IN CAGE

-Part I-

Aku berlari menyusuri lorong rumahku. Tidak juga sih... Sebenarnya ini rumah bibiku. Tapi berhubung aku tinggal berdua dengannya, tak apa kan kalau kusebut rumahku?

Hari ini, ulang tahunku yang ke-17 tahun. Bibi berjanji untuk membuatkan cheese cake kesukaanku. Kalian tahu? Cheese cake buatan bibi sangatlah enak! Tak kalah dengan cheese cake dari bakery ternama.

Saat ingin memasuki dapur, aku mencium sesuatu. Ini bukan wangi cheese cake. Ini bau hangus. Juga... Aku mencium bau amis dari sana.

Semakin mendekat, bau itu semakin tercium. Aku yang penasaran langsung melihat sekeliling. Tak ada apa-apa. Normal seperti biasa.

.

"Bibi...", panggilku. "Kau dimana?"

Aneh. Bibi tidak ada. Seharusnya dia ada di sini. Tapi... Peralatan untuk membuat kue milik bibi ada di atas meja. Itu menandakan kalau dia sedang membuat cheese cake.

Ekh! Ada asap hitam dari oven!

Segera aku berlari untuk mematikan oven yang entah ada apa di dalamnya.

Eh... Apa... Yang kuinjak? Seperti... Air...

Tanpa pikir panjang, aku menundukan kepalaku. Dan...

"A.. Astaga! Darah?!"

Banyak sekali! Tidak hanya itu, mataku makin terbelalak kala melihat tubuh yang tergeletak di bawah meja. Tubuh itu... Bersimbah darah dan terdapat pisau yang tertanam dipunggungnya.

Kumohon... Jangan katakan. Ini.. Ini pasti mimpi, kan?

"Bibi...?" Tak ada suara apapun yang menjawab. Aku menggeleng. "Tidak... Ini tidak mungkin... TIDAK!"

-oOo-

"Evakuasi mayat itu dan segera periksa lokasi kejadian."

Ini... Tidak mungkin... Bibi...

"Apa kau bisa ceritakan apa yang terjadi?"

Aku menoleh. Tapi bukan untuk menjawab pertanyaannya. Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya, tidak peduli dengan pertanyaan salah satu pihak kepolisian itu.

"Kau ada dilokasi saat kejadiaan ini berlangsung?"

Lagi-lagi aku diam. Aku tak sanggup mengatakan apa-apa. Ini sulit dipercaya.

"Baiklah, kau pasti shock. Kau bisa jelaskan nanti."

"Kumohon temukan pembunuhnya..."

"Eh? Kau bilang apa?"

Tatapanku menajam. "Aku ingin kalian menemukan pembunuh bibiku!"

"Jadi korban adalah bibimu?"

"Ya. Dia bibiku." Kuhapus air mataku dengan kasar. "Aku tidak ada dilokasi kejadian saat itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku yakin, ini pembunuhan. Bibi tidak mungkin bunuh diri!"

"Akan kami lakukan. Untuk sementara mayat korban akan kami otopsi dan pisau itu akan menjadi barang bukti juga akan diperiksa sidik jarinya."

"Kumohon... Beritahu aku result-nya."

"Ya."

Aku bersumpah! Aku bersumpah akan membunuh keparat itu! Dia... Tidak akan kumaafkan! Gara-gara dia, aku jadi tidak punya keluarga sama sekali!

Tapi... Aku tidak bisa bertindak sendirian. Aku harus punya bidak. Siapa saja. Siapa saja boleh jadi bidakku. Walau itu iblis sekalipun.

-oOo-

"Baiklah, kau sudah memanggilku. Sekarang, pilihlah. Membuat kontrak dengan iblis dan semua keinginanmu akan terpenuhi atau tidak sama sekali?"

"Aku.. Aku... Aku Ingin kekuatan."

"Oh?"

"AKU INGIN KEKUATAN UNTUK MEMBALAS DENDAM PADA ORANG YANG TELAH MEMBUNUH BIBIKU! IBLIS, AKU AKAN MEMBUAT KONTRAK DENGANMU!"

"Jadi kau ingin meninggalkan cahaya dan memilih jalan menuju ke neraka? Baiklah. Sekarang, kita akan menandai bagian tubuh kita dengan segel kontrak. Jadi... Dimana kau mau-"

"TERSERAH! DIMANA SAJA!"

"Hmph... Baiklah. Karena kau seorang perempuan, aku akan berbaik hati. Akan kubuat segel itu dilengan bahu kananmu."

