Tales of the Steel Flower Princess
[Halo, Readers sekalian. Saya Kaien-Aerknard dan saya adalah author baru untuk fanfiction kategori Dynasty Warriors. Ini adalah fanfict Dynasty Warriors pertama milik saya. Di sini, saya akan memakai OC perempuan saya sebagai karakter utamanya, juga dengan Zhao Yun yang sama-sama akan menjadi karakter utamanya. ^^ Mungkin saya akan membuat cerita ini OC x Zhao Yun ^^ hehehe...
OC saya itu perempuan berambut hitam panjang, warna bola matanya coklat. Karena cerita awalnya ia masih kecil, jadi sekian dulu penjelasannya. Untuk setting tempat chapter pertama ini, ada di sebuah padang rumput.
Oh iya, Readers, jika kalian menemukan kesalahan bahasa di dalam cerita ini, kalian bisa mengkomentar melalui Review atau PM ke saya ^^ Kesalahan bahasa di sini maksudnya seperti kekurangan huruf/kata, bahasa yang terlalu kasar dan sebagainya. Saya berharap kalian menikmati ceritanya!
Eh iya, saya hampir lupa memberi tau, OC saya berusia 6 tahun dan ceritanya bermula dari pada saat Zhao Yun berusia 8 tahun. Baiklah, mungkin cukup sekian introduksi dari saya. Selamat menikmati ceritanya dan jangan lupa RnR ya! XD]
No..not again...aku hampir lupa taruh disclaimernya... #Facepalm
Disclaimer: Ingat! I don't own the Dynasty Warriors! I just own the OC and the storyline!
Warning: Some events might be not the same as the real history!
Title: Tales of the Steel Flower Princess
Genre: Adventure, Friendship, Humor (mungkin), Romance (mungkin), Hurt/Comfort. Sementara ini saja.
Rate: T sejak chapter 8.
Author: Kaien-Aerknard
Chapter 1: Just... Where Am I?
[? P.O.V]
"Hei! Bangun!"
Aku mendengar seseorang berteriak dan mengoyangkan badanku beberapa kali.
"Hei!" Kembali ia berteriak dan sekali lagi ia goncangkan badanku.
Aku membuka kedua mataku pelan-pelan dan melihat seorang anak laki-laki berambut hitam yang diikat ekor kuda sedang berjongkok di sebelahku. Dia menghela nafas lega dan tersenyum padaku.
"Akhirnya kau sadar juga! Aku sudah panik setengah mati ketika aku memanggilmu sampai kuguncangkan badanmu. kau juga masih tidak bergerak dan sempat berpikir bahwa kau sudah mati!" Dia menjelaskan.
Aku duduk di atas rerumputan, melihat wajah laki-laki yang berusia kurang lebih delapan tahun itu sambil memiringkan sedikit kepalaku dan memandangnya dengan ekspresi bingung yang terlukis di wajahku. Aku melihat ke arah kananku dan ada sebuah hamparan ladang gandum berada tidak jauh dari tempat kami berada sekarang. Kulihat ke kiri dan melihat pepohonan dengan daun-daunnya yang bergoyang akibat hembusan angin. Aku melihat ke atas dan menemukan beberapa awan putih melintasi langit yang biru dan cerah.
"Dimana ini?" Aku bertanya. Mataku masih melihat langit biru yang membentang luas.
Anak itu tertawa. "Kau berada di Changshan." balasnya.
Kualihkan pandanganku kepadanya "Chang... shan..?" Aku bertanya kembali dan sekarang aku merasa sedikit pusing.
"Ya." Ia mengangguk.
"Bagaimana aku bisa berada di sini?" Aku bertanya dengan kebingungan.
"Bagaimana aku bisa tau." Ia mengangkat bahunya sedikit.
Keadaan menjadi hening beberapa saat. Sebuah angin berhembus lembut dan rambut kami yang sama-sama panjang melambai-lambai mengikuti hembusan angin.
