Author's Territorial


Kaito : Istirahat sejenak dari keramaian dunia ini… Huft… *ni anak kenapa*

Koyuki : Kaito-kun…? *swt*

Aoi : Kaito…? *swt*

Akai : Ok, let's begin this fic~ Happy readin'~

Kaito : Btw, saya membuat ini sembari mendengarkan lagu Kamenbudoukai – Yuzuki Yukari & KAITO V3. Silahkan linknya di yutub : watch?v=qBDIZb1M2Uw *note : hilangkan spasi*

Kaito : Well, happy readin' and Moka-san here your reqfic. Btw, judul lagunya saya coba baca sendiri, jadi kalo salah mohon dimaklumi.


Disclaimer : Vocaloid by YAMAHA, KAITO © CFM, Yuzuki Yukari © AH-Software, VY2 © B-plats.

Summary :

"Malam ini… biarkan semua kegelisahanmu hilang… Berdansalah denganku malam ini… Karena saat ini aku hanya ingin, aku yang ada di matamu…" / "Anda… siapa…?" / "Kau tak perlu tahu… Kau hanya harus menikmati semua ini, tuan putri…" / "Ha-hai'…"

Rated : T (Teen).

Genre : Romance, drama, mystery, hurt/comfort.

Warning : Typo, abal, GaJe, Normal's POV only, KaiYuka, kuudere + cool + mysterious Kaito (siap-siap tisu yg nggak tahan-*plak*), request from Moka Aoi, cover edited by me, dll~

Pair : KaitoxYukari. Lil bit YuuYuka.

Kuro 'Kaito' Neko's proudly present : 仮面舞踏会 (Kamenbudoukai/Masquerade).


Don't like? No need to read!


Gadis berusia dua puluh tahun itu duduk dengan rapi di atas sofa berwarna marun. Di hadapannya, tampak pria yang terlihat lebih tua darinya. Wajah pria itu berkerut, beberapa rambut berwarna putih nampak pada kepalanya, menandakan usia yang tak lagi belia. Matanya menatap sang gadis dengan tajam, menatap sang gadis belia yang tengah duduk dengan sopan, seakan-akan menyalurkan semua rasa tak suka yang teramat sangat.

"Kau mau menolak permintaan ayahmu ini?!" bentakan yang lumayan keras terdengar menusuk hati. Apalagi bentakan itu ditujukan untuk putri semata wayangnya sendiri.

Gadis beriris ungu itu mengangguk pelan, namun terlihat jelas anggukannya ia lakukan dengan rasa takut yang menguasai tubuhnya. Dirinya terlalu takut sang ayah akan murka. Wajahnya sedikit terhalang rambut ungu pudar miliknya. Kulit wajah yang seputih salju serta rupa yang cantik, namun sama sekali tidak bisa menutupi ketakutan yang dideranya saat ini.

Gadis remaja itu mengaduh kecil ketika tamparan keras tepat mengenai pipi putihnya, meninggalkan bekas telapak tangan berwarna merah, rasa sakit serta panas yang begitu tajam dan menusuk. Namun, ekspresinya masih sama, menahan rasa takut yang teramat sangat, dalam hati ia sudah bersiap-siap untuk mendapat caci maki dari sang ayah, namun di hati kecilnya ia ingin sang ayah mengerti. Dia tidak mungkin dalam semalam bisa membuat seseorang langsung menyukainya. Lagipula, ia sama sekali tidak memendam rasa suka pada orang itu, dan lagi sang ayah hanya mengincar hartanya, untuk menaikkan status keluarganya, sama sekali tak memikirkan anak gadisnya.

"Dasar anak tidak berguna! Kau sama saja tak bergunanya dengan ibumu!" lagi, kalimat yang mengudara terasa menyayat hati. "pokoknya mau tidak mau kau harus bisa membuat Kazeno Yuuma tergila-gila padamu! Kalau tidak, lihat saja!"

'Blam!'

