Amsterdam, Desember 1579;
.
Tiga botol wine. Dua porsi santapan berbahan dasar keju menghiasi meja hadapan seorang Koninkrijk der Nederlanden. Pria dengan cerutu yang masih senantiasa mengamit di antara mulutnya menatap penuh was-was ke arah Spaniard yang tersenyum-senyum mengaduk pesanan yang sama, mengangkup sendok ke dalam mulut— memandanginya dengan mata hijau yang lekat mengintimidasi. Waktu siang di Amsterdam seperti yang dia harapkan, penghujung Desember yang seharusnya dilanda suhu minus akibat musim dingin sekarang menampakkan sediki gurat kehangatan. Teritori strategis dengan prediksi cuaca stagnan.
"Kenapa, Holandes? Tidak menyukai keju?"
Lars berdalih dengan menyenderkan punggung ke badan kursi, terpicu dengan pertanyaannya. Bukannya dia tidak menyukai keju— apalagi jika itu gratis; maka dia akan berlipat-lipat menyukainya. Hanya saja gambaran suasana kaku di antara mereka yang membuatnya tidak merasa nyaman. Netherlands terpojokkan. Kedatangan tiba-tiba dari seorang kolonial yang menjajah melewati satu abad, bukanlah perkara biasa.
"Kau sendiri tidak memakannya?"
"Aku lebih menyukai tomat."
"Oh."
Komentar singkat yang membawa keduanya ke dalam suasana kecanggungan. Lars berkelit dalam sebuah pemikiran sederhana; seorang Spanje tidak biasanya mengundangnya makan siang dengan cara formal begini— apalagi sampai jauh-jauh datang dari ibu kotanya menghampiri ke rumah sang Holandes di penghujung Eropa. Mungkin urusan dadakan. Siapa tahu. Lars mana bisa menebak. Maka begini akhirnya; Lars memakan pesanan khidmat sementara keturunan latin itu meneguk gelas wine ketiganya tanpa sedikitpun niat mengatakan apa urusan yang membawanya bertandang jauh. Melihat kondisi tidak mengenakkan dari Antonio yang sepertinya terpuruk menghadapi kenyataan Raja Philip dinaikkan tahta, membawa mulut latina menyuarakan berita duka.
"Berita buruk. Tahun depan aku dan Joao akan membentuk Uni Iberia."
"Lalu?"
"Itu artinya kau tidak bisa menginjakkan kaki ke Lisboa lagi, Holandes."
Tidak bisa menginjakkan kaki ke Lisboa sama dengan mati. Ini Eropa. Rempah adalah segalanya. Dari mana Belanda akan mendapatkan persediaan rempah untuk musim dinginnya kalau bukan dari sana?
Holandes tertawa, memutar gelas wine menabrak meja. Satu gurat ketidak mengertian dari seorang Spanyol di hadapan membuat Lars membuang muka. Terpuruk. Terpukul. Terhina. Sebab tak hanya baginya seorang rempah adalah segala-galanya; penyatuan negara Semenanjung Iberia berarti penutupan jalur perdagangan Portugis sebagai pemasok sumber makanan.
"Keparat."
Maka itu kata yang meluncur dari bibirnya. Memikirikan bagaimana nasib musim dinginnya dari sekarang dan seterusnya.
Axis Power Hetalia © Hidekaz Himaruya
spice land by SeiYoshi
.
[ PROLOG ]
.
Some typos, hard language, Male x Male.
Ditulis oleh seorang penulis amatir yang baru genap dua tahun mendeklarasi diri di dunia fanfiksi pernegaraan. Mendedikasikan cerita untuk kepuasan pribadi tanpa sedikipun niat merugikan pihak manapun.
First historical fanfiction. Update tergantung mood yang menyerang.
.
.
"O, mijn specerij land. Takdir yang berikatan antara adalah awal dari kisah-kisah yang menuai kesengsaraan."
.
( akan tetap ) Berlanjut.
"Jadi hanya itu yang ingin kau bicarakan?"
"No. Aku kemari membawakan ini untukmu."
"Buku?"
"Titipan dari Joao. Katanya ini dari salah seorang krunya yang bilang ingin memberikannya padamu. Jan Huygen van Lischoten. Kau kenal?"
"Ja. Seorang penjelajah dari tempatku."
"Sekarang dia berada di tanah India bersama para pelayar Portugis. Joao sendiri mengungsi ke Timor sekarang." (tertawa) "Orang idiot itu diusir dari tanah Maluku dan menepi ke sana."
"Maluku?"
"Baca buku itu, Holandes. Dan kau akan mengerti."