"Jadi, siapa namamu?" Pertanyaan anak itu memecahkan keheningan itu. Sekarang ia duduk di sampingku.
"Margaku Yang dan namaku adalah Xu Yin , salam kenal." Aku melemparkan senyum padanya.
"Xu Yin, hmm... nama yang bagus." Ia tertawa kecil.
"Namamu?"
"Margaku Zhao dan namaku Zilong tapi kau bisa memanggilku Zhao Yun ." Ia lalu melihat diriku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. "Er..Xu Yin, kenapa kau memakai pakaian yang aneh dan terbuka itu?" Jarinya menunjuk bajuku.
Ya memang, saat ini aku sedang mengenakan baju t-shirt berlengan pendek berwarna merah dengan motif bintang perak di bagian saku bajunya, celana jeans biru panjang dan sepasang sepatu hitam. Tapi bukankah seharusnya orang desapun mengetahui pakaian jenis ini? Ah, mungkin desa ini desa yang cukup terpencil sehingga tidak tau tentang baju-baju seperti ini dan menganggap baju-baju ini aneh.
"Ini adalah model baju yang biasa aku pakai."
"Hah?" Ia menunjukkan ekspresi bingungnya. "Tapi... pakaian seperti itu tidak sopan." Ia mengingatkan.
Kali ini aku yang memandangnya dari ujung kepalanya sampai ujung kakinya. Ia menggunakan baju terusan yang seperti kimono berwarna biru kusam, berlengan panjang dan lebar juga ikat pinggang dari kain yang ia lilitkan disekeliling pinggangnya untuk menahan agar bajunya tidak terbuka. Ia memakai sepasang sandal rotan sebagai alas kakinya. Yah... begitulah pakaian orang di desa tapi... masa pakaian seperti ini masih dipakai?
"Kau bajunya juga aneh." Aku berkata sambil menunjuk bajunya itu.
"Hush! Justru bajumu itu yang aneh!" Katanya sambil menghela nafas.
Suasana kembali menjadi sunyi nan damai. Kami berdua duduk sambil menikmati pemandangan ladang gandum yang bagai permadani emas yang luas membentang sejauh mata memandang. Tangkai-tangkai gandum itu bergoyang seiring dengan hembusan angin yang bertiup dengan lembut, membuat pemandangan semakin indah. Mataku menangkap sebuah ember kayu yang berada di sebelah Zhao Yun.
"Ember milik siapa itu?"
Ia menengok ke arah ember yang berada di sebelahnya. "Oh iya, aku hampir saja lupa. Aku harus membawa ember ini pulang ke rumah." Ia lalu bangun, menepuk bajunya untuk membersihkannya dari debu dan mengangkat ember itu. "Mau mampir ke rumahku?"
"Umm... tapi aku harus pulang."
"Memangnya rumahmu dimana?"
"Di Beijing."
"Beijing? Aku tidak pernah mendengar nama tempat seperti itu." Ia berkata sambil menggelengkan kepalanya.
"Hah? Masa kau tidak tau?!" Aku terkejut mendengarnya. "Beijing loh! Ibukota negara kita yang berada di utara! Masa kau tak tau?"
Ia mengangguk. "Sungguh, aku tidak tau pernah mendengar nama tempat seperti itu." Balasnya. "Bukannya ibukota kita itu Luoyang?"
Aku diam sejenak. "Baiklah, lebih baik jangan dipikirkan lagi. Nanti stress." Aku berkata sambil tertawa kecil.
"Katamu tempat itu ada di daerah utara kan? Berarti pasti jauh dari sini." Ia membalas.
"Begitulah, Yun-Yun!"
Kali ini pipinya terlihat sedikit memerah. "Tolong jangan panggil aku dengan nama seperti itu."
"Oh... hao a, Yun-Yun!" Aku membalas dengan kedipan dan jari 'peace'.
Ia memukul pelan dahinya dan menghela nafas. "Kalau gitu aku panggil kau Xu-Xu."
"Baiklah, Yun-Yun!"
