Seperti mengutip paradoks Achilles milik Zeno dari Elea
Kaito mengejar Miku yang berjalan jauh di depannya
. Tapi ia hanya mengejar titik di mana posisi Miku berada beberapa saat lalu
Saat ia sudah berada pada titik itu
Yang didapatnya hanya Miku yang kini berada beberapa langkah darinya
Ketika Kaito mengejar beberapa langkah ketinggalannya
Lagi-lagi Miku sudah bergerak beberapa langkah ke depan
Teruslah begitu, sampai ad infinitum. Kaito tak akan pernah mendapatkan seseorang yang dicintainya
Lalu, dapatkah kita mengganti nama paradoks ini dengan Paradoks Cinta?
Dawn23's unCreatives Team Presents
.::Paradoks Cinta::.
Disclaimer:
(1)Vocaloid milik Yamaha dan dikembangkan oleh Crypton Future Media.
(2)Paradoks Achilles milik Zeno dari Elea
Fic Made By:
Asaichi23
.::Bagian Satu::.
~Sekolah Dasar~
Semilir angin musim gugur yang mulai terasa dingin, meniup rambut biru seorang bocah kecil. Matanya biru, senada dengan rambut serta mufflernya. Tanpa berkedip semikro detik pun, ia menatap seorang gadis cilik yang kini berada di jarak pandang iris mata birunya. Gadis manis dengan rambut berwarna torquise dengan gaya twin tails, yang sekarang tengah berjalan beriringan dengan kedua orang tuanya. Ini adalah kali pertama ia melihat gadis itu selama hidupnya yang baru enam tahun. Yah—hanya enam tahun—ukuran hidup yang masih terlalu sedikit bagimu untuk bisa mengenal semua orang di dunia, bocah. Perlahan tapi pasti, mereka—yang bocah ini lihat—menghilang dari jangkauan pandang mata. Memasuki titik hilang yang tak terbatas. Dalam lubuk hati bocah biru ini, ia berharap agar bisa bertemu dengan gadis cilik itu lagi. Walaupun hanya dapat memandang dari jauh.
Hari Senin di sebuah musim gugur yang dingin. Hari paling dikutuk oleh mereka-mereka yang mempunyai sifat malas ke sekolah. Tampaklah lagi bocah biru kita ini sedang berjalan menuju tempat yang dikutuk oleh orang-orang malas itu, apa lagi kalau bukan sekolah? Pendiam, jarang bertingkah dan senang menyendiri telah menjadi sifat bawaan lahir yang Tuhan berikan padanya. Sampai di kelas, ia duduk di bangkunya dan mengeluarkan sebuah buku tulis dengan sampul yang tertera nama "Shion Kaito". Kaito, bagaimana ia selalu dipanggil oleh orang tua, teman-teman, serta para tetangganya. Bocah pendiam yang hanya bicara seperlunya, terlihat cuek tapi sebenarnya memperhatikan dengan sangat detail. Dengan sabar, Kaito menunggu bel yang menandakan semua murid mesti masuk dan mengikuti pelajaran yang membosankan.
Bel tanda masuk pun berbunyi, disambut sorakan dari para murid-murid yang memang malas masuk ke sekolah. Kaito hanya diam—yang memang merupakan sifatnya—mendengar bel masuk itu. Ia hanya dapat membayangkan betapa pelajaran hari ini pasti akan sama membosankannya dengan pelajaran hari kemarin yang sudah terlewat. Tapi ia sepertinya salah, salah besar. Kenapa? Karena saat gurunya masuk, ia membawa seseorang bersamanya. Seorang murid baru, bukan murid baru biasa, ia adalah seseorang yang secara diam-diam Kaito ingin lihat selalu, walaupun ia tidak terlalu berharap orang itu membalas untuk melihat dirinya juga.
Murid baru itu tidak lain tidak bukan ialah gadis cilik yang tempo hari Kaito lihat. Dengan suaranya yang renyah, gadis itu memperkenalkan dirinya kepada seantero kelas yang hanya berjumlah dua puluh satu murid ini.
"Selamat pagi semuanya! Perkenalkan, aku Hatsune Miku, murid pindahan dari Sapporo, Hokkaido, mohon bantuannya!" dengan sangat fasih tanpa sedikitpun rasa canggung, gadis cilik itu memperkenalkan dirinya. Ia pun membungkuk pada semua teman barunya.
'Hatsune Miku, nama yang indah,' batin Kaito. Sedikit rasa puas mengisi hatinya, karena ia bisa mengetahui nama gadis cilik itu. Walau ia juga tak berharap penuh gadis itu akan mau mengetahui namanya.
Gadis cilik berambut torquise—yang lebih baik kita panggil Miku—ini pun dipersilahkan duduk oleh gurunya. Ia mengambil tempat duduk di barisan sebelah kanan meja Kaito, yang memang tak ada pemiliknya. Sekali lagi, hati Kaito terisi sedikit rasa puas. Tanpa harus susah payah, ia dapat melihat Miku kapanpun. Tinggal putar kepala ke kanan sembilan puluh derajat, ia bisa memenuhi hasratnya untuk dapat melihat Miku.
