Rumpang.
Baekhyun dan hatinya adalah sepasang rumpang, tunggang langgang mencari sandaran. Hingga ia berhenti pada Park Chanyeol, pereda radang di hatinya dan ranggas rasanya yang seharusnya telah lama mati. YAOI M-PREG. ABUSIVE.
Baekhyun tidak mengerti sepenuhnya mengapa teman -temannya selalu mengingatkannya untuk tidak melanjutkan hubungannya dengan Park Chanyeol—yang sudah berjalan selama tiga tahun belakangan.
"Aku tahu dia adalah pria yang baik, Baekhyun. Tapi apa kau tidak ingin untuk—.."
"..—memikirkannya lagi?"
Itu adalah kalimat yang selalu ia dengar selama beberapa tahun, sehingga ia mulai menganggapnya sebagai ganti ucapan 'selamat pagi'. Ia tidak pernah ambil pusing, sesungguhnya, karena Chanyeol pun tidak terganggu ketika temannya melempar lirikan setajam pisau padanya saat ia merangkul Baekhyun dari belakang—lelaki itu memang selalu acuh tak acuh. Baekhyun tidak sepenuhnya mengerti mengapa, namun biar begitu, ia tidak dapat berhenti memikirkannya.
Barangkali, mereka tidak benar-benar mengenal Chanyeol yang sebenarnya. Baekhyun akan memakluminya, karena yah, Chanyeol itu memang memiliki reputasi yang tidak baik di kampusnya. Wajar bila mereka akan menjauh lima langkah begitu Chanyeol mendekat, tidak ingin dipukul, kata mereka setiap kali Baekhyun tertawa dan bertanya alasannya melakukan itu.
"Memangnya kau tidak risih? Selalu berjalan hanya dengan teman-teman band mu itu saja, lalu tidak dengan teman satu jurusanmu?" Baekhyun bertanya, sembari keningnya mengerut tipis-tipis. Chanyeol yang berada di sampingnya balas dengan senyum sedikit, merenggangkan bahunya yang habis memikul gitar elektrik kesayangannya sebelum menjawab lembut ;
"Yang penting aku bisa berjalan denganmu."—Luar biasanya dia selalu menjawab begitu.
Chanyeol itu memang berandalan kampus. Terlihat dari pakaiannya yang sembrono—sesuka hati dan di luar aturan, atau dari bungkus rokok yang menyembul dari balik saku bajunya. Apalagi dengan kehadirannya sebagai penyuka musik rock, metal, dan rap yang berpredikat sebagai musik yang penuh dentum kerusuhan. Chanyeol selalu buruk dimata orang-orang. Walaupun sebagian dari mereka tetap saja, dengan sangat berat hati, memasukkan wajahnya ke dalam buletin rutin mereka sebagai mahasiswa dengan wajah terbaik.
Baekhyun menumpukan dagu, berpikir ulang sambil menilik masa lalu. Bagaimana lelaki itu menyatakan cinta padanya? Mungkin kau tak ingin tahu. Namun, Baekhyun terlanjur larut. Tersenyum lembut begitu mengingat memori yang sama manisnya dengan aroma vanilli di mulut.
"Aku ingin kau menjadi kekasihku."
Baekhyun mendongak dari lutut dimana ia meletakkan kepalanya sambil menyembunyikan tangisnya, "M—Maaf?"
"Jadi kekasihku," Ulang Chanyeol sungguh-sungguh, mengabaikan jaket denimnya yang basah dan dirinya yang kebasahan karena memberikan keseluruhan payung untuk meneduhi seorang mungil yang sedari tadi menggigil di lapangan.
"A—Apa? T—Tapi mengapa.." Baekhyun tersenyum paksa, ".. Kenapa tiba-tiba.."
"Karena aku menginginkanmu sekarang." Lagi, Chanyeol menjawab dengan begitu yakin. "Aku mencintaimu."
Baekhyun membeku.
"Aku tahu tentang rumpangmu," Katanya lagi, "Aku akan menutup semua itu."
Rumpang. Kilasan memori itu runtuh disana. Baekhyun terkesiap, maniknya jatuh langsung pada lelaki yang sedari tadi ia pikirkan—Park Chanyeol dengan gitar kesayangannya di punggung. Lelaki jakung itu mendekat dengan perlahan, mengulas sebuah senyuman dari bibirnya yang ditengeri sebatang rokok menyala, "Maaf. Lama menunggu?"
"Tidak sama sekali," Baekhyun bangkit dan tersenyum penuh.
"Aku tidak suka berada disana tanpamu, kenapa kau tidak masuk dan menonton bersama temanmu?"
"Aku melakukannya tapi lihat," Baekhyun meraih jemari besar Chanyeol, merematnya pelan sembari jari jarinya yang kurus menunjuk kaca jendela di depan mereka ; "Hujan."