"Hah... dasar. Ayo, tidak mungkin aku mengantarkanmu pulang ke rumahmu yang berada di utara itu. Terlalu jauh dan bisa memakan waktu lebih dari dua minggu." Ia lalu berjalan ke arah rumahnya.
Aku berpikir sebentar. Memang kalau tempat ini benar adalah Changshan, jaraknya sangat jauh dari Beijing. Kurasa tidak ada pilihan lain selain mengikuti Zhao Yun ke rumahnya. Aku mengikuti Zhao Yun yang sudah beberapa meter di depan. Perjalanan ini memakan kurang lebih satu jam tetapi terasa seperti hanya 15 menit karena percakapan kami yang membuat kami tidak sadar bahwa sekarang kami hanya beberapa belas meter dari rumahnya. Rumahnya terbuat dari kayu dan atapnya dari jerami. Aku bisa melihat segaris tipis asap yang datang dari belakang rumah. Zhao Yun berteriak "Aku pulang!" sembari kami berdua masuk ke dalam rumahnya. Seorang wanita berusia sekitar 34 tahun keluar dari sebuah ruangan yang kuduga adalah dapur rumah ini. Ia langsung menyapa Zhao Yun dan memeluknya. Terlihat wajahnya sedikit memerah. Mungkin ia malu karena ia dipeluk oleh ibunya di hadapan seseorang yang tidak lain adalah diriku sendiri. Wanita itu melepaskan pelukannya dan melihatku dengan sebuah senyuman hangat di wajahnya.
"Ma, perkenalkan. Ini teman baruku, Xu Yin." Ia berkata sambil menunjukku.
"Margaku Yang dan namaku Xu Yin seperti yang Yun-Yun katakan." Aku tersenyum sambil membungkuk sedikit.
"Oh, teman baru Yun, ya? Wah... selamat datang." Ia membalas dengan senyuman dan ia melihat Zhao Yun yang berdiri di sebelahnya. "Dan kau mendapatkan nama baru yang lucu dari temanmu ini, Yun."
"Ma... jangan panggil aku dengan nama yang ia berikan padaku." Ia memalingkan wajahnya sambil mengembungkan pipinya.
Harus kuakui, perbuatannya itu membuatnya tampak sangat lucu. Ibunya tertawa kecil lalu mengelus rambut anaknya itu.
"Kalau begitu aku taruh dulu ember ini di dapur." Ia berjalan ke dalam dapur dan keluar beberapa saat kemudian. Hari sudah sore sekarang.
Matahari mulai terbenam menuju horizon dan langit mulai berubah warna menjadi oranye. Kicauan burung terdengar dan burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Ibu Zhao mengundangku untuk makan malam bersama mereka dan saat aku ingin menolaknya, perutku mengeluarkan suara keroncongan yang cukup kencang. Terjadi keheningan untuk beberapa saat sebelum akhirnya suara tawa Zhao Yun memecahkan suasana yang hening itu. Aku menunduk malu sambil menggaruk kepalaku. Ia lalu menepuk bahu kananku.
"Lihat? Bahkan perutmu saja sudah menggertu seperti itu." Ia meledekku dan masih tertawa.
Aku menjitak dahinya dan tertawa bersamanya. Ibu Zhao kembali ke dapur dan membawa makanan keluar yang kemudian ia letakan diatas meja kayu bundar yang berada di tengah ruangan. Kemduian, kami duduk di atas tikar yang melapisi lantai err... mungkin lebih tepatnya tanah.
Kami lalu mengambil sumpit kami dan mulai makan. Aku makan dengan sangat lahap bagai orang yang tidak makan selama sehari. Memang ini bukanlah cara makan yang biasa kulakukan di rumah tapi karena aku sudah lapar sekali, ya sudahlah... aku bisa melihat senyuman hangat dari Ibu Zhao yang mengingatkanku pada senyuman ibuku. Setelah kami selesai, kami bertiga mulai bercakap-cakap.