Suara pintu yang dibanting cukup keras mengakhiri semua hujatan yang mengudara di ruangan sunyi. Aliran bening yang menggenang sejak tadi sudah tak bisa ditahan lagi. Akhirnya, bendungan tempat semua kesedihan, emosi, kegelisahan tertampung sudah tak kuasa menahan seluruh emosi itu. Akhirnya, air mata yang menjawab kepedihan yang dirasakan gadis muda itu. Isakan terdengar menggema di antara ruang sunyi, mengisi celah-celahnya dengan suara isakan yang menyayat hati.

Surai ungu dengan dua ikatan yang melewati bagian dadanya tampak terkena rembesan sungai kepedihan. Kedua tangannya digunakan untuk menyembunyikan wajahnya. Bola pengelihatannya nampak merah, kelopak matanya terlihat bengkak. Entahlah, sudah berapa lama gadis itu menahan tangis yang hampir setiap hari ingin merobohkan pertahanannya. Dia tak ingin menangis, almarhum ibunya pasti mengalami hal yang lebih pahit daripada dirinya saat ini, namun tak sedetik pun gadis itu pernah melihat sebuah senyum pudah dari wajah wanita yang paling ia hormati itu.

Lemah… 'ya dirinya memang lemah. Dirinya memang tak bisa melakukan apa-apa, hanya bisa menurut pada keinginan egois sang ayah. Payah, padahal andai saja dirinya tak dilahirkan… andai saja ibunya tidak bertemu ayahnya… dia tak harus dilahirkan dari pernikahan terpaksa itu. Ya… dirinya adalah anak yang sudah dikandung sebelum menikah… Menjijikan, bukan…? Entahlah… keberadaannya mungkin lebih menjijikan dari sampah.

"O-okaa-sama… hiks… aku merindukanmu…" akhirnya, tangisan pun pecah, menandakan semua kepedihan itu sudah tak bisa ditanggung di punggung kecilnya.


"Menangislah bila kau ingin menangis. Bukan berarti kau lemah, namun menandakan bahwa dirimu adalah manusia hidup yang memiliki perasaan. Mungkin tidak ada gunanya menangis, namun setidaknya meringankan bebanmu. Karena itu… menangislah jika kau ingin, aku akan menemanimu." (Shion Kaito)


Alunan musik lembut mengisi celah-celan di antara keramaian tempat itu. Sebuah aula yang dipenuhi oleh manusia. Mereka menggenakan pakaian yang berwibawa dan terlihat mewah. Ya, tentu saja, ini adalah pesta topeng yang diadakan oleh orang-orang berkelas, tak heran bila interior, musik, bahkan kudapannya nampak begitu berkelas.

Di sisi kanan tampak beberapa orang tengah memainkan alat musik. Mata mereka terpejam, membiarkan alunan-alunan lembut nan menghibur rohani terdengar, berharap para pendengar sama seperti mereka yang memainkan, menghayati tiap lagu yang dibawakan walaupun tengah berada dalam kerumunan kesibukkan serta keramaian.

Topeng nampak menyembunyikan seluruh emosi mereka, hanya menampakan beberapa bagian wajah. Di sini, seorang pria bertubuh tegap walaupun usianya sudah tidak lagi muda. Seorang gadis belia mengikutinya dari belakang. Surai rambutnya yang mencapai bahu tersisir dengan rapi, sebuah jepit tampak menawan merapikan tiap helai agar tertata. Dua buah helai jatuh dalam dua kucir rendah. Gaun berwarna putih nampak membalut tiap inci tubuhnya dengan anggun, beberapa renda tampak menghiasi beberapa sisi gaun yang nampak mahal itu. Pita berwarna putih pun melilit lehernya dengan menawan, turut menambah kecantikannya, sepasang selop transparan menghiasi kedua kaki putihnya.

Topeng berwarna hitam tampak menutupi sebagian wajahnya, hanya menampakan mata dan mulutnya yang tersenyum. Dirinya tampak begitu menawan, berjalan di antara kerumunan orang-orang. Banyak pasang mata lelaki menatap ayah dan anak gadisnya itu. Namun, lebih kepada anak gadisnya yang begitu mempesona. Semua mata yang memandangnya membuat sang pria tersenyum licik, dengan pelan dia berujar pada sang putri dengan tegas.

