.

.

.

.

.

.

.

One On The Way part 2

.

"When our path of love takes a long time,"

.

.

- YoonMin – TaeKook – NamJin -

.

.

.

.

.

.

.

Bukankah dia sudah berada di dekatku? Sejak dulu? Tapi, kenapa aku baru menyadarinya?

.

.

.

.

.

"—kau tidak akan kemana-mana. Kau akan tetap disini dan tetap sekolah di RC."

Sederet kalimat itu bagaikan lirik lagu favorit Jimin yang terus mengalun indah dalam memori otaknya. Dia merasa ini mimpi tapi ia juga tidak ingin ini semua hanya mimpi. oh-ayolah, bukankah sangat menyebalkan jika salah satu keinginan kuatmu hanya terwujud dalam mimpi? tidak-tidak, Jimin tidak mau hidup dalam mimpi.

"Senang, hm?" Jimin menoleh kala suara familiar milik sang hyung terdengar dan mendapati Hyukjae, berdiri bersandar pada pintu kamarnya yang terbuka.

Lagi-lagi kebiasaan Jimin sejak kecil, yang jarang ia tunjukan pada siapapun tepatnya sejak delapan tahun yang lalu, kembali ia perlihatkan membuat Hyukjae hanya bisa tersenyum bahagia melihat bagaimana Jimin kecil mereka memekik heboh dan berlari memeluknya antusias.

"omo-omo, hyung! Katakan, aku tidak sedang bermimpi. Haraboji membatalkan keputusannya? Benarkah?" tanya Jimin heboh. Awalnya Hyukjae memang tersenyum bahagia, namun ketika melihat wajah manis sang tuan muda terlihat berbinar membuatnya berubah menjadi tersenyum jahil dan berniat untuk menggoda adik kecilnya yang sebenarnya memiliki sifat yang kelewat nakal dan bandel sejak kecil.

"jinjja? Kenapa aku baru mendengarnya? Kakekmu membatalkan keputusannya?" Hyukjae mengeryit heran bersamaan dengan wajah Jimin yang pada awalnya menunjukkan mimik bahagianya berangsur hilang.

"Jadi—apa aku baru saja berhalusinasi?" tanya Jimin berharap Hyukjae mengatakan 'tentu saja tidak Jiminie, itu nyata. Kau tidak akan pindah ke London.' Tapi, kenyataan yang terjadi adalah Hyukjae yang berujar,

"Tentu saja, angin darimana kakekmu tiba-tiba merubah keputusannya begitu saja. Seperti kau tidak tahu bagaimana kakekmu jika sudah mengambil keputusan." sejenak, Jimin hampir termakan omongan Hyukjae. ya, tapi jangan katakan Jimin si peringkat satu selama dua tahun berturut di sekolah elit macam RC yang memiliki segudang prestasi akademik maupun non-akademik. Dan, jangan sebut Park Jimin jika sekelas penjahat professional macam Nam Goong Won saja bisa ia taklukan, bahkan tidak hanya itu dia sudah berkali-kali membodohi para orang tua sahabat kecilnya yang notabene bukan seorang amatiran melainkan golongan orang-orang terpandang. Jadi, jika Hyukjae mencoba untuk membodohinya disaat ia sedang merasa benar-benar bahagia, jadi jangan salahkan Jimin untuk membalas sang hyung berkali lipat lebih jahil.

"Benarkah?" ulang Jimin, dengan kedua matanya yang berkaca serta sesekali berkedip lucu membuatnya terlihat seperti puppy yang benar-benar menggemaskan. Hyukjae menggelengkan kepalanya mencoba untuk tak terkecoh dengan segala hal yang sedang Jimin lakukan. ya, ia menahan diri untuk tidak cepat kalah dalam hitungan detik mengingat ini adalah salah satu trick dasar dari seorang Park Jimin sejak kecil ketika ia menyadari bahwa ada seseorang yang berniat untuk menjahilinya.

"Tapi, kau tahu hyung?" lanjut Jimin menatap Hyukjae dengan kedua mata sipitnya yang menajam, persis seperti Jimin ketika berhadapan dengan penjahat yang sebentar lagi akan mendekam di penjara, membuat Hyukjae bergidik ngeri. "Jika aku menjadi haraboji, kupastikan sudah mengirimmu ke segitiga Bermuda dan membiarkanmu hilang disana selama-lamanya." sarkas Jimin. Hyukjae meringis sementara Jimin menyeringai kecil melihat ekspresi wajah Hyukjae benar-benar hiburan tersendiri untuknya terlebih ketika dengan gamblang ia mengatakan, "dan kau tahu 'kan, hyung? Siapa aku disini?" Jimin menahan kekehannya sementara Hyukjae berdecak kesal.

"Jika kau bukan tuan muda di rumah ini, kupastikan kau yang kulempar sampai Neptunus!"

"eyy~ itu tidak mungkin. Jangan terlalu berlebihan, hyung. Lagi pula jika aku bukan tuan muda di rumah ini, belum tentu kita bertemu. Dan aku, lebih menyukai takdir terakhir."

"YAISH!—" umpat Hyukjae tertahan membuat Jimin tertawa puas.

"Tapi, hyung—" jeda Jimin sejenak. "-apa haraboji benar-benar membatalkan rencananya?" tanya Jimin yang membuat Hyukjae tergelak tak percaya.

"yak! Tuan muda Park Jimin, sebelumnya kau sudah berani mengancamku dan sekarang? Kau masih bertanya?!" sarkas Hyukjae. Jimin mengerucutkan bibirnya lucu dan memandangi Hyukjae dengan tatapan polosnya.

"Jadi—" jeda Jimin sejenak yang menghasilkan decakan kesal dari Hyukjae.

"Tentu saja itu nyata, bocah!"

"jinjjayo?!" pekik Jimin tak percaya. "Ini nyata?" ulangnya. Hyukjae menarik nafas. Ia berjalan memasuki kamar Jimin dan membuka lemari pakaian si tuan muda.

"Kemari!" titahnya yang langsung dituruti Jimin untuk berjalan mendekatinya. "Lihat! Apa ada yang aneh dengan lemari pakaianmu?" Jimin berfikir sejenak dan mengabsen satu persatu isi lemarinya.

"woah~,.. kenapa pakaian baruku tidak ada?" tanya Jimin mengingat jelas hanya ada pakaian lama seadanya yang ada di lemarinya. Hyukjae menarik nafas, dengan enggan ia memutar tubuh Jimin dan mendorongnya menuju meja belajar kesayangan Jimin. Jimin membulatkan kedua matanya melihat keadaan meja belajarnya yang tak seperti biasa.

