Enjoy


Dia hanyalah pemuda biasa dengan mimpi yang biasa pula.

Dia tidak menginginkan banyak hal. Sebuah rumah kecil dengan halaman yang bisa dijadikannya sebagai kebun bunga, maka hidupnya akan terasa sempurna.

Dia suka bunga. Yah, dia suka bunga entah sejak kapan.

Tanaman itu memiliki banyak jenis, sebanyak rahasia yang dimiliki semesta.

Banyak warna dan tentu memiliki banyak makna yang berbeda. Dan walaupun dari jenis yang sama tapi jika warnanya berbeda maka artinya pun berbeda.

Tumbuhan yang indah dan misterius. Mereka sederhana namun dapat mewakili seribu kata. seribu perasaan.

Tulip, lili, chyrsant, daisy, angrek, anyelir, kaktus, seruni, mawar, iris, melati, semuanya. Semua jenis bunga.

Sepertinya ia butuh halaman yang luas untuk bunga-bunganya nanti. Mungkin memang sedikit aneh untuk standar pria dewasa yang suka bunga-bungaan sepertinya. Tapi ini lah cinta, kau tak bisa memilih kepada siapa kau akan jatuh cinta, bukan?

Secara personal dia sama sekali tidak tertarik dengan sesama atau lawan jenis. Sama sekali tidak, walaupun ayahnya mengancamnya memotong organ vitalnya. Sasuke sama sekali tak bergeming.

"Sasuke, nikahilah seorang gadis!" Pria tua itu berucap dari ujung meja.

"Maaf ayah. Aku tidak tertarik dengan gadis mana pun." ucapnya kala itu.

Mengelap bibirnya dengan serbet putih, ia baru saja menyelesaikan makan malamnya dan dari ujung sana ia bisa merasakan kekhwatiran ayahnya. Pria tua yang dulunya ditakuti dengan kegarangannya itu kini tak lebih dari ayah yang mulai takut dengan anak-anaknya. Bukan sepenuhnya takut namun ia sadar dengan umurnya, kejayaannya untuk bertindak keras kepala sepertinya sudah dalam masa tenggang. Bersikap kolot hanya membuat anak-anaknya memberontak. Dia paham, Uchiha tua ini juga pernah mudah.

"Sudah kukatakan ayah, Sasuke itu gay." di seberang mejanya, Itachi-kakaknya- berkata dengan nada santai.

Memutar matanya bosan, malas menanggapi candaan kakaknya yang usil itu. Buang-buang tenaga.

"Bawa 'dia' kesini, Sasuke. Jika 'dia' layak mungkin ayah akan mempertimbangkannya." Sasuke hampir tersedak, jangan bilang ayahnya percaya dengan omong kosong Itachi.

"Aku selesai." Sebelum beranjak sebuah delikan ia lemparkan untuk Itachi yang tentunya disambut dengan seringai ejekan.

Sasuke mendengus.

"Sasuke, tunggu. Ayah belum selesai bicara. Ayah tidak mau tahu kau harus menikah."
Suaranya ter pantul-pantul di ruang makan yang besar itu. Sasuke melenggang pergi sedikit kesal kenapa tiba-tiba ayahnya memaksanya menikah seperti ini. Ah, seharusnya ia tidak perlu heran, ini pasti ulah Itachi.


Pagi itu, ketika embun masih setia bergulir di atas rerumputan. Sesosok dengan iris biru langitnya sedang duduk diatas kayu tua yang telah tumbang beberapa tahun silam.

Dahan-dahan pohon tua itu mulai lapuk terkikis waktu. Lumut dan rayap tak membiarkannya utuh layaknya saat ia berdiri kokoh seperti dulu. Hukum alam perlahan-lahan memusnahkan eksistensinya.

Sosok itu, tersenyum lembut namun begitu senduh. ia menatap hamparan helaian-helaian hijau yang ada disekelilingnya dan sang pohon tua.

"Kalian tahu ... hanya kalian lah yang setia menemani ku selama ini." Bisiknya pada angin.