"Lihat… Jika kau berpenampilan seperti itu semua orang akan melihatmu. Aku harap kau bisa dengan cepat mendapatkan hati tuan muda Kazeno itu," ujarnya sebelum meninggalkan sang gadis sendirian di antara kerumunan orang-orang.

Gadis itu masih memasang senyuman. Perlahan, kedua kaki rampingnya melangkah dengan anggun. Suara hak dari selop yang bertemu dengan lantai tak begitu terdengar, tersamarkan oleh musik yang mengalun dengan merdu. Perlahan, gadis itu melihatnya, pemuda yang diinginkan oleh sang ayah untuk ia nikahi. Ya, walaupun pemuda itu memakai topeng, namun di antara kerumunan orang-orang dia nampak begitu berbeda. Dengan tuxedo putih yang dikancingkan dengan rapi serta beberapa helai rambutnya yang dijepit menggunakan jepit hitam tipis. Bola mata berwarna keemasan nampak dari dua buah lubang topeng yang ia kenakan, tatapannya terlihat begitu menawan. Rambutnya yang membuat pemuda itu mudah dikenali, warna merah muda lembut yang jarang dimiliki oleh laki-laki. Postur tubuh yang tegap turut menunjang penampilan pemuda dari keluarga Kazeno itu. Dia benar-benar tampan. Namun… memang gadis itu sama sekali tak memendam perasaan suka pada pemuda itu. Baginya, pemuda itu terlihat biasa di pandangannya.

Perlahan gadis itu menghela nafas pelan, mempersiapkan mentalnya untuk bertemu pemuda kaya raya itu. Perlahan ia berjalan mendekat ke arah pemuda yang tengah berdiri memandangi kerumunan orang yang berada di sana.

Yuuma menatap seluruh ruangan yang penuh oleh banyak orang itu. Ketika tengah membalikan wajah, iris emasnya bertemu pandang dengan amethyst yang tengah menatapnya. Entahlah, seakan-akan ada sebuah sihir yang membuat dirinya tak bisa bergerak. Hanya terus menatap kedua kristal yang menatapnya. Tak sampai beberapa detik, gadis bertopeng itu sudah sampai di hadapan pemuda yang lebih tinggi beberapa puluh centi darinya.

Pandangan mereka bertemu, seolah-olah saling mengeluarkan daya magnet untuk menarik masing-masing. Dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya, gadis itu bertanya dengan sopan, "Selamat malam, kalau saya boleh tebak, saya sedang berbicara dengan Kazeno Yuuma-sama," suaranya terdengar lembut. Suara yang begitu menenangkan, terdengar begitu merdu di telinga Yuuma. Suara yang masih sedikit kekanakan, namun juga ada nada dewasa yang terdengar, ditambah lagi suaranya yang terdengar begitu lembut. Membuat pemuda itu merasakan detak jantungnya yang begitu cepat.

"Ah… Tebakan Anda benar sekali, nona. Bravo señorita," ujarnya menggunakan bahasa asing yang dimengerti oleh gadis muda itu.

Gadis itu terkekeh kecil, sembari menutup mulutnya menggunakan tangan kanannya. Pemuda setinggi 178 centimeter itu mau tak mau pun ikut tersenyum kecil. Irisnya menatap sang gadis dari atas hingga bawah. Menawan… seolah-olah dirinya baru saja melihat dewi yang diturunkan oleh Tuhan dari khayangan. Oh Yuuma, mungkin perumpamaanmu untuk gadis itu memang sedikit berlebihan. Tapi toh, gadis di hadapannya memang sungguh menawan.

"Kalau boleh tahu, untuk apa pemuda tampan seperti Anda sendirian saja di sini? Apakah Anda tak ingin berdansa dengan seseorang?" lagi, gadis setinggi 158 cm itu bertanya dengan nada lembut. Seolah-olah membuat pemuda itu melambung tinggi.