"Kenapa meja belajarku sangat bersih? Dimana laptop, buku-bukuku dan barang-barangku yang lain?" heran Jimin. Hyukjae tersenyum dan menatap Jimin penuh kasih.

"Semua barang-barangmu sudah dipindahkan ke RC nanti malam." jawab Hyukjae tenang.

"huh?" Jimin mengerjapkan kedua matanya tak mengerti.

"Besok kau harus siap masuk ke RC. Paman Kang sudah mengurus semuanya selama satu minggu ini. Jadi ya! Kau sudah mulai aktif besok pagi. Termasuk kegiatan non-akademik yang kau ikuti."

"woah~daebak! Ini kejutan untukku," gumam Jimin takjub. Hyukjae terkekeh.

"Tapi-" jeda Hyukjae sejenak membuat Jimin mengerutkan keningnya cemas.

"Ada apa, hyung? Ada masalah?"

"nope!" balas Hyukjae tersenyum simpul. "Hanya saja—seluruh siswa di RC tidak tahu jika kau kembali lagi kesana. Termasuk keenam sahabat kecilmu." Jimin membulatkan kedua matanya terkejut. Ya, awalnya ia terkejut namun detik berikutnya mimik wajahnya berubah jenaka.

"Kejutan lagi untukku." Hyukjae menatap Jimin tak percaya sementara Jimin hanya mengedikkan bahunya acuh.

Jimin merentangkan tangannya ke udara dan tersenyum kotak hingga kedua matanya terlihat segaris.

"ah~ aku tidak sabar hari esok." tutur Jimin senyumnya merekah. "Tidak sabar untuk melihat bagaimana reaksi semua orang."

.

.

.

.

.

.

.

Cklek!

Klik!

"SELAMAT DATANG!" Taehyung terperanjat kala ia membuka pintu kamar asramanya dan mendapati dua suara heboh yang sangat ia hafal milik siapa.

Taehyung terkekeh kecil begitu pula Joonmyeon, sang asisten yang kebetulan tengah menemani sang tuan muda yang baru saja keluar dari rumah sakit dan memutuskan untuk langsung kembali ke asrama RC mengingat musim sekolah sudah dimulai dua hari yang lalu, persis seperti interuksi dari sang tuan besar Kim.

"daebak! Kalian menyambutku?" pekik Taehyung takjub yang dibalas anggukan antusias dari si pemilik dua suara, Seokjin dan Hoseok sementara dua pemilik kamar lainnya hanya mendengus jengah karena sebenarnya mereka berdua sama sekali tidak menyetujui ide Seokjin, Hoseok, dan Jungkook untuk mengadakan upacara penyambutan Taehyung di kamar mereka dan merubah kamar mereka menyerupai rumah hantu. Ya, mereka menyebut dekorasi kerlap-kerlip bintang serta pita dengan warna-warni yang membentuk pelangi di dinding. Serta jangan lupakan balon-balon pink berbentuk love yang ada di setiap sudut salah satu kamar terbesar di asrama RC.

"oh-ayolah, ini sangat kekanakan." decak Yoongi. Taehyung mendengus.

"yak, hyung! Tega sekali kau mengatakan itu padaku? Aku baru saja sembuh, dan kau sudah mengataiku?" protes Taehyung.

"Tidak seru jika belum mengataimu." balas Yoongi datar. Taehyung mendesis ingin mengembalikan spesies es berjalan ke Antartika, tempat asalnya jika tidak ingat ada sosok manis di tempat lain yang pasti akan melemparnya ke kawah gunung berapi jika ia benar-benar melakukan semua niatnya, tragis.

"Kau sudah baik?" meskipun Namjoon tak berseru seheboh Seokjin, dan Hoseok. Tapi, pemuda yang tahun ini mampu menggeser posisi peringkat pertama sebelumnya punya cara tersendiri untuk menyambut sang adik. Taehyung tersenyum kotak.

"Aku sudah membaik beberapa hari yang lalu. Salahkan appa yang terlalu berlebihan."

"eyy~ jangan menyalahkan ayahmu, Tae. Orang tua mana yang tidak cemas melihat putra semata wayangnya tertembak?" tanya Seokjin yang diikuti anggukan bak kelinci kehilangan induknya dari Jungkook. Taehyung terkekeh dan berjalan mendekat dimana Seokjin, Jungkook dan Hoseok berada. Tepatnya berjalan kearah Jungkook yang sudah selama seminggu ini hanya menyalahkan dirinya sendiri tentang musibah yang baru saja menimpanya. Bahkan, jika boleh mengatakan jujur Taehyung tidak menyukai sikap Jungkook yang selama seminggu ini tak banyak bicara bahkan terkadang juga menjauhi kelima hyung-nya.

"hey~" panggil Taehyung mengangkat dagu Jungkook yang sedari tadi hanya menunduk.

"hmm"

"Aku tidak ingin mendengar permintaan maaf lagi." potong Taehyung tepat saat Jungkook baru saja membuka mulutnya.

"hyung~" rengek Jungkook yang membuat para hyung terkekeh kecil. Oh- betapa menggemaskannya adik kecil mereka ini.

"Aku sudah menyelamatkan dua nyawa. Jadi, bukankah aku sudah terlihat seperti iron man untukmu?"

Plak!

Tak!

Taehyung berjengit dua kali kala kepalanya mendapat serangan dadakan dua kali. Pertama hanya satu orang yang berani menggeplaknya, yap! Siapa lagi jika bukan Min Yoongi.

"iron man kepalamu!" desis Yoongi yang hanya dibalas cengiran khasnya dari Taehyung yang meringis sakit karena serangan keduanya berasal dari asisten pribadi yang merangkap sebagai hyung-nya, Kim Joonmyeon yang dengan tak berprikemanusiaannya menjitak kepalanya keras.

"Berhenti pamer dan bisakah kau ijinkan aku untuk membawa barangmu masuk agar pekerjaanku cepat selesai hari ini, tuan muda?" sindir Joonmyeon kesal. Taehyung terkekeh.

"Silahkan, hyung. Maaf membuatmu menunggu." Joonmyeon mengedikkan bahunya acuh dan memasukkan barang-barang Taehyung ke dalam bilik Taehyung yang masih tertata rapih tak tersentuh.

"Kau langsung pulang, hyung?" tanya Taehyung setelah Joonmyeon selesai meletakkan semua barangnya.

"hm, ada urusan lain yang harus aku urus." Taehyung mengangguk mengerti sementara Joonmyeon mengerling pada kelima sahabat kecil Taehyung.

"Aku pergi." pamitnya dan berlalu begitu saja.

"Apa tidak ada kue?" tanya Taehyung tak tahu diri yang seketika menimbulkan kerutan di dahi keempat hyung-nya sementara Jungkook hanya terdiam menatapnya.

