Disclimer : Bleach hanya milik Tite Kubo seorang

―bukan punya Yuuka―

.

.

.

Warning : Typo (yang selalu nongol), AU, contains fantasy terms, curse words, semi-canon, Gaje (Yuuka serahkan pada Readers semua), DLDR

.

'Not that I need those sparkle. I just need the scar.'

.

Enjoy and happy reading !

...


The Half-Blood

by Akimoto Yuuka

"Kau terlihat lebih pucat dari kemarin, Rukia. Coba lihat kantung matamu itu. Mereka mengerikan."

Rangiku melipat tangannya, menghela napas di saat suasana kelas mereka berubah ramai. Pagi hari di ruang kelas yang sibuk seakan mengingatkan wanita itu akan hari panjang yang akan dia lewati hari ini. Terutama untuk teman mungilnya, yang masih menyembunyikan kepala di antara kedua lengannya dan berusaha keras untuk tidur.

"Ayolah, Rukia. Matahari masih terlalu cepat untuk tenggelam."

"Kau berisik, Ran. Aku tidak bisa tidur."

Rangiku memutar bola mata. Dia hafal keadaan Rukia yang sangat sering terserang insomnia. Tapi jujur saja, ini yang paling parah. Gadis itu bahkan mengaku sudah tiba di sekolah pagi-pagi sekali agar bisa mencuri waktu tidur.

"Ada apa? Dia begitu lagi?" tanya Renji yang mendengar keluhan Rangiku di tempat duduknya.

"Entahlah," wanita itu memijit kepalanya dengan sebelah tangan. "Kurasa ini hanya akan bertambah parah. Kau tahu sendiri, kan, dia itu sangat suka membuatku khawatir."

"Kau jadi mirip Ibunya Rukia."

"Renji, apa kau mengatakan sesuatu?"

Renji menelan ludah, menyadari aura di sekitarnya mulai berubah suram.

"Bu-bukan apa-apa." Dia memutar kepala ke arah Rukia dan berbicara cepat-cepat, "Ng-ngomong-ngomong, apa kau tahu kalau nanti akan ada murid baru?"

Rukia mengangkat bahunya, "Memangnya aku terlihat peduli?"

Setidaknya katakan sesuatu, kau yang membuat situasi ini, bodoh!

Renji memijit pangkal hidungnya, "Yah, aku hanya penasaran. Kudengar dia akan datang di pelajaran kedua. Itu agak aneh."

"Murid baru yang terlambat di hari pertama. Apa kau serius?" ejek Rangiku.

"Jangan tanyakan padaku. Orang-orang seperti dirinya itu memiliki hak khusus yang membuatnya bisa melakukan hal-hal di luar kemampuan kita."

"Apa maksudmu di luar kemampuan kita?"

Renji mengangkat bahu dan menggeleng dengan menyebalkan, "Entahlah, aku hanya mendengarnya."

"Tidak bisa diandalkan," wanita di sebelahnya mencibir. "Rukia, bagaimana manurutmu?"

"Kalau dia bisa melakukan hal itu berarti pilihannya cuma dua. Dia anak orang kaya atau tipe yang suka melakukan hal nekat," jawabnya.

"Nekat, ya? Berandalan, begitu maksudnya?"

"Itu tidak mungkin," sela Renji. "Yang kutahu, orang ini catatannya baik. Kalau sekolah kita memasukkan berandalan seenaknya begitu, dari awal sudah pasti mustahil, kan?"

Dua gadis di hadapannya menatapnya dengan tampang curiga, sehingga Renji menelan ludah dengan susah payah.

"Tunggu, kalian tidak percaya padaku? Aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal ini," ujarnya dengan cengiran aneh.

Normalnya, Rukia akan langsung menonjok wajah Renji jika melihat cengiran aneh itu terpampang di depan wajahnya. Jujur, dia terlihat bodoh sekali. Tapi biarkan saja begini, satu-satunya yang diinginkan gadis itu sekarang adalah suasana tenang dan tidur selama dua jam.

―Yuuka desu―

"Aku perlu ke kamar mandi."

"Sekarang? Pelajaran kedua akan dimulai, Rukia. Kau bisa melakukannya di jam istirahat."