"Aku lelah menunggu ... mungkin ia telah lupa pada janjinya. Tapi aku tidak bisa terus menyiksanya." senyumnya getir menusuk sukma.

Ia bisa merasakan angin lembut bertiup membasuh wajahnya, membawanya kembali pada kenangan 9 tahun silam.

Kenangan yang menahannya untuk tetap setia menunggu ditempat itu.


"Hei, apa yang kau lakukan disini." anak kecil bersurai pirang itu menoleh ketika seseorang menegurnya dari belakang.

Seorang bocah lelaki yang sepertinya seumuran dengannya menghampirinya.

"Apa kau juga tersesat?" Tanya anak itu.

Dia tidak menggeleng ataupun mengangguk. Ia hanya mundur selangka. Ibunya bilang dia harus berhati-hati dengan orang asing yang mengajaknya berbicara.

Menyadari reaksinya yang terlihat takut. Bocah lelaki itu tersenyum hangat. Senyum terhangat yang pernah ia lihat, setelah ibunya, tentunya.

"Ah maaf, kenalkan aku Sasuke. Aku orang baru disini. Tadinya aku sedang mencari jamur untuk nenekku, tapi karena terlalu asyik aku jadi tidak sadar masuk semakin jauh kedalam hutan. Dan, aku tersesat." Anak itu terlihat kebingungan.

Dia merasa kasihan, ia pernah tersesat, jadi ia tahu bagaimana rasanya. takut dan bingung. Perasaan yang teramat sangat ia benci.

Ia menatap lamat-lamat bocah lelaki dihadapannya. Walaupun bocah itu menyembunyikan rasa kebingungannya dibalik wajah datarnya, tapi entah mengapa ia merasa dapat membaca setiap mili perasan anak itu.

"Sasuke, jangan takut. Naru ada disini." dan tiba-tiba saja, dia meraih tangan anak dihadapannya itu.

Menggenggamnya, berusaha untuk menyalurkan kekuatan dan keberanian yang ia punya. Sedang bocah 11 tahun yang bernama Sasuke itu hanya diam menatap tangan kecil yang berusaha menyelimuti tangannya yang lebih besar.

"Kau lucu." Sasuke menepuk pelan kepala pirang di hadapannya.

Sasuke gemas ingin memeluknya. Saking gemasnya hingga ia lupa bahwa sejak sejam lalu ia tersesat.


Ia tersenyum lembut, kelopak matanya terpejam masih ingat dengan jelas hari itu.

Rajutan kenangan yang begitu indah dan menyakitkan. Sesak yang mendebarkan, bukan? lucu rasanya.


Jauh didalam hutan, ada sebuah padang yang dipenuhi hamparan bunga matahari. Tak ada yang menanam dan merawatnya. Mereka tumbuh, bermekaran dan mati kemudian tumbuh lagi dari bibit sebelumnya. Begitulah seterusnya. Orang-orang yang tinggal di desa dekat hutan itu percaya bahwa hamparan bunga matahari itu tumbuh dan bermekaran dengan indah karena dijaga oleh peri hutan.

Sejatinya itu benar, namun tak sepenuhnya benar.

Mereka adalah matahari-matahari kecil yang tetap bersinar bahkan di kala badai menerpa.

Bunga matahari adalah bunga yang mudah tumbuh. Namun bukan berarti mereka tidak bisa layu begitu saja. Mereka kuat namun juga rapuh.
Yah tak sekuat yang kau kira tapi tak serapuh yang kau bayangkan. Bunga yang tegar.

Sosok itu telah menyaksikan siklus ini selama bertahun-tahun. Ia mengenal bunga-bunga itu melebihi mengenal dirinya sendiri. Karena dialah yang menjaga bunga-bunga itu selama ini. Menjaganya dari musim dingin di bulan Desember, dan menemaninya di musim panas pada bulan Juni.

Sedikit lucu, tapi orang-orang memanggilnya 'Peri Hutan'. Julukan yang aneh tapi akan lebih bak daripada dipanggil 'hantu gentayangan'.

