A/N: Hei, ini fic pertamaku di SNK. Salam kenal. Kalian bisa memanggilku dengan sebutan apapun, atau Hitsuzen. Cerita ini berlatar di New York, ditahun-tahun keemasan Wall Street yang membawa Amerika dalam kejayaan dan membuat banyak orang kaya baru bermunculan, keluarga Jeager, Ackarman dan Smith salah satunya. POV = EREN JAEGER. Pairingnya jelas LeviXEren, dan banyak pairing minor lainnya.

So, Hitsuzen jelas tidak mengambil keuntungan apapun dari fic ini dan SNK jelas bukan miliknya, apalagi para tokohnya. Jadi, Enjoy it?


Chapter 1 melampaui 1000 tahun

Aku mengambil saputangan, melipatnya dan menyelipkannya ke saku depan jasku, membuatnya menjadi hiasan yang cantik. Ruangan bercahaya itu membawa harum mawar yang kutanam di halaman. Lantai kayunya berderit di tempat aku menginjaknya saat memperhatikan penampilanku yang sempurna di depan cermin. Aku memperhatikan rumah sederhanaku yang indah dan berpikir tak ingin lebih dari hari-hari tenang di tempat ini. Aku keluar ke beranda, tempat ayunanku berderit karena angin dan kelopak-kelopak bunga yang bercampur daun-daun gugur memenuhinya. Mungkin sebagian orang akan menganggapnya kotor, tapi menurutku itu seperti karya seni. Halamanku tidak dihiasi rumput-rumput hijau dan semak teratur seperti yang biasa ditemukan di banyak rumah orang kaya baru di New York. Tapi aku mencintai tempat ini dan merasa senang bisa berdiri di bawah pohon yang berusia ratusan tahun.

Baru sebulan aku menempati rumah baruku ini. Dari sini bisa kulihat kelap-kelip perkotaan di seberang dermaga. Rumahku yang sederhana seperti harta karun terabaikan yang terselip di antara istana-istana tetanggaku yang kaya raya, dan dari sana bisa kudengar suara-suara gemuruh tawa dan nada-nada pesta. Dunia yang dekat denganku, namun tak kusukai. Tempat berkumpulnya para politisi, mafia dan para penjual hukum, membaur jadi satu dengan para penikmat kesenangan diantara musik, asap rokok dan alkohol tanpa harus takut ada yang dapat mendengar pembicaraan rahasia mereka.

Semuanya berkat para orang kaya baru yang takut disebut anti sosial dan menyelenggarakan pesta tiap akhir minggu. Tak terkecuali sepupuku, Jean Kristein. Yeah, karena dalam darahnya mengalir darah keluarga Jeager, dia juga mewarisi adat keluarga dengan terlampau sempurna—berpesta pora. Berkat dia kotak suratku selalu menumpuk undangan pestanya. Seakan ia lebih menghawatirkan statusku yang masih lajang dibandingkan rumah tangganya yang kacau dengan kakak perempuanku Mikasa. Seharusnya ia tak perlu membuang energinya untukku, karena seandainya aku memutuskan untuk menikah, aku tidak akan pernah mencari wanita dari kalangan atas. Tidak untukku, sekalipun namaku Eren Jeager. Tidak banyak hal istimewa kulakukan dalam keseharianku karena aku hanya seorang penulis. Membuatku jarang keluar rumah, apalagi menghadiri undangan pesta. Tapi berbeda kali ini, aku tidak bisa menolak undangan sahabat karibku Armin Arlent, atau sekarang Armin Smith lebih tepatnya—tidak bisa menolak karena itu adalah perayaan pernikahannya dengan Erwin.

Aku merasa siap dan keluar dari rumah. Sejenak kuhirup udara manis yang kusukai ini dan menoleh ke arah rumah mewah tetanggaku. Kulihat tetangga priaku yang misterius menatapku dari jendela di lantai tiga sebelum gordennya tertutup kembali. Sudah sebulan aku tinggal dan selama itu aku merasa ia memperhatikan. Semua perasaan anehku ini diperkuat dengan datangnya butler pribadi Levi Ackerman yang mengetuk pintu depan rumahku untuk memberikan sekeranjang buah oleh-oleh dari Milan.