"Sepertinya tidak, lagipula sebenarnya aku kurang bisa berdansa. Diriku lebih suka berbincang-bincang dibandingkan berdansa di antara musik seperti ini," jawaban yang mengudara seolah-olah merupakan ajakan yang diberikan secara tersirat. Namun, gadis itu tentu tahu apa yang dimaksud pemuda itu, dia tak ingin membuang-buang kesempatan.

Senyuman gadis itu semakin nampak menawan di mata pemuda itu. "Kalau begitu, bagaimana jika saya menemani Anda berbincang-bincang, Kazeno-sama?" gadis berambut ungu pucat itu berujar dengan lembut.

"Tentu saja. Kalau boleh tahu, siapakah nama Anda, nona?"

Gadis itu tersenyum kecil, "Saya Yuzuki Yukari, mungkin Anda sudah pernah bertemu dengan ayah saya. Terima kasih selama ini sudah bekerja sama dengan perusahaan ayah saya," gadis itu membungkuk sembilan puluh derajat.

"Ah, jadi Anda putri dari Yuzuki-san. Anda memang cantik seperti yang diceritakan oleh Yuzuki-san, nona," Yuuma tersenyum, tepat setelah pujian itu mengudara.

"Ah, bagaimana kalau segelas minuman untuk mengaliri tenggorokan, Anda minum alcohol…?" lagi, pemuda itu kini menawarkan untuk mengambil minuman untuk sang gadis.

Yukari tersenyum kecil, "Tidak, saya tidak minum. Tak perlu repot-repot, Kazeno-sama," tolak Yukari dengan halus. Namun, pemuda itu nampaknya sama sekali tak mendengarkan perkataan gadis itu. Ia pun pergi meninggalkan gadis itu tepat setelah gadis itu menjawab. Nampaknya, pemuda merah muda itu tampak sedikit salah tingkah beberapa saat tadi.

Lagi… pemuda dengan jas hitam rapi itu menatap dengan sedikit rasa prihatin yang tersirat. Topeng yang juga berwarna hitam itu menutupi wajah pemuda itu, helaian sewarna lautan pun sedikit menghalangi wajahnya. Namun, itu sama sekali tak mengurangi penampilan sang pemuda dingin itu. Jas hitam yang tidak dikancingkan seluruhnya, memperlihatkan kemeja formal berwarna biru yang terlihat rapi. Sepatu hitam yang tampak mengkilap turut menambah kesan misterius serta berwibawa pemuda itu. Ditambah lagi dengan aura dingin yang nampak di sekitarnya.

Dengan perlahan, ia berjalan mendekat ke arah yang sedari tadi menjadi perhatiannya. Berjalan dengan berwibawa, walaupun sedikit nampak angkuh. Tangannya dimasukkan pada saku celana hitam panjang yang turut mengiringi langkahnya. Iris biru dinginnya masih menatap lurus pada objek semula.

Perlahan, dia terus berjalan pelan di antara kerumunan manusia, semakin mendekati sosok yang dituju. Sampai pada akhirnya, sosok yang ditujunya menyadari keberadaannya, tatkala jarak mereka tak lebih dari tiga meter.

Yukari terdiam di tempat, tepat sesaat ketika iris ungunya bertukar pandangan dengan permata biru laut yang menatap lurus. Warna birunya begitu menawan, seolah-olah menariknya ke dalam. Semakin ingin berlama-lama menatap lautan biru itu. Namun, sedikit banyak mirip seperti dirinya, begitu kosong.

"Sedang apa gadis cantik sepertimu berdiam diri di sini? Tidakkah seorang pemuda pun mengajakmu untuk berdansa?"

Kali ini, Yukari bisa dengan jelas mendengar suara pemuda itu. Suara rendah yang terdengar begitu maskulin. Entah kenapa, gadis itu sama sekali tak bisa melepaskan pandangannya barang sedetik pun dari pemuda itu.