Rukia berdiri dari kursinya, mengabaikan Rangiku yang benar-benar berperan sangat baik sebagai Ibunya belakangan ini. Terutama sejak pertama kali dirinya mulai tidur di kelas sastra. Waktu itu Rangiku berteriak, "Aku bermimpi, kan, Rukia? Putri keluarga Kuchiki tidak boleh menyerahkan kebanggaannya di atas meja kayu bahkan jika dia harus dihukum eksekusi! Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi!"

Rukia menghela napas. Lihat dirimu sekarang, memangnya kau manager klub sepak bola?

"Tidak akan lama. Aku bukannya mau pergi ke Hawaii, Ran."

Rangiku mengerjap beberapa kali saat Rukia menghilang di balik pintu, lalu memutar tubuh dan berkata dengan nada polos.

"Kalau begitu, nanti dia akan berpapasan dengan si sexy itu."

Renji berdiri dengan terkejut dan menunjuk wanita itu tepat di wajahnya.

"Ha! Kau juga tahu, ya?!"

"Ssshhh... diamlah, Renji," bisiknya mengedipkan sebelah mata. Setelah itu dia tertawa kecil, "Ini akan jadi menarik."

Renji tidak berani bicara apa-apa setelah itu. Dia hanya termenung di mejanya dan mengingat bahwa dia harus berhati-hati dengan wanita Spanyol itu mulai sekarang.

―Yuuka desu―

"Hmm..."

Sebuah bola mata violet tampak di cermin kamar mandi wanita SMA Karakura, melotot sehingga hampir keluar dari kelopaknya. Rukia berkedip, menyimpan matanya kembali ke dalam.

"Aneh, bahkan setelah tidur di kelas matematika ini tidak bertambah baik."

Dia meletakkan telunjuk di kantung mata kirinya dan menariknya turun. Urat-urat merah muncul di sana seperti serabut pohon. Rukia mengkerutkan kening, melepas tangannya dan melihat betapa hitam kantung matanya sekarang. Itu lebih seperti dia sedang terserang dakriosistitis. Dia membasuh wajahnya sekali lagi sembari merutuk, "Kembalilah seperti semula... kembalilah seperti semula... kembalilah seperti semula..."

Setelah cukup kuat menggosok dan tak mendapatkan hasil, Rukia menyerah dan memutuskan untuk kembali. Dia berjalan pelan di lorong, berpikir terkadang kata-kata Rangiku benar. Wanita itu memang benar, hanya saja dia benci terlihat mengakuinya.

"Seandainya aku bilang membutuhkan obat mata itu...," gumamnya pelan.

Ketukan lain terdengar di lorong samping menuju kelasnya. Sesaat setelah Rukia berbelok dia mendengar bedebum keras di lantai dan menyadari bahwa dia menabrak seseorang. Parahnya, bedebum itu dari pantatnya sendiri.

"Aww!"

"Kau baik-baik saja?" ujar suara di atas Rukia.

Gadis itu mendongak dengan wajah kesakitan, setengah kesal. Awalnya dia ingin memaki, tapi bibirnya terkunci tepat setelah melihat orang itu.

Dia seorang pria, tinggi dan proporsional. Dagunya terangkat angkuh, dengan rahang tegas dan mata menyala tajam. Bibirnya tergaris datar namun tampak menggiurkan, mereka sedingin es dan musim panas sekaligus, dengan lengan kokoh yang sama yang akan melemparmu ke ranjang dan bermain nakal dengannya. Oh, dilihat dari manapun he's too damn sexy!

Rukia hampir tak berkedip melihat pemandangan itu sehingga bibirnya tergerak pelan.

"Itu... oranye...?" telunjuknya mengarah ke atas, hal yang sejak tadi membuatnya melotot terpana. "Rambutmu, mereka aneh," tambahnya heran.

"...Hah?"

Alis tajam itu berkedut. Kerutannya bertambah saat Rukia menatap seperti baru menemukan seekor singa di padang savana yang berkedip padanya dan berkata "Come, baby. I'll eat you all over". Satu-satunya yang dipikirkan gadis itu sekarang adalah, tampang pria itu mengerikan. Tidak ada kesan yang lain.

"Mau sampai kapan kau akan tersungkur di sana, huh?"

Rukia mengerjap, kemudian ber"ah" dan segera berdiri. Pria itu sudah berjalan duluan, meninggalkan Rukia dengan kaki mungilnya mencoba untuk tidak penasaran dengan siapa pria itu.

Mungkin anggota OSIS kelas tiga yang perlu data siswa di ruang guru.