Sejak itu baru aku menyadari jika tetanggaku lumayan terkenal, tidak hanya dikalangan atas, tapi juga mereka yang diluar lingkup konglomerat; sepakterjangnya di dunia hukum mengharumkan namanya. Ia punya banyak andil di kepolisian, terutama sebagai sponsor bagi mereka yang terlalu miskin untuk menyewa pengacara terbaik. Pada wawancara koran lokal, aku tahu jika ia menganggap pengacara negara tidak becus dan hanya buang-buang pajak tanpa niatan benar-benar membantu mereka yang tidak mampu. Kalimat frontalnya yang menghias halaman itu menegaskan sikap dingin dan tangan besinya pada hukum, tapi juga membisikkan jiwa dermawannya.

Sedangkan dikalangan atas, namanya selalu jadi bahan pembicaraan para wanita pada pesta-pesta yang kebetulan kuhadiri. Seperti saat ini. Jean-si muka kuda berceletuk, "Seharusnya kau berusaha mengenalnya, terutama setelah dia mengirimkan oleh-oleh untukmu. Dia bisa memberimu koneksi dan membantumu bisa hidup seperti kami," katanya, seolah aku ingin hidup mewah dan menghabiskan waktuku berfoya-foya tanpa sadar ajal sudah di depan mata.

Aku membantahnya, "Seorang penulis tidak membutuhkan koneksi."

Ia tertawa dan terlihat setengah mabuk dengan segelas sampange di tangannya, "Aku lupa. Kau adalah Shakespeare!" ia merentangkan tangannya seolah menyambutku dalam pelukan, tapi aku mengabaikannya dan hanya menggelengkan kepala kesal.

"Sebaiknya kau duduk sebelum jatuh," aku mengambil gelasnya, tapi ia malah balas merebut cerutu di kantungku, menyalakannya dan menghisapnya keras-keras, "Kau masih memakai ini dan kau bilang membenci kehidupan kelas atas?"

"Aku membenci mereka yang menghabiskan banyak uang untuk kesenangan semata," komentarku garing.

"Yang kau sebut Kesenangan itu diperoleh dari kerja keras."

"Ada yang lebih keras bekerja dari sekedar meneguk sampange."

"Tidak ada yang menyalahkan jika pundi-pundi uang akan tetap mengalir bahkan saat aku tidur!"

Aku akan membalasnya dengan komentar pedas saat aku melihat Mikasa sudah melayangkan tatapan membunuh pada suaminya. Membuatku mengatupkan bibir kembali dari pada melihat perang dunia kedua. Suasana jadi canggung sampai suara riang berseru di belakangku, "Oh, kau tidak bisa membantahnya, Jean! Dia pernah bercita-cita menjadi pastor!" ejek Armin disela-sela tawanya. Aku meninju lengannya, "Armin."

Ia menepukku dan membawaku dalam pelukan bersahabat, "Lama tidak bertemu. Kau selalu mengurung diri di sangkar emasmu."

"Aku menyebutnya gua.".

"Jean," geram Mikasa.

Tidak menghiraukan Jean, aku menggoda Armin, "Aku dengar kau sudah membuat bisnis keluarga Smith semakin naik daun."

"Yeah, kami mengembangkannya sampai ke Asia. Kau tahu, itu alasan pertama mengapa Erwin menikahiku."

Aku mendengus, "Tidak diragukan lagi. Si Jenius bertemu konglomerat."

"Kau tidak sedang membicarakanku, kan?" Erwin memeluk sahabatku dari belakang, "Apa kabar Eren?"

"Tak pernah sebaik ini. Kuharap kau tidak membuatnya kehilangan kendali, kalau kau masih ingin punya anak tahun ini," sindirku, seakan laki-laki bisa punya anak. Tapi dengan otak Jenius Armin, siapa yang tahu, mungkin dia bisa mengakali kehendak alam.