"Kalau mau kue beli saja sendiri, sudah untung kita menyambutmu!" sarkas Yoongi. Taehyung mencebikkan bibirnya kesal.

"Yak! Hyung!" pekiknya diiringi kekehan Namjoon, Seokjin, dan Hoseok.

"Oya, apa Jimin tadi pagi menemanimu?" dan sontak pertanyaan yang keluar dari Seokjin membuat keempat lainnya terdiam, bahkan atmosfir di kamar itu seketika menjadi tegang hanya karena pertanyaan Seokjin yang merujuk pada sosok manis yang seharusnya menjadi pelengkap diantara mereka.

Taehyung menarik nafas, ia tersenyum dan mengangguk kecil.

"ya, dia menemaniku sampai siang." jawab Taehyung.

"dan—apa kau sudah bertanya?" tanya Seokjin penuh harap begitu pula dengan keempat lainnya.

"ya!" jawab Taehyung singkat.

"Apa katanya?" tanya Hoseok tak sabar. Taehyung terdiam sejenak sebelum menggeleng samar.

"Karena, kejadian ini kemungkinan besar kepergian Jimin hanya diundur. Dia juga mengatakan jika Park haraboji tidak mengatakan apa-apa padanya."

"Hyukjae hyung?" tanya Seokjin lagi. Taehyung menggeleng.

"Sama. Hyukjae hyung juga hanya diam."

"Tapi, diundur sampai kapan?" tanya Hoseok. Taehyung mengedikkan bahunya.

"Entahlah." jawab Taehyung singkat.

"Jadi, apa Jiminie hyung benar-benar pergi?" tanya Jungkook yang sedari tadi hanya diam seraya menatap Taehyung sendu. Taehyung tersenyum kecil.

"Bagaimana jika dua hari yang lalu ternyata adalah pertemuan terakhir kita dengan Jimin?" tanya Hoseok yang membuat kelima temannya semakin kalut dan enggan membayangkan kepergian sosok manis yang ingin sekali mereka tarik untuk tetap berada di tengah-tengah mereka.

"aniyo!" sela Yoongi. "Meskipun Jimin akan pergi, tapi aku yakin—dia akan berpamitan pada kita. Istirahatlah Tae, dan kalian juga." Yoongi tersenyum samar yang setelahnya memutuskan untuk keluar kamar, tujuannya untuk menghindari percakapan mengenai Park Jimin. Karena sungguh, meskipun semua masalah sudah nyaris selesai tapi entah kenapa ia masih merasa jauh dari pemuda bermarga Park yang sampai sekarang selalu mengacaukan hati dan pikirannya.

"Apa Yoongi hyung akan baik-baik saja?" tanya Jungkook cemas. Taehyung berjalan mendekati Jungkook dan merangkul si pemilik senyum manis bak kelinci.

"Percayalah, Yoongi hyung lebih kuat dari yang kita duga." tutur Taehyung mencoba untuk menguatkan Jungkook yang hanya mengangguk percaya.

.

.

.

.

.

.

.

Berbaring di bangku yang ada di rooftop gedung merupakan hobi rutin yang dilakukan Min Yoongi jika ia sudah berada di kawasan sekolah. Menghabiskan sebagian waktu kosongnya di salah satu rooftop dari tiga gedung super mewah milik RC. Mata sipitnya yang biasanya menatap tajam pada setiap orang yang bicara ataupun bertatapan padanya kini hanya terpejam erat, membiarkan semilir angin menerpa wajah putih pucatnya yang semakin tampan seiring berlalunya hari.

Sekilas Yoongi terlihat tampak tertidur nyenyak, mengabaikan hembusan angin musim semi pertama yang menyenyat dingin meskipun musim dingin sudah berakhir. Yoongi menghembuskan nafasnya perlahan, menghasilkan uap yang keluar dari belah bibirnya. Hati dan pikirannya risau memikirkan satu hal yang sampai sekarang belum bisa ia selesaikan meskipun segala hal tentang teka-teki masa lalu tentang mereka sudah sepenuhnya terkuak.

Dan tentu saja, satu hal itu hanya merujuk pada seseorang yang bernama Park Jimin. ya, hanya Park Jimin satu-satunya yang bisa mengacaukan hati dan pikirannya seperti ini. Terkadang, ia merasa bahwa ia benar-benar berarti bagi sosok pemuda manis itu, ia merasa bahwa ia memang satu-satunya yang mungkin berada di dalam hatinya. Tapi, setelah itu semua perasaan selanjutnya adalah ia merasa asing dan seolah tidak mengenal siapa sosok Park Jimin sebenarnya, mengingat ada banyak hal yang ia lewati dari si manis bermarga Park tersebut.

Yoongi menarik nafas. Udara malam membuatnya tergoda untuk tidur di rooftop asramanya. ya, ia memang berniat tidur jika saja ia tidak merasakan percikan air yang mengenai wajahnya membuat Yoongi mengeryitkan keningnya dan berfikir sejenak. Apa mungkin ada hujan? Terlebih kala percikan air itu semakin menjadi membuat Yoongi mau tidak mau membuka matanya.

"YAK!" pekik Yoongi bangun dari rebahannya saat melihat darimana asal percikan air yang mengenai wajahnya. Yoongi menatap sesosok yang hanya menunjukkan cengiran tak berdosanya seraya meminum air mineral dair botol yang ia bawa-sekaligus air yang digunakannya untuk memercik ke wajah tampan Yoongi-

"Aku kira kau tidur." ujarnya santai dan memilih untuk duduk di samping Yoongi yang hanya memilih diam dan berniat untuk mengabaikan si ketua dewan siswa.

"Hah~" Yoon Doojoon, si ketua dewan siswa menghela nafas paksa, bermaksud untuk menarik perhatian Yoongi.

"yak! Apa aku tidak terlihat seperti manusia?!" kesal Doojoon. Yoongi tertawa kecil.

"wae?! Apa aku mengundangmu kemari?" Doojoon berdecak, ia menghabiskan air mineralnya kemudian meremat botol kosong itu. Bahkan dengan sengaja melempar rematan botol itu tepat ke kepala Yoongi.

"YAK!" pekik Yoongi kedua kalinya yang justru membuat Doojoon tertawa puas. "Sebenarnya apa maumu?!" seru Yoongi kesal bukan main waktu kosongnya diganggu oleh makhluk semacam Yoon Doojoon.

"eyy~ aku sedang berbaik hati untuk menemanimu." Yoongi mendecih.

"Tidak perlu. Pergilah! Aku ingin sendiri." usir Yoongi namun tak diindahkan oleh Doojoon.

"Bagaimana kabar Jimin?" Yoongi mengerut tak suka.

"Kenapa bertanya padaku?"

