Naruto by Masashi Kishimoto
One Piece by Eichiiro Oda
Highschool DxD by Ichie Isibumi
Genre : Friendship, Slice of life, Drama, Family, Coming-of age, Romance
(Cerita ini terinspirasi setelah melihat Violet Evergarden)
Summary : Dia yang dibesarkan sebagai alat untuk membunuh dan dikenal sebagai iblis dari padang pasir, dan dia yang tumbuh di daerah konflik dan besar di bawah salah satu mafia di Prancis kini mencoba untuk memulai kehidupan barunya. Mampukah dia beradaptasi di dunia yang benar-benar berbeda dengan dunianya dahulu?
Chapter 1 : Namaku Adalah
Shanghai, November 2012
Shanghai, sebuah kota megapolitan di negri tirai bambu. Kota ini merupakan kota terbesar di China dan juga kota terbesar ke delapan di dunia. Kota yang terkenal dengan ciri khas masakannya yang manis juga sungai Huangpu yang membelah kota Shanghai menjadi dua bagian. Tidak hanya itu, sungai ini juga terkenal dengan sungai yang tidak pernah membeku, padahal Shanghai merupakan kota yang secara astronomis terletak pada daerah sub-tropis yang berarti suhu menjadi sangat dingin dan turun salju pada musim dingin.
Pagi ini langit di kota Shanghai terlihat cukup cerah setelah semalam sempat turun salju yang cukup lebat, banyak orang yang terlihat mulai berlalu-lalang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari mereka, tidak mempedulikan hawa dingin yang masih terasa akibat salju yang turun tadi malam. Pemandangan serupa juga terlihat di dalam sebuah rumah sakit megah yang berada di kota ini, Shanghai Changhang Hospital. Rumah sakit ini mempunyai banyak faasilitas yang lengkap dan juga berbagai kelas kamar untuk melakukan rawat inap, mulai dari kelas tiga yang merupakan kelas biasa hingga kelas satu yang meruapakan kamar yang luas dengan kasur king size dan berbagai macam fasilitas unggulan lainnya. Di dalam salah satu ruangan kelas satu rumah sakit ini, terdapat sesosok remaja dengan surai berwarna raven dan memiliki model seperti pantat bebek yang melihat keramaian kota melalui jendela rumah sakit dengan menggunakan sebelah matanya. Ya, hanya sebelah mata, karena mata kiri remaja tersebut tampak dibalut perban putih yang melingkari dahinya dan belakang kepalanya.
tok... tok... tok... terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan.
"Yo! Ini aku, boleh aku masuk?" tanya seseorang yang berada di luar.
"Hn," gumam pelan remaja itu. Tentu saja gumaman itu tidak akan terdengar oleh orang yang kini sedang berada di luar ruangan.
Seakan mengerti kalau si penghuni ruangan mengijinkannya untuk masuk, orang tersebut langsung membuka pintu itu, lalu menutupnya kembali. Tamu tersebut terlihat memiliki perawakan pria dewasa dengan usia berada di sekitar akhir 30-an atau mungkin awal 40-an, pria tersebut mempunyai rambut yang cukup aneh dengan warna hitam yang mendominasi dan warna emas yang berada di poni rambut pria itu. Pria itu memperhatikan dengan cermat seorang remaja yang ingin dia temui yang kini sedang duduk termenung di ranjang besar sambil mengamati pemandangan melalui jendela, setelah puas memperhatikan, pria itupun memutuskan untuk menghampirinya.
"Bagaiamana keadaanmu? Apa kau sudah mulai terbiasa dengan pengelihatanmu? Maaf aku baru bisa mengunjungimu sekarang," tanya pria itu.
"..."
"Saya sudah hampir satu bulan di sini, dan selama itu saya juga sudah membiasakan dangan pengelihatan saya yang sekarang meskipun terkadang masih sedikit terganggu," ucap remaja itu setelah berpikir sejenak.
"Begitu ya, aku senang mendengarnya,"
"Iya, jadi saya sudah siap keluar dari rumah sakit ini dan kembali ke Paris untuk bertugas."
"..."
"..."
Terjadi keheningan di dalam ruangan itu. Sang remaja menatap tegas netra milik pria itu, seakan mengatakan kalau dia benar-benar serius dan yakin dengan ucapannya. Pria itu akhirnya menghembhuskan napas pelan, dia melihat langit-langit, seakan-akan mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan kepada remaja di depannya.
"Kali ini kau tidak akan kembali lagi ke Paris," ucap pria itu dengan nada rendah.
Remaja berambut raven itu sedikit mematung mendengar ucapan dari pria dewasa itu, dia menatap netra milik pria tersebut, berusaha meyakinkan dirinya kalau apa yang pria itu ucapkan adalah suatu kebohongan.