Erwin mengecup lembut pipi Armin, "Sebenarnya memasukkannya dalam bisnis keluarga adalah salah satu cara untuk mengendalikannya." Erwin tampak menimbang-nimbang sesuatu sampai ia akhirnya menarikku ke samping sehingga bisa bicara lebih pribadi. "Kudengar sekarang kau bertetangga dengan Ackerman."

"Ya?"

"Kami teman kuliah."

"Sungguh. Dia tidak tampak seperti, kau tahu..."

Erwin tertawa, "Orang yang punya teman?"

Aku mengangguk malu-malu.

"Yeah... dibilang teman kuliah, aku sendiri juga sudah lama tidak berhubungan dengannya. Kebetulan perusahaaku punya kerjasama dengan Ackerman Corp. Aku ingin minta bantuanmu untuk jadi perantaraku agar bisa bertemu dengannya secara pribadi—"

"Sebenarnya aku tidak kenal baik dengannya, bahkan aku tidak tahu wajahnya!"

"Tapi kudengar dia mengantarkan oleh-oleh padamu. Kurasa dia tahu kau seorang Jeager?"

"Aku meragukannya. Kurasa cerita itu berakhir terlalu dibesar-besarkan. Pelayannyalah yang mengantarkannya dan itu hanya sekeranjang buah."

"Butler," koreksiknya.

"Seorang Butler," aku mengangguk, "Dan itu tidak membuatku jadi teman dekatnya, Erwin. Kau yang teman kuliahnya!"

Ia mendesah sambil mengusap rambutnya ke belakang, "Seandainya kau tahu orang sesulit apa Levi itu," gerutunya, lalu tersenyum, "Tapi aku akan senang jika kau mau menerima undangannya lain kali dan menyebutkan namaku di depannya."

Aku menghela napas, "Aku akan memikirkannya."

Sesungguhnya aku tidak berniat benar-benar memikirkannya. Terlibat pesta lainnya tidak membuatku tertarik. Walau Erwin berkali-kali mendesakku, bahkan berteriak padaku, sebelum aku meninggalkan pesta. Aku penasaran dengan pria bernama Levi Ackerman, tapi tak cukup hingga ingin terlibat lebih jauh. Memang seperti inilah caraku bersenang-senang; dengan tidak melibatkan diri pada urusan-urusan yang tak kusukai. Tentu semua itu membuatku jadi pria membosankan, tapi bukankah karena itulah mengapa aku bisa jadi penulis? Orang yang bahagia tak kan hidup dengan menulis, pikirku.

Aku masih punya waktu sebelum tengah malam karena pulang lebih cepat dari pesta Armin, dan menghabiskannya untuk termenung di atas ayunan empukku dengan bantal, selimut dan note di pangkuan, sambil memikirkan hal-hal bodoh yang mungkin bisa jadi bahan tulisanku. Di tengah lamunanku, aku merasakan sorot cahaya dari rumah tetanggaku dan menemukan seorang pria mengintip di jendela lantai tiga. Aku penasaran apakah pria itu mr Ackerman?

Apapun yang dilakukan pria itu disana bukan urusanku. Bukan masalah, apapun alasan Ackerman terus menerus memperhatikanku, tapi rasanya memang aneh menemukan seorang pria mengintipku. Saat aku memutuskan masuk ke dalam rumah, pria itu menutup gordennya seakan kehilangan minat. Tanpa kuketahui, dari balik jendela lantai tiga itu, pria itu menyesap gelas wine-nya dan kembali ke meja kerjanya. Di atas meja itu selembar amplop undangan dengan nama Eren Jaeger tergores dengan tinta emas. Aku menerima amplop itu keesokan harinya dalam keadaan masih memakai piama, diantarkan oleh Butler pribadinya. Aku mengusap rambutku yang awut-awutan saat pelayannya menyerahkan amplop dan sekotak hadiah untukku. Aku bertanya padanya, untuk apa hadiah ini, tapi pria itu menjawab tidak tahu. Saat pelayan itu pergi aku melihat ke arah jendela tinggi di lantai tiga dan lagi-lagi menemukannya sedang memperhatikanku. Rasa penasaran membuatku ingin cepat-cepat membuka amplop itu dan menemukan surat undangan pesta nanti malam, pesta yang dibicarakan Erwin. Aku membuka kadoku dan menemukan setelan pakaian resmi disana. "Bagaimana dia tahu ukuranku?"

