Artificial Intelligence atau AI didefinisikan sebagai kecerdasan buatan yang dalam waktu ke waktu akan terus berkembang atas kehendak manusia.
Hingga mungkin suatu hari nanti akan muncul era dimana kecerdasan buatan tersebut akan melebihi kecerdasan manusia.
Walau begitu, manusia masih saja melakukan penelitian untuk menciptakan kekuatan baru yang dapat melampaui kekuasaan Tuhan, kekuatan yang melampaui akal manusia.
Serakah, memang.
Apa yang mereka capai bukannya membuat mereka puas tetapi malah membuat mereka haus akan kekuatan.
Mereka menginginkan kekuatan lebih.
Mereka masih menginginkan lebih.
Tanpa mereka ketahui, apa yang mereka lakukan tersebut sama saja dengan mengejek Tuhan.
Mencari kekuatan yang dapat melampaui-Nya.
Melampaui-Nya?
Setelah Tuhan memberikan mereka pengetahuan dan kekuatan, mereka malah menggunakan semua itu untuk menyaingi kekuatan-Nya.
Tentu saja kemarahan Tuhan tidak dapat dihindari.
Tanpa peringatan apapun, manusia menerima murka-Nya.
Semua komponen penyusun dunia disegel dalam sebuah Menara.
Sedikit demi sedikit manusia mulai menyadari perubahan pada dunia. Perlahan, peradaban mulai menemui kehancuran.
Hal ini tidak dapat dihindari. Satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah dengan memohon ampun kepada Tuhan.
Saat itulah seseorang yang disebut 'Messiah' menaiki menara dengan harapan dapat memperoleh ampunan dari-Nya.
Setelah menerima ampunan, 'Messiah' mengambil 'Blessed Light' dari sembilan komponen untuk menyalakan api kehidupan di atas altar kemudian meraihnya untuk memperpanjang kehidupan peradaban.
Tetapi, untuk memperpanjang kehidupan peradaban diperlukan api dari altar yang hanya akan tercipta setiap 15 tahun sekali.
Dalam kurun waktu itu, dunia akan selamat dari kehancuran hingga…
…dunia harus memilih 'Messiah' selanjutnya.
.
.
.
-Blessed Messiah and The Tower of AI-
Hitoshizuku-P x YamaΔ
Vocaloid © Yamaha Corporation
Cerita versi saya sendiri…
.
.
.
Beberapa tahun lalu di 'Desa Pemuda', penduduk yang mengira diri mereka dapat menentang Tuhan diberi 'Hukuman Ilahi' kemudian dibunuh.
Penghakiman ilahi telah mengeksekusi para manusia sombong dan bodoh yang berpikir mereka dapat menggantikan Tuhan.
Saat itu Miku masih sangat muda, dia tidak mampu berbuat apapun dan hanya bisa melihat orangtuanya terbunuh dihadapannya, melihat mereka mati dalam penyiksaan.
Bukan hanya Miku, anak-anak lain yang tinggal di desa itu juga mengalami hal serupa.
Mereka sangat ingin melakukan sesuatu, melawan sebisa mereka.
Tapi tidak ada yang dapat mereka lakukan, mereka tidak dapat menghentikan kekuasaan Tuhan, tidak dapat menghentikan kemurkaan-Nya.
Akibat kejadian itu, peradaban menjadi porak poranda. Hanya perasaan sakit yang tersisa hingga mereka tenggelam dalam keputusasaan.
Mereka hanyalah anak kecil. Apa yang bisa mereka perbuat?
Miku hanya bisa terduduk dalam kehampaan, perasaan sakit yang dirasakannya sungguh menyiksa. Dia tidak bisa melakukan apapun, dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan apapun.
Hingga seorang pemuda menghampirinya.
Awalnya Miku tidak mengerti kenapa pemuda itu bisa tersenyum ditengah kehancuran begitu. Kemudian dia melihat sosok lain dibelakang pemuda itu dengan senyum yang sama, mereka mengulurkan tangan mereka.
Pemuda itu lalu mengulurkan tangannya dan berseru,
"Dalam sakit dan sehat, kita berbagi kebahagiaan dan rasa sakit"
Melihat senyum mereka membuat Miku mengerti bahwa dia tidak sendiri.
Menyambut uluran tangan sang pemuda dengan mata berair, dia berusaha tersenyum.
Air mata tersebut menggambarkan betapa bahagianya dia memiliki orang lain disisinya saat dia tidak tau harus bertumpu pada siapa.
Senyuman itu menunjukan bahwa dia akan berusaha menghadapinya dengan senyuman di wajah, meninggalkan kesedihan dan perasaan sakit yang menyengat hatinya.
Dengan kedua tangan mereka yang menyatu, itu adalah awal dari persahabatan mereka.
