L.O.V.E

Disclaimer : Vocaloid bukan milik saya, saya hanya meminjam beberapa character untuk dinistakan di fic saya.


Summary : Ini mungkin bukan sebuah kisah yang sempurna, hanya tentang seorang gadis penyuka jeruk yang bingung akan 'rasa' yang menyapa hatinya. "Gak akan ada yang ngerti perasaan seseorang selain dirinya sendiri, Rin."


1. Destiny

Rin menatap jahil sosok berambut hitam yang duduk dibelakangnya, membuat sosok itu memanyunkan bibirnya karena kesal dan itu sontak membuat Rin tertawa tak terkendali.

"Haha…! Rei kalau kau begitu terus pasti akan banyak anak perempuan yang meng-idolakanmu!" ujarnya masih dengan tawa yang mengiringi.

Rei, sosok berambut hitam itu semakin manyun. "Rin nyebelin!"

"Haha…, maaf… maaf… Rei! Kita teman kan?" Rin nyengir sambil mengangkat tangan kanannya dengan jari-jari yang tengah membentuk lambang 'peace'.

Rei mengangguk-angguk, mengangkat tangannya yang memamerkan bentuk 'peace' seperti Rin. Tanda keduanya telah mengakhiri 'acara' jahil-menjahili mereka.

.

.

.


.

.

.

"Rin kamu beneran gak suka ama Rei?"

Rin menguap, pertanyaan itu lagi. Ayolah apa teman-temannya tidak pernah bisa berhenti menanyakan pertanyaan dengan jawaban yang sama itu terus menerus?

"Ayolah, Miku… kau adalah orang ke-34 yang menanyakan itu sebanyak tiga kali hari ini!" Rin menarik nafas. "Sudah berapa kali aku katakan? Kalau tidak ya tidak!" sambungnya dengan nada dongkol.

Miku, gadis berambut teal itu nyengir. "Habisnya… kau selalu membanggakannya dan bahkan menyebutnya 'beb' saat bersama Ring, atau yang lainnya."

Rin menatapnya malas. "Kenapa kalian gak pernah ngerti sih? Itu hanya candaan,okay?"

"Lalu bagaimana kau menjelaskan soal sikapmu yang benar-benar seperti orang pacaran dengannya?" entah angin apa yang membuat gadis berambut teal itu kembali bersemangat menanyakan lebih lanjut.

"Hah? Memangnya iya? Perasaan biasa aja deh," kedua alis Rin tertaut tanda tak terima.

"Tukaran bekal… mencubit pipinya bahkan hal-hal lain yang sering dilakukan oleh Kiyoteru dan Aria—pasangan bodoh itu." Ah, semangat gadis berambut teal itu masih belum surut juga ternyata.

"Sial!" umpat Rin kesal. "Itu hanya hal-hal biasa saja kok! Lagian kami gak selalu begitu, memangnya itu masuk dalam kategori 'pacaran' apa?! Kami itu teman, okay?" Tampaknya emosi gadis berambut pirang ini telah memuncak didalam darahnya.

Miku yang menyadari wajah Rin yang mulai memerah karena kesal, akhirnya berhenti mengungkit masalah itu. Daripada rambutku tersayangnya rusak lebih baik ia diam dan mundur sejauh mungkin dari tempat ia berpijak kini.

.

.

.


.

.

.

"Kenapa lagi, Rin?" Ring menatap heran sahabatnya yang muncul dengan tampang kusut.

"Memangnya sikapku pada Rei itu aneh ya?" tanyanya sembari menghempaskan tubuhnya keatas bangku kayu disamping Ring.

Ring mengernyit heran, "jangan bilang ini terkait dengan pembicaraanmu dan Miku tadi?" tebaknya asal.

Rin menghela nafas, "yah… kira-kira begitu. Eh tunggu! Bagaimana kamu tahu aku tengah berbicara dengan Miku tadi?"