Sepasang tangan mencengkram lengan atasku dengan sangat kencang, seolah akan memutuskan lenganku. Sakit sekali. Bahkan kuku yang tajam itu meninggalkan bekas luka di sana. Darahku mulai mengalir.

Tapi... Demi kekuatan itu, aku akan menahan sakit ini! Aku harus kuat!

Tangan itu menghilang. Tapi aku belum melihat sesosokpun di hadapanku.

"Sebelum aku menjadi butlermu, beritahu aku namamu."

Pandanganku lurus, menatap dengan tajam. "Fiel. Fiel Granville."

"Fufu... Fiel ya?"

Sekarang aku melihatnya. Sosok itu mulai nampak. Mengingat dia adalah iblis, sejenak aku merasa takut. Apakah wujudnya menakutkan? Tapi.. Tidak. Aku tidak boleh takut!

Sosok itu benar-benar muncul. Cahaya lampu menyorotnya, mulai dari kaki hingga kepala. Dan aku agak terkejut. Dia tidak menyeramkan. Melainkan pria tampan dengan stelan jas khas seorang butler.

Dia membungkukan tubuhnya. "Anda boleh memberi perintah apa saja."

-oOo-

Aku berhenti saat melewati kamar bibi Gabby. Kubuka pintu yang menghalangi pandanganku. Mataku menatap setiap senti ruangan tersebut. Ini... Sudah 5 hari.

Biasanya jika aku mengintip kamar bibi, dia akan marah tapi pada akhirnya menyuruhku masuk lalu dia akan menyanyikan lullaby.

Bibi...

"Ah... Young lady, di sini Anda rupanya."

Aku menoleh. Oh... Dia. "Ada apa?"

"Makan malam sudah siap."

"Tunggu sebentar." Kutatap kembali kamar bibi. Aku menghela nafas. "Ayo."

Aku berjalan lebih dulu. Sedangkah iblis itu berjalan mengikutiku.

Omong-omong, aku tinggal bersama bibi Gabby karena mama dan papaku tewas dalam kecelakaan pesawat. Baik mayat para penumpang ataupun badan pesawat, keduanya tidak dapat ditemukan. Aneh. Tapi mungkin bisa saja.

Sejak saat itu, bibi Gabby, adik ayahku yang masih berusia 23 tahun mengajakku tinggal bersamanya. Aku tentu menerima ajakannya. Sebab aku akan mati kesepian jika tinggal sendirian di rumah. Tapi rumah itu masih ada. Walau mungkin terlihat seperti rumah hantu. Mungkin sesekali aku akan mengunjungi rumah itu.

Dengan pekerjaan bibi Gabby sebagai pemilik butik, dia dapat memenuhi kebutuhan ekonomi kami. Yah... Bisa dibilang penghasilannya di atas rata-rata. Bahkan rumah bibi lebih mewah daripada rumah papa dan mama. Tapi... Apa aku bisa menjalankan butik peninggalan bibi? Kuharap bisa. Sebab butik itu adalah butik kesayangan bibi.

"Oh ya, iblis, siapa namamu?", tanyaku tanpa menghentikan langkah.

"Siapa saja terserah Anda."

Aku berpikir sejenak. "Bagaimana jika... Sebastian?"

"Eh? Sebastian?"

"Ya. Sebastian... Emm... Atterton."

"Menarik. Apakah itu nama kenalan Anda?"

"Ya. Itu... Nama kekasihku."

"Lalu kenapa Anda berikan nama itu?"

"Tak apa. Dia sudah meninggal karena kanker. Tapi... Aku senang jika bisa memanggil namanya lagi."

"Baik, saya mengerti."

Sesampainya di ruang makan, aku segera duduk dikursi... Tempat favorite bibi Gabby. Sekali lagi aku menghela nafas. Makanan yang ada dimeja hanya kutatap tanpa kusentuh.

"Ada apa, young lady? Makanan ini bukan selera Anda?"

Aku menggeleng. "Tidak, bukan begitu. Hanya saja... Aku tidak nafsu makan."

"Tapi Anda belum makan apa-apa."

"Aku ingin... Cheese cake."

"Baiklah, akan saya buatkan untuk Anda."

"Eh? Sekarang? Apa tidak terlalu malam untuk membuat kue?"

"Tenang saja."

"Kau yakin?"

"Tentu."

"Oh ya, karena aku belum belanja, bisa tolong pisahkan ikan dengan durinya?"

Sebastian terlihat bingung. "Untuk apa, lady?"