"Bertanya padamu lebih efektif daripada bertanya pada kelima temanmu." Yoongi tertawa sarkas.

"konyol! Apa kau lupa jika kita adalah rival?" desisnya. Namun tak menolak untuk menjawab pertanyaan Doojoon. "Jimin baik. Justru kita yang tidak baik." Doojoon terkekeh.

"ya, kau benar!" balas Doojoon. "Bukankah sekolah ini akan sepi tanpa perusuh sepertinya?" Yoongi menoleh.

"hey, seharusnya kau senang perusuh nomor satu di RC, enyah dari sekolah ini. Bukankah itu artinya pekerjaanmu akan lebih mudah?"

"ya, jika bukan Jimin yang keluar aku senang-senang saja. Terutama dirimu, aku akan langsung membuat upacara perpisahan untukmu." tutur Doojoon sedikit menggoda Yoongi. "hey, kenapa tidak kau saja yang bertukar tempat dengan Jimin? Dengan begitu, rival nomor satuku akan berkurang?" Doojoon menaik-turunkan kedua alisnya jenaka membuat Yoongi mengangkat tangannya dan,

Dug!

Dengan tak berprikemanusiaannya dijitaknya kepala Doojoon.

"yak! Kau mau membuatku bodoh?!" geram Doojoon tak terima dan Yoongi membalasnya dengan menatapnya tak kalah tajam.

"Apa perlu ku ingatkan? Kau sudah bodoh dengan keberadaan Namjoon sekarang!" Doojoon mendesis tak terima.

"Setidaknya aku lebih pintar darimu, manusia es!"

"Yaish!" umpat Yoongi tertahan. Doojoon tertawa kecil. Dan selanjutnya hanya ada keheningan diantara mereka.

"mianhae~" Yoongi menoleh saat mendengar suara serak yang Doojoon keluarkan. Tak mengerti maksud dari permintaan maaf si ketua dewan siswa Yoongi pun bertanya,

"Untuk apa?" Doojoon menunduk dalam.

"Kakakku." Yoongi mengangguk paham.

"hey~aku tahu bajingan itu—maksudku kakakmu, melakukan kesalahan besar, sangat besar malah. Tapi, itu salahnya bukan salahmu. Jadi, berhenti meminta maaf!" Doojoon tersenyum kecil. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Yoongi paham.

"hm, tapi bagaimanapun juga dia keluargaku."

"ya, dia keluargamu. Tapi, apa dia juga menganggapmu sebagai keluarganya?" tanya Yoongi. Doojoon terkekeh.

"hah~" helanya. "Berhenti memojokkanku."

"eyy~ kau yang memulai, pak ketua!" Doojoon tampak mengeryit tak suka.

"Bisakah kau tidak memanggilku dengan panggilan konyol itu?"

"wae? Bukankah kau memang ketua disini?" tanya Yoongi benar. Doojoon berdecak kesal.

"ya ya ya…. Terserah apa katamu!" sarkasnya. Yoongi tertawa menang.

"hm,.. bukankah sekolah ini akan membosankan?" tanya Yoongi. Doojoon mengangguk membenarkan.

"Taruhan padaku, aku akan banyak menganggur mulai sekarang." Yoongi menoleh kearah Doojoon dan menyeringai tampan.

"Atau tidak sama sekali." sambung Yoongi yang membuat Doojoon menatapnya curiga. Oh, ini hanya firasatnya saja atau memang benar jika Yoongi akan berniat untuk menggantikan tahta Jimin? oh tidak-tidak, ini pasti lebih buruk dari pada harus menghadapi Park Jimin. hm, kau harus menyiapkan mentalmu mulai sekarang Yoon Doojoon.

.

.

.

.

.

.

.

O

O

T

W

2

.

.

.

.

.

.

.

Kriiing~

Kriiing~

Kriiing~

Rasanya, ini adalah bel ketiga kali tanda peringatan para siswa untuk menikmati sarapan mereka di cafetaria. yah, meskipun tidak seluruh siswanya yang mengindahkan bel itu tentu saja. Namun, meskipun begitu cafetaria RC hampir tidak ada kata sepi setiap harinya termasuk di pagi ini.

Salah satu siswa yang sudah berada di tempat yang digunakan para siswa untuk mengisi perut kosong mereka adalah siswa tingkat satu yang juga salah satu anggota dewan siswa, Jeon Jungkook. Jungkook baru saja memasuki area cafetaria yang cukup ramai tapi masih ada beberapa tempat kosong untuk ia huni. Dengan langkah lesu dan wajah malas yang sudah ia pasang selama satu minggu ini-terhitung sejak masuknya Taehyung ke rumah sakitJungkook berjalan lemas menuju meja tempat disajinya lauk pauk yang disediakan oleh chef handal yang biasa disapa dengan bibi Kim.

Sebenarnya, bukan hal baru melihat Jungkook yang hanya seorang diri. Ya, Jungkook memang selalu sendiri sejak awal masuk di RC, bukan karena apa-apa melainkan karena Seokjin dan Hoseok yang sudah berada di tingkat tiga dan memiliki kesibukan masing-masing membuat mereka bertiga jarang menghabiskan waktu bersama. Ya, itu adalah kegiatan rutinnya sebelum Jimin mengingat semuanya dan selama ia menyandang sebagai rival sejati Park Jimin.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Jungkook memejamkan kedua matanya kala merasakan senggolan pada bahunya sebanyak tiga kali berturut.

Prang!

Jungkook membulatkan kedua matanya saat sebuah tangan menyampir nampan sarapannya begitu saja. Jungkook mendongak dan mendapati empat siswi yang mengaku sebagai primadona RC. Hell, dibandingkan primadona kelakuan mereka lebih mirip sebagai berandal tak beradab.

"kau—" desis Jungkook tertahan menatap tajam kearah Joohyun, pelaku yang membuang nampan sarapannya begitu saja.

Joohyun mengedikkan bahunya tak peduli dan menatap Jungkook remeh, begitu pula dengan ketiga temannya yang lain, Park Sooyoung, Kim Youngsun, dan Park Jihyo.

"Dimana sopan santunmu, Jungkook-ssi… apa kau lupa jika aku adalah seniormu?" tanya Joohyun menyebalkan. Jungkook mendecih.

"Kalau begitu, dimana letak tata krama-mu Joohyun sunbaenim? Apa orang tuamu tidak mengajarkan untuk tidak mengganggu sarapan orang lain?" sarkas Jungkook berani. Joohyun mengepalkan kedua tangannya penuh amarah, namun kemudian wajahnya sudah berubah penuh seringaian.