"Rin… otakmu lagi error ya?" Ring menatap gadis itu tak percaya. "Semua orang yang ada dikelas saat ini pasti bisa melihat saat Miku menarikmu, Rin sayang!"

Dan perkataan tersebut membuat senyuman masam terukir diwajah gadis berambut pirang itu. "Ngomong-ngomong kamu belum menjawab pertanyaanku!" teriak Rin teringat dengan pertanyaan awalnya.

Ring menghela nafas. "Mau yang jujur atau bohong?"

"Bohong."

"Kalau yang bohong… gak aneh kok."

"Hell… Jadi memang aneh ya?" Rin membenamkan kepalanya ke meja.

"Yah…, kira-kira begitu." Ring nyengir, "perhatian kamu ke Rei itu udah sedikit berlebihan menurutku…"

"Jadi harus gimana lagi? Aku sudah terbiasa menjahili dia seperti itu!"

"Rin…" Ring menatapnya penuh arti. "Pernah gak kamu merasa kalau Rei kelihatan udah salah paham dengan apa yang kamu lakukan?"

.

.

.


.

.

.

Rin menghempaskan dirinya ke sofa terdekat yang dapat ia jangkau, pikirannya melayang memikirkan perkataan Ring tadi.

Rei salah paham…?

"Huwaa… kenapa aku terus memirkan perkataan Ring tadi?" Rin berteriak kesal. Kenapa sepanjang hari ia terus memikirkan itu? Kenapa baru sekarang ia malah memikirkan hal ini? Biasanya ia tak peduli dengan berbagai lontaran pertanyaan yang pasti akan langsung dijawabnya dengan 'Tidak' tapi kenapa sekarang berbeda?

"Tenang Rin… tenang… Rei gak mungkin salah paham…" ujar Rin berkomat-kamit berusaha menenangkan pikirannya.

"Coba kamu bayangin deh… kenapa Rei selalu tersenyum dan mengganggu kamu ketika lewat… ah, dan dia bahkan terus memperhatikan kamu selama pelajaran Rin…"

Rin mengacak rambutnya, bukannya tenang malah 'fakta-fakta' Rei yang dilontarkan Ring tadi justru semakin semangat numpang lewat dipikirannya.

"Ah…, ada apa denganku? Sejak kapan aku jadi peduli gini dengan perkataan orang?" Rin memeluk erat bantal jeruk yang terletak disofa. "Tapi Ring itu sahabatku…, dan kelihatannya dia gak bohong deh…"

.

.

.

Seorang pemuda berambut kuning dengan kaus putih yang menempel di badannya kini tengah menatap pintu bewarna cokelat dihadapannya.

"Rin!" teriaknya, berusaha memanggil seseorang yang ia yakini pasti tengah berada didalam rumah tersebut.

Tak ada jawaban

"Rin!" teriaknya dengan volume yang lebih kencang.

Masih tak ada jawaban.

"Hei, Rin!" kesal karena tak mendapatkan jawaban untuk kedua kalinya, ia pun menendang pintu cokelat itu menimbulkan bunyi hantaman yang cukup untuk membuat sang pemilik rumah berteriak dari dalam rumah.

"Rinto berisik! Bisa sabar gak? Aku lagi pusing tahu!" sang pemilik rumah yang tak lain adalah Rin membuka pintu dengan kesal.

Rinto, pemuda itu nyengir. "Haha… lagian udah diteriakin dua kali masih juga nggak dibuka…"

Rin memasang tampang kusut, "jadi ngapain kamu kesini?"

"Menurut kamu?"

"To the point saja deh, aku lagi kesal sekarang…," ujar Rin malas.

"Well, kurasa kaset game terbaru ini akan menjadi obat kekesalanmu, Rin?" Rinto tersenyum memamerkan kotak berisi kaset game miliknya.

Dan pemuda berambut pirang ini memang benar, buktinya sebuah senyuman kini telah terlukis diwajah Rin.