"Sa-saya rasa itu ka-karena tidak ada yang tertarik dengan saya…"

Jawaban yang mengudara membuat si biru tersenyum tulus, menghapus ekspresi dingin yang sedari tadi terpasang pada wajahnya. Sesaat, senyuman itu membuat sang gadis merasakan panas di wajahnya. Namun, ia segera tersadar ke dunia nyata, tatkala sebuah tangan terarah padanya, seakan-akan mengajaknya untuk berdansa. Seperti terhipnotis ia menerima uluran tangan dari sang pemuda misterius itu.

Perlahan, pemuda itu menariknya menjauh dari tempat itu dengan lembut. Kemudian mereka sampai pada lantai dansa yang dipenuhi oleh banyak pasangan bertopeng yang tengah menikmati musik yang dimainkan. Alunan nada-nadanya terdengar lembut, seolah-olah menari di dalam hati tiap pendengarnya.

Kemudian, mereka berhenti di dekat sumber musik berbunyi. Pemuda misterius itu pun meletakkan tangan kirinya pada pinggang sang gadis, kemudian secara lembut dan perlahan menariknya untuk lebih dekat. Namun, satu hal yang tak berubah, keduanya masih saling menatap satu sama lain. Membuat keduanya terus-terusan terpesona oleh permata masing-masing. Seolah-olah mata itu saling memantulkan bayangan mereka sendiri.

Musik terus mengalun, pasangan itu pun mulai menggerakkan kaki mereka dengan perlahan, membuat gerakan yang sinkron dengan irama yang ada. Anehnya, mereka berdua nampak mudah sekali membiasakan gerakan masing-masing, seolah-olah mereka berdua sudah saling mengenal dan pernah berdansa bersama. Walaupun nyatanya, keduanya sama sekali tidak mengenal satu sama lain, ditambah lagi keduanya memakai topeng yang menyembunyikan detail wajah mereka secara jelas.

Keduanya terus berdansa dengan anggun, membuat beberapa orang yang melihat mereka sedikit itu. Kristal biru bertemu dengan ungu, mencoba saling menerka makna dibalik masing-masing tatapan mempesona itu, namun seolah-olah menyembunyikan sesuatu yang sangat penting.

"Anda tahu…? Tidak baik bagi seorang gadis memasang senyum palsu setiap saat…"

Pernyataan yang baru saja terlontar membuat Yukari terdiam terkejut. Bagaimana bisa…? Selama ini… topeng yang ia kenakan selalu menipu orang-orang yang melihatnya, namun… kenapa permuda misterius ini bisa mengetahuinya…? Namun, gadis itu tetap mencoba untuk tenang, tidak baik jika dia terlihat terkejut, bisa-bisa pemuda ini semakin mengetahui topeng yang ia kenakan.

"A-apa maksud Anda, tuan…?"

Si biru menghela nafas pelan, "Anda tahu…? Terkadang jujur walaupun itu salah, lebih baik dibanding membohongi diri sendiri…" lagi, pernyataan itu membuat Yukari terdiam.

Dia dan pemuda itu masih berdansa di antara celah-celah kosong alunan melodi. Dalam diam, keduanya sama sekali tak mengatakan sepatah kata pun setelah itu. Namun, sang gadis lebih mendekatkan tubuhnya pada pemuda setinggi 180 cm itu. Tangan kirinya menggenggam tangan kanan sang pemuda dengan eret. Entahlah, dirinya nampak sangat lemah sekarang, padahal selama ini ia tak pernah terlihat seperti ini.

Pemuda itu tersenyum kecil menatap sang gadis, kemudian tangan kirinya digunakan untuk menaikkan wajah pemilik surai ungu itu. Membuat kedua bola mata mereka kembali bertemu dengan intens. Dia bisa melihat genangan cairan hangat mulai nampak pada pelupuk mata itu. Pasti… gadis itu mengalami masalah yang sangat berat. Ya, tampak sekali dari tatapan matanya. Lelah, muak, pedih… si biru tak bisa membayangkan sudah berapa lama gadis itu menanggung semua kesedihan itu sendiri. Dibalik semua senyuman itu, sejak pertama kali melihatnya, dia tahu bahwa dibalik punggung kecil itu menanggung beban yang begitu berat.