"oh-ya? Bicara tentang orang tua, aku dengar Kim Taehyung dan Park Jimin masuk ke rumah sakit karena-mu, apa benar?" wajah Jungkook mengeras dan Joohyun tersenyum menang untuk kembali menyerang Jungkook dengan gosip yang sudah beredar luas ke seluruh penjuru RC.

"Itu bukan urusanmu!" sarkas Jungkook.

"ya, itu memang bukan urusanku. Tapi, aku penasaran dengan drama di keluargamu selain fakta bahwa kau bersepupu dengan Min Yoongi, tapi sungguh fakta itu benar-benar sangat menyayangkan" lanjut Joohyun masih berlanjut untuk menyerang mental Jungkook. "Tapi, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu sebelum itu?" tanya Joohyun tersenyum miring yang hanya dibalas tatapan dingin dari Jungkook.

"hm, apa kau yakin—jika ayahmu adalah ayahmu yang sekarang?" Jungkook mengepalkan kedua tangannya. Jika saja, manusia di depannya berjenis kelamin laki-laki Jungkook pasti sudah melayangkan bogem mentahnya sedari tadi. Tapi, sialnya si pemilik mulut busuk itu adalah seorang gadis jalang yang selalu suka ikut campur urusan orang lain.

"Tutup mulutmu, jalang!" desis Jungkook tertahan membuat Joohyun tersenyum remeh.

"jalang? Aku justru bertanya-tanya bukankah ibumu yang jalang? Dan bukankah sangat menyedihkan jika ayahmu ternyata adalah pria yang berniat untuk membunuh Park Jimin? Aku merasa sangat kasihan padamu." tutur Joohyun dengan wajah yang dibuat seiba mungkin.

Jungkook mengepalkan kedua tangannya sampai buku-buku jarinya memutih. Ia menahan diri untuk tidak memukul gadis sialan di depannya. Ya, tapi kesabaran Jungkook tampaknya tak bertahan lama, karena ketika ia berniat untuk mengangkat tangannya dan hampir bertindak sebagai pengecut bersamaan dengan itu pula seisi cafetaria dikejutkan dengan tindakan seseorang yang tiba-tiba saja muncul dari belakang Joohyun dan menyiram kepala Joohyun dengan soup kari yang menjadi lauk sarapan pagi itu, oh jangan lupakan bagaimana bau menyengat dari masakan yang sudah seluruhnya menyatu dengan tubuh Joohyun dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"YAISH! Siapa yang berani—" Joohyun berbalik badan ia hendak menyumpah serapahi si pelaku penyiraman kari bersamaan dengan siswa-siswi lain yang baru saja berdatangan untuk mengambil sarapan mereka termasuk Yoongi, Namjoon, dan Taehyung serta Seokjin dan Hoseok bahkan Doojoon dan teman-temannya. Semua orang membulat terkejut tak menyangka dengan sosok yang menjadi pelaku yang mempermalukan Joohyun. Semuanya, tanpa terkecuali.

"hy…" sementara yang lain tampak shock, maka si pelaku justru tersenyum miring merasa puas dengan hasil kerjanya di hari pertama ia kembali ke RC.

"k-kau,…" ucap Joohyun terbata.

"ah~ kau benar-benar bau Joohyun sunbaenim." si pelaku mengibaskan tangannya dan berjalan kearah Jungkook, tepatnya di depan Jungkook untuk menamengi teman kecilnya yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. "Sebenarnya, ini belum seberapa. Kau tahu—aku punya cara yang lebih memalukan dan lebih keji dari apa yang kau lakukan sekarang pada Jungkook." ancamnya yang entah kenapa membuat bulu kuduk Joohyun meremang.

"Apa yang kau lakukan disini?" tapi bukan Joohyun namanya jika menunjukkan ketakutannya. Si pelaku menyeringai melihat raut ketakutan yang terlihat samar di wajah Joohyun.

"Aku?" ujarnya menunjuk dirinya sendiri. "Apa sekarang kau yang amnesia? Sekolahku disini, jalang!" sindirnya benar-benar kesal.

"YAK! PARK JIMIN!" seru Joohyun pada si pelaku yang memang adalah Jimin. Jimin terkekeh melihat respon tak terima dari Joohyun. "Kau sudah tidak punya status sebagai siswa untuk berada disini, kau tahu?!"

"Status? Jika kau menanyakan tentang statusku, tanyakan pada Kim ssaem, bukan padaku!" jawab Jimin tegas. "Dan, perlu kau tahu—aku tidak pernah kemana-mana. Jadi, untuk kalian semua yang sempat merayakan pesta kepergianku, silahkan bersedih ria mulai sekarang." seru Jimin jenaka. Sementara, Joohyun menggeram penuh amarah.

"Kenapa RC tidak bisa melepas perusuhnya?" geram Joohyun kesal bukan main. Jimin tertawa remeh dan menatap Joohyun tajam.

"Karena perusuhnya harus memberantas perusuh yang lain!" balas Jimin menyeramkan. "Jadi, kuperingatkan untuk yang terakhir kalinya padamu Joohyun-ssi, jika kau tidak bisa menjaga sikap terutama mulutmu, kupastikan apa yang kau rasakan nanti akan terasa puluhan kali lipat dari sekarang, kau mengerti?!" ancam Jimin. Joohyun mengepalkan kedua tangannya dengan rasa malu yang teramat.

"Aku akan membalasmu, Park Jimin." Jimin mengedikkan bahunya dan membiarkan Joohyun pergi diikuti ketiga temannya.

Sepergian keempat siswi itu, Jimin berbalik badan untuk memastikan keadaan Jungkook yang terlihat kacau.

"Kookie-ya, apa kau baik?" tanya Jimin cemas melihat pandangan Jungkook yang kosong. Jungkook gelagapan untuk mencari dimana kedua mata Jimin.

"Jimin hyung?"

"eoh, ini aku." balas Jimin tersenyum manis.

"Kau tidak pergi?" Jimin mengeryitkan keningnya.

"Pergi kemana? Rumahku disini, sekolahku juga disini," jawab Jimin seolah sebelumnya tidak pernah terjadi apa-apa. Jungkook menggigit bibir bawahnya dan bergegas menghambur memeluk Jimin erat.

Jimin yang mendapat serangan mendadak berusaha untuk membalas pelukan Jungkook yang hampir membuatnya sesak tapi tetap ia biarkan.

"hyung, kau kembali~" racau Jungkook senang bukan main. Jimin tersenyum senang bersamaan dengan kedua matanya yang juga mengarah pada kelima teman kecilnya berada. Jimin tersenyum manis yang tentu saja dibalas senyuman haru sekaligus lega dari kelimanya.

"oh! Aku kembali dan tidak akan pergi." bisik Jimin mengelus punggung Jungkook, bermaksud agar Jungkook merasa tenang dan tak lagi memikirkan segala ucapan buruk yang keluar dari mulut sialan Bae Joohyun.