Tapi kemudian mereka melewati ruang guru di sisi kiri lorong.

Bukan? Lalu pasti dia murid kelas tiga yang memukul murid sekolah sebelah dan dipanggil kepala sekolah untuk menyelesaikan masa skors. Lagipula, dia membawa tas.

Sekali lagi dugaan gadis itu salah karena mereka baru saja berbelok di persimpangan pertama.

"Hmm...," gumam Rukia.

Dia terus mengikuti pria-jeruk-aneh itu hingga melewati deretan kelas dua, lalu kaki panjang di depannya tiba-tiba berhenti. Itu kelas 2-c.

"...Eh?"

"Kau yakin tidak mau masuk? Ini kelasmu, kan.. bunny?"

Rukia baru menyadari kalau pria itu sudah membuka pintu dan tersenyum miring padanya.

...Eh? Jangan bilang kalau... dia murid baru itu?!

Mulut Rukia menganga.

"Kuchiki, apa yang kaulakukan di situ? Kelas akan segera dimulai, masuklah!"

Bahkan setelah Ochi-sensei membangunkannya, partikel otak kecil Rukia masih saling berbenturan hingga dirinya tidak sadar sudah berjalan dan duduk di kursinya. Sementara sang murid baru yang sejak tadi mengawasinya sudah menjadi objek perhatian murid-murid yang lain.

"Baiklah, hari ini kita kedatangan anggota baru kelas ini. Silakan perkenalkan dirimu," ujar Ochi-sensei.

Dia, si pria-jeruk-aneh tersenyum kecil, "Aku Kurosaki Ichigo, murid kelas dua, informasi yang lain dirahasiakan. Terima kasih."

Semua terpana dengan cara pria itu bicara. Beberapa gadis yang mengangkat tangan mulai mengeluh kecewa. Yah, mungkin setidaknya mereka bisa tahu makanan kesukaannya dari bentou yang dia bawa. Para siswa yang lain mengukur dan berkomentar dalam hati bahwa otot lengan sang murid baru patut dicontoh. Karena selain mengagumkan, sempurna adalah kata yang tepat.

Rangiku diam-diam melirik temannya yang tidak bergerak seperti ikan mati. Dia memajukan tubuhnya dan mencolek punggung Rukia.

"Hei, apa kau masih hidup?"

Rangiku melihat tak ada respon sama sekali dari kelinci kecil yang mati kaku itu. Dia kembali duduk dan menoleh pada Renji, lalu mengacungkan jempolnya.

Kelihatannya sukses besar, pikir Renji, sweatdrop. Matanya melirik sang murid baru dari ujung.

Kurosaki Ichigo, ya? Orang kaya atau nekat...

Renji menyeringai.

...mungkin keduanya.

―Yuuka desu―

Kemarin Rukia tidak percaya pada kata-kata Renji dan sekarang apa yang dikatakannya menjadi nyata. Orang yang mengaku bernama Kurosaki Ichigo itu populer dalam sekejap. Dia tidak bergabung dengan klub manapun dan sumber penghasilan sampingannya sekarang adalah klub basket. Kemarin klub sepak bola dan besok klub voli. Semua bergantung padanya sekarang. Bahkan klub renang dan fotografi sedang berdebat untuk menjadi yang selanjutnya.

Rukia menghisap jusnya dengan tampang tidak suka. Matanya terus mengawasi keadaan lapangan yang berdecit di bawah kakinya. Sepatu-sepatu bergerak tak beraturan, dengan suara bentur bola ke lantai dan gemerincing ring lawan. Suara peluit melengking ke penjuru ruangan sekali lagi, menandakan pertandingan telah selesai. Meninggalkan papan skor bertuliskan 55-72. Tentu saja grup Kurosaki Ichigoyang menang.

Anak-anak perempuan mulai saling bersorak. Berteriak seperti "Kurosaki-sama!" atau "Kyaaa!" dan seorang gadis di baris ketiga hilang kontrol dengan mengatakan "Berkencanlah denganku!"

Seluruh penonton dan kedua grup memutar kepala mereka dan Rukia menoleh ke kanan, sedotan hampir jatuh dari mulutnya. Si gadis menutup mulutnya cepat-cepat, menyeret temannya yang sama-sama terkejut dan berlari keluar.

Rukia menatap hal itu dengan muka tak habis piker, tangannya berada di pelipis.

