kita sudah terlahir di dunia, bukankah itu keinginan terbesarmu? Kita akan menjaga dan merawatnya bersama, Minyeon-ah"

Bisa dilihat Minyeon tengah mengukir senyumnya mendengar bahwa sang bayi lahir dengan selamat.

"Aku percaya padamu, sayang. Jagalah dia.."

Minyeon memang belum sempat melihat bagaimana rupa sang anak, karena dia langsung tidak sadarkan diri begitu dia berhasil membawa sang anak menyapa dunia ini. Tapi, betapa bahagianya dia bisa merasakan menjadi seorang ibu. Walau tidak lebih dari satu hari.

"Aku mencintaimu Jeongsuk. Juga anak kita."

Dengan kata-kata terakhirnya itu, Minyeon menghembuskan nafas teakhirnya. Memejamkan matanya damai dengan seulas senyum yang menghiasi wajah cantiknya.

"Minyeon-ah.. Sayang… Bangunlah.. Minyeon-ah"

Jeongsuk masih tidak bisa menerima keadaan ini. Istrinya, Minyeon meninggalkannya untuk selamanya. Juga meninggalkan bayi mungilnya seorang diri.

"Tidak, Minyeon-ah.. Bukankah kau berjanji akan kuat?"

"Minyeon…!"

.

.

"Appa…!"

Jeongsuk tersadar dari lamunannya oleh teriakan sang anak. Jeongsuk tersenyum melihat Minseok didepannya. Jeongsuk begitu menyayangi Minseok. Jeongsuk sudah menepati janji Minyeon untuk menjaga dan merawat Minseok. Kini dia berjanji akan terus disamping Minseok atas nama dirinya.

"Jangan berteriak didepan umma-mu, Minseok"

"hehe.. Maafkan aku umma.. ehm Appa.. Aku kan ulang tahun, apa kau sudah menyiapkan hadiah untukku?"

Jeongsuk menggelengkan kepalanya. Walau sifat Minseok ajaib, dia juga masih anak-anak yang bisa saja bersikap manja kalau ada sesuatu yang diinginkannya. Seperti saat ini.

"Sudah.. tapi sebelumnya, appa ingin membawamu ke dokter. Appa ingin memeriksakan kondisi tubuhmu. Kemarin kau kedinginan seperti itu membuat appa takut."

"Hufft.. Baiklah.."

Jeongsuk membenarkan posisi bunga yang dibawanya dimakam sang istri. Minseok masih saja berceloteh sendiri dengan berbagai macam ceritanya, termasuk cerita barunya kemarin di sekolah juga dikantor sang ayah.

"Minyeon-ah.. Aku selalu mencintaimu sampai kapanpun.. tenanglah kau disana, aku akan selalu disamping anak kita"

"uhuuuu… Appa romantis sekali,, hehe "

Jeongsuk mengacak pelan rambut Minseok yang berdiri disampingnya. Minseok hanya tertawa melihat ayahnya sedang salah tingkah seperti itu. Hiburan tersendiri bagi Minseok.

"Minyeon-ah.. Kita pamit dulu.. Aku mencintaimu Minyeon"

"Umma.. Minseok pamit dulu ya.. Aku juga mencintaimu umma"

Pasangan ayah dan anak ini meninggalkan komplek pemakaman di daerah Gwangju, kota kelahiran Kim Minyeon. Tidak menyadari bahwa mereka sedang diawasi oleh beberapa orang.

.

Sudah beberapa menit, mobil Jeongsuk terjebak macet disalah satu ruas jalanan Seoul. Suara-suara klakson berasal dari mobil-mobil yang juga terjebak macet menandakan protes dari sang pemilik mobil. Jeongsuk juga sedikit mengerang, pasalnya dia sedang menuju tempat dokter langganannya untuk memeriksakan kesehatan Minseok.

"Kau tunggu disini.. Jangan coba-coba untuk melakukan apapun"

"iya.. appa"

Jeongsuk memutuskan untuk melihat apa yang menjadi penyebab kemacetan parah ini. Sebenarnya Minseok merasakan perasaan aneh saat ayahnya meninggalkannya di dalam mobil untuk menunggu sang ayah. Tapi perasaan itu segera dia tepis. Dia tidak mau berpikiran buruk.

Cukup lama, Minseok menunggu ayahnya. Perasaannya semakin tidak karuan. Dengan pikiran gegabahnya dia memutuskan untuk menyusul sang ayah, mengabaikan pesan ayahnya tadi. Dengan sedikit berlari Minseok menyusul sang ayah, langkah cepatnya terhenti ketika melihat sang ayah sedang memasuki sebuah mobil yang tengah terparkir ditengah jalan dengan satu mobil lagi berada dibelakang mobil yang dimasuki ayahnya. Ternyata itulah yang menyebabkan macetnya jalanan ini. Terdapat juga beberapa orang berpakaian hitam-hitam yang mengeliliingi dua mobil itu.

Minseok segera ingin menyusul ayahnya tapi sekali lagi langkahnya terhenti saat melihat samar-samar seseorang yang cukup dikenalnya berada didalam mobil kedua dari dua mobil itu. Minseok menautkan alisnya saat orang-orang berpakaian hitam itu berhambur dari tempatnya mereka berdiri tadi. Dan orang-orang yang berada dalam dua mobil itu keluar, kecuali ayah dan satu orang yang dilihatnya tadi.

"Detektif Shin.. Appa"

Duarrr ….

"APPA…!"

TBC

Aneh ya? Nyambung ga? Ga tau deh.. mudah-mudahan tidak terlalu membosankan ya…

Review-nya juseyo bagi yang udah mampir… bantuin buat lanjut juga bisa.. hehe… butuh masukan-masukan yang banyak ini. Inget ya, masukan.. bukan pelecehan… makasih…