.

.

.

.

.

.

.

"Minumlah," Jimin memberikan sekaleng minuman isotonic pada Jungkook. Kini, keduanya tengah duduk termenung di bawah pohon maple, di taman belakang sekolah. Jungkook menerima kaleng pemberian Jimin namun tak berniat untuk membukanya.

"Kenapa kau hanya sendiri?" tanya Jimin tak mengerti. Pasalnya, menurutnya hubungan mereka satu sama lain seharusnya sudah membaik bukan sebaliknya. Jungkook tersenyum kecil.

"Aku yang menghindar dari mereka, hyung." jawab Jungkook tersenyum paksa.

"wae?" tanya Jimin lembut. Jungkook menarik nafas dan memberanikan diri untuk menatap Jimin.

"Kau dengar 'kan, hyung—apa yang dikatakan Joohyun tadi? Bagaimana jika apa yang dikatakannya benar, bahwa aku adalah—"

"hey…" potong Jimin tak ingin mendengar praduga yang membuat hati Jungkook terluka. "Dengarkan aku," pinta Jimin. "Kau mungkin memang tidak mengenal sosok ibumu, tapi aku, Jin hyung, dan Hobi hyung mengenal beliau." Jungkook terdiam. "Jadi, apapun yang dikatakan orang lain entah seburuk apapun itu, jangan pernah mempercayai mereka."

"Tapi, hyung—"

"Kalian disini?" ucapan Jungkook terpotong kala suara Hoseok menginterupsi percakapan singkat antara mereka. Jimin menoleh tapi tidak dengan Jungkook.

"Aku pergi dulu, hyung." pamit Jungkook berlalu begitu saja.

"Jung—" Jimin mencoba untuk menahan tapi terlambat karena Jungkook sudah berlari menjauhinya.

Jimin berbalik dan menatap Hoseok yang datang bersama Seokjin, Namjoon dan Taehyung.

"Apa yang terjadi?" tanyanya yang hanya dibalas senyum singkat dari keempatnya.

"Kalau begitu, apa yang terjadi padamu?" Namjoon balik bertanya.

"huh?" tanya Jimin bergumam tak paham.

"Kenapa kau berada disini?" tanya Taehyung membuat Jimin mengerutkan keningnya.

"Kau tidak suka, aku disini?" balas Jimin. Taehyung tersenyum kotak.

"Bukan begitu, hanya saja—bagaimana dengan kakekmu?" tanya Taehyung. Jimin tersenyum manis.

"haraboji membatalkan rencananya." jawab Jimin riang.

"jinjjayo?" pekik Hoseok semangat. Jimin mengangguk senang.

"hm, bahkan barang-barangku sudah diantar kemarin malam." tutur Jimin yang membuat keempatnya tampak mengeryit bingung terutama Hoseok dan Seokjin.

"Kemarin malam? Tapi, kenapa kami tidak tahu?" tanya Seokjin. Jimin mengangkat sebelah alisnya tak mengerti.

"molla, Hyukjae hyung yang membawa barang-barangku kemarin." jawab Jimin. "Dan—apa yang terjadi pada Jungkook? Kenapa ia tampak menjauhi kalian?"

"Bukan tampak, ia memang menghindari kami" balas Namjoon. Jimin mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. Pasalnya, ia memang tidak mengetahui apa-apa mengingat ia juga berada di rumah sakit bersama Taehyung dan terkadang mereka berlima berjaga secara bergilir, membuatnya benar-benar tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara keenam temannya. Jimin mengira semuanya sudah kembali seperti semula, tapi—apa yang terjadi sekarang? Ini benar diluar dugaannya.

"Tapi, kenapa? Seharusnya semuanya sudah kembali seperti semula 'kan?"

"ya seharusnya," sahut Hoseok membuat Jimin menoleh kearahnya. "Tapi tidak dengan Yoongi hyung dan Jungkook."

"Tapi, setidaknya Yoongi hanya menjaga jarak dengan aku, Hobi dan Jungkook tidak dengan mereka berdua. Tapi, Jungkook—dia menghindari kami semua dan hanya bicara seperlunya itupun jika kami yang mengajaknya bicara." sambung Seokjin. Jimin menggeleng tak paham.

"ya, tapi kenapa jadi seperti ini? Aku kira semuanya sudah kembali baik-baik saja dan kita bisa bersama seperti dulu" Jimin masih tak terima dengan penjelasan Namjoon, Seokjin, dan Hoseok.

"hah~" Taehyung menghela nafas dan menatap Jimin lamat. Ia jadi meragukan peringkat Jimin yang selalu mendapat angka pertama selama dua tahun berturut.

"Dengar Park, jika kau adalah salah satu dari mereka, terutama jika kau adalah Jeon Jungkook. Maka aku bertaruh, kau pasti akan merengek meminta kakekmu untuk tetap membawamu pergi ke London," jelas Taehyung singkat yang dibalas gumaman 'ah~' yang keluar dari belah bibir Jimin. Ia paham sekarang.

"Begitu… jadi, bukankah wajar jika mereka bersikap seperti itu?" tanya Jimin yang menghasilkan kerutan di dahi Seokjin, Namjoon, Hoseok, dan Taehyung tentu saja.

"Wajar kau bilang?" tanya Seokjin tak paham. Jimin tersenyum kecil dan menatap keempatnya dengan eye smile andalannya.

"hm, karena bukankah cukup menyakitkan mengetahui fakta bahwa kau berasal dari keluarga tersohor yang justru hanya akan menjadi bencana bagimu? Karena, bukannya merasa bangga justru hanya akan meninggalkan semacam trauma dan rasa sakit yang tidak pernah bisa mereka sembuhkan sampai kapanpun. Fakta bahwa mereka bersaudara. Fakta bahwa ibu mereka meninggal dengan tragis. Atau fakta bahwa mereka sedari awal tidak mengetahui apapun." tutur Jimin. "Dan, apa kita akan membiarkan mereka berdua merasakan semua itu? Membiarkan mereka tertekan seorang diri?" Namjoon, Seokjin, Hoseok, serta Taehyung terdiam sementara Jimin tersenyum amat manis.

"hm, aku rasa kelasku akan segera dimulai. Jadi, bolehkah aku masuk ke kelasku lebih dulu?" izin Jimin yang hanya direspon oleh Namjoon.

"Masuklah." Jimin mengangguk.

"Sampai jumpa di istirahat pertama," pamit Jimin seraya melambai pada keempatnya masih dengan senyum manisnya hingga kedua matanya berbentuk segaris.

"Apa benar, Jimin kecil kita sudah kembali?" tanya Seokjin takjub.