"Snowbell. Tadi dia baru pulang."

"Eh? Snowbell?"

Aku mengangguk. "Yap. Dia kucing peliharaanku."

Raut wajah Sebastian berubah. Matanya tampak berbinar. Senyumnya juga merekah lebar. Ada apa dengannya?

"Baiklah, lady, akan saya lakukan."

-oOo-

Pagi ini, aku sudah rapi. Kupandangi bayangan diriku yang dipantulkan oleh cermin. Yap! Tidak ada yang tertinggal.

"Lady, Anda sudah bangun?"

Eh?

Buru-buru aku membukakan pintu kamarku. Dibalik pintu itu sudah ada Sebastian.

"Anda ingin pergi kemana?", tanyanya bingung.

"Aku akan ke sekolah. Sudah 5 hari sejak kematian bibi, aku absen."

"Hmm..." Sebastian mengangguk mengerti. "Kalau begitu, sebelum berangkat, Anda sarapan terlebih dahulu."

"Ok."

Sebastian mempersilakan aku jalan terlebih dahulu.

Hmm... Kukira dia akan semena-mena mengingat dia adalah iblis. Tapi nyatanya, dia sangat baik. Mungkin karena dia butler. Lucu sekali.

-oOo-

"Kau di rumah saja. Jangan ikut ke sekolahku. Mengerti?"

"Tapi, lady, bagaimana jika terjadi sesuatu?"

"Tidak akan."

"Saya hanya ingin memastikan semuanya aman. Jika sudah selesai, saya akan kembali."

Hmm...

"Sungguh?"

"Ya."

"Tapi untuk seterusnya, kau tetap di rumah. Jangan ikuti aku ke sekolah."

"Baik."

Aku keluar dari rumah lalu berjalan menuju mobil biru yang terparkir manis. Kubuka pintu mobil dan duduk dikursi yang ada di sebelah kursi kemudi. Sebastian ikut masuk, tapi dia duduk dikursi kemudi.

Eh?! Tunggu...!

Aku menatap Sebastian yang ada di sebelahku. "Memangnya kau bisa mengendarai mobil?"

"Tentu saja bisa, lady."

"Yah... Baiklah. Ayo berangkat."

"Baik."

Aneh. Aku baru tahu kalau iblis bisa mengendarai mobil. Ada-ada saja. Mungkin di dunianya terdapat kursus mengemudi. Haha... Tidak, tidak, aku hanya bercanda.

"Belok kanan.", kataku memberitahu saat kami sampai dipertigaan jalan. "Selain mengemudikan mobil, kau bisa mengemudikan apa lagi? Pesawat?"

"Ya, jika itu diperlukan."

Oh.. Great. Aku benar-benar terkejut sekarang. Mungkin aku akan membeli sebuah pesawat agar dapat keliling dunia. Hem? Apa? Oh... Ayolah, aku bercanda. Lagi.

"Oh ya..." Aku menundukan kepalaku. "Soal balas dendam... Apa kau tak bisa secepatnya menemukan pembunuh bibiku?"

"Maaf, lady, saya memang iblis, tapi bukan berarti saya dapat mengetahui pelakunya."

"Lalu... Bagaimana dengan kekuatan? Apa maksudnya aku mendapat kekuatan? Seperti Superman? Begitu?"

"Bukan begitu, lady. Maksudnya, saya yang akan menjadi pedang dan perisai bagi Anda. Sayalah yang akan melakukan apapun yang Anda perintahkan."

"Oh..." Hmm... Apakah bisa jika aku meminta itu? "Aku masih ada janji yang belum terselesaikan dengan kekasihku. Apa kau bisa menghidupkan kembali Sebastian?"

"Lady, saya iblis, bukan seseorang yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati."

"Hmm... Begitu ya?"

"Ya, begitulah."

"Bangunan di depan adalah sekolahku. Berhenti di sana."

"Baik."

Sebastian memelankan laju mobil. Kupikir dia akan berhenti di depan gerbang, tapi dia malah masuk dan memarkirkan mobil ini ditempat parkir.

Aku memandang Sebastian dengan heran. "Kau mau pulang jalan kaki?"

"Tentu saja tidak. Saya akan menunggu Anda sampai jam pulang tiba."

"Hah?! Kau sudah berjanji untuk segera pulang, kan?!"

"Saya tidak berjanji, kok."

Seketika itu juga wajahku cemberut. Dasar. Dia berbohong. Padahal dia selalu tersenyum.

