Warning: possibly typo(s), crack-pair, klise (Ryota *eh) etc. Cerita ini akan diubah ratingnya menjadi M ketika sudah waktunya. Kesamaan ide harap dimaklumi. Don't like, don't read and those all blah, blah, blah!
Vocaloid (c) Yamaha, Crypton, etc.
I gain no commercial advantages.
Role (c) datlostpanda
Prologue
/every chapter has a prologue/
Ketika takdir tiba-tiba saja merubah alur permainan….
"Kita harus pergi dari sini. Secepatnya."
Gadis bermata safir bergeming ketika suara bariton itu masuk ke dalam telinga, menggetarkan koklea, menghempas sunyi yang meradang.
Mata lautan itu terpaku pada sebuah objek berbentuk segi empat di sudut lain ruangan. Sebuah televisi layar datar berdiri gagah di atas meja. Benda itu menyala menyiarkan sebuah berita yang sama berulang-ulang; "Dua orang pembunuh berdarah dingin buron."
... Menghempas dua anak manusia pada jurang nasib terkejam.
"Aku tidak percaya ini," bibir merah membuka. Nada dingin menyelimuti ketakutan dan rasa bimbang. Dia menoleh. Safir dan emas bertemu. "Apa kita benar-benar harus pergi?"
Bahu besar digedikkan. Mata sewarna emas berkilat putus asa seolah dia tak menemukan jalan lain yang bisa ditapaki. "Kita buronan sekarang."
Tangan seputih porselen meraih remote tv, membuat benda segi empat itu mati dalam sekali sentuh. Mereka terdiam beberapa saat.
"Tak dapat kupercaya," bibir merah kembali menggumamkan kata, "sedetik yang lalu hidupku masih baik-baik saja tapi sedetik kemudian aku sudah jadi buronan."
"Apa yang kau harapkan? Takdir itu kejam, Nona."
Pada akhirnya, mereka dihadapkan pada skenario dengan cover serupa….
Mata sewarna samudera mengerling skeptis. "Ya, tak ada yang lebih kejam di dunia ini selain takdir."
Sang pemuda mendengus geli. Hampir tertawa dengan bagaimana lawan bicaranya menyalahkan takdir atas semua yang terjadi.
"Cepatlah. Polisi mungkin akan datang sebentar lagi." Pemuda itu memberi instruksi sambil beranjak dari kursi. Sang gadis mengikuti. Ujung rambutnya yang panjang bergoyang ke kanan dan kiri.
"Setelah ini kita akan hidup sebagai buronan. Bagus sekali."
Wajah maskulin menarik sebuah senyum. "Terdengar seperti adegan film buatku."
Si gadis tak merespon. Dingin, seperti biasa. Atau mungkinkah, dia sedang putus asa?
Mulai dari sini ... takdir membiarkan mereka memilih perannya sendiri….
"Setelah ini semuanya akan berbeda, 'kan?" gumam gadis itu.
Kristal biru memandang dunia di hadapannya dingin. Ratusan misteri terselubung di baliknya. Ribuan benci mengapung. Jutaan dendam terpapar. Sepasang kelereng emas bergeming kala bertemu mata biru itu. Rahang maskulin itu mengeras. Darah berdesir kencang bersama adrenalin yang tiba-tiba terpacu.
Dua eksistensi dengan segala kebencian membuat mereka memilih sebuah tujuan yang sama….
"Apa yang ada dalam pikiranmu?" suara bariton memotong udara dengan kejamnya.
Adrenalin menghampiri mereka. Membuat udara seakan menyusut. Napas mereka tercekat.
Mata safir di hadapannya bergeming. Dia telah mengunci jawabannya dan binar matanya terlihat misterius. Bukalah kotak Pandora milikku, mungkin begitu yang tersirat.
"Hal yang sama berlaku untukmu," gadis itu berujar dingin, "apa yang ada dalam pikirkanmu...?"
Hening merapat.
Mata amber memicing. Tajam dan mengancam. Dia juga telah mengunci jawabannya, tak berpikir untuk berbagi pada siapapun. Bah, apa gunanya?
Karena itulah dia akhirnya menyebar determinasi. Menyudutkan safir itu. Tapi kristal safir menolak untuk disudutkan. Dia menantang. Tak takut dengan mata emas yang mengancam.
Dua warna melebur.
Dan saat itulah, kesepakatan mereka buat….
"Kita akan dapatkan kembali milik kita yang telah mereka rebut."
Peran sudah ditetapkan.
Drama telah dimulai.
Penonton bergembira. Tirai panggung telah dibuka. Takdir duduk di singgasana, tertawa riang.
Di balik panggung, dua algojo berdiri gagah. Eksekusi adalah harga bagi aktor dan aktris yang tak cakap dalam berperan.
Jadi…. Bisakah mereka berakting dengan baik?
.
.
.
[ To Be Continued ]
