Karena sekalipun kita terikat hitam dan putih diatas berkas resmi negara. Aku tak berhak melarangmu untuk mendapat kebahagiaan. Tapi ketika tiba saatnya biarlah aku tetap memperjuangkanmu. (Chanyeol x Baekhyun, GS)

.

.

.

Hari itu seharusnya kami menghadiri persidangan perceraian kami untuk yang pertama. Sesuai dengan apa yang ia inginkan sebelumnya.

Namun disiang hari yang terik. Seorang lelaki dari masa lalu baru saja muncul dengan tergesa dan menarik tanganku kesebuah lorong sebuah gedung berwarna putih.

Aku mengharapkan bahwa setidaknya jangan kemunculannya yang menjadi penghambat. Tapi kenyataannya ia telah menyita banyak waktuku.

Maka dengan dahi berkerut dan tatapan mata tak terbaca, aku melihatnya yang saat ini sedang melihat kemanapun arah namun tidak sekalipun menatapku.

Pengacaraku menelpon beberapa menit lalu. Mengatakan bahwa sidang perceraian itu ditunda. Ketidakhadiran antara diriku dan suamiku- yang akan segera menjadi mantan- yang aku cintai, nyatanya mampu membuat hakim sidang didalam sana untuk memutuskan ketidakabsahan perkara tersebut hingga menundanya.

Sebenarnya aku merasakan sedikit kelegaan, karena aku masih mempunyai waktu setidaknya untuk beberapa waktu kedepan melihat suamiku.

Kami masih satu rumah.

"Kita tidak bisa berdiri terus disini menunggu langgit menggelap," kataku menyadarkannya. Seketika dia terkesiap dan beralih menatapku. Ada nafas kelegaan diantara katupan bibirnya.

"Ya, kau benar." Ia menimpali dengan perkataan yang sangat singkat.

"Setidaknya biarkan aku pulang dan menunggu suamiku di rumah. Kita bisa bertemu lain kali." Jelasku lagi yang nampak tidak suka dengan pertemuan tak sengaja ini.

"Untuk apa? Bukankah kalian akan segera bercerai?" katanya ketus. Dia sama sekali tak berubah.

"Meski begitu sampai detik ini aku masih istrinya." Dia memandangku dengan tidak percaya. Ada mata kesedihan dari pancaran matanya. Lalu terganti lagi dengan pandangan yang menatapku dengan tulus.

"Dia bukan lelaki yang bisa kau harapkan. Lepaskan saja dia, kau bisa mencari lelaki yang lebih baik."

"Dan tidak ada yang lebih baik, bahkan yang lebih baik sekalipun dari suamiku." Sekali lagi, aku merasakan sorot matanya memandangku dengan tidak percaya.

"Kalau begitu aku permisi. Semoga kita bertemu dengan waktu yang tepat." Aku membiarkannya memandang punggungku yang semakin menjauhinya tanpa menoleh kebelakang.

.

.

.

Menjadi wanita bersuami memang tidak mudah. Sekalipun dia adalah wanita terhebat sekalipun. Tetapi tantangan terbesar bukan berarti bisa dilalui begitu saja. Dan aku merasakannya.

Aku menikah dengannya sudah hampir satu tahun. Masih terbilang baru. Tapi masalah seolah tak kenal waktu.

Cklek!

Aku mendengar suara pintu apartemen terbuka dan menampakkan suamiku baru pulang setelah menghasilkan kepenatan dari luar sana. Dia sudah berada diluar kota selama 4 hari ini. Mengurus segala kesibukannya menjadi direktur sebuah perusahaan milik ayahnya.

Dia melihatku sekilas yang duduk diatas sofa seolah menantinya untuk segera mendekat.

Meskipun posisiku masih duduk diatas sofa, aku dengan jelas dapat melihatnya yang membuka sepatunya. Sebenarnya ada rasa dalam diriku untuk menghampirinya namun kuurungkan.

Sekalipun aku istri durhaka, aku juga tak menginginkan untuk melakukannya. Percayalah.

"Selamat datang dirumah," kataku dengan lembut.

Kulihat dia berjalan kearahku dengan pandangan matanya yang datar.

"Mau kubuatkan sesuatu? Atau mau mandi? Akan kusiapkan air hangat kalau begitu."

Pekikku tak bisa untuk tak melayaninya. Dia terkesiap melihatku berdiri dengan cepat. Ada nada kecemasan yang keluar dari bibirnya.

"Hati-hati dengan perutmu," ujarnya.

Aku merasakan darahku mengalir deras dari ujung kaki. Tanpa sadar aku tersenyum.

Dia menahan pundakku ketika aku sudah ada didepannya.

"Tidak perlu. Aku bisa mengurus diriku sendiri." Katanya dingin dan berlalu begittu saja.

Saat aku baru saja mendapatkan diriku diterbangkan, saat itu juga kurasakan tubuhku jatuh dari atas jurang. Dihempas dengan sangat mudah.

Aku merasakan perasaanku hancur. Ditolak oleh suami sendiri untuk melakukan kebaktianku sebagai istri. Rasanya menyakitkan.