Tanpa menghiraukan Sebastian, aku langsung membuka pintu mobil dan keluar. Setelah kututup pintu mobilnya, aku mendengar suara yang memanggilku.

"Fiel!"

Aku mencari sumber suara itu. Oh... Ternyata Jazzy, teman sekelasku.

"Hai...", sapaku saat dia berada di dekatnya.

"Aku dengar... Bibimu meninggal. Aku turut berduka."

"Ya, terima kasih, Jazzy."

"Teruslah semangat. Seperti Fiel yang biasanya, ya?"

"Itu pasti. Ayo kita ke kel-"

"Lady Fiel, Anda meninggalkan buku Anda."

Eh?

Aku kembali dan mengambil buku yang diberikan Sebastian. "Thank's."

"You're welcome."

Baru saja aku ingin melanjutkan langkahku menuju kelas, tiba-tiba terdengar banyak teriakan. Dan.. Oh... Aku sudah bisa menduga.

"Kyaa...! Tampannya!"

"Siapa dia?"

"Aku ingin berkenalan!"

"Aku juga!"

"Aku akan menanyakan alamatnya!"

"Hei! Hei! Aku juga mau!"

Geez...

Para siswi di sekolah ini, sedikit saja melihat lelaki tampan, pasti langsung ribut. Aku tahu, aku tahu, Sebastian memang tampan.

Awalnya aku biasa saja saat melihat para siswi mengerumuni Sebastian. Tapi lama-kelamaan aku jadi geli sendiri. Kasihan Sebastian. Kurasa dia kewalahan. Sebagai majikan yang baik, aku harus menolongnya.

Kutepuk bahu Jazzy. "Kau duluan saja. Aku ada perlu."

"Oh.. Aku mengerti. Kekasihmu ya? Cepat selamatkan dia."

"Haha... Iya, iya."

Jadi aku langsung berlari menuju kerumunan itu. Dengan susah payah aku menembus kerumunan. Saat aku mendapatkan tangan langsung kutarik dia dari kerumanan. Aku yakin yang kutarik ini Sebastian. Sebab hanya dia yang menggunakan sarung tangan.

Dugaanku benar!

Tak ada waktu untuk bercakap-cakap, aku harus membawa Sebastian ke tempat yang tidak dapat diketahui oleh para gadis-gadis. Akhirnya aku membawa Sebastian ke gudang belakang sekolah.

Dengan langkah lebar, kami sampai di gudang belakang sekolah. Nafasku terengah-engah. Tapi tampaknya tidak bagi Sebastian. Dia bernafas dengan normal. Mungkin karena dia iblis.

"Anda baik-baik saja?", tanya Sebastian.

"Ya." Aku tersenyum. "Haha... Sudah lama aku tidak berlari. Rasanya lelah juga ya?"

"Tanpa Anda tolong pun, saya dapat menyelamatkan diri saya sendiri."

"Oh... Maksudmu kau tidak perlu pertolonganku, begitu?"

"Ti.. Tidak, bukan begitu..."

"Ya sudah."

"Padahal namanya hampir sama, tapi sifatnya bertolak belakang."

"Hah?" Aku menatap Sebastian. "Maksudmu?"

"Kalau saya ceritakan, bisa-bisa Anda terlambat masuk kelas."

"Tidak apa. Sekolah ini memang longgar jam pelajaran. Kebanyakan bermain daripada belajar."

"Tapi-"

"Aku ingin dengar ceritamu."

"Baiklah." Sebastian menengadahkan wajahnya. Ia menatap langit. "Dulu, pada era Victoria, ada seorang anak bangsawan yang membuat kontrak dengan saya."

"Eh...?! Era Victoria?!"

"Ya. Abad ke-19."

"Hebat... Kau masih hidup sampai sekarang."

"Karena saya iblis."

"Ok, ok, lanjutkan ceritamu."

"Dia yatim-piatu. Orang tuanya tewas dibunuh. Karena itulah dia membuat kontrak dengan saya. Dia ingin membalas dendam."

Eh? Sama denganku... Kenapa bisa?

"Lalu?", tanyaku antusias.

"Sifatnya keras kepala, dingin, egois, dan benci kekalahan."

"Dan namanya?"

"Ciel Phantomhive."

Aku terdiam. Fiel... Ciel... Fiel... Ciel...

"Ba.. Bagaimana bisa?! Itu hampir mirip! Kisahnya pun sama denganku!"

"Anda tahu apa yang paling mengejutkan lagi?"

"Tidak. Ceritakan!"

"Kalian berdua sama-sama memberi saya nama Sebastian."