Mereka akan berusaha menghadapi dunia bersama dengan menggenggam tangan satu sama lain, saling membantu dalam keadaan apapun.
Sesuai dengan slogan yang sejak saat itu akan mereka pegang sebagai pengikat persahabatan mereka,
…dalam keadaan apapun kau tidak perlu menghadapinya sendiri. Kau hanya perlu mencari orang lain yang dapat mengulurkan tangannya untukmu dan menghadapi dunia bersamamu.
Seolah dapat membaca apa yang dipikirkan oleh pemuda itu, Miku merasakan hatinya dipenuhi kehangatan.
Dia mengerti makna dari kata-kata yang diucapkan pemuda itu dan kata-kata itu seolah menjadi kekuatan baru baginya. Kekuatan yang dapat mendorongnya untuk menghadapi dunia walau kelihatannya mustahil.
Mereka kemudian merangkul Miku dalam kehangatan.
Pada hari itu Miku telah menetapkan tujuan hidupnya. Dengan penuh kepercayaan diri, dia ingin suatu saat dapat mencapai puncak menara dan memperoleh ampunan sesungguhnya agar dia bisa menjalani hari yang tersisa dalam hidupnya bersama mereka tanpa rasa takut.
.
.
.
.
.
.
-5 tahun kemudian-
Miku yang dulu hanyalah gadis kecil lemah sekarang telah tumbuh menjadi remaja cantik dengan pribadi yang kuat.
Mengambil alih profesi ibunya yang dulu bekerja sebagai tukang jahit, dia kini memiliki sebuah pekerjaan yang dapat menopang hidupnya.
Tukang jahit juga sangat dibutuhkan di desa terutama untuk para gadis remaja yang ingin tampil dengan pakaian menawan apalagi karena mereka sudah memasuki masa kedewasaan.
Tidak ada salahnya mencoba tampil menarik di depan lawan jenis, kan. Berkat itu Miku dapat bertahan hidup, tapi mengerjakan semuanya sendiri menjadi masalah tersendiri baginya, semua pakaian itu seolah tidak ada habisnya.
Hari ini pun dia belum bisa menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk padahal tenggat waktunya sudah hampir tiba.
Memilih untuk istirahat sejenak, Miku pergi mengunjungi toko roti tak jauh dari rumahnya.
Bel bergemerincing saat pintu terbuka, semerbak harum roti memasuki indra penciuman, membuat perutnya bergemuruh meminta makan.
Tentu saja, karena harus menyelesaikan semua jahitan itulah dia bangun sebelum fajar, bahkan sampai melewatkan sarapan. Saat matahari sudah berada di puncak langit pun dia masih belum makan apapun.
Mungkin karena itulah perutnya terasa agak sakit sekarang.
Menyapa dua teman baiknya sambil menghampiri beberapa meja. Mata Miku langsung terpaku pada roti hangat yang tersusun di atasnya.
"Kau datang tepat waktu, Miku. Mereka baru keluar dari pemanggang." Ia, gadis bersurai pirang cerah itu meletakkan roti lainnya yang baru selesai dipanggang.
"Apa yang baru?" Bingung menentukan pilihannya, Miku meminta rekomendasi dari teman baiknya itu.
Setelah berpikir sejenak, Ia melirik ke arah adiknya kemudian menyeringai lebar.
"Bagaimana kalau roti buatan Mayu?"
Miku menggigit sepotong roti yang ditawarkan Ia untuk meminta pendapatnya.
"Waahh enakk. Kalau begitu aku mau beberapa yang ini." Miku kembali melihat roti lainnya yang diletakkan di sekitar toko. "Sepertinya Mayu sekarang sudah bisa menandingimu."
Mendengar pujian Miku, Mayu yang berdiri di belakang kasir segera memeluknya dari belakang.
"Kau dengar itu kak?" Dia menjulurkan lidah dan tersenyum puas.
"Masih terlalu cepat untukmu menyombongkan diri nona kecil. Sekarang kembali ke belakang kasir."
Mayu langsung menurut.
Melihat Ia dan Mayu bersama seolah memancarkan aura hangat di sekitar mereka.
Ikatan kakak beradik itu begitu kuat, Miku selalu tersenyum melihat kedekatan mereka. Ia adalah kakak yang baik bagi Mayu, hanya dengan melihat mereka pun semua orang pasti mengetahuinya.
Setelah memilih beberapa potong roti lagi, Miku beranjak menuju kasir.
Senyuman ceria Mayu masih melekat di wajahnya. Miku sangat senang, dia tidak peduli jika harus mengunjungi toko itu tiap hari walau hanya untuk membeli sepotong roti karena dia ingin melihat senyuman gadis itu setiap harinya.
"Terima kasih Kak Miku. Kau akan datang lagi untuk main kan?" Gadis itu tersenyum manis.