Dia menyentuh pohon tua yang didudukinya, kemudian tatapannya beralih pada hamparan pohon-pohon bunga matahari di sekelilingnya. kuncup-kuncup kecil ter tempel lucu di ujung pohon itu. Belum tapi mereka akan segera bermekaran.

Lagi-lagi ia memperlihatkan senyum yang sama.

"Aku akan disini bersama kalian, jadi jagalah kenangan itu hingga dia datang untuk mengambilnya." Suaranya lembut se lembut angin yang bertiup diantara sela-sela pepohonan , damai seperti kicauan burung yang menyambut pagi. Namun menyayat seperti daun-daun tua yang rontok dari batangnya.

Tapi Ia akan terus menunggu hingga waktunya habis.


Sasuke membuka tirai kereta yang di naikinya. Suara sepatu kuda beradu pelan dengan tanah, angin lembut yang membawa aroma musim semi menyapu lembut helaian poninya. Keningnya menukik tajam, ia masih dendam dengan ayahnya atau Itachi lebih tepatnya. Karena hasutan kakak bodohnya itulah sehingga Sasuke dikirim ke desa yang ditujunya sekarang.

Sasuke dikirim ke tempat itu seperti barang rongsokkan dengan dalih membantu bisnis gandum milik ayahnya,tapi Sasuke lebih dari tahu bahwa itu hanya alasan karena tujuannya adalah membuat Sasuke cepat menikah.

Sekitar satu kilo meter dari desa itu terdapat sebuah kota yang terkenal ramai akan pusat hiburannya dengan muda mudinya yang elok. Mungkin terlalu jelas jika ia langsung dikirim ke kota itu. Maka, ayahnya mencari segala cara dan bisnis gandum yang ada di desa terdekat di kota itulah pilihannya. Sasuke tidak bisa menolak, karena pilihannya adalah mengurus bisnis gandum atau dijodohkan.

Entah rasukan jenis setan apa yang dilancarkan Itachi, Ayahnya benar-benar seperti kesurupan ingin menikahkannya.

Sasuke tidak ingin menikah, samasekali tidak tertarik mungkin karena belum ada orang yang mampu membuatnya menginginkan hal itu.

Bunga daisy liar yang tumbuh di pinggir jalan tampak mulai bermekaran. Mereka berbahagia menyambut musim semi. Alih-alih bertambah kesal terus memikirkan ayah dan kakaknya, Sasuke tiba-tiba mengulaskan segaris senyum, daisy-daisy itu seolah menari menyambut kedatangannya.

Daisy kah?

Bunga yang melambangkan kesetiaan dan kepercayaan. Namun makna sesungguhnya adalah memberi keceriaan serta kesetiaan. Kombinasi yang aneh.

'Sasuke, jangan marah. Sasuke tidak boleh marah.'
Bunga-bunga itu seperti berbisik untuknya. Perasaan kesal yang sepanjang jalan didera Sasuke menguap entah kemana.

'Semua bunga memiliki sihirnya sendiri dan daisy menyihir hati kita yang sedang marah atau sedih menjadi ceria. Apakah kau merasakannya?'

Eh, suara. Suara siapa itu?

Sasuke berusaha menjulurkan kepalanya ketirai, mencari asal suara begitu nyata namun juga samar-samar. Apakah ia berhalusinasi?

Sadar dengan tingkahnya yang aneh, Sasuke kembali fokus pada pemandangan yang dilewati kereta. Tak ingin membuat sang kusir terus melirik aneh padanya.

Satu dua pohon oak mulai bermunculan, suara berat sang kusir mengatakan sebentar lagi mereka sampai namun Sasuke tidak mendengar, sibuk dengan gelutan pikirannya.

Padang rumput, suara tepakan kaki kuda, bunga daisy, pohon-pohon oak.

Perasaan familiar macam ini? Apakah ia pernah kemari?
Kembali menepis pikiran anehnya. Selama 20 tahun hidupnya Sasuke yakin ia habiskan di rumah, kalaupun ia pernah kesini ayahnya pasti memberitahunya.

Ah mungkin ini hanyalah De javu.