Aku menelepon Erwin siang itu, "Sepertinya aku tak punya pilihan selain ikut ke pesta itu, Ackerman mengundangku."

"Dugaanku benar. Dia tahu kau Jeager."

"Ada banyak Jaeger di dunia ini."

"Tapi tidak ada selain kau yang diundang langsung oleh Levi Ackerman. Apapun alasannya, pesta adalah pesta. Nikmati saja."

"Ya. Sampai jumpa nanti malam."

"Sampai jumpa."

Jalanan di depan rumahku mulai ramai dengan antrian mobil undangan Levi Arckerman. Aku mengenakan jasku dan mengamati penampilanku. Kulit gelap sewarna madu, rambut cokelat Hazel dan mataku yang sewarna batu pirus tampak menonjol dengan jas hitam yang kupakai. Ackerman juga menyertakan dasi sewarna mataku, membuatku menaikkan alis karena tak menyangka ia memperhatikan detail sekecil itu. Seandainya aku tahu jika mencari dasi dengan warna semacam itu sangat sulit kecuali dengan pesanan khusus. Aku memperhatikan pantulan sosokku di cermin yang merupakan penggambaran sempurna garis keturunan Jaeger yang punya persilangan Jerman dan Turki.

Aku keluar rumah tepat jam delapan malam. Jarak yang dekat membuatku santai, aku hanya perlu berjalan untuk sampai kesana. Aku menunjukkan undanganku pada pelayan di pintu masuk; pria itu tampak keheranan dengan undangan yang kuberikan. Seketika, ia menahanku di ambang pintu dan tanpa alasan yang jelas buru-buru masuk ke dalam rumah. Aku mengamati kembali undanganku dan menyadari bahwa hanya milikku satu-satunya yang ditulis dengan tinta emas. Pelayan itu datang beberapa menit kemudian dan memintaku mengikutinya. Suara musik ceria dari pesta yang berlangsung terdengar dari lantai dansa, tapi pelayan itu tidak membawaku kesana, malah menuju ke lantai tiga. Tangga melingkar yang kulalui gelap, tapi aku bisa merasakan karpet mahal yang melapisinya. Lorong yang menghubungkannya juga sepi bahkan aku bisa mendengar suara langkah kakiku sendiri.

Pelayan itu membukakan pintu untukku dan memintaku menunggu di dalam ruangan gelap dengan perapian menyala sebagai satu-satunya penerangan. Ruangan itu segera dipenuhi dengan cahaya kemerahan saat pintu kembali ditutup, membuatku seketika merasa gugup, berdiri sendirian di ruangan besar itu. Aku memilih mengamati sebisaku, dan kusadari ruangan itu tidak sekedar ruang kerja, tapi adalah tempat dimana pria itu sering mengintipku. Aku bergerak menuju jendela dan kulihat rumahku dibawah sana, diterangi lampu keemasan, di tengah kebun bunga seakan berasal dari dunia lain. Aku melirik ke arah teropong yang tergeletak di meja dengan rasa curiga.

Suara pintu terbuka mengagetkanku. Dan pria itu berdiri di ambangnya, di dalam bayangan, seperti saat ia mengamatiku lewat jendela. Aku menyadari jika ia tidak lebih tinggi dariku, tapi punya postur tegap dan bahu lebar. Bahkan jasnya tidak bisa menyembunyikan otot-otot likat dibaliknya. Kemudian, ia bergerak mendekatiku, sigap seperti cheetah, dan saat kami hanya berjarak semeter bisa kulihat wajahnya dari pantulan sinar perapian. Mata kelabunya yang dalam mengamatiku, seperti aku mengamatinya, untuk pertama kalinya, dari dekat. Matanya bisa dikatakan intens jika bukan sorot membunuh. Caranya menatapku menarik dan menjebakku dalam pesona misterius yang seharusnya tak kurasakan pada seorang pria. Wajahnya tampan dan klasik, khas para pria berdarah eropa. Kulitnya pucat, tapi bukan seperti kurang sinar matahari, melainkan seperti pucat porselin. Rasanya tidak adil melihat rambutnya yang sehitam jelaga dan dipangkas rapi itu membuatnya menjadi pria dengan penampilan paling sempurna malam ini. Apa aku berpikir dia tampan? Rasanya aku semakin gila.

Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum sedetik saat menyebut namaku, "Mr. Jeager," dengan suara berat yang membuat bulu kudukku berdiri. "Senang melihat anda malam ini," ia terdiam menunggu komentarku. Setelah beberapa saat yang membingungkan aku tersadar dan berkata terbata, "Be-begitu juga aku, mr Ackerman. Terima kasih sudah mengundangku."

"Panggil aku Levi."

"Ah... ya. Kau juga bisa memanggilku Eren," aku tersenyum lebar dan ia menatapku beberapa detik lebih lama hingga membuatku menyadarinya. Dan mengejutkan saat ia mengulurkan tangan. Aku kebingungan sementara tangan itu menungguku. Aku ragu-ragu untuk menerimanya, tapi toh aku melihat tanganku bergerak menggenggamnya. Aku menatapnya heran. Para pria tidak bergandengan tangan. Tapi tangan itu membimbingku lembut. "Tempat ini gelap, aku takut kau akan tersandung."

"Kau bisa menyalakan lampu."

Ia terkekeh pelan, "Sebenarnya aku tidak tahu dimana letak tombolnya. Reiner orang yang biasanya menyalakan tempat ini." Reiner... mungkin nama pelayannya.

"Ah, juga terima kasih untuk hadiahnya. Ini pakaian yang indah."

Pria itu cuma mengangguk tanpa merubah ekspresi kakunya, tapi membimbingku dengan lembut menuju koridor lainnya. Ia membuka pintu, dan berbeda dengan ruangan sebelumnya, tempat itu terang benderang dengan semilir angin laut yang masuk lewat balkon yang terbuka. Aku mengagumi ruangan itu dan tanpa sadar menarik tangannya mengikutiku menuju jendela-jendela tinggi yang dihiasi gorden-gorden putih. "Cantik," komentarku saat memandang kerlap-kerlip lampu kota di seberang dermaga.

"Aku memang ingin menunjukkan pemandangan ini."

Aku menoleh terkejut, "Padaku?" kataku bingung.

"Benar. Tidak banyak orang yang mendapatkan kesempatan ini, dan aku beruntung bisa mengundangmu, mr Constantine," ia memanggilku dengan nama penaku sambil mengecup tanganku lembut, "Kau bisa menganggapnya hadiah dari salah satu penggemarmu."

Aku terperangah, dari pada senang lebih merasa terkejut. "Aku tak menyangka bisa bertemu salah satu penggemarku!" ia membimbingku ke meja yang sudah disiapkan dengan hidangan makan malam. "Jadi itu alasannya!"

"Alasan?"

Aku bergerak-gerak tak nyaman di kursiku, "Alasan mengapa kau sering memperhatikanku," suaraku menghilang saat melihat tatapannya. Ada sesuatu di matanya yang menyihirku. Sudut bibirnya sedikit terangkat dan gesturnya kembali terlihat santai.

"Sejujurnya, semua itu bisa dibilang kebetulan. Sebelum kau menjadi tetanggaku, sudah menjadi kebiasaanku melihat pemandangan dari ruangan kerjaku." Pipiku merona mendengar kesalahanku, tapi pria itu menambahkan dengan cepat, "Tapi menemukanmu disana juga bukan suatu kebetulan yang tidak menyenangkan," ia menatapku tajam, membuatku merasa ia seolah sedang mengamati mataku, sebelum menambahkan "Dan mengamatimu menjadi sebuah kebiasaan yang lain..." kata-kata itu dibisikkan seperti hanya ditujukan untuk dirinya sendiri. Jadi aku pura-pura tidak mendengarnya, dan mengalihkan pembicaraan, "Lalu kau mulai mencari tahu tentangku?"