"Kalau kau sibuk bisa saja lain kali." Ia menyahut, beranjak ke sisi Mayu sambil menepuk kepalanya. "Benarkan Mayu? Kita tidak boleh membuat Miku menunda pekerjaannya."
Mayu jadi agak sedih tapi Miku segera membuat senyumannya kembali merekah.
"Setelah aku menyelesaikan semuanya. Tenang saja, tidak akan terlalu lama kok."
Bunyi gemerincing mengiringi kepergiannya, dia melambai untuk terakhir kali sebelum menapaki jalan bebatuan.
.
.
"Mungkin aku bisa membeli dua botol susu untuk persediaan."
Dia bersenandung sepanjang perjalanan menuju peternakan si kembar di tepi desa.
Menapaki jalan yang sama, si kembar Kagamine tampak semangat mengurus peternakan yang ditinggalkan orangtua mereka.
Tidak seperti Ia dan Mayu yang tampak akur. Si kembar ini lebih sering berdebat mengenai beberapa hal kecil tapi mungkin itulah cara mereka untuk bisa lebih akur.
Kadang beberapa orang mempunyai cara mereka sendiri, kan.
Memasuki peternakan, Miku berjalan di rerumputan menghampiri sang adik, Kagamine Len yang sedang membawa satu ember penuh susu sapi.
"Hei Len." Len meletakkan ember itu sejenak kemudian melambaikan tangannya pada Miku. Tak jauh dari tempat Len, Rin yang baru saja keluar dari gudang penyimpanan berjalan menghampiri Miku sambil membawa dua botol susu.
"Miku…" Miku balas melambai pada Rin dan Len.
"Ini bagianmu." Rin muncul dari balik punggung Len sambil mengangkat dua botol susu ditangannya, mengejutkan Len.
"Waahh terima kasih." Meletakkan dua botol itu di dalam keranjang roti yang Ia berikan tadi, Miku menyerahkan dua potong roti pada mereka.
"Err kau tidak perlu melakukan itu." Len merasa tidak nyaman apabila harus menerima roti dari seorang gadis, terlebih lagi gadis yang disukainya.
"Ini pemberianku, lagipula akhir-akhir ini aku jarang mengunjungi kalian."
"Seharusnya kami yang lebih sering mengunjungimu." Rin mengambil dua potong roti itu dari tangan Miku. "Tapi terima kasih, Miku." Serunya, melambaikan roti itu diudara.
"Lain kali kami yang akan memberimu." Len menyeringai lebar.
"Aku nantikan itu. Sampai jumpa…oh dan terima kasih juga untuk ini." Menunjuk botol di keranjangnya. Miku kemudian beranjak pergi. Dibelakangnya, si kembar Kagamine berdiri bersebelahan melambaikan kedua tangan mereka di udara.
Lucu sekali, terakhir Miku ingat mereka hanyalah dua anak kecil yang suka bermain di padang rumput.
Tetapi melihat mereka sekarang—Miku berbalik untuk terakhir kali, melihat Rin dan Len telah kembali bekerja— mereka adalah dua remaja pekerja keras yang mulai beranjak dewasa.
Angin bertiup lembut menerpa kulitnya. Dia memutuskan untuk mengambil jalan memutar melewati gereja.
Di pertengahan jalan dia melewati kerumunan orang sedang menonton pertunjukan jalanan. Dia menerobos kerumunan untuk dapat melihat jelas. Dua orang yang sedang tampil itu membuat senyumnya merekah, mereka adalah teman baiknya.
Sang penari, Luka Megurine menari mengiringi alunan syair yang disenandungkan Gumi Megpoid sang penyair. Suara Gumi yang merdu dipadukan dengan gerakan indah Luka seolah menjadi oasis di tempat gersang itu, menjadi satu-satunya hiburan disana.
Miku sangat ingin menyapa mereka berdua tetapi tampaknya tidak dalam waktu dekat melihat mereka baru saja memulai pertunjukan sementara Miku harus bergegas menyelesaikan pekerjaannya.
Tak jauh dari tempat pertunjukan jalanan, Miku melihat bangunan megah berdiri di pusat desa.
Melihat gereja megah itu dapat dibangun di tengah kehancuran merupakan suatu keajaiban, keajaiban yang dibuat oleh seorang temannya. Miku memutuskan untuk mampir sebentar.
Seorang pria bersurai ungu dengan kucir rendah yang duduk di kursi barisan depan menarik perhatiannya.
Berjalan perlahan menghampiri pria itu, dia kemudian duduk disampingnya. Mozaik yang terpajang di bagian depan gereja membuatnya terpana.
"Itu adalah menara AI yang berada jauh di perbukitan."
Benar, itu adalah menara yang menyimpan 'blessing' dari Tuhan. Tempat itulah yang ingin ditujunya, entah bagaimana dia harus menyampaikan permohonannya kepada Tuhan.