"Hee...! Itu mustahil!"

"Yah... Bedanya dia memberi saya nama Sebastian Michaelis, sedangkan Anda Sebastian Atterton. Dan dia memberi nama Sebastian berdasarkan nama anjingnya. Itu sedikit menyebalkan."

"Hoo... Itu parah sekali. Tapi... Kenapa ada kebetulan yang seperti ini ya?"

"Entahlah. Saya juga tidak tahu." Sebastian tiba-tiba menatapku lekat-lekat. "Anda harus tahu satu hal lagi, lady."

"Apa?"

"Jika dendam Anda sudah terbalaskan, jiwa Anda akan saya ambil."

Hah?! Yang benar saja?! Itu artinya aku akan mati...?

Aku mundur menjauhinya. "Tidak. Aku tidak mau..."

"Tapi itu perjanjiannya."

"Kau tidak bilang itu saat perjanjian." Aku menudingnya. "Oh! Aku tahu! Kau ingin agar aku segera membuat kontrak denganmu, kan?! Jahat! Jika itu maumu, seharusnya dari awal aku tidak usah melakukan kontrak terkutuk ini!"

Aku melangkah menjauhinya lalu semakin lama langkahku semakin lebar. Aku berlari sejauh mungkin darinya. Aku bingung ingin pergi kemana. Tapi sejauh mungkin yang kubisa.

Tujuanku adalah tempat parkir. Mataku mencari mobil berwarna biru. Setelah mendapat apa yang kucari, aku segera berlari menuju mobilku dan segera masuk. Tanganku merogoh tas untuk mencari kunci mobil.

Astaga! Kuncinya... Kurasa kuncinya ada di Sebastian. Kenapa aku bisa lupa?! Bodoh!

"Bagaimana ini...? Aku tidak mungkin meminta padanya!"

Aku melihat laci mobil. Senyumku mengembang. Aku ingat. Kunci-kunci penting ada di dalam laci itu. Ya! Tidak salah lagi!

Segera kubuka laci yang ada di hadapanku. Dan... Aku tidak salah! Kunci cadangan mobilnya ada! Tanpa berpikir lagi, kumasukan kunci dan kunyalakan mesin mobil. Perlahan aku memundurkan mobil ini lalu langsung menginjak gas untuk segera pergi dari sini. Masa bodoh dengan sekolah.

Sial! Kenapa aku bisa begitu gelap mata sampai-sampai terikat kontrak dengan iblis?! Seharusnya aku tahu kalau aku tidak akan selamat jika mengenal iblis! Padahal hanya untuk kekuatan yang semu, aku sampai mengorbankan jiwaku. Benar-benar keterlaluan!

Aku menghentikan mobilku saat melihat anak-anak menyebrang pada zebracross. Di belakang mereka berjalan beberapa wanita. Pasti ibu dari anak-anak itu.

Kupandangi anak-anak itu satu persatu. Mereka masih polos. Innocence. Wajah-wajah itu terlihat murni, tidak mempunyai dosa. Mereka tampak berseri dengan senyum, tawa, dan canda.

Aku iri. Andai saja aku menjadi salah satu dari mereka. Atau seandainya waktu bisa kuputar ulang. Seandainya bisa, aku akan berusaha keras melupakan dendamku. Tapi aku sadar, semuanya telah terjadi. Apa yang kubuat harus kutanggung sendiri. Ya, sendiri, tak ada yang tersangkut dalam hal ini.

Apakah bisa jika aku kembali pada cahaya dan menyelamatkan jiwaku?

Ah... Mereka sudah sampai diseberang jalan. Sebaiknya aku segera pergi sebelum mobil di belakangku memberi klakson yang cukup keras.

Kemana aku harus pergi? Emm... Sudah lama aku tidak melihat rumah itu. Mungkin aku akan ke sana dan memberi sedikit pembersihan. Pasti akan sangat lelah membersihkannya sendirian.

-oOo-

Kuparkirkan mobilku dihalaman depan. Sementara aku berusaha membuka pintu rumah yang sudah lama tidak dihuni selama 2 tahun. Saat pintu terbuka, banyak debu yang beterbangan. Aku terbatuk.

Kakiku melangkah masuk.

"I'm home..."

Semakin aku memasuki rumah ini, aku jadi mengingat kenanganku bersama papa dan mama. Mereka selalu memberikan yang terbaik untukku. Mobil biru itulah hadiah ulang tahunku yang ke-15, tepat seminggu sebelum mereka pergi.