"eoh! Jimin kecil kita sudah benar-benar kembali." sahut Hoseok tersenyum sumringah.

"hm, dan tak ada lagi Jimin yang bersikap dingin, sedingin manusia es manapun." Sambung Taehyung membuat Namjoon tersenyum jahil.

"Termasuk Yoongi hyung?"

"hm, termasuk Yoon—" Taehyung tak melanjutkan ucapannya dan sontak menoleh kearah Namjoon yang tertawa keras dan mulai berjalan meninggalkan ketiga temannya.

"Sampai jumpa istirahat nanti, teman-teman" seru Namjoon melambaikan tangannya tanpa menoleh.

"yak! Hyung, jangan katakan pada Yoongi hyung!" seru Taehyung takut-takut yang tentu saja diabaikan oleh Namjoon, bersamaan dengan Seokjin dan Hoseok yang meninggalkannya begitu saja.

"yak! Hyungnim, kenapa kalian meninggalkanku?" seru Taehyung tak terima yang sayangnya lagi-lagi diabaikan oleh kedua hyung-nya meskipun keduanya masih sedikit berbaik hati untuk melambaikan tangan mereka pada Taehyung tanpa menoleh. Persis seperti apa yang Namjoon lakukan sebelumnya.

Taehyung menarik nafas meratapi nasib.

"oh-tidak, apa mereka lupa aku baru saja mendapat musibah dan mereka meninggalkanku begitu saja?" gumam Taehyung kesal bukan main. Taehyung mendengus, inginnya mencabik-cabik daging keenam temannya dan melemparnya ke kandang singa, hewan kesukaannya yang tak berani ia pelihara.

.

.

.

.

.

.

.

Jimin menopang dagunya melamun. Ini sudah memasuki jam pelajaran kedua dan selama itu pula Jimin sama sekali tidak fokus mendengarkan apa yang disampaikan guru yang sedang mengampu pelajaran Sejarah di depan kelasnya, pelajaran yang sangat membosankan bagi semua siswa. Jimin mendengus, mengeluarkan nafasnya kasar bersamaan dengan sebuah kertas yang meluncur sempurna diatas meja belajarnya. Sontak, Jimin mengedarkan pandangannya hingga tatapannya sampai pada Yook Sungjae yang memberikan isyarat mata untuk membuka rematan kertas yang tampaknya sengaja ia lempar kearahnya.

Jimin menurut dan membuka isi kertas itu untuk mengetahui apa yang ditulis teman sekelasnya.

Aku belum sempat mengucapkan selamat datang, padamu.

Jadi, apa kau membutuhkan upacara penyambutan?

Jimin meremat kembali kertas itu dan menatap Sungjae tajam sementara yang ditatap hanya menunjukkan cengiran khasnya serta bersiap untuk melempar kertas lain tepat saat guru mereka yang sedang sibuk menulis di papan tulis mereka.

Jangan marah dulu, Park. Bagaimanapun juga aku lebih senang jika kau tetap berada disini. Setidaknya, ada satu siswa yang bisa kuajak bersikap normal.

Jimin terkekeh, dan berniat untuk membalas surat Sungjae.

Kau anggap aku bersikap normal? Ku ucapkan terima kasih kalau begitu. Jadi, apa secara tidak langsung kau mengatakan bahwa kau merindukanku?

Jimin melempar kertas Sungjae yang sudah ia balas pada pemiliknya. Sungjae menangkapnya dengan sigap dan tampak tak sabar untuk membalas balasan Jimin sebelumnya.

Oh! Aku sangat merindukanmu. Bahkan, karena rasa rindu ini, aku jadi sadar jika aku tidak bisa hidup tanpamu..

Jimin mengeryit horror setelah membuka rematan kertas yang kembali dilemparkan teman sekelasnya dan langsung menoleh kearah Sungjae yang melambai sok tampan kearahnya.

"menggelikan," desis Jimin bergidik ngeri.

Apa kepalamu baru saja terbentur sesuatu? Kau membuatku tak ingin mengakui bahwa kau temanku.

Jimin bisa melihat Sungjae yang terkikik geli membaca balasannya.

eyy~ jika kau tak mau mengakuiku sebagai temanku, jadi apakah kau mau mengakuiku sebagai kekasihmu?

Jimin meremat kertas yang dilempar Sungjae beberapa detik lalu dengan kedua tangannya. Wajahnya sudah memerah sementara Sungjae yang berusaha menahan tawanya yang siap pecah kapan saja.

"Bocah itu benar-benar harus diberi pelajaran," gumam Jimin kesal bukan main.

ENYAHLAH, DARI HIDUPKU YOOK SUNGJAE!

Jimin melempar kertas Sungjae dan mendarat mulus mengenai kepala siswa bermarga Yook itu. Sungjae memungut kertas yang jatuh ke lantai tanpa menyadari jika aktivitas surat-menyurat tadi sudah diperhatikan diam-diam oleh guru serta teman-teman sekelas mereka yang juga terkikik geli, merasa terhibur dengan tingkah si trouble maker bersama rekannya.

"Jadi, apa kau ingin keluar dari kelasku di hari pertamamu kembali, Park Jimin-ssi?" Jimin membulat horror begitu pula dengan Sungjae yang masih membungkuk mengambil kertas yang dilempar Jimin padanya. oh-tidak, suara Kang ssaem -guru sejarah- terdengar seperti bisa mencabut nyawa mereka kapan saja.

Jimin menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan menatap gurunya tak enak hati.

"Dan kau Yook Sungjae-ssi—" jedanya sejenak. "—tampaknya kau begitu senang melihat teman seperjuanganmu kembali sampai kau tak bisa bersabar untuk berulah sampai kelasku selesai." Sungjae menegakkan tubuhnya bersamaan dengan tawa kecil yang terdengar dari siswa-siswi di kelas mereka.

"Tidak begitu, songsaenim. Aku hanya ingin menyapa Park Jimin," jawab Sungjae takut-takut.

"Menyapanya?" tanya Kang ssaem dengan tangan kanannya yang menengadah di hadapan Sungjae bermaksud untuk meminta kertas yang masih dipegang oleh muridnya itu. "Berikan padaku," pintanya yang tentu saja dituruti dengan berat hati oleh Sungjae.

Kang ssaem membuka rematan kertas Sungjae bersamaan dengan Jimin yang menggigit bibir bawahnya gugup. Oh kenapa ia sudah mendapat masalah di hari pertamanya yang belum genap berlangsung selama 12 jam? Memalukan.

Kang ssaem berdehem. Tampaknya ia berniat untuk membacakan apa isi kalimat-kalimat yang ada di dalam kertas itu di depan kelas.

