Author's Note : Sorry for typo there and here~ aku berusaha meniadakan typo but mata yang sudah uzur ini mungkin tidak menyadari beberapa typo. hahaha :D. Btw, ini pertama kalinya buat FF di fandom Harry Potter, Geez, aku sebenernya nggak PD, i'm just a potato. But thanks for you, sudah mau meluangkan waktu membaca dan mungkin sedikit memberi review /wink/

Under Star

by. F-Nine

Disclaimer : J.K. Rowling

Happy reading

Manik silver kebiruan milik Draco kecil menatap takjub indahnya langit malam di beranda kamarnya. Dia menunjuk setiap rasi bintang yang diketahuinya dengan semangat padahal jam di kamarnya sudah menunjukkan pukul 23.59. Bocah itu tidak terlalu peduli karena tidak ada yang melarangnya, dia selalu sendirian di Malfoy manor. Orang tuanya selalu pergi entah kemana dan setiap Draco bertanya meraka hanya menjawab 'Kau akan tahu kelak'. Semenjak itu dia tidak pernah bertanya lagi dan berusaha membiasakan diri dengan kesendiriannya. Dia punya segudang buku untuk dibaca dan sedikit bermain dengan ramuan saat dia menyusup ke ruangan milik ayahnya.

50 detik sebelum jam 12 malam, angin sepoi berhembus membelai surai platinum milik Draco. Beberapa detik lagi Draco berumur 8 tahun, seperti tahun sebelumnya tidak ada perayaan khusus yang dilakukan untuk merayakan ulang tahunnya. Bahkan Draco lupa apakah dia pernah merayakan ulang tahun dalam hidupnya.

30 detik lagi, mata indah milik Draco membulat saat dilihatnya satu benda langit yang bersinar meluncur jatuh namun menghilang sebelum sempat menyentuh bumi. Sejenak dia teringat cerita ibunya tentang permintaan pada bintang jatuh yang dapat mengabulkan keinginan apapun. Kedengaran lucu sekarang ini, karena dia tahu itu hanya meteor biasa yang jatuh ke bumi bersinar terkena gesekan atmosfer dan hilang oleh panas dari gesekan itu.

10 detik, kristal bening jatuh dari manik silver kebiruan itu. Entah apa yang membuatnya menitikkan air mata, bahkan Draco sendiripun tidak tahu. Draco adalah anak yang tidak pernah menunjukkan emosi, sangat tidak cocok untuk umur sepertinya. Selalu pandai memakai poker face bahkan di hadapan orang tuanya. Sehingga dia sendiripun kaget dapat menangis tanpa sebab. Mungkin hidupnya terlalu ironis hingga membuat dia seperti ini.

2 detik, Draco memejamkan matanya, untuk pertama kalinya sesuatu dalam dirinya seakan menggebu. Untuk pertama kalinya dia ingin mempercayai cerita bintang jatuh. Hanya satu permintaan yang dia ingin setelah bertahun-tahun dirinya tidak pernah memohon. Pada detik ini dia sangat berharap pada bintang.

1 detik, bintang jatuh paling terang melesat dari angkasa sebelum hilang melebur di langit. Bibir milik Draco berucap lirih bersamaan jam yang mulai berdentang memenuhi Malfoy manor, "I wish..."


8 tahun kemudian

"Hei, Potter! Pahlawan gadungan!"

Harry Potter, pemuda dengan manik emerald indah itu tengah memasang tampang paling garang saat Zabini Blaise dengan menyebalkannya mengganggu akses jalan di koridor menuju aula utama. Kegiatan rutin yang selalu dilakukan untuk menganggu Potter muda satu ini dan kesempatan emas karena tidak ada Ron dan Hermione yang biasanya mengapit pemuda itu seperti bodyguard. Blaise merentangkan tangannya agar Harry tidak dapat melewatinya dan itu membuat Harry semakin kesal. Apalagi di belakangnya ada bos besar dari asrama Slytherin, Draco Malfoy. Pemuda bersurai platinum itu hanya bersandar santai di dinding koridor, tampak tidak tertarik sedikitpun untuk menganggu Harry. Namun Harry tidak dapat percaya 100 persen pada pemuda itu karena dari tahun pertama hingga tahun keempat pemuda itu begitu gencar mengganggunya. Namun saat tahun kelima sikapnya berubah 180 derajat, tampak tak peduli pada Harry. Otak Harry sudah memberikan peringatan kalau itu hanya akting dan dia memiliki rencana untuk membully Harry lebih kejam.