Lalu aku memasuki ruangan yang menjadi kamarku. Aku rindu dengan ruangan ini. Cat cokelat muda yang dipadu dengan warna cokelat tua. Juga gambar beberapa menara didinding, seperti menara jam Big Ben, menara Eiffel, menara Pisa, dan tembok China walau sebenarnya bukan menara.

Aku menatap sebuah foto yang masih kokoh berdiri dimeja riasku. Di dalam bingkai itu terdapat fotoku bersama seseorang, yang katanya dia akan menjadikanku istrinya dimasa depan. Tapi... Semua itu hanya tinggal ucapan.

"Sebastian... Kita masih punya janji untuk mengunjungi menara Eiffel, kan? Kenapa kau mengingkari janjimu?"

Hah... Aku akan mencoba untuk terbiasa hidup sendirian. Setidaknya aku senang. Aku dapat menangis sesukaku tanpa ada yang melihat. Ya, kan?

Nah... Jadi... Harus dimulai dari mana aku membersihkan rumah ini? Yah... Sulit memang. Tapi rumah ini peninggalan orang tuaku.

"Saya akan membantu Anda membersihkan rumah ini, Lady Fiel."

Ekh! Suara ini...!

Mataku terbelalak kala melihat si empunya suara. "Kau?! Tapi... Bagaimana bisa menemukanku?!"

"Segel ini bukan hanya tanda kontrak tapi juga sebagai penghubung agar iblis selalu tahu dimana mangsanya berada."

Ugh!

"Pergi! Pergi!"

"Tidak, saya ingin membantu Anda membersihkan rumah ini."

"Ihh...! Kau tidak dengar ya?! Ini perintah! Cepat pergi!"

"Yes, my lady."

Dia pergi.

Kenapa?! Kupikir aku bisa menangis sendirian? Menyebalkan!

-oOo-

"Nah... Karena seluruh rumah sudah bersih, bagaimana jika saya membuatkan pancake untuk Anda?"

Sebastian menyebalkan. Padahal aku sudah menyuruhnya untuk pergi tapi diam-diam dia membersihkan rumah ini. Dasar iblis.

"Tidak. Aku tidak mau.", tolakku tegas.

"Lalu Anda ingin makan apa? Cheese cake barang kali?"

"Itu juga tidak mau." Tatapanku tajam. "Yang aku mau, aku ingin membatalkan kontrak ini."

Seketika, aura di dalam rumah ini berubah. Terasa panas dan jadi sedikit gelap. Saat kulihat ke hadapanku, aku jadi takut sendiri. Pasalnya di belakang Sebastian terdapat bayangan hitam. Wajah lelaki itu juga jadi terlihat marah.

"Kontrak yang sudah dibuat tidak bisa dibatalkan, apapun alasannya.", ucap Sebastian rendah.

Aku terbelalak. "Ke.. Kenapa?"

"Perjanjian tetaplah perjanjian. Tidak ada yang boleh melanggar."

Ah.. Itu tidak mungkin... Berarti, aku akan terus berada di bawah ikatan perjanjian dengan iblis itu.

Aku tidak mau!

"Tidak..." Aku menggeleng dengan cepat. "Aku tidak mau! Aku ingin membatalkan semuanya! Perjanjian kita, dendamku, juga nama Sebastian! Kau tidak berhak dengan nama Sebastian!"

"Manusia hanyalah makhluk yang bodoh. Mudah tergoda. Mereka labil. Tidak pantas untuk hidup." Tangan kanan iblis itu mencengkram kedua pipiku. "Kau hanya membuang-buang waktuku. Tidak berguna."

Aku takut... Apa yang harus kulakukan?

Pasrah, aku hanya bisa menangis. Menangis dalam ketakutan yang luar biasa. Baru kali ini aku menangis karena takut mati. Sungguh! Aku belum ingin mati! Masih banyak yang harus kuselesaikan di dunia ini! Bila saatnya tiba, biarlah aku mati dengan tenang.

Air mata tak hanya membanjiri wajahku, tapi juga tangan si iblis. Tanganku tak bisa digerakan untuk menepisnya. Tubuhku serasa lumpuh.

"Kumohon...", pintaku dengan lirih. "Aku tidak mau mati..."

Cengkraman tangan itu melonggar, tapi tak menyingkir dari wajahku. Tatapannya masih terlihat tajam. Dia seperti akan mengambil jiwaku kapan saja.

Si iblis menyeringai. "Polos dan lugu. Betapa menyedihkannya dirimu."