Kali ini, si biru tersenyum kecil, masih dengan kedua mata yang bertemu secara lembut, "Anda tahu…? Musik sering digunakan untuk menghibur hati yang lelah…"

Gadis itu mengangguk pelan, "Saya setuju… Terkadang mendengarkan musik yang sesuai dengan perasaan kita bisa meringankan beban yang kita tanggung…"

Lagi, kini senyuman itu nampak sangat jelas. Ketulusan yang begitu hangat, membuat sang gadis merasakan debaran di dadanya. Tatapan mata mereka yang intens membuat wajahnya terasa panas, entahlah mungkin wajahnya sudah memerah sekarang.

"Malam ini… biarkan semua kegelisahanmu hilang… Berdansalah denganku malam ini… Karena saat ini aku hanya ingin, aku yang ada di matamu…"

Yukari terdiam mendengarkan perkataan yang terucap dengan jelas dari bibir pemuda bertopeng itu. Namun, entah kenapa dirinya sama sekali tidak bisa menolak. Tubuhnya justru makin mengikuti irama serta gerakan sang pemuda dengan lebih lihai. Kedua matanya masih menatap permata biru yang terlihat angkuh, namun seakan-akan membuatnya tenggelam ke dalam lautan kosong itu.

"Anda… Siapa…?" pertanyaan itu mengudara. Cukup meninggalkan seberkas keheningan singkat.

Pemilik surai biru tersenyum kecil, sebuah senyuman yang memiliki sejuta makna. Mereka masih bergerak serasi, mengadu alas kaki mereka dengan lantai yang licin, menciptakan suara hentakan pelan.

"Kau tak perlu tahu… Kau hanya harus menikmati semua ini, tuan putri…"

Seperti sebuah mantra, Yukari hanya mengangguk singkat, "Ha-hai'..."

'Teng! Teng! Teng!'

Lonceng jam berbunyi sebanyak tiga kali. Jarum jam tepat menunjukkan angka dua belas, tepat tengah malam. Pemuda bersurai biru itu tersenyum pelan. Kemudian menghentikan gerakannya, membuat gadis itu ikut menghentikan setiap gerakannya. Kedua matanya menatap pemuda itu dengan meminta penjelasan.

Pemuda berjas hitam itu melepaskan sentuhan hangat dari kedua tangan yang semula bertautan. Kemudian, kedua tangannya saling disatukan, dan terbuka sambil mengulurkan tangan kanannya pada sang gadis. Ajaib, seuntai mawar biru tanpa duri tepat di tangan kanannya. Sulap…? Sihir…? Atau mungkin hanya trik…?

"Mawar biru untuk menghibur hatimu yang sedang gelisah…" ujarnya sembari memberikan mawar itu.

Yukari menerimanya dengan gerakan malu-malu. Wajahnya yang tertutup topeng pun terasa panas. Aneh, padahal ruangan ini dilengkapi dengan AC.

"Sepertinya sudah waktunya utukku undur diri," pemuda itu membungkukkan badannya sedikit, kemudian memberi hormat dengan anggun. Tepat sesudahnya, ia berbalik, meninggalkan sang gadis. Namun, belum sempat mengambil langkah, tangannya ditahan oleh pemilik surai ungu.

"Tu-tunggu… bolehkah sekali lagi saya bertanya…?"

"Tentu saja, silahkan…"

"A-Anda… siapa…?"

Sosok itu kembali tersenyum, "Knight in Black…"

"E-eh…?"

"Shion Kaito, kau bisa memanggilku Kaito, Yuzuki Yukari-san."


つづく


Author's Territorial


Kaito(OC) : …

All : *swt*

Kaito(Voca) : …

Yuuma : ?

Yukari : *blush(?)*

Kaito(OC) : Ok, itu chapter pertama dari reqfic Moka-san. Well, chapter ke-2nya tunggu saya inget aja. Jaa, and R&R maybe?


R&R?