"Kenapa? Kenapa anda berkata demikian, Ketua Azazel?" tanya remaja tersebut dengan nada yang sedikit meninggi.
Pria dewasa yang kini diketahui bernama Azazel itupun menghela napasnya lagi. Dia seakan sudah tahu kalau remaja di depannya akan bereaksi demikian. Azazel sudah mengerti seperti apa reaksi remaja di depannya jika dia terus berterus terang mengenai alasan yang melarang remaja di depannya kembali lagi ke Paris, ke tempat remaja tersebut hidup dan bekerja sebelumnya. Meskipun Azazel sudah mengerti, dia tetap bingung bagiaimana dia harus menjelaskan semua ini padanya.
"Ketua Azazel, tolong beritahu saya. Apa karena saya telah kehilangan mata kiri saya lalu saya dianggap tidak lagi kompeten dalam bekerja? Kalau memang begitu, saya akan berlatih lebih keras lagi agar pimpinan percaya kalau saya masih mampu untuk bekerja, saya tidak akan melakukan kesalahan lagi saat bekerja. Selain itu...
Selain itu, bagaimana dengan kondisi tuan muda? Tuan muda baik-baik saja bukan?" tanya remaja tersebut sambil terengah-engah karena berteriak.
"..."
"Ma- maafkan saya karena sudah berani berteriak di hadapan anda, Ketua Azazel," ujar remaja itu lagi dengan nada yang lirih.
Sempat terkejut karena remaja yang selama ini dirinnya kenal sebagai remaja yang tenang, berkepala dingin, dan tidak pernah menunjukan emosinya kini justru berteriak di hadapannya. Jika dia kini berada di hari-hari biasanya, mungkin dia sudah menggoda remaja tersebut karena memperlihatkan sesuatu yang tidak pernah dia lihat. Namun, hari ini bukanlah hari yang biasa mereka lalui, Azazel tidak bisa bercanda untuk saat ini.
"Tidak, aku senang kau akhirnya menunjukan emosimu itu. Lalu, kau yang kehilangan mata kirimu bukanlah alasannya. Aku sangat yakin kalau kau mampu beradaptasi dengan cepat terhadap kondisimu saat ini," ujar Azazel yang merespon pertanyaan remaja tersbut.
"Emosi? Saya tidak mengerti akan hal itu tapi, jika memang bukan karena itu, lalu apa alasannya? Maafkan saya karena telah lancang ketua tapi, tolong jawab terlebih dahulu pertanyaan saya tentang keadaan tuan muda," jawab remaja itu sambil menatap lurus ke arah Azazel.
"..." Azazel terdiam, dia benar-benar tidak tahu harus bagiamana menjelaskan ke remaja ini.
"Tuan muda Sanji selamat, dia baik-baik saja. Sekarang dia sedang berada di tempat yang jauh untuk menenangkan diri, dia sengaja ditempatkan ke tempat yang jauh sendirian untuk melindunginya dari konflik yang mungkin akan terjadi antara keluarga Vinsmoke dengan Charlotte. Lalu, alasan tentang kau tidak lagi kembali ke Paris adalah karena permintaan dari tuan muda Sanji sendiri, permintaan terkahir sebelum dia pergi jauh,"
"Permintaan terakhir? Apa itu semacam perintah dari tuan muda Sanji?"
'Aku tidak tega berkata seperti ini tapi, dia terlalu polos untuk menerima kenyataannya,' gumam Azazel dalam hati.
"Ya, ini adalah perintah dari tuan muda Sanji!" ucap Azazel dengan tegas.
"..."
"Baiklah, saya mengerti,"
'Seperti biasa, dia menerima setiap perintah tanpa ragu. Aku bersyukur selama ini tidak ada perintah kepadanya untuk melakukan misi bunuh diri,' ucap Azazel dalam hati yang miris melihat keadaan mental remaja di depannya.
"Karena kau sudah tidak akan lagi kembali ke Paris, aku memutuskan untuk mengirimmu ke tempat lain," ucap Azazel
"Tempat lain? Apa saya akan melayani orang lain lagi?"
"Apa ini seperti saat keluarga Vinsmoke membeli saya secara ilegal dari militer Irak?" Remaja itu memberondong Azazel dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut sambil memasang wajah datarnya.
"Tentu saja tidak. Bukan hal mengerikan semacam itu yang aku maksud!" kini giliran Azazel yang berteriak.
"Maafkan Saya," balas remaja dengan cepat.