Aku tidak harus melihatnya mengerjakan tugasku, tapi aku tetap melakukan keinginannya.

Ya.

Aku tidak akan membuatnya tidak nyaman dengan memaksanya untuk menerima kebaikanku meskipun aku sangat ingin.

.

.

.

Hari ini setelah pertemuan tak terduga. Lelaki itu masih saja bersikeras untuk menghubungiku. Mulanya aku membiarkan pendar ponselku yang terang ditengah ruangan yang gelap.

Kami baru saja bersiap untuk tidur dikamar masing-masing. Meskipun kami tinggal satu rumah, tapi suamiku tahu diri untuk tidak menggunakan kamar utama kami sebagai kamar tidurnya –lagi- setelah proses perceraian kami.

Aku melihat kedalam layar ponselku lagi.

Sekalipun aku berniat ingin mengabaikannya namun durasi pesan masuk yang terdesak oleh pesan baru lainnya itu membuatku jengah juga.

Akhirnya aku membuka pesannya.

-Aku benar-benar minta maaf atas kejadian tadi siang. Tapi aku tidak punya pilihan lain.

Sender : +6222364882

Untuk pesan pertama aku masih belum ingin membalasnya. Kemudian aku beralih ke sms selanjutnya.

-Hari minggu adalah hari yang cerah, bisakah kita keluar sebentar untuk membicarakan suatu hal? Setidaknya kali ini aku benar-benar serius ingin berbicara denganmu.

Sender : +6222364882

-Aku benar-benar serius mengatakan bahwa kau berhak mendapat pria yang lebih baik.

Sender : +6222364882

Aku merasakan pandanganku berkabut karena menahan marah. Kuremas ponselku setelah membaca pesan terakhir yang kuterima darinya. Aku menahan untuk tidak berkata kasar dalam pesan balasanku ketika aku mulai mengetik.

-Aku paham akan perhatianmu. Tapi aku akan menganggap bahwa aku tidak pernah mendengar apa yang kau bicarakan sesuai dengan isi pesanmu terakhir kali. Meskipun begitu aku tetap tak bisa mengabaikan kebaikanmu, baiklah kita bisa bertemu minggu besok, jam 11.00, di taman kota.

Send to : +6222364882

Setelah meletakkan ponselku diatas nakas dengan tidak berdaya. Aku membawa tubuhku untuk tidur menyamping menatap kearah jendela yang menampilkan cahaya diluar sana.

Kota dengan kerlap kerlip lampu yang berjalan ataupun statis. Aku mencoba menghibur diriku sendiri dengan melihatnya. Namun dalam lamunanku muncul sebuah pertanyaan yang tidak tahu kutujukan kepada siapa lagi selain pada diriku sendiri dan juga Tuhan.

Sebenarnya apa yang baru saja menimpa kehidupanku?

Aku tidak pernah membayangkan akan berpisah dari laki-laki yang aku cintai. Sekalipun aku tidak tahu perasaannya kepadaku seperti apa sehingga memintaku untuk bercerai. Tapi aku tetap mencintainya.

Aku mengusap pada permukaan perutku yang sedikit menggembung.

Ada janin didalam sini.

Aku merasakan mataku meleleh dan air mataku turun.

Bayiku yang malang. Bagaimana aku bisa menjelaskan keadaan ini ketika ia mulai bertanya dimana ayahnya setelah kami bercerai?

Aku memejamkan mataku dengan pedih.

.

.

.

Hari itu aku membuka mataku ketika ada pergerakan disamping tempat tidurku.

Sudah pagi dan aku melihat suamiku sudah duduk disana menantiku untuk bangun. Dengan sedikit tenaga akibat nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, aku mencoba untuk bangun namun dia hanya menatapku.

Aku mencoba tersenyum kearahnya, tapi ia dengan cepat mengalihkan perhatiannya. Aku melihatnya mengambil segelas susu hamil yang selalu ia bawa kekamarku, seperti saat ini.

Meski kami akan bercerai tapi ia tetap memperhatikanku.

Untuk hal-hal seperti ini, aku menguatkan argumenku bahwa aku menolak bercerai dengannya.

"Minumlah," aku menerima segelas susu darinya. Ia masih mengenakan piyama putih bergaris yang tiga bulan lalu kubelikan.

Aku tersenyum lagi dalam perasaanku.

Saat tetesan terakhir kuteguk ia masih memperhatikanku untuk menghabiskan susu hamil buatannya.

Aku memberikan gelas kosong yang masih meninggalkan sedikit lemak susu didalamnya.

Suamiku kembali menerimanya dan tanpa sepatah kata, ia berdiri dengan cepat.

Aku masih melihatnya seolah aku masih mengharapkan kehadirannya disekitarku. Dan benar saja, ia langsung menatapku.

"Ada yang kau perlukan lagi?" tanyanya. Aku mengangguk setelah kudapati aku tersenyum sendirinya.