Tatapanku melemah. Aku benar-benar tak berdaya. "Aku... Aku tidak punya siapapun sekarang. Hanya ada kau. Kali ini aku memohon... Jika kau memperlakukanku seperti ini... Apa yang harus kulakukan?"

Samar aku melihat kedua mata di hadapanku membulat lebar. Ia menarik kembali tangannya.

Tidak ada penopang lagi, tubuhku ambruk begitu saja. Tenagaku seakan menguap kelangit. Pikiranku juga terasa kosong.

Sepasang tangan mengangkat tubuhku. Dia membopong lalu merebahkanku di sofa yang tidak jauh dari tempatku berada tadi.

"beristirahatlah di sini sebentar, lady. Saya akan membuatkan teh hangat untuk Anda."

Dia pergi berlalu.

Kenapa dengannya? Tiba-tiba jadi perhatian. Tapi daripada itu... Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku hidup seperti ini? Menjalani hidupku dengan perasaan menyesal? Aku bingung...

"Papa.. Mama... Apa yang harus kulakukan? Bibi Gabby, bantu aku. Sebastian, kuyakin kau kecewa padaku."

Aku merasa diriku ini sudah masuk ke dalam jurang kegelapan. Apakah hidupku masih berarti? Apakah bodoh jika aku masih mempertahankan hidupku?

"Teh Anda, lady."

Ah... Kenapa dia cepat sekali kembali? Aku masih ingin merenungkan semuanya.

Aku memijat pelipisku. Sedetik kemudian aku segera bangkit lalu duduk dengan menyandarkan punggungku pada sofa. Setelah itu kuambil cangkir yang disodorkan oleh si iblis. Aku meminum isi cangkir itu dengan perlahan.

"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?", tanyaku takut-takut.

"Entahlah. Saya sudah membersihkan rumah ini beserta isinya. Mungkin Anda ingin menyuruh saya melakukan sesuatu?"

Aku menghela nafas panjang. Kepalaku tertunduk. "Untuk saat ini... Untuk saat ini saja... Aku ingin kembali merasakan kehangatan yang orang tuaku berikan." Mataku menatapnya lekat-lekat. "Aku tahu kau bukan salah satu dari mereka. Tapi... Apa kau mau membelai kepalaku sama seperti yang ibuku lakukan 2 tahun yang lalu?"

Dia tersenyum. Kali ini senyumnya berbeda dari yang tadi. Lebih lembut dan terlihat baik. Dia lantas duduk di sebelahku. Awalnya aku ragu, tapi perlahan aku merebahkan tubuhku dengan kepala yang ada di atas pangkuannya. Dia mulai membelai kepalaku dengan lembut.

Kalau begini... Aku jadi ingat mama...

"Apa Anda merasa nyaman?"

"Umm... Ya." Kantuk mulai menyerangku. Sebelum tertidur, aku tersenyum kecil. "Terima kasih... Sebastian..."

-oOo-

"Huaa...! Aku tidak mau!"

"Tapi, lady, Anda sudah menerima tantangannya. Jadi mau tidak mau Anda harus melakukannya."

"Kau bodoh ya?! Aku paling takut dengan hal yang berbau mistik!"

Ini memang salahku. Aku dengan sok beraninya menerima tantangan Helene untuk beradu nyali di sekolah saat tengah malam tiba.

Habisnya... Helene selalu selalu mengangguku. Lebih tepatnya... Selalu menantangku dalam segala hal. Entah dalam mata pelajaran, olahraga, kepopuleran, bahkan sampai pasangan dansa. Kuakui, aku selalu kalah, kecuali dalam olahraga. Dan kali ini anak paling populer di sekolah itu menantangku uji nyali. Dia bilang, jika aku menolak, hidupku tidak akan tenang. Dan benarlah, lokerku selalu penuh dengan katak!

Oh... Ayolah, aku kan hanya ingin hidup tenang. Bagaimana tidak frustasi jika katak-katak itu melompat kekepalaku setiap kali aku membuka loker? Yah... Karena itulah, aku Fiel Granville, menerima tantangan uji nyali walau sebenarnya aku sangat takut. Tak ada pilihan lain. Hidup itu pilihan. Dan pilihan tak pernah ada yang adil.

Sebastian memberiku mantel. "Mungkin Anda butuh ini. Untuk berjaga-jaga. Siapa tahu Anda merasa dingin. Emm... Atau sebagai pelindung mata Anda agar tidak melihat hantu."

Aku mendelik. "Kau menghinaku, hah?!"

"Tidak, hanya bicara sesuai fakta."