Kaito, kau memang masih terlalu kecil untuk mengerti sebuah kata sakti bernama cinta. Suka, mungkin kata ini lebih tepat buatmu yang masih berumur enam tahun. Tiap jam pelajaran—minimal dua kali— Kaito selalu menyempatkan dirinya untuk menengok sebanyak sembilan puluh derajat ke arah kanan. Tepat ke arah Miku, gadis manis yang selalu membuat hatinya tenang tiap kali ia melihat wajahnya. Satu hari, empat mata pelajaran, dua kali empat, delapan kali Kaito menoleh sebanyak seperempat besar sudut lingkaran ke arah Miku. Bukanlah hal yang tak mungkin kalau target si bocah biru kita ini menyadari apa yang jagoan kita lakukan.
Di suatu hari—seperti biasanya—jagoan biru kita ini pasti menoleh ke arah Miku. Tapi secara tak diduga, gadis itu menyadari kalau Kaito sedang memandanginya. Tak ada perasaan risih atau apapun, Miku membalas dengan senyuman manisnya, sukses membuat Kaito berpaling dan pura-pura sibuk menulis pelajaran yang diterangkan gurunya. Miku mengubah senyumannya menjadi tatapan heran. Oh, Kaito jagoanku, kau kehilangan sedikit waktu untuk menikmati senyuman manisnya!
Pemikiranmu pasti masih terlalu belia untuk dapat memecahkan sebuah paradoks
Karena ke-beliaanmu inilah
Kau akan terus dibayang-bayangi oleh Paradoks Cinta ini
Wahai Kaito, vocaloid kesayanganku
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, musim pun berubah menjadi musim dingin. Jumlah kata-kata yang pernah diucapkan Kaito pada Miku ibarat cuma bisa terhitung jari. Kaito tampaknya terlalu malu jika berbicara dengan Miku. Padahal kalau bicara dengan gadis lain, ia biasa-biasa saja. Hanya saja, kalau dengan Miku, ia seakan merasa lupa dengan bahasa yang ia gunakan sekarang. Paling banyak, ia hanya mengucapkan satu kalimat, itu pun dengan agak terbata-bata. Walaupun mereka jarang bicara, keberuntungan masih berada di pihaknya. Yah, setidaknya Miku tahu namanya, walaupun mereka tidak sempat berkenalan secara pribadi.
"Kaito, kita pulang bareng yuk? Rumah Kaito di blok C 'kan? Aku juga tinggal di blok C lho!" bagai mimpi di siang bolong yang tidak ada awan sama sekali, Kaito kaget dengan ajakan Miku yang tiba-tiba saja mengajaknya pulang bersama. Dalam batinnya ia bertanya, dari mana Miku tahu namanya? Dan juga tahu kalau ia juga tinggal di blok C? Sebenarnya sih simpel saja, sudah berapa bulan Miku pindah ke kota ini? Tidaklah mustahil baginya untuk mengetahui semua teman kelasnya yang hanya dua puluh satu orang. Lalu, bukanlah hal yang aneh kalau Miku tahu tempat tinggalmu, Kaito. Dalam satu bulan ada tiga puluh hari, dalam tiga puluh hari itu bukanlah tidak mungkin kalau Miku tak pernah melihat dirimu di blok itu.
"A-apa? Maaf Miku, aku mau… mau mampir dulu ke toko es waktu pulang nanti," tolak Kaito. Jagoan kecil kita ini merapikan mufflernya, lalu dengan tergesa-gesa—seperti dikejar sesuatu—ia pergi menjauhi Miku, gadis yang selalu membuat hati Kaito tenang, walau hanya dengan melihat wajahnya saja.
Miku memiringkan kepalanya sebanyak dua puluh lima derajat ke kanan. Dalam hatinya ia bertanya, 'Memangnya musim dingin begini tidak apa-apa kalau makan es krim?' Miku yang tidak mendapat teman pulang bersama, terpaksa pulang seorang diri. Ia menggendong tas sekolahnya, memantapkan sepatunya, dan mengenakan jaket tebalnya. Dengan susah payah, ia melewati gumpalan salju yang dari tadi malam turun. Miku berjalan menapaki gumpalan salju seorang diri. Tapi sepertinya tidak seorang diri lagi. Dua ekor anjing doberman tetangga yang lehernya selalu terikat di rumah anjingnya, mencegat Miku untuk berjalan menuju ke rumahnya. Dengan suara yang membahana, dua ekor anjing itu menyalak ke arah Miku.