"Kurasa kaki ku kram. Aku tidak bisa menjangkau kamar mandi jika seperti ini." Dia melihatku dengan serius kemudian mengalihkan pandangannya memandangi kaki ku didalam selimut.

"Aku mengerti. Aku akan segera kembali setelah meletakkan gelas ini."

Dan untuk pagi ini saja, aku sudah dibuat tersenyum berkali-kali karena perhatiannya.

.

.

.

Sesuai dengan janjinya, dia kembali. Dia masuk kedalam kamarku dan langsung menuju kearahku yang sudah setengah turun dari ranjang kemudian menggendongku menuju kamar mandi.

Aku mengalungkan tanganku kelehernya yang kokoh. Pandanganku tak pernah lepas darinya. Dia begitu serius saat menggendongku seolah-olah aku adalah barang yang mudah pecah.

Dalam kekehan samar, aku memperhatikannya. Namun dia hanya biasa saja tak menanggapi guyonanku sama sekali.

"Apa kau masih butuh bantuan lagi?" ia bertanya setelah mendudukkanku diatas kloset yang tertutup.

Aku menggeleng. Sudah cukup aku menyusahkannya dipagi hari.

"Baiklah kalau begitu aku akan meninggalkanmu disini." Aku mengangguk sebelum melihatnya benar-benar meninggalkanku dari kamar mandi yang dingin.

Untuk beberapa menit, aku masih tidak melakukan pergerakan apa-apa selain mendapati tanganku bergerak menyusut air mataku yang tiba-tiba turun karena merasa sesak.

Aku masih mencintainya. Bagaimana bisa aku melepasnya Ya Tuhan.

.

.

.

"Baekhyun-ssi," aku menoleh sedikit serong kebelakang kiri. Aku menemukan dia sudah datang. Kelihatan tampan seperti biasannya. Dan memukau.

Aku menantinya untuk sampai didekatku, lalu duduk dengan nafas terengah.

"Apa kau lari-larian untuk datang kesini?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku pada lelaki menawan disebelahku.

"Ya, dan maaf aku sedikit terlambat." Katanya serius.

"Bukan masalah Chanyeol-ssi," aku tersenyum penuh maklum. Lalu mengelurkan selembar tissue untuknya. Dia mengambilnya dengan lembut kemudian menyeka sedikit bulir dipelipis hingga leher.

"Apa sebaiknya kita duduk ditempat yang teduh saja?" saranku kepadanya dan kudapati dia melihat kearahku.

"Apa kau kepanasan?" dia justru bertanya dengan panik. Lalu aku menggeleng.

"Bukan aku, tapi kau." Chanyeol hanya mengerinyit.

"Aku hanya berkeringat. Tapi kalau kau kepanasan kita bisa berteduh, kurasa disini terlalu panas." Dia sangat penuh perhatian seperti biasa. Dan aku merasakan sisi dalam diriku mulai menghangat kembali.

"Ya," didetik selanjutnya dia memapahku dengan hati-hati sambil membawakan tas tanganku ditangan kirinya.

Kemudian kami menuju ke tempat duduk yang ada ditaman itu, beratapkan rindangnya daun pepohonan. Kurasa disini lebih baik daripada sebelumnya.

Mulai dari situ kami mulai membicarakan hal-hal yang ingin kami bahas satu sama lain. Chanyeol yang pertama kali, sambil menerawang saat mengawali obrolan.

"Bagaimana keadaanmu?" aku tahu pertanyaan itu tidak bermakna umum ketika ditanyakan kepadaku. Itu bermakna khusus tentang bagaimana keadaanku saat ini.

"Aku baik-baik saja,"

"Jangan berbohong. Hidup setahun dengan suami semacam dirinya, kau masih bisa bilang baik-baik saja?" kurasakan atmosfer disekeliling kami mulai menggelap.

"Ya, meskipun didepan orang lain sifatnya dingin, tapi dia adalah sosok yang kuharapkan menjadi suamiku. Percayalah."

"Kenapa kau tidak pergi saja darinya? Dia memberimu jalan keluar,"

"Tidak. Aku tidak akan melakukannya." Aku mendengar dia menghela nafasnya. Kemudian melanjutkan lagi ketika aku melihatnya menundukkan kepala. Terlihat serius. Aku membiarkannya untuk memikirkan kalimat apa yang akan ia ucapkan tanpa niat membuatnya terburu-buru.

"Aku bisa membantumu mendapatkan kebahagiaan lain."

Cukup!

"Sudah cukup! Kau tidak bisa memaksaku untuk bercerai! Aku sudah katakan aku masih mencintainya! Dan sekalipun aku sudah diambang batas, aku akan tetap memperjuangkannya, kau mengerti?!"

Aku berteriak disertai dengan linangan air mata disekeliling pelupukku.

Dengan cepat aku membawa tubuhku berdiri dan melihatnya dengan sorot terluka.

"Aku kecewa kau mengatakan itu. Kau sudah tahu apa yang aku inginkan namun kau pura-pura tidak tahu." Aku mengucapkannya sebelum benar-benar meninggalkannya disana, sama seperti diriku, ditinggal dengan penuh luka.

TBC