"Kau...!" Hah! Menyebalkan! "Kau harus ikut denganku!"

"Tapi teman Anda bilang, Anda harus mengelilingi sekolah sendirian."

"Persetanan dengan itu! Aku tidak mau ditertawakan karena berlari ketakutan. Kau hanya perlu masuk lewat pintu belakang dan kita bertemu di depan ruang guru dilantai dasar."

"Tapi itu melanggar aturan yang diberikan."

"Baiklah. Kalau terjadi sesuatu pada majikanmu ini, kau tidur di gudang!"

Dia tersenyum. Dan itu membuatku jengkel. "Well, time to move."

-oOo-

Dengan mantel yang diberikan Sebastian aku berdiri di halaman depan sekolah. Helene menyuruhku masuk lebih dulu. Tentu saja aku menolak.

"Ini kan adu uji nyali. Kenapa aku masuk duluan?", tanyaku dengan nada kesal.

"Kalau aku masuk juga, siapa tahu kau kabur."

"Untuk apa? Toh banyak temanmu yang menunggu diluar."

"Ok, ok, aku juga akan masuk. Karena sekolah cukup gelap, aku akan berlaku bijak. Ini untukmu." Helene memberiku senter.

"Hmph! Ditengah jalan cahaya senter ini pasti akan meredup."

"Ya ampun, Fiel, negative thinking. Santai, aku tidak seburuk yang kau kira."

"Baiklah. Kuharap ucapanmu dapat kupegang."

"Silakan. Kalau begitu, ayo masuk."

Aku yang diikuti Helene mulai melangkah memasuki gedung sekolah. Sementara di belakang kami ada beberapa orang yang mendukung Helene. Yah... Hanya Jazzy saja yang mendukungku.

Sesampainya dipintu masuk, kami berpencar. Sementara aku dilantai dasar, Helene berada dilantai dua. Lalu saat sudah selesai pada lantai dasar, aku akan kelantai empat sedangkan Helene lantai tiga. Dan... Hei! Kenapa aku dapat lantai empat?! Curang! Tapi... Sudahlah!

Kunyalakan senter yang diberikan Helene. Cahayanya menerangi sudut ruangan. Aku berjalan menuju tempat loker-loker. Yah... Lorong itu sering kulalui jadi mungkin aku dapat beradaptasi walaupun sedikit gelap.

DUK! DUK!

Ekh! Su... Suara apa itu?!

Dengan takut-takut, kuarahkan senter ini pada sumber suara. Saat kupastikan, ternyata suara itu berasal dari lokerku. Aku berpikir. Mungkin itu suara katak yang melompat-lompat di sana. Pasti ulah Helene.

'Positive thinking saja.'

Langkah kakiku mulai menjauhi loker dengan sumber suara itu. Lalu aku berbelok kearah kiri, tempat dimana ruangan bimbingan konseling berada.

Saat berjalan menuju ruangan bimbingan konseling, mataku menatap wastafel dengan kerannya. Benda itu memancarkan air yang sebenarnya untuk minum. Tapi entah kenapa anak-anak malah menggunakannya untuk menyiram para junior.

Yah... Sejauh ini tidak ada apa-apa. Dan omong-omong... Apa aku harus masuk ke ruangan yang digunakan guru untuk menasihati muridnya yang nakal? Kurasa tidak perlu. Siapa yang tahu kalau tiba-tiba muncul hantu? Kan menyeramkan...

Hah... Padahal baru menyusuri sudut sebelah kiri. Tapi aku merasa kakiku sudah lemas untuk melangkah. Masih ada sudut sebelah kanan. Ugh! Aku malas sekali... Eh... Ruang guru ada disudut sebelah kanan ya? Apa Sebastian datang?

Well then, I'll go to the other side!

"Wait up there, you human."

Eh? Siapa?

Aku segera menoleh kearah berlawanan dengan arahku berlari. Didekat jendela, berdiri seseorang. Terlalu gelap untuk melihat siapa dia walau sebenarnya aku punya senter. Hanya saja... Apakah sopan menyenteri seseorang?

"Who are you?", tanyaku tanpa menyenterinya.

"I..." Orang itu melangkah maju. Sinar bulan purnama menyoroti tubuhnya perlahan. "A demon."

Mataku terbelalak ketika sosok orang itu sudah sepenuhnya tertepa oleh sinar bulan. Ditangan kanannya terdapat sebuah sabit yang cukup besar. Dan dia...

Sulit kupercaya!

"You...!"

To Be Continue