"Kurasa itu salah satu yang ekstrim," komentar Rangiku.

"Kau lihat apa yang disebabkan pria-jeruk-aneh yang di sana itu?" tangan Rukia menunjuk kepala Ichigo dengan geram. "Sekolah tidak lagi menyenangkan bagiku, kau tahu itu, Ran?!"

"Oh, tenanglah, Rukia. Bukan berarti tidur di kelas biologi sepenting mencampur bawang ke telur dadar," Rangiku melipat tangan, membuat gadis di depannya mengernyit.

"Yang lebih penting, ini tidak bagus untuk mataku. Lihat, mereka membengkak sekarang. Bahkan Dokter tidak bisa menyimpulkan apapun selain alergi. Tapi apa yang bisa membuatku alergi kecuali selai kacang?"

"Mungkin kau memakannya kemarin," simpul Rangiku santai.

"Tidak, dan tidak akan pernah. Aku bisa tahu hanya dengan menciumnya dan yang kemarin itu matcha cheese cake!"

"Baiklah, baik. Tenanglah, oke? Setelah ini kau bisa pulang lebih awal dan aku akan memberikan pesanmu pada klub kendo, bagaimana?"

Itu mungkin penawaran yang bagus. Rukia terdiam, menoleh ke samping.

"Dimana Renji? Biar aku yang bilang padanya."

Rangiku menghela napas lega, menyandarkan lekukan punggungnya ke kursi disertai gerakan yang pelan. Akhir-akhir ini Rukia sangat sensitif dan baru akan tenang jika mendapatkan apa yang dia inginkan. Wanita itu khawatir dengan penyakit matanya. Mungkin itu parah, tapi dia tak memiliki petunjuk. Rukia bangkit dari kursinya dan berjalan keluar. Diikuti pandangan tajam Kurosaki Ichigo pada punggung mungilnya.

"Oh?" Rangiku mengusap dagu. "Jangan-jangan dia tertarik padanya?"

―Yuuka desu―

Rukia mengintip ruang kelasnya yang kosong. Senja tengah rendah menggantung di jendela, menerbangkan gorden dan ujung-ujung rambut merah yang terkuncir ke belakang. Sementara angin bermain nakal dengan rambutnya, Abarai Renji hanya termenung menatap langit-langit dengan setangkai Pocky di ujung mulutnya.

"Kenapa kau masih disini? Kau tidak ke klub?" tanya Rukia.

Renji menelengkan kepala, melihat bahwa dia bukan satu-satunya yang berada di kelas sekarang. "Oh, aku akan sedikit terlambat."

"Itu karena kau tidak mengangkat bokongmu dari sana."

"Ini fasilitas utama," balas Renji sembari menggoyangkan pinggangnya. Menyamankan diri.

Rukia berjalan mengambil tas, mengabaikan pria itu sementara Renji sudah terbiasa dengan sikapnya.

"Kau mau pergi?" dia bertanya.

"Ah, bisa kau sampaikan pesanku pada Bunchou? Aku absen hari ini."

"Kenapa tiba-tiba?" Renji mengernyit, menegakkan tubuhnya.

Tapi Rukia menganggapnya banyak bicara. Dia mendesah, hampir memutar mata. Berbalik dan melotot pada pria itu untuk menunjukkan bagian dari alasan absennya.

"Kata Ran aku harus minum banyak jus wortel dan memecah es batu. Mulai mengompres dan... ya, mengompres, karena Dokter bahkan tidak memberikan banyak perubahan. Mataku mulai bengkak sekarang, lihat?" tangannya menunjuk sebelah mata yang tampak lebih parah dari yang lain.

"Wow, itu mengerikan," Renji mengangguk-angguk. "Baiklah, aku juga akan pergi."

"Untuk apa?"

"Tentu saja mengantarmu, bodoh. Seseorang bisa saja menabrak tiang atau tercebur ke saluran pembuangan. Jika itu sampai terjadi semua orang akan dibuat repot."

"Aku masih bisa melihat dengan jelas! Itu kau dan rambut nanasmu berdiri dua meter dariku. Dan ada cokelat di ujung bibirmu."

"Hmm... ini rasa baru. Hazelnut," Renji mengusap ujung bibirnya dengan ibu jari. "Tunggu tiga menit, aku akan segera keluar."

"Terserah kau saja."