Azazel, dia tidak mengerti bagaimana menjelaskan maksudnya kepada remaja di hadapannya ini. Remaja ini sering salah menangkap maksud yang diucpakan baik olehnya, ataupun oleh tuan muda yang tadi sempat mereka perbincangkan. Apa dia marah? Tidak, Azazel sama sekali tidak marah dengan sikap remaja ini, dia mengerti kenapa remaja ini bersikap seperti itu. Seorang yatim piatu yang tumbuh di daerah konflik, dipungut oleh seorang petinggi militer Irak karena bakatnya yang luar biasa sudah terlihat sejak dia masih berusia sekitar 9 tahun, dididik dalam militer s ejak usia dini, dijadikan mesin pembunuh untuk menambah kekuatan militer Irak dalam perang teluk ke dua, dan berakhir menjadi kaki tangan keluarga Vinsmoke yang merupakan salah satu keluarga mafia di Prancis. Hal itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan alasan tentang sikap remaja di hadapannya ini.
Azazel sangat ingin membuat remaja ini menjadi remaja yang normal pada umumnya, hal itu juga merupakan salah satu keinginan dari tuan mudanya. Dia menginginkan remaja itu hidup normal bukan semata karena keinginan tuan mudanya, tapi karena memang Azazel benar-benar menginginkan hal itu juga di dalam hatinya. Meskipun begitu, Azazel merasa tidak tahu harus bagaimana, dia hanya mempunyai sedikit pilihan. Dia merasa membawanya ke psikiater bukan langkah yang tepat, dia tidak bisa mempercayakan remaja ini begitu saja ke orang lain mengingat bakat yang remaja itu miliki. Ya, Azazel tidak mempunyai pilihan lain lagi.
"Huuuhhh," Azazel menghela napas panjang.
"Tidak, kau tidak salah. Aku akan mengurus sisa-sisa keperluan yang akan digunakan untuk kepindahanmu. Bersiap-siaplah, kita akan berangkat besok siang menggunakan pesawat terbang," Azazel memberi penjelasan kepada remaja tersebut.
"Saya mengerti!" balas remaja itu.
"..."
"..."
"..."
"Apa ada yang ingin kau tanyakan?"
"Maafkan saya tapi, bolehkah saya mengetahui tempat yang akan saya tinggali selanjutnya?" tanya remaja itu dengan nada yang sopan.
"Jepang, kau akan pindah ke Jepang."
"Jepang...
"Itu adalah negara tempat nyonya Sora berasal kan? Tuan muda Sanji dan nona Reiju juga sangat menyukai negara itu," respon remaja itu.
"..."
"Jika tidak ada hal yang ingin kau tanyakan lagi, maka aku akan pergi dulu," ucap Azazel sambil berjalan menuju pintu lalu keluar meninggalkan remaja itu sendirian di dalam ruangannya.
'Jepang ya...'
Sekelebat ingatan masa lalu menghampiri remaja itu, ingatan saat dia baru saja tiba di kediaman Vinsmoke, ingatan saat dia pertama kali bertemu dengan tuan mudanya, ingatan berharga yang tidak mungkin dia lupakan.
Di sebuah rumah yang begitu megah dan indah, rumah besar dengan arsitektur khas zaman Eropa pada abad pertengahan, rumah dengan air mancur besar di halaman depan, dan taman asri yang mengeliling air mancur tersebut, serta terdapat sebuah jalan yang berada di gerbang masuk rumah, jalan yang menuntun kendaraan untuk masuk ke rumah tersebut dan terus berlanjut hingga akhirnya jalan itu menuntun kembali ke gerbang keluar yang akan menuju ke jalan raya. Di suatu sudut rumah itu, atau lebih tepatnya di halaman belakang yang tidak kalah asri dari taman di depan rumah, terdapat dua orang anak yang berusia sekitar 15 tahun. Satu anak mempunyai rambut pendek khas potongan militer dengan warna raven, dan satu lagi mempunyai rambut lurus panjang menutupi sebelah matanya dengan rambut berwarna pirang serta alis keriting yang cukup lucu.
"Wow hebat, kau bukan hanya mempunyai akurasi yang tinggi saat melempar pisau tapi, kau juga sangat cepat karena bisa menyamai catatan waktuku dalam berlari!" puji anak pirang tersebut dengan tulus.
"Terimakasih atas pujiannya, tuan muda," balas anak raven.
"Aku suka mendapat pengawal yang seusia denganku tapi, bukannya anak seusia kita lebih baik kalau bermain sambil menikmati masa muda?" tanya anak berambut pirang.
"Bermain? Masa muda? Maafkan saya, tapi saya tidak mengerti," ujar anak berambut raven dengan wajah datarnya.
"..."
"..."
Anak berambut pirang tersebut memandang aneh anak yang sedang menjadi lawan bicaranya. Tidak, dia tidak sedang memikirkan hal-hal yang negatif atau semacamnya tentang anak itu. Sebagai pewaris sealnjutnya dari keluarga Vinsmoke, dia sangat paham alasan kenapa anak itu berkata demikian.