"Fantasiana ya? Kalau begitu ayo masuk! Dan install kan game itu ke komputerku!" ujar Rin semangat.

Rinto terkekeh. "Tapi aku tidak memberinya secara cuma-cuma lho!"

Rin memanyunkan bibirnya kesal. "Rinto nyebelin! Masa sama tetangga sendiri harus minta bayaran!"

"Bercanda~! Sifat burukmu yang pertama Rin itu cepat ngambek!" cibir Rinto yang sukses mendapat jitakan dari Rin.

.

.

.


.

.

.

Waktu begitu cepat berlalu dan tanpa sadar telah membalikkan hari menuju lembaran berikutnya. Mentari kini tengah bersinar dengan terik membuat siapapun yang berada di luar ataupun didalam rumah merasakan panas yang tak terkira.

Begitu pula yang dirasakan oleh Rin dan orang-orang yang tengah berpijak di Voca Junior High School. Ditambah lagi dengan ocehan guru Biologinya yang tengah melatunkan berbagai macam siklus rantai makanan. Benar-benar neraka duniawi.

"Permisi…" seorang pria paruh baya muncul dari balik pintu kelas, ditangannya tampak berbagai macam berkas yang diapit dengan erat. Ia memanggil guru yang tengah mengajar itu dan berbicara sebentar.

"Begitu…" guru tersebut mengangguk, lalu memberi tempat kepada pria paruh baya itu untuk berbicara.

"Ehem… jadi begini…" Pria paruh baya itu memulai pembicaraan. "Kalian tahu dengan system 'Loncat kelas' yang dimiliki oleh sekolah kita ini bukan?"

Pikiran Rin melayang menuju buku tebal pemberian sekolah yang bahkan tak disentuhnya sama sekali. Ah, bukan kepada buku itu pikirannya tertuju melainkan kepada brosur yang menempel dibelakang buku tersebut.

Brosur yang menceritakan tentang system-sistem ajaib yang dimiliki sekolahnya.

"Karena sekarang sudah memasuki semester kedua, saya akan membacakan nama-nama murid yang akan langsung meloncat ke kelas delapan," sambung pria paruh baya itu seraya mengambil berkas yang diapitnya.

Pria itu membuka berkas tersebut dan membacanya. "Ada lima orang yang akan berpindah kelas…, yang pertama adalah Hatsune Miku menuju kelas 8-1." Pria itu menarik nafas sebelum melanjutkan. "Yang kedua Nakajima Gumiya menuju kelas 8-2. Hatsune Mikuo 8-3. Suzune Ring 8-4. Kagamine Rin 8-5."

Suasana yang semula hening perlahan mulai berubah menjadi ribut. Beberapa murid sibuk mengucapkan selamat dan 'Ciee' kepada lima orang tersebut.

"Ehem… Rin," Ring menyikut siku gadis bemarga Kagamine yang kini tengah terdiam mematung saking tidak percayanya. "8-5 ehem…, ketemu Len-senpai lagi dong…"

"Eh, apa?" Rin berusaha mencerna perkataan Ring.

Loading 0%

Ketemu Len-senpai lagi dong

Loading 50%

Ketemu Len-senpai...

Loading 55%

Len-senpai….

Loading 100%

"8-5…? Itu kan kelasnya Len-senpai…" ujar Rin… "Eh, tunggu… APA?!"

To Be Continued


Akhirnya chapter 1 dari fanfic ini kelar juga~! Untuk pertama kalinya ide bisa ngalir tanpa berhenti saat dalam proses pengetikan fanfic ini ; w ;

Umm... sebenarnya saya ingin nanya apakah gaya bahasa seperti ini lebih 'baik' dari biasanya atau justru lebih aneh? ; w ; Ini satu-satunya fic yang beberapa waktunya terinspirasi dari pengalaman sendiri... tapi gak semuanya.

Yah..., akhir kata. Terima kasih telah membaca ^^