"Apa benar Tuhan akan mengampuni kita jika kita pergi kesana." Gakupo melirik Miku kemudian tersenyum kecil.
"Yang aku tau, tempat itu penuh dengan penderitaan. Hanya orang terpilih dan rekannya yang dapat pergi kesana." Gakupo melirik Miku. Dia tertawa kecil melihat Miku masih mengagumi menara itu.
Memandangi menara AI membuat Miku teringat pada masa lalunya ketika dia pertama kali menetapkan tujuannya untuk mencapai puncak menara dan menyelamatkan semua orang. Tapi benarkah semuanya bisa selamat?
"Miku, bagaimana dengan pekerjaanmu?" Tepukan pada pundak membangunkan Miku dari lamunannya.
"Pekerjaan—"
"Aaa benar juga. Aku pergi dulu." Miku segera bangkit dari posisi duduk.
Setelah melirik mozaik itu untuk terakhir kali, dia berlari meninggalkan gereja.
Gakupo melihat gadis itu menghilang di balik pintu kemudian mengalihkan pandangannya pada mozaik dan untuk kesekian kalinya berharap agar permohonannya dikabulkan.
"Kumohon siapapun selain dia." Kemudian dia menghela napas panjang.
Tanpa mengetahui apapun mengenai arti 'blessing' yang sesungguhnya, Miku berlari dengan senyum di wajah seraya memanjatkan permohonan berulang kali agar dia terpilih menjadi 'Messiah' selanjutnya.
Miku sebenarnya tidak mengetahui apa yang terjadi pada sang 'Messiah' apabila berhasil mencapai puncak menara, tidak ada yang tau apa yang akan terjadi.
Walau begitu, dia masih memiliki keinginan untuk menjadi 'Messiah'. Bukankah itu merupakan suatu kehormatan? Menjadi orang terpilih artinya semua orang bergantung padanya dan dia bisa mengembalikan dunia jadi damai seperti semula.
Melewati kantor pusat desa, dari jendela depan tampak sosok bersurai biru memandangi jalanan yang baru saja dilalui gadis itu.
Dia adalah orang yang dihormati, sosoknya lah yang berhasil membawa para pemuda yang tersisa di desa menuju revolusi walau itu tidak dapat mengubah keadaan dunia. Setidaknya, mereka berhasil membangun kembali desa dan melanjutkan hidup.
Dibelakang pemuda itu, seorang ksatria wanita bersandar pada tembok menunggu jawaban sang ketua, sementara orang yang dimaksud tampak tenggelam dalam pikirannya.
Ini adalah keputusan yang berat.
Lima belas tahun telah berlalu sejak 'Messiah' terakhir menaiki menara dan menghilang tanpa jejak, artinya 'Messiah' selanjutnya akan segera dipilih.
Ksatria wanita itu, Meiko bermaksud memberi kabar dari kerajaan bahwa 'Messiah' selanjutnya yang akan dipilih adalah seseorang dari desa mereka.
Tentu saja sebagai ketua, sebagai pimpinan desa, Kaito mengetahui apa yang akan terjadi pada 'Messiah' itu setelah mencapai menara. Membiarkan mereka terpilih sama saja dengan mengorbankan mereka, membuat mereka menanggung beban berat di pundak.
Pertanyaan Meiko membuatnya resah,
"Bagaimana jika salah satu dari mereka terpilih?"
Apa yang akan dilakukannya?
Dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
.
.
.
.
.
.
Jauh disisi lain desa, suara ketukan membuat Miku menghentikan langkahnya. Dia baru saja mencapai rumah dan akan beranjak menuju dapur menyiapkan makan siang tapi sepertinya itu harus ditunda dulu.
Setelah Miku membuka daun pintu, tampak seorang ksatria berpakaian rapi berdiri di depan pintu memegang sebuah amplop, ksatria tersebut menunduk hormat kemudian menyerahkan amplop itu ke tangannya tanpa mengatakan sepatah katapun.
Miku pun tidak mengatakan apapun, dia hanya melemparkan senyuman saat si ksatria menunduk sekali lagi sebelum beranjak pergi.
Setelah menutup pintu dia beranjak menuju dapur sambil membolak balikan amplop ditangannya. Stempel merah pada bagian depan amplop menunjukan bahwa surat tersebut dikirim dari kerajaan.
Merasa penasaran, Miku segera merobek bagian atas amplop dan mengeluarkan sebuah kertas berisi pernyataan dari kerajaan.
Setelah membaca apa yang tertulis disana, kertas tersebut merosot dari genggamannya. Dia tidak tau apa yang dirasakannya saat itu tetapi sebuah senyuman segera terlukis di wajahnya.
.
.
Dia, Hatsune Miku telah dipilih sebagai 'Messiah' terhormat selanjutnya.