"Ya dan Tidak. Aku mengenal banyak orang penting dan salah satunya adalah editor yang sering berkunjung ke rumahmu. Aku bertanya padanya tentangmu, dan tahu jika kau salah satu pengarang favoritku."

"Tidak banyak yang menyukai jenis kisah yang kubuat, bisa dibilang apa yang kutulis—"

"Tidak lumrah," sahutnya, "Ya, tapi menarik. Tidak banyak penulis di jaman ini yang mengisahkan cerita roman-misteri seperti dirimu. Membuat mereka yang membaca karyamu penasaran dan berusaha menebak apa yang ada di benakmu," ia tersenyum. "Jika cukup jeli, aku bahkan bisa menangkap bahwa kau adalah gambaran nyata dari semua karakter yang kau tulis; lugu, praktis, keras kepala." Tak terduga, kata-kata itu membuatku merona. Matanya yang tajam mengamatiku. "Sepertinya aku benar."

"Tentu saja aku adalah Emily dan juga Tom dan Jared, juga semua karakter yang kubuat—"

"Keras kepala," komentarnya. Pipiku merona. Aku memilih berkonsentrasi pada makananku, alih-alih pada tatapannya yang tak pernah lepas dariku. Setelah aku selesai makan (karena dia sama sekali tidak menyentuh makanannya), pria itu mengajakku ke ruang pesta. Tempat itu sudah ramai dan hampir separuh tamu sudah mabuk. Aku melihat Erwin sedang bicara dengan pelayan dan dia terlihat gusar. Barulah saat melihat kami, ia tampak lega.

"Mr Ackerman," sapanya sambil menyalaminya.

"Mr Smith."

"Sepertinya anda sudah bertemu dengan sahabatku," katanya sambil menyeringai.

Levi melirikku.

"Erwin menikahi teman SMA-ku, Armin dan membuat dirinya jadi salah satu anggota lingkaran pertemanan konyol kami," kataku sambil memutar bola mata. "Kudengar kalian juga teman kuliah?" aku mencoba memuluskan pembicaraan.

"Benar," kata Levi tampak termenung, yang dibalas seringai oleh Erwin. Melihat kesempatan itu; aku menyeringai lebar dan mengedip singkat pada Levi sambil berkata, "Kuharap bisnis kalian lancar, atau aku harus mendengar curhatan Armin yang akan membuat sel-sel otakku mati—demi tuhan, aku butuh sel-sel otakku!"

Levi tersenyum, "Tentu mr Constantine. Akan sangat disayangkan jika novel anda tertunda akibat sel-sel otak yang mati."

"Kau sangat memahamiku," balasku serius tapi masih belum menghilangkan cengiran itu. Erwin memperhatikan kami dengan mata lebar, tapi menyembunyikan senyum yang menari-nari di sudut bibirnya.

Setelah beberapa detik yang tampak lama dan intens, akhirnya Levi mengalihkan pandangannya dariku ke Erwin, "Aku senang bisa berbisnis denganmu, Erwin. Tapi, kuharap urusan itu menunggu di kantor."

"Tentu, pesta adalah pesta. Dibuat untuk dinikmati," Erwin menyahut tiga gelas dari nampan yang dibawa pelayan yang barusan lewat, "Cheers?"

"Cheers," kata kami bersamaan.

Aku menegak sampange itu dalam sekali teguk, memandang ke ball room tempat para tamu berdansa diiringi penari dari klub malam terkenal. "Eren," Levi memberikan isyarat untuk mengikutinya, membelah kerumunan tamu untuk menuju balkon lantai dua yang menghadap halaman dengan kolam renang besar yang tak kalah ramainya. Aku tertawa lebar saat melihat salah satu tamu tercebur disana, ditengah-tengah penari dan penikmat sampange. "Aku tidak pernah ikut dalam pesta semacam ini."

"Sungguh?" kata Levi disampingku. Membuatku merona karena baru sadar sudah mengatakannya dengan keras.

"He-em... aku tidak suka hingar bingar."

"Jadi... apa yang membawamu kemari?"