"Ah, ngomong-ngomong namaku Sanji. Ayah sudah mengenalkanku saat di ruangannya tadi tapi, dia tidak mengenalkan namamu. Jadi, namamu siapa?" tanya anak bernama Sanji tersebut yang berusaha memulai pemebicaraan kembali.
"Nama?"
"Ya,"
"Apa itu?"
"Hah? Uhmmm, itu adalah cara bagaimana orang lain memanggilmu,"
"Saya tidak yakin tapi, orang-orang di tempat saya berasal menyebut saya dengan sebutan iblis gurun pasir"
Dia, Sanji terdiam mendengar apa yang diucapkan oleh anak itu. Dia tidak habis pikir seperti apa kehidupan yang telah dilewati oleh anak yang seusia dengannya itu.
"Kau tahu, iblis gurun pasir bukanlah sesuatu yang bisa disebut sebagai nama," ucap Sanji dengan lirih.
"Maafkan saya," balas anak itu.
"..."
"Bagaimana kalau kau kuberi nama?"
"Memberi saya nama?"
"Ya, apa kau mau?"
"Saya tidak masalah selama itu tidak memberatkan anda, tuan muda,"
"Tentu saja tidak,"
Keduanya terdiam untuk beberapa saat, terik matahari dan suara anggota-anggota yang bekerja di bawah keluarga Vinsmoke menemani kegiatan mereka saat ini. Sanji terus berpikir tentang nama apa yang cocok untuk anak ini, sedangkan anak yang satunya dengan senan tiasa menunggu tuan mudanya dengan tenang untuk memberikannya sebuah nama, sesuatu yang selama ini tidak dia miliki.
"Ah aku tahu!" ucap tiba-tiba Sanji sekaligus mengalihkan perhatian anak di depannya.
"Bagaimana kalau Sasuke?" lanjut Sanji.
"Sasuke?" beo anak itu.
"ya, Sasuke! Dia adalah salah satu cerita rakyat dari Jepang, negara tempat ibuku berasal. Kau tahu? Sasuke adalah seorang ninja legendaris, jadi itu sangat cocok untukmu yang sangat hebat saat melempar pisau dan cepat saat berlari!" jelas Sanji dengan semangat.
"Sasuke, ya?" gumam anak itu lagi.
"Bagaimana? Apa kau suka?" tanya Sanji
"Selama tuan muda tidak masalah, saya juga demikian," balasnya.
"Baiklah, kalau begitu aku akan pergi ke tempat Ayah untuk memberi tahu namamu yang baru!" ucap Sanji lalu berjalan pergi.
'Aku memberikannya sebuah nama, bukannya ini terdengar seperti aku adalah seorang kakak baginya? Hahaha!' ucap Sanji senang dalam hati.
Anak berambut raven itu, dia memandangi punggung Sanji yang terus menjauh meninggalkannya. Banyak hal yang ingin dia tanyakan ke tuan mudanya itu tapi, dia tidak bisa menanyakannya karena dia tahu hal itu bukanlah pekerjaannya. Dia tidak tahu kenapa dia begitu ingin bertanya, tapi ada satu hal yang benar-benar dia sedang rasakan saat ini namun, dia tidak mengerti kenapa dia merasakan hal ini.
'Perasaan ini...
'hangat,' ucap remaja itu di dalam hati, sambil memegang dada kirinya.
"Hei kau, anak baru! Apa yang kau lakukan di sini?"
sebuah suara bariton membuyarkan lamunannya, dia pun menoleh ke belakang untuk melihat siapa orang yang memanggilnya. Di sana terlihat sebuah tubuh besar dan gempal dengan tatapan tajam yang akan membuat takut banyak orang yang melihatnya. Tidak untuknya, dia yang sudah hidup dalam peperangan sudah terbiasa melihat tatapan semacam itu, bahkan dia sudah berkalli-kali melihat pemandangan yang jauh lebih mengerikankan dari pada tatapan milik orang di depannya itu.
"Aku tahu kalau kau adalah anak baru tapi, jangan bermalas-malasan dan segera pahami apa yang menjadi tugasmu!"
"Saya mengerti,"
"Selain itu, siapa namamu?"
"Nama saya adalah...
'namaku... aku mempunyai sebuah nama,'
"nama saya adalah Sasuke!" anak itu, Sasuke, dia menjawabnya dengan nada dan sorot mata yang tegas, sangat mencerminkan terhadap berbagai macam hal yang selama ini sudah dia lalui.
Bersambung
Author Note : Ini adalah cerita pertama yang aku upload di ffn. Semoga terhibur dan mohon kritsarnya untuk membantu saya lebih berkembang lagi. Terimakasih
