Hey guys, it's me, Stu. aku datang lagi untuk memublikasi ulang cerita ini. Dan aku mengubah judul serta pair-nya hihi

Well, happy reading~

Cast:

Byun Baekhyun

Oh Sehun

Park Chanyeol

Xi Luhan

Kris Wu/Wu Yifan

etc.

Pemeran lainnya akan muncul seiring berjalannya cerita :)

.

.

.

Seorang wanita berjalan dengan menghentak kakinya menyusuri ruang tamu yang megah bak seorang ratu yang berkuasaia memang ratu, namun dalam situasi yang lain. Seulas senyuman angkuh tersemat di bibirnya saat matanya menangkap presensi sepasang suami-istri yang ia kenal.

Ia hanya menggeleng pelan, tahu bahwa keadaan seperti sekarang pastilah datang. Ada rasa bangga yang membumbung dalam dirinya, seakan ia sudah menunggu sekian lama untuk ini.

"Nyonya Oh" suara sang istri bergetar saat menyebut nama wanita di depannya, seolah semua hal telah di ambang keputusasaan.

Si wanitaNyonya Oh melebarkan senyumannya dan duduk di sebuah kursi dengan sandaran tinggi bak kursi ratu, sementara kedua tamunya ia biarkan besimpuh di hadapannya tanpa berniat untuk mempersilakan mereka untuk duduk di kursi sepertinya. "Kupikir kesukseksan kalian tidak akan membawa kalian padaku, teman."

"Tolong aku, kumohon. Aku tidak tahu harus kemana lagi, anakkuanakku haruslah sembuh, Haneul-ah. Ia adalah anakku satu-satunya, kumohon…." Kini sang suami yang menatapnya penuh harap.

Nyonya Oh menyipitkan mata, menatap seorang bayi mungil yang sedang terlelap. Sejujurnya, Nyonya Oh tidak suka bermain-main dengan nyawa orang, apalagi dengan seorang bayi, mengingat ia sendiri memiliki seorang bayi lelaki yang berumur lima bulan. Tapi yang namanya keadaan, tidak ada yang tahu bukan?

"Hei Byun Gaebum, aku sudah bilang tidak suka bermain dengan nyawa anak-anak, bukan? Kau membuatku semakin terlihat kejam di mata istrimu, lihat bagaimana istrimu bersimpuh seperti itu sedangkan kau menatapku dengan penuh harap. Apa yang kau pikirkan sampai kau menemuiku seperti ini? Bukankah kau tahu bahwa aku selalu melakukan hal seperti ini dengan"

"Dengan sebuah imbalan. Aku tahu itu Han, aku tahu betul bagaimana kau hidup. Kumohon tolonglah kami, dan aku akan" kalimat Byun Gaebumsang suamiterputus karena keraguan yang besar menahannya. Ini adalah keputusan terakhir setelah apa yang ia buang selama ini, dan istrinya tidak bisa mengelak apa-apa lagi.

"Aku akan memberikan bayi ini saat ia sudah beranjak dewasa," lanjutnya dengan guratan penuh harapan.

Nyonya Oh memijat-mijat pelipisnya yang berkedut, tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. "Kau menjual anakmu padaku? Apa kau sadar apa yang kau lakukan sekarang?"

Suara nyonya Oh meninggi, membuat sang bayi mulai merengek. Suara lembut itu menggema di ruang tamu yang megah, membangunkan sisi keibuan nyonya Oh yang beberapa waktu lalu disembunyikannya.

"Hanya ini yang bisa menyelamatkan anakku, Han. Kumohon, kebodohanku membuatku tertipu berkali-kali, dan anakku harus sembuh. Kami sudah melakukan berbagai cara untuk menyembuhkannya," Byun Gaebum, mulai menyentuh tangan dingin nyonya Oh, menatap ke dalam mata wanita yang ia kenal sedari dulu.

Keraguan kini melanda nyonya Oh, ini bukanlah perjanjian antar perusahaan atau persahabatan yang ia harapkan. Ia pikir lelaki di depannya ini hanya akan meminjam uang dan akan membentuk relasi perusahaan. Tapi yang ia dapatkan adalah perjanjian haram yang bahkan ia benci. Menjual anak, ia sangat benci hal itu.

"Anak ini mewarisi dua perusahaan kakeknya." Sang istri berkata sedang tangannya yang bergetar memeluk erat sang bayi. "Kakalau ia sembuh, ia akan mewarisi dua perusahaan milik kakeknya. Karena ia sakit jadijadi keluargaku meragukannya,"

"Ya! YA! Haneul, bukannya kau ingin membentuk relasi perusahaan? Jika kau menyelamatkan anakku, maka kau akan mendapatkan dua perusahaan itu tanpa bertele-tele. Hanya dengan kau menyelamatkan anakku dan meminjamkanku modal, maka kau akan mendapatkan yang lebih!"

Sial! Umpatnya dalam hati. Nyonya Oh tidak menyangka bahwa bayi itu sangat susah untuk dipertimbangkan. Ia bukan seorang ibu biasa, ia adalah penguasaistri dari presdir yang dibanggakan atas kecerdikannya dalam membentuk relasi perusahaan.

Ia bisa saja mengatakan tidak atas dasar kemanusiaan, tapi ia tidak bisa mengelak bahwa rasa hausnya akan kekuasaan lebih besar dari itu. Kalau seperti ini, mana bisa ia menjadi munafik?

"Siapa nama anakmu?" katanya kemudian.

.

.

.

Don't forget to leave a review, readers