"Jadi, Xu Yin, kau datang darimana?" Ibu Zhao bertanya.
"Aku datang dari Beijing." Aku membalas sambil meletakan sumpitku diatas mangkuk kayu kecil yang kupakai.
Ia memberikan reaksi yang sama seperti Zhao Yun saat ia mendengar kata 'Beijing'. Ia mengernyitkan alisnya. "Beijing?"
"Uh'huh." Aku mengangguk sekali. "Itu adalah sebuah kota besar yang berada di bagian utara negara kita. Tapi lebih baik jangan terlalu banyak dipikirkan." Aku membalas dengan senyuman.
"Oh iya, Xu-Xu." Zhao Yun memanggilku. "Aku ingin bertanya sesuatu padamu. Kenapa tadi kau berada di padang rumput dalam kondisi tak sadarkan diri?" Ia bertanya.
"Aku... aku tak tau juga...," Aku mencoba berpikir kenapa aku bisa disini, di Changshan.
"Oh..."
Sekarang sudah malam tetapi aku tidak tau pastinya jam berapa karena tidak ada jam dinding dan aku tidak memakai jam arlojiku sehingga aku tidak bisa mengetahui jam berapa sekarang. Ibu Zhao membereskan mangkuk-mangkuk yang tadi dipakai untuk makan malam. Aku duduk sambil menghadap jendela, melihat dewi malam bersinar dengan terang di langit yang hitam gelap yang dipenuh bintang-bintang.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi padaku? Kenapa aku bisa sampai di Changshan?" Aku bergumam dalam hati.
Aku kembali mencoba mengingat peristiwa yang terjadi beberapa waktu yang lalu. "Aku, Ayah dan Ibu sedang dalam perjalanan menuju Gugong dan... mobil kami menabrak tiang listrik karena berusaha menghindari seorang pejalan kaki yang kebetulan sedang menyebrang. Setelah itu, aku tidak sadarkan diri dan begitu aku sadar, aku menemukan diriku diatas padang rumput tadi dan Yun-Yun di sebelahku. Lalu ia berkata aku berada di Changshan... tapi... kenapa bisa begitu ya?" Batinku. Aku hanya menghela nafas sambil terus menatapi rembulan yang bersinar di langit malam.
"Hei." Zhao Yun tiba-tiba saja menepuk bahu kananku dan duduk di sebelahku. "Kau sepertinya sedang memikirkan sesuatu."
"Aku tidak sedang memikirkan apapun." Aku membalasnya sambil tersenyum.
Zhao Yun hanya diam saja. Matanya terus menatapku seakan-akan seperti mengatakan 'Aku tau kau berbohong'. Karena ditatap seperti itu terus-menerus, akhirnya aku merasa tidak enak dan langsung memalingkan wajahku. Suara jangkrik semakin nyaring dan kencang. Angin berhembus dengan pelan dan suara desiran angin bisa terdengar.
"Xu Yin." Ibu Zhao yang baru keluar dari dapur memanggilku. "Hari sudah malam. Bagaimana kalau kau menginap di sini?" Ia bertanya sambil sambil berjalan ke arah kami.
"Umm... baiklah." Aku mengangguk. "Maaf jadi merepotkan kalian."
"Tidak apa-apa. Kami senang ada yang mau main di rumah kami yang sederhana ini bukankah begitu, Zhao Yun?" Ia mengelus rambut Zhao Yun dengan lembut.
"Begitulah." Ia menatap Ibunya yang senyum lebar muncul di wajahnya.
"Terima kasih, Ibu Zhao, Yun-Yun." Aku membungkuk sekali.
Akhirnya aku harus menginap di rumah Zhao Yun karena aku tidak tau jalan pulang. Aku hanya berharap orang tuaku datang dan menjemputku pulang.
To Be Continued...