Sasuke menatap penuh rasa terpesona. Di hadapannya berdiri sebuah rumah kayu, terbuat dari kayu jati dan mungkin juga kayu mahoni. Tidak terlalu tua dan tidak terlalu besar namun terlihat nyaman untuk di tinggali, rumah yang di belikan ayahnya untuk di tinggalinya mulai dari sekarang. Akan tetapi bukan rumah itulah yang membuat Sasuke sepenuhnya terpesona melainkan halaman rumah tersebut.

Halaman depannya mungkin tidak terlalu luas tapi halaman belakangnya lebih dari cukup, ditambah tak banyak rumah di desa pinggir hutan itu. Kusir kereta tadi juga berkata di belakang desa hanya ada hutan. Sasuke bergembira. Ayahnya mengirimnya kesini untuk mengurus bisnis gandum dan mencari pasangan hidup. Mengurus bisnis gandum mungkin masih bisa, tapi dengan halaman seluas ini mencari pasangan hidup sepertinya ia tidak punya waktu, sungguh disayangkan jika halaman seluas itu tidak ditanami bunga bukan.

Sasuke tidak tahan menyunggingkan senyum miring diwajah datarnya. Terlampau senang.

hari mulai beranjak malam ketika ia baru saja selesai membereskan barang-barangnya. malam ini ia akan beristrihat, besok Sasuke berencana kekota seberang membeli peralatan rumah serta pupuk dan bibit bunga belakangnya mungkin akan ia penuhi dengan iris, anyelir, azalea, anggrek, juga azoka. Bunga-bunga dengan masa hidup yang panjang. Sasuke memikirkan rencananya untuk besok dan perlahan ia mulai jatuh tertidur.

Dua kunang-kunang yang tadinya hinggap di ambang jendela, terlihat menggetarkan sayapnya siap terbang mengikuti hembusan angin malam menuju kedalam hutan. Cahaya di perut mereka terang redup melewati pepohonan, semak-semak, saling mendahuli namun tetap mengawasi agar tidak terpisah.

Jauh mereka terbang masuk ke tengah-tengah hutan hingga sampailah mereka di sebuah padang yang hampir dipenuhi oleh tumbuhan yang tingginya mungkin hanya se pinggang. Baik si kedua kunang-kunang atau pun seluruh penghuni hutan tahu jika tumbuhan itu adalah bunga matahari yang sebentar lagi akan bermekaran.

Salah satu kunang-kunang hinggap di sebuah pohon yang telah tumbang ditengah-tengah hamparan bunga matahari tersebut. Sedang yang lainnya hinggap diujung jari seseorang. Seseorang yang duduk di pohon tumbang yang sama dengan kunang-kunang sebelumnya.

Jari orang itu lentik dan hangat membuat sang kunang-kunang betah berputar-putar kemudian terbang dari ujung jari telunjuk kemudian manis, kelingking begitu lah seterusnya.

Orang itu tersenyum melihat tingkah lucu si kunang-kunang. Seluruh penghuni hutan mencintainya dan menjaganya. Selama bertahun-tahun mereka menghiburnya, ia sangat bersyukur.

"Aku sangat berterimakasih, kalian menjaga ku dan menghibur ku selama ia pergi. Tapi hari ini dia telah kembali, besok aku akan menemuinya, aku akan menagih janjinya."

Senyum yang terkembang dibibirnya diiringi oleh kuncup-kuncup bunga matahari yang mulai bermekaran.

Kehidupan bunga matahari itu singkat se singkat waktunya untuk menagih kembali ikatan mereka.


TBC


Disclamer: Masashi Khisimoto

Genre: Romance n Fantasy

Pair: SasuNaru

By: De Amor

Title: Teman Hati


N.b: fic yang terinspirasi dari lagu Kokoro no Tomo (Teman Hati) by Mayumi Itsuwa. Dan fic ini pernah saya updet di fb jadi minna-san mungkin pernah ada yang baca.

Dan HAPPY BRITH DAY NARUTO :* (Cipok Naru-chan)

Ok, Akhir kata XD Review Pliss...