"Bukankah tidak masalah jika kita membaca surat cinta dari Yook Sungjae pada Park Jimin?" tanya Kang ssaem yang disoraki antusias oleh para siswanya yang juga penasaran dan yang pasti membutuhkan hiburan.

Jimin menarik nafas dan menoleh kearah Sungjae yang memasang cengiran tanpa dosa padanya.

"Mati kau setelah ini, Yook Sungjae!" geramnya tertahan.

.

.

.

Tak!

"yak! Park Jimin!" seru Sungjae tak terima kala dengan tak berperasaannya Jimin menjitak kepalanya. Kini, ia dan Jimin sudah berjalan keluar kelas setelah kelas Sejarah usai dan setelah mereka berdua dipermalukan oleh Kang ssaem di depan teman-teman sekelas mereka.

"Aku tidak menyangka punya teman sebodoh dirimu!" kesal Jimin. Sungjae masih sempatnya terkekeh.

"eyy~ aku tidak bermaksud mempermalukanmu. Lagi pula, aku sakit hati kau menolakku seperti itu." Jimin mengeryitkan keningnya jijik.

"heol! Jangan mengada-ada dan jangan bersikap seolah kau patah hati!"

"Aku memang patah hati."

"Yook Sungjae~" desis Jimin menyeramkan.

"arra arra, mianhae.. lagi pula, aku hanya ingin mengucapkan selamat datang padamu. Bukankah aku teman yang pengertian?"

Tak!

Untuk kedua kalinya, kepala Sungjae menjadi korban jitakan Jimin.

"Pengertian kepalamu!" gerutu Jimin berjalan meninggalkan Sungjae di koridor kelas mereka.

"yak! Park Jimin!" panggil Sungjae menarik tangan Jimin membuat langkah siswa si peringkat satu terhenti.

"wae?!" balas Jimin galak-galak.

"eyy~ jangan terlalu galak. Kau jadi tidak manis lagi!" goda Sungjae membuat Jimin kembali tergoda untuk menjitak kepala Sungjae untuk yang ketiga kalinya sebelum suara yang sama, yang mempermalukan mereka berdua sebelumnya kembali terdengar tiba-tiba.

"Masih belum puas untuk berbuat rusuh?" tanyanya membuat Jimin dan Sungjae menoleh dan membungkukkan badan mereka.

"ah~ annyeongasseo songsaenim" sapa Sungjae dan Jimin dengan wajah yang dibuat seramah mungkin.

"Apa kalian pikir, bisa lari dariku setelah mengacaukan kelasku?" tanyanya datar.

"Kami, tidak bermaksud untuk lari songsaenim…" Jimin membalas seraya tersenyum semanis mungkin membuat Kang ssaem ikut tersenyum, ini pertama kalinya ia melihat murid berprestasinya tidak memasang wajah datar nan dinginnya.

"Baguslah, kalau begitu. Sekarang ikut aku!" pinta Kang ssaem berjalan mendahului kedua murid nakalnya. Jimin mendengus sebal dan Sungjae masih sempatnya tertawa kecil. Oh, ini sungguh tidak elit, bukankah sangat memalukan jika ia sudah dihukum di hari pertamanya?

"Kau benar-benar dalam masalah Yook Sungjae!" geram Jimin kesal bukan main dengan teman sekelasnya sebelum berakhir membuntuti Kang ssaem yang entah akan membawanya kemana.

Sungjae menggelengkan kepalanya melihat tingkah teman sekelasnya yang begitu menggemaskan.

"woah~ tak heran jika banyak yang menyukaimu, Park Jimin." kagum Sungjae kemudian berjalan menyusul Jimin dan Kang ssaem yang sudah berada jauh disana.

Rasanya, Jimin ingin menenggelamkan tubuhnya di dalam perut bumi detik ini. Dan rasanya, Jimin ingin sekali mengutuk seseorang yang bernama Yook Sungjae. Karena sekarang ini, dengan senyum kemenangan yang muncul dari belah bibir tampan guru Sejarahnya, Kang ssaem tepatnya setelah mengatakan apa yang harus ia dan Sungjae lakukan sebagai hukuman akibat berbuat rusuh di kelas mereka tadi.

"ssaem, tidakkah kau memberikan dispensasi padaku?" melas Jimin yang diangguki pula dari Sungjae.

"nde, ssaem kasihanilah kami. Kami lapar, dan butuh makan si—aww!" Sungjae meringis kesakitan kala dengan teganya Jimin menginjak kaki kanan Sungjae dan menatap teman sekelasnya kelewat tajam.

"Maaf, tapi—aku tidak mengasihani orang yang suka berbuat rusuh. Dan untukmu, Park Jimin—" jeda Kang ssaem sejenak. "—perlu kuingatkan lagi jika kau bukan lagi siswa penerima beasiswa. Apalagi mengingat bagaimana pesan kakekmu kepada seluruh guru disini untuk mengawasi tingkah lakumu!" Jimin menunduk. ya, kepalanya tertunduk sebagai tanda penyesalan tapi tidak dengan wajahnya yang diam-diam tersenyum jahil mendengar peringatan Kang ssaem. 'oh, ini pasti akan menyenangkan.' batinnya.

"Jadi, bersihkan semua dinding kaca cafetaria ini. Ingat jangan kabur sampai bibi Kim menghampiri kalian." Kang ssaem mengingatkan sebelum benar-benar pergi meninggalkan mereka.

Jimin memijat pelipisnya pening dan Sungjae tanpa merasa bersalahnya mengambil peralatan pembersih kaca.

"Siap untuk bekerja, Park Jimin?" tawar Sungjae. Jimin tersenyum kecil.

"Apa ini caramu menyambutku?" tanya Jimin yang dibalas gelak tawa dari Sungjae.

"oh-tidak, aku ketahuan~" cengir Sungjae yang membuat Jimin membulat tak percaya.

"Yook Sungjae~" desisnya tertahan.

tbc


...

Hm... akhirnya bisa update bawa yang ke-2...

Uhm... terima kasih banyak buat semuanya yang udah baca One On The Way sampai chapter 27 kemarin, dan ini bonusnya buat kalian (semoga kalian belum bosan yak, hehe). Dan khusus untuk itu kalau misalnya ada saran, usulan, request dan lain sebagainya boleh tulis2 di kotak review atau pm aku...

Dan, ngomong-ngomong untuk panjang chapternya... tenang ini gak sepanjang jalan kenangan kemarin kok, kkkk...

Dan, juga jangan terkecoh sama sikapnya Jungkook ya, hehe... enggak bertahan lama kok, besok juga udah balik lagi sama sedengnya kek Jimin, apalagi si chimchim udah balik... So, siap nih buat ngikutin rusuhnya mereka? kkkk...

See you again...

and,

Kamsahamnida,-