Mereka berpisah di ruang kelas sementara Renji menjejalkan buku-bukunya ke dalam tas. Rukia menunggu di genkan, mengembalikan uwabakinya ke dalam kotak sepatu dan mengeluarkan miliknya. Langit entah kenapa sedikit muram hari ini padahal ini masih bulan September. Musim gugur terlalu cepat datang. Rukia menggosok matanya tanpa sadar sebelum tapak kaki yang lebar berjalan di belakangnya. Dia melihat bayangan tinggi di belakang tubuhnya, tidak bergerak, jadi dia menoleh untuk mendapati bukan Renji yang berdiri di sana.

"Kuchiki Rukia," kata orang itu, sedikit berbisik dengan wajah datar. "Kuchiki..."

Bulu kuduk Rukia meremang. Dia wanita dengan rambut panjang. Blonde. Di balik bulu matanya yang panjang dan lentik tersimpan mata yang menatapnya dingin, sedikit merendahkan seperti melihat bahwa ekspektasinya terlalu besar untuk gadis yang baru ditemuinya. Bibir tipisnya melengkung datar, tapi tak lama kemudian dia tersenyum mengerikan.

"Ketemu."

Violet Rukia melebar bersamaan ketika guncangan singkat menampik dirinya ke pintu-pintu kotak sepatu. Punggungnya mendarat lebih dulu, membuatnya menyernyit karena rasa perih. Tapi itu belum berakhir karena si wanita blonde segera menahan tubuh mungil Rukia dan menghimpit lehernya dengan sebelah tangan. Kaki-kaki Rukia menggantung di atas lantai, tertahan lengan si wanita blonde yang tak disangka, sangat kuat. Rukia mengernyit, tak bisa bicara selain terbatuk karena cekikan di tenggorokan.

Kepala si blonde menengadah ke atas seperti berbicara pada langit-langit.

"Lihat ini, Yang Mulia Ywach! Aku berhasil lebih dulu dari zombie itu! Kau melihatnya, kau pasti melihatnya," katanya congkak. Membuat Rukia menggeram.

"...Siapa kau... brengsek?!"

"Uh-uh, kau bisa bicara. Itu mengejutkan. Kau sepertinya bukan tipe yang penurut, Kuchiki manis, karena mulutmu itu nanti akan merepotkanku."

"Aku tidak mengerti maksudmu, bitch."

Alis wanita di depannya mengernyit marah, "Apa katamu?"

Kaki kanan Rukia mengayun ke depan, meronta kuat disertai cengkraman. Dia dari klub kendo dan hal ini sudah biasa baginya. Ketika lehernya terlepas dan dia menginjak lantai, Rukia kembali menghindar dari cekikan kedua. Tapi tak semudah itu, kaki jenjang yang beralaskan heels balas menendangnya. Di perut. Serangan yang terakhir membuatnya terpental ke belakang, jatuh menubruk lantai yang keras dan kakinya terkilir. Teriakan Rukia tertahan di tenggorokan, rasanya seperti campuran antara ingin muntah dan vertigo. Tangannya berada di perut, meremasnya, masih terbatuk dengan napas tercekat.

"Benar, sayang. Itu yang kumaksud dengan menutup mulutmu," kata wanita itu, kemarahan masih terlihat jelas di wajahnya. "Tenanglah dan menurut. Mungkin dengan begitu aku tidak akan menganggapnya bualan serius."

"...Heh...," Rukia menyeringai begitu darah keluar dari ujung bibirnya. "Kau lebih banyak bicara dan pemarah dari yang kukira. Kulitmu... mulai keriput... dasar pelacur."

Si blonde terbelalak, matanya membulat tak percaya. Tendangannya pasti masih terasa sakit tapi dia bisa bicara seperti itu padanya. Kepalan tangannya menguat murka. Sedikit demi sedikit aura mencekik dan perih mulai merambati leher Rukia, gadis itu membuang muka ke samping. Merasa perutnya bergejolak hebat hampir mengeluarkan makan siangnya. Tapi si blonde yang diyakininya 'bukan manusia', tidak berhenti sampai di sana dan masih menyiksanya dengan mantra.

"Ugh... haa, aaaaaarrrrrgghhh!"

Rukia menjerit, meremas kepalanya yang hampir meledak. Tersungkur di lantai kedua kakinya menendang sepeti merasakan sakit yang teramat sangat. Jantungnya berdentum sangat cepat di dadanya sementara mulutnya masih berteriak terpatah.