Sebelum Harry menarik tongkat sihirnya untuk mengajak berduel si Zabini Blaise ini, Draco sudah menyikut temannya itu untuk meninggalkan Harry. Blaise mengerang kesal namun tidak dapat menentang dan memilih mengekori Draco. Sedikit bingung dengan apa yang dilakukan Draco, yang seharusnya membully Harry tapi pemuda itu malah pergi begitu saja. Sejenak Harry mulai berpikir kalau Draco memang sudah berubah. Sepersekian detik Harry tersadar bila hal itu tidak mungkin, Draco adalah Slytherin yang licik. Tidak mungkin bisa berubah sedrastis itu. Harry menggelengkan kepalanya dan melanjutkan perjalanannya ke Aula utama.

Di sisi lain, Blaise masih tidak percaya Draco membiarkan saja mangsa bully-annya begitu saja, "Kau ini kenapa sih? Akhir-akhir ini kau berubah sekali. Tidak mengganggu si Potter lagi."

Draco memutar matanya, "Mungkin bosan."

Blaise terkekeh, "Kau? Bosan mengganggu Potter? Lelucon sekali Dray."

Draco menarik sudut bibir kanannya, "Aku benar-benar sedang bosan mengganggu dia."

"Bukan karena yang lain? Atau kau sudah depresi Potter tidak menggubrismu?" ejek Blaise.

Draco tidak menanggapi pertanyaan Blaise dan terus menyusuri koridor bawah tanah menuju asrama Slytherin. Mereka berhenti pada dinding batu yang menghubungkan dengan ruang rekreasi. Sebelum Draco menyebutkan kata kuncinya, pintu asrama itu terbuka menampilkan Daphne Greengrass yang tampak tidak lady sekali. Rambut pirangnya mencuat dan bajunya tidak serapi biasanya. Dia menarik Draco dan Blaise masuk ke dalam ruang rekreasi dan merapalkan mantra agar tidak ada yang bisa mendengar pembicaraan mereka.

"Kau ini kenapa sih?!" protes Blaise.

Daphne berdecak seraya menyisir rambutnya dengan jemari tangannya, "Kau tahu mulai terjadi pergerakan antara pihak Order dan pelahap maut?"

"Ya aku tahu, beberapa anak Slytherin tengah membicarakan itu." Jawab Blaise.

Mata emerald Daphne menatap khawatir Draco sedari tadi hanya menyimak saja, "Bagaimana ini Dray? Kau pasti akan ditarik untuk menjadi pelahap maut."

Draco sama sekali tidak menjawabnya, dia sangat tahu dirinya akan terjebak dalam situasi ini cepat atau lambat. Sejak tahun pertamanya, dia sudah dilatih begitu keras oleh ayahnya, Lucius Malfoy, untuk menjadi calon pelahap maut. Bahkan tanpa diketahui oleh orang lain, Draco justru lebih hebat dari yang diperkirakan hanya dia menyembunyikan kenyataan itu. Situasi saat ini bisa dibilang gawat semenjak Lord Voldemort mendapatkan kembali tubuhnya dan kembali mengumpulkan aliansinya. Memikirkan saja membuat Draco sakit kepala.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang, aku sungguh tidak suka situasi ini." Desah Blaise. "Tapi yang paling terancam adalah Potter kan?"

Daphne dan Blaise memandang sahabatnya itu, bukan rahasia lagi bagi mereka kalau pemuda berambut platinum itu tertarik dengan Harry Potter. Sesuatu yang salah seandainya semua Slytherin tahu bagaimana dia bisa menyukai seorang Gryffindor. Beberapa kali Draco menolong Harry dibelakangnya dan di depan pemuda berkacamata bundar itu Draco akan mengolok-olok. Sebenarnya agak kekanakan tapi itu semua agar menghindarkannya dari serangan wanita Slytherin yang sangat berbisa. Perlu diketahui, Draco sangat terkenal dikalangan wanita maupun pria. Dengan wajah aristrokatnya, badan kekarnya yang seksi dan jangan lupa mata silver kebiruan yang selalu menatap dingin. Pernah saat tahun kelima, Draco menghentikan semua kegiatan permusuhan dengan Harry dan dia mencoba untuk mendekati pemuda itu. Para wanita Slytherin yang dipimpin oleh Astoria hampir membuat Harry celaka, kalau tidak dicegah Draco. Karena itu sebisa mungkin Draco tidak menunjukan rasa sukanya atau Harry akan tamat riwayatnya sebelum menghadapi Voldemort.

"Aku sama sekali tidak mempunyai rencana, tapi aku akan mencari jalan." Ujar Draco dengan tenang.