Sudah dapat diprediksi, tubuh Miku gemetar. Takut kalau-kalau dua anjing ini menggigitnya. Secara refleks, Miku segera berbalik arah, bersiap untuk lari. Seperti sudah diatur sedemikian rupa, ketika Miku berlari, dua anjing itu pun mengikutinya juga. Miku yang makin panik, hanya bisa menangis sambil berlari. Musim dingin seperti ini memang kurang cocok kalau digunakan untuk main kejar-kejaran. Gundukan salju bisa membuatmu tersandung dan jatuh. Seperti yang baru saja disebutkan, Miku akhirnya terjatuh gara-gara tersandung gundukan salju. Ah, Miku yang malang. Tapi tahan dulu kemalangan itu, Miku. Secara tak diduga, sebongkah batu seukuran kepalan tangan mendarat dengan sukses di kepala salah seekor anjing yang mengejar Miku.
Dengan rintihan kesakitan, seekor anjing pun kabur tunggang langgang, kembali ke pemiliknya yang ceroboh, yang tidak mengikat anjingnya dengan baik. Tanpa dikomando lagi, bongkahan batu kedua pun kembali melontar. Kali ini mengenai perut si anjing. Setali tiga uang dengan yang pertama, anjing itu juga lari tunggang langgang ke pemiliknya yang ceroboh. Melihat semua sudah aman, Miku lekas berlari lagi—masih menangis tentunya—ke arah rumahnya. Ia tak tahu siapa yang menolongnya barusan, dicobanya untuk menemukan sosok si penolong dengan menebarkan pandangan ke semak-semak tinggi di pinggir jalan. Mata berair Miku sempat menangkap sosok penolongnya di antara semak bertutupkan salju, tapi hanya muffler biru si penolong saja yang terlihat, wajahnya tak sempat dilihatnya, karena si penolong itu menghadap ke belakang.
Melihat Miku sudah menuju rumahnya, Kaito—pahlawan kecil kita ini—menarik nafas lega. Ia lega karena bisa menolong Miku dari anjing-anjing sialan itu, walaupun ia tak menunjukkan siapa dirinya. Bagi Kaito, Miku tidak terluka saja sudah cukup untuk mengisi meteran kepuasan hatinya. Ia memang tak bisa menenangkan Miku yang menangis dan memberitahu gadis itu bahwa ia yang telah menyelamatkannya. Tapi apalah daya? Rasa malu dan canggung menutupi sosok seorang Shion Kaito, yang masih berumur enam tahun ini. Kaito tak mengharap lebih pada Miku, asal Miku selamat—tanpa ada sedikitpun luka di kulit mulusnya—Kaito sudah senang. Tapi, apakah kau tahu Kaito? Kalau kau benar-benar menyukai Miku, lalu kau tidak mengungkapkannya dan hanya melihatnya dari jauh. Selamanya kau tak akan dapat memiliki hatinya.
Seperti Achilles yang mengejar kura-kura yang lebih lambat, jauh di depannya
Sekuat apapun ia mengejar kura-kura itu
Ia hanya mengejar titik di mana kura-kura itu pertama berdiri
Ketika ia sudah berada di titik itu, si kura-kura sudah berada beberapa langkah darinya
Ketika ia mengejar titik yang berada beberapa langkah darinya itu
Si kura-kura sudah berada beberapa langkah darinya lagi
Begitulah seterusnya sampai ad infinitum. Ia tak akan pernah bisa mengejar kura-kura itu
Kurang lebih, seperti paradoks inilah, Kisah cinta Kaito
Mungkinkah Kaito akan selalu terperangkap Paradoks ini?
Itu akan diceritakan nanti, karena
Fic ini Bersambung
-Di Depan Layar Notebook-
Tersebutlah seorang pemuda umur delapan belas tahunan. Ia termangu di depan layar notebook kesayangannya. Bingung, kata inilah yang mungkin menghiasi isi kepalanya. Entah kenapa tiba-tiba tangannya ingin mengetik cerita yang aneh tidak karuan di atas? Juga menyertakan filsafat yang sebenarnya memang bukan bidangnya. Matanya masih menatap layar notebook itu seraya mencari kesalahan tulisan yang mungkin dilakukannya. Kadang dibukanya Vocaloid Editor yang masih di-minimize, ia juga mencari kesalahan lirik yang mungkin ia input. Di-minimizenya kembali aplikasi itu, dan ia segera mengetik sesuatu yang memang dilupakannya,
_-_Author Note_-_
Yak! Terima kasih banyak bagi teman-teman yang rela membaca fic ini. Sebenarnya gak mau diketik, tapi karena saya sudah terlanjur baca artikel masalah paradoks Zeno yang hampir membuat saya tidur waktu jaga malam. Saya ketik dan publish-lah fic ini. Kalau masih terkesan memusingkan, jangan terlalu dipahami paradoksnya, pahami saja ceritanya, heheheh~ soalnya itu paradoks bikin saya ngantuk terus kalau dipikirin.
Sekali lagi, terima kasih banyak, dan terima kasihnya akan bertambah kalau teman-teman memberikan review hehe~ saya mungkin agak lama update, jadi saya mau mohon maaf di awal-awal begini, kalau misalkan nanti memang benar-benar lama updatenya. Semoga Fandom Vocaloid Indonesia makin ramai dengan fic yang bermutu! Sayonara minna-san!