K.A: Jadi bagaimana untuk chapter 1-nya? Apakah kurang memuaskan untuk para readers sekalian? Silahkan di RnR ya ^^
More 'bout Xu Yin:
Xu Yin memang asalnya dari Beijing dan dari sini saja Anda pasti sudah bisa mengetahuinya bahwa ia adalah anak dari masa depan. Sayangnya, ia sama sekali tidak pernah mendengar tentang [Three Kingdoms] atau [Sanguo] jadi ia mengira ia masih berada di zamannya yaitu tahun ini (jadi dia lahir tahun 2006). Tinggi Xu Yin sekitar 1 meter, panjang rambutnya sekitar 20 cm. Stay tuned on the story if you wanted to know more about this girl and her journey!
~Finishing Notes~
1. Kota Terlarang, lebih dikenal sebagai Forbidden City dalam bahasa inggris atau Gugong dalam bahasa mandarin, adalah sebuah kompleks istana yang dibangun pada zaman dinasti Ming. Tempat ini adalah salah satu daerah wisata terpopuler selain Wan Li Chang Cheng, Ming Shi San Ling, Beihai Park, Yuan Ming Yuan dan Summer Palace. Biasanya kita masuk melewati 3 gerbang yang ada di bagian selatan istana. Ada 3 gerbang yaitu Tian An Men yang merupakan gerbang pertama dan kalau masuk ini masih gratis (promosi? hahaha), Gerbang kedua kalau tidak salah bernama Duanwu Men (kalau mau masuk lebih dalam, di sini harus beli tiket dulu) dan yang ketiga adalah Wu Men (tidak perlu beli tiket lagi). Tian An Men digunakan oleh si Kaisar untuk mengumumkan peraturan baru. Wu Men memiliki fungsi seperti pengadilan sekaligus tempat eksekusi karena jika si Kaisar berkata bahwa tersangka ini harus dihukum mati, tidak ada seorang pun yang boleh meminta keringanan hukuman untuknya karena hukum yang dijatuhkan sudah pasti dan si tersangka dihukum di Wu Men itu. Maaf saya tidak terlalu ingat nama gerbang kedua. Jika ada yang mengingat tentang gerbang kedua ataupun mendapatkan kesalahan informasi tentang Gugong di notes ini, silahkan review atau pm saya.
2. Mari kita berkeliling Beijing sejenak. Ya, saya sudah memperkenalkan Gugong sekarang kita maju ke Wan Li Chang Cheng. Great Wall ini pertama dibangung pada zaman kaisar pertama China - Shi Huang Di. Tembok ini dibangun untuk menghalangi serangan bangsa Hun di utara. Kalau kalian melihat Great Wall ini, setiap beberapa ratus meter terdapat sebuah bangunan, ya kan? Nah, bangunan ini berfungsi sebagai menara api untuk memperingatkan kalau-kalau ada musuh yang menyerang. Kalau di siang hari, mereka membakar kotoran serigala dan kalau di malam hari, mereka menggunakan api. Tembok ini adalah mahakarya manusia sebelum abad masehi dan katanya bisa dilihat dari bulan, hebat bukan?
3. Ming Shi San Ling - Makam 13 Kaisar Ming tidak terlalu jauh dari Wan Li Chang Cheng. Ada 13 Kaisar Ming yang dikuburkan di kompleks pemakaman bawah tanah ini. Yap, 13 tetapi kalau tidak salah ingat, semua makamnya ini replika. Kenapa replika? Karena yang asli sudah dibakar pada saat terjadi pemberontakan Li Zicheng. Sungguh sangat disayangkan. Tetapi replikanya ini dibuat semirip mungkin sehingga suasana makamnya tetap terjaga kok. Dan saat kalian hendak keluar dari makam, jangan lupa tepuk seluruh badan kalian dan melangkah keluar dengan kaki kanan terlebih dahulu sambil berkata 'wo hui lai le' yang berarti 'saya sudah pulang' agar terhindar dari nasib buruk. Menurut orang China, masuk ke makam membawa nasib buruk dan harus melakukan yang saya sebutkan tadi untuk menghilangkan nasib buruk itu.
.
Author's Note: Click tombol 'Review' ya XD