Blaise tertawa renyah, "Aku sungguh tidak mengerti bagaimana kau bisa sangat tenang pada situasi seperti ini."

Draco hanya membalas dengan seringainya, "Karena aku seorang Malfoy mungkin"

Daphne memutar matanya, "Oh, kalian ini!"


Seumur hidupnya baru kali ini Harry melihat sesuatu yang begitu indah. Dirinya tidak bergerak seinci pun dari tangga menara astronomi seakan terhipnotis oleh pemandangan indah itu. Siluet dari pemuda Slytherin yang tertimpa cahaya bulan di beranda menara. Surai platinum itu seakan berpendar dengan cahaya bulan menambah keindahannya. Sosok indah yang selama ini menjadi musuh Harry membuat pemuda manis itu tercekat. Masih tidak menyangka kalau seorang Draco Malfoy dapat begitu tampannya atau mungkin Harry baru menyadarinya sekarang.

"Mr. Potter apa kau tahu aturan untuk murid tidak berkeliaran larut malam atau kau akan mendapatkan detensi." Suara Draco membuyarkan lamunan Harry.

"A-aku..." wajah Harry memerah dan dia sama sekali tidak tahu harus menjawab apa. Dia lupa kalau Draco adalah ketua murid dan mungkin dia sedang patroli. Sekarang dia seperti tikus yang tertangkap mencuri padahal dia hanya ingin mengambil perkamen tugas ramuannya yang tertinggal di menara itu saat dia mengerjakan di sana.

Tangan Draco terjulur memberikan gulungan perkamen milik Harry, "Cepat kembali ke asramamu, aku tidak tahu bahwa pahlawan kita ini dapat kelupaan dengan tugasnya sendiri."

"A-apa?!" Harry sangat tidak percaya dengan omongan yang menyebalkan dari Malfoy satu ini. "Maaf sekali Mr. Malfoy tapi aku bukan pahlawan dan hentikan ejekanmu itu."

Sudut kanan bibir Draco tertarik menampilkan seringai, yang harus Harry akui dengan malunya, sangat seksi. Digigitnya apel hijau yang sedari tadi dia genggam, "Baiklah, Mr. Potter. Oh, kau salah menyebutkan satu bahan pada tugas ramuanmu."

Dengan kasar Harry merebut perkamennya dan memberikan glare kepada Draco sebelum berlari meninggalkan menara astronomi. Hal itu membuat Draco tidak dapat menahan tawanya melihat begitu manisnya Harry. Menurutnya Harry seperti anak anjing yang mencoba untuk galak. Satu hal yang membuat Draco tergila-gila pada pemuda itu. Draco menghentikan tawanya saat merasakan interupsi dari seseorang yang dia kenal. Asap hitam menerobos masuk dari beranda ruang astronomi menampilkan sosok Bellatrix Lestrange.

"Oh, keponakan manisku, Siap bergabung dengan kelompok kami?" Bellatrix terkikik.

"Apa kau kemari hanya memberitahukan itu auntie? Manis sekali." Ujar Draco sarkastik.

Tangan kurus Bellatrix membelai rambut platinum Draco, "Tentu tidak, sayang. Sesuatu lebih penting dari itu."

Draco menepis tangan Bellatrix yang membuat wanita itu tertawa, "Apa yang 'dia' inginkan?"

"Membunuh si tua Dumbledore tentu saja! hahaha! Bukan kah sangat menarik?"

"Kalau aku tidak ingin melakukannya?" mata silver kebiruan itu menatap dingin Bellatrix.

"Orang tuamu yang akan menggantikan kematian si tua itu." Ujar Bellatrix dengan nada ironis. "Lebih baik kau turuti atau aku tidak akan menemui Cissy lagi."

Draco menatap tajam bibinya itu dan dibalas tawa yang nyaring seolah mengejeknya. Kepulan asap hitam menyelubungi Bellatrix yang masih terkikik dan menghilang begitu saja. Hal yang diberitahukan bibinya itu tidak membuat Draco terkejut, keluarganya merupakan pengikut setia Dark Lord dan sudah sangat paham dengan cara kerja mereka. Tapi tanpa diduganya pihak Voldemort mulai melakukan pergerakan lebih dahulu. Ini sangat bahaya bila Albus Dumbledore tumbang, berarti penjagaan pada Harry Potter akan berkurang. Namun jika dia membiarkan Dumbledore hidup maka orang tuanya akan menjadi korban.

Senyum misteriusnya tercetak diwajah seraya menatap bintang-bintang digelapnya langit malam. Dihembuskan nafasnya pelan, "Semua akan dimulai."

~Thank you :D~