Aku memutar bola mata, "Kau bertanya seperti itu dengan kotak berisi jas lengkap dengan dasinya menunggu di pintu depan rumahku?" sindirku.

Ia terkekeh pelan. "Kau bisa menolaknya."

"Uh, seperti kau akan memberiku pilihan. Siapa tahu apa yang akan menungguku di depan pintu rumahku lain kali. Kereta kuda dengan kusirnya? Atau limusin dengan sopir pribadi?"

"Ide menarik."

"Kau tidak serius kan?" erangku. "Kau serius!"

"Apapun untuk membawamu melewati pintu rumahku."

Aku memandangnya tidak percaya, tapi juga geli. "Kau BISA mengundangku jika hanya untuk MINUM TEH! Atau mungkin MAKAN SIANG! Demi tuhan, Leviii!"

"Jadi, kau tidak akan menolak seandainya aku mengundangmu makan siang besok?"

Aku tergagap, "Kau memutar balikkan kata-kataku!" seruku jengkel.

"Jadi kau tidak menolak?" katanya pantang menyerah.

Aku menghela napas, "Kenapa tidak. Kau bisa mengundangku Levi, terima kasih," gerutuku.

"Terima kasih," katanya lembut, membuatku terpaku menatap mukanya yang tetap tidak menunjukkan ekspresi.

"Kau tahu. Aku tidak pernah menyangka kau tipe orang yang membuat pesta macam ini."

Ia mendengus, "Bukan aku yang membuat pestanya, itu Reiner. Aku tidak peduli, aku bukan tipe penyuka hiburan malam. Aku bahkan tidak tahu separuh tamuku," ia menyapukan tangannya pada orang-orang yang sedang bersendau gurau di kolam renang.

"Kau bercanda?! Jadi untuk apa kau membuat pesta macam ini tiap malam minggu?"

"Aku ingin lebih mengenalmu. Tapi rupanya kau tidak menerima satupun undanganku sebelumnya."

"Kau serius saat bilang semua ini untuk mengenalku?" aku menatapnya tak percaya. Saat ia hanya mengerdikkan bahu, aku tertawa terbahak-bahak, "Kau sungguh aneh, Levi Ackerman! Dan semua wanita itu membicarakanmu sebagai pasangan dansa paling ideal?! Aku tidak bisa membayangkan jika mereka tahu pria macam apa kau!"

"Memangnya aku pria macam apa, Eren Jeager?" katanya dengan muka serius, tapi aku bisa menangkap nada humor dalam suaranya.

"Jelas bukan pria yang mudah cari teman, dan jelas kau bukan periang!" saat tawaku sudah reda, aku menambahkannya dengan lembut, "Bukannya aku tidak menyukai sifatmu. Bahkan kupikir itu sifat terbaikmu."

Seketika ia membalikkan tubuhnya menghadapku. "Tidak banyak yang beranggapan begitu."

Aku tersenyum lembut dibuatnya, "Aku tidak mengharapkan dermawan sepertimu tipe orang penyuka hiburan malam."

"Apa itu pujian?"

Aku tertawa melihat wajah bingungnya. "Itu pujian, Levi."

"Aku suka saat kau memanggil namaku."

Aku menyeringai, "Oh, kau akan sering mendengarnya. Jangan menyesal karena sudah mencoba mengenalku, Levi."

Tanpa kutahu, Levi berbisik pelan dibalik gelas sampangenya, "Tentu saja, Eren. Tidak saat akhirnya aku melampaui waktu seribu tahun hanya untuk mengenalmu."


A/N: Yak, akhirnya selesai chapter 1! Yay! Chapter selanjutnya seharusnya gak akan menunggu lama, soalnya Hitsuzen lagi merebusnya sekarang :D

Tolong di Review! yah... barang kali ada Typo2 yang mengganggu dan apa-apa yang sulit dimengerti... soalnya Hitsuzennya sendiri masih panas dingin nunggu reaksinya temen2. Berhubung ini fic pertama di SNK, walau udah lama melalang buana jadi pembaca. Itung2 amal biar Fandom SNKnya tambah ramai. Kakakaka... see you next time?