"Yang Mulia, Ywach, ijinkan aku membunuhnya," gumam wanita itu dengan tatapan nyalang.

Rukia yang tak berdaya hanya merintih, merasakan jari-jari lentik itu menyentuh wajahnya, dan menorehkan garis melewati kuku-kukunya. Membuat jalur berwarna merah dari darah. Rukia berteriak. Tubuhnya terpental ke belakang, menubruk sesuatu yang sekeras kayu jati, tapi anehnya itu tidak sakit sama sekali. Dengan sisa tenaganya Rukia memberanikan diri menoleh ke belakang, mata bengkaknya menemukan lengan kokoh yang merengkuh dan melindunginya dari rasa perih dari kuku panjang wanita penyihir. Ujung rambut yang mencuat mengingatkannya akan seseorang, itu warna oranye.

Ichi...go...?

"Kelas A...," geram wanita itu, semakin marah karena mangsanya direbut begitu saja. "Serahkan gadis itu! Dia milikku!"

Tatapan Ichigo berubah sedingin es. Rahangnya kaku karena mengeratkan gigi begitu kuat, tanda ketika dia benar-benar marah. Salah satu lengannya yang berada di pinggang Rukia mengerat, hampir ke arah yang menyakitkan tapi dia tahu Ichigo menahan diri.

"Perhatikan wilayahmu, Sternritter. Atau aku akan membunuhmu."

Desisan tajam Ichigo membungkam wanita itu. Bunyi ketukan heels dan napas berat memenuhi ruangan yang senyap ketika wanita di hadapan mereka memilih untuk mundur. Tatapan tajam kembali diarahkan, seperti menyimpan dendam yang entah kapan akan dibalaskan. Dia tak akan puas sebelum menyiksa Rukia lagi dengan jari-jarinya. Rambut blonde yang kusut terbang oleh angin juga debu, sisanya butiran partikel putih yang berkumpul dan mengikis tubuhnya perlahan. Di detik berikutnya, hanya dedaunan kering yang berjatuhan di depan mereka. Sedangkan wanita itu sudah hilang seperti termakan oleh mantranya sendiri.

Rukia tak sempat merasa lega. Dia berada di pelukan seseorang yang beberapa jam yang lalu dirutukinya. Meski bersyukur telah terlepas dari serangan kasar yang membabi buta, Rukia menduga kalau Ichigo ada kaitannya dengan semua ini.

"Rukia...," panggil pria itu, terkejut ketika mata Rukia perlahan menutup. Luka yang ditorehkan pada tubuhnya masih baru seakan mengikis pertahanan tubuhnya yang sedang dalam keadaan tidak baik. "Damn!"

Gadis itu pingsan sebelum Ichigo sempat mengumpat. Dia merenung saat memandang wajah mungil di bawahnya, tampak tegar, tampak kuat, namun sebenarnya begitu rapuh. Ibu jarinya menyeka darah Rukia di pipinya, lalu turun ke ujung bibir gadis itu. Ini salahnya karena terlambat. Karena dia terlambat, semua ini terjadi.

Ichigo berdiri, menggendong Rukia di lengannya. Detik selanjutnya, ruangan kembali kosong tanpa ada seorangpun seperti beberapa menit menegangkan yang sebelumnya terjadi. Sedangkan di balik dinding, Renji dengan matanya yang terbelalak menyaksikan semua kejadian itu dalam kebisuan.

.

To be Continued

.


Author's note :

Yayy! Fantasy-action pertama Yuuka! Multichap pertama Yuuka! Agak susah njelasin per adegan untuk actionnya, semoga Readers bisa dapat feelnya. Akan ada banyak istilah pengguna sihir dan pedang, nanti, di chapter selanjutnya hehehe... Oh, ya, ada yang tau siapa si wanita blonde itu? Yang pasti dia dari Sternritter. Tenang, dia terkenal kok, yang ngikutin manga Bleach pasti tau deh. Silakan tebak sendiri, ya... ups. Yuuka suka action dan fantasi jadi mungkin ini bakal ngambil banyak banget imajinasi Yuuka yang terkadang nggak kesampean di cerita-cerita sebelumnya. Mungkin nggak sempurna karena Yuuka juga sedang belajar. So, tell me what you're thinking?

.

Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca

Jaa ne !

―Akimoto Yuuka―