Chanyeol ikut menoleh, tatapannya fokus pada rintik di sana sebelum menyadari sesuatu. Lelaki itu menaruh atensinya kembali pada Baekhyun, yang mana menatap langit dengan binar-binar di matanya. Jemarinya yang masih digenggam ia eratkan, membuat Baekhyun menoleh sehingga kedua manik mereka bertabrakan dalam satu garis lurus.
Ia menyusuri wajah kekasihnya yang cantik. Kedua pipinya yang merah dan hidungnya yang melengkung dengan proporsi yang indah. Matanya yang berbulu mata lentik serta bibir merahnya yang terbuka sedikit. Chanyeol menatap semua itu, lantas mengingat bahwa lima tahun lalu, wajah milik kekasihnya tidak pernah seperti ini.
Karena pada saat itu, semua yang mengisi wajah Baekhyun adalah lembam merah dan biru.
...
Mereka sampai setelah 15 menit perjalanan pada apartemen milik mereka.
Chanyeol menaruh gitarnya untuk bersandar pada sofa di ruang tengah, sebelum melirik pada Baekhyun yang masih kesusahan untuk melepaskan sneakersnya di pintu depan. Lelaki itu mendekat, meraih sepasang kaki mungil milik kekasihnya dan membantunya, "Kau harus membeli sepatu yang lain. Yang ini sudah terlalu sempit, memangnya kakimu tidak nyeri?"
Baekhyun terkekeh, "Tapi aku suka warnanya."
"Kita akan membeli sepasang dengan warna yang sama minggu depan," Ucap Chanyeol mutlak saat ia menaruh mereka di lemari. Baekhyun mengangguk, berdiri dan berjalan ke kamar mereka. Saat ia melihat tatapan Chanyeol dari lemari kaca di hadapannya, Baekhyun memutar mata jengah karena menyadari apa yang lelaki itu inginkan darinya malam ini.
"Baiklah, biarkan aku mandi dulu," Baekhyun menghela nafas, namun masih menyempatkan diri untuk melempar kerlingan nakal, "Aku tahu kau selalu merindukan..—"
Ia berbalik untuk menunjukkan sedikit bagian dari bagian belakangnya, menggoyangkan sepasang pantatnya yang sintal, "..—Ini."
"Stop it," Chanyeol mengerang, dan Baekhyun tertawa keras-keras. Menyempatkan untuk menggoyangkan pinggulnya yang ramping sekali lagi hingga ia menutup pintu kamar mandi dan menguncinya. Mendadak, ia terdiam begitu mencapai bak mandi. Berpikir tentang Chanyeol, lagi.
Baekhyun menjadi ingat tentang kapan pertama kali Luhan memperingatkan bahwa ia membenci Chanyeol baik dalam maupun luar. Saat itu terjadi adalah ketika Luhan tidak sengaja melihat Chanyeol yang sesungguhnya tengah menggoda Baekhyun dengan memasukkan rokok miliknya ke dalam bibir si mungil—yang mana tidak terlihat sebagai candaan bagi Luhan. Ia tidak pernah mengatakan alasan apapun, yang membuat Baekhyun semakin tidak mengerti karena kebencian itu seakan tidak beralasan. Seharusnya Baekhyun bisa mengabaikannya seperti yang selama ini ia lakukan pada teman-temannya di kampus, tapi ia tidak bisa, Luhan adalah sahabat terbaiknya.
"Aku bahagia kau putus dengan bajingan itu, Baekhyun. Tapi tidak untuk melihatmu berjalan dengan Park-fucking-Chanyeol!" Luhan berujar keras-keras, menaruh wadah kopi di lemari atas dapurnya sambil melirik pada Baekhyun yang duduk menatapnya.
"Kau tidak tahu apa yang Sehun katakan tentang Chanyeol," Luhan berbalik, "Lelaki itu pecandu rokok dan pemabuk yang hebat."
"Dia sudah cukup dewasa untuk itu semua—"
"Tapi aku tidak mau kau jadi pecandu juga!"
Baekhyun mengerutkan kening, satu jarinya membuat lingkaran abstrak di meja makan, "Aku tidak akan.."
"Ya, tapi aku melihatnya memasukkan rokok ke dalam mulutmu—"
"—Sudah kukatakan, dia tidak serius melakukannya. Dia hanya menggodaku."
"Tapi itu jauh dari godaan bagiku, jauhi dia atau putuskan dia. Aku tidak ingin hal yang buruk terjadi padamu."
Baekhyun terdiam, pandangnya menerawang dan tertunduk kecewa. Orang-orang selalu menyalahkan Chanyeol tentang kebiasaan buruknya yang sesungguhnya adalah dampak akibat keluarganya yang hancur dan kacau.
"Lima tahun lalu," Baekhyun berbisik, "Aku terjebak dengan seorang pria baik yang bukan seorang pecandu rokok ataupun minuman keras—"
Luhan terkesiap, ia tidak bermaksud membuat Baekhyun kembali memikirkan masa lalunya ; "B—Baek, bukan begitu maksudku—"
"Tapi dia tetap menemukan caranya untuk melukaiku, ingat?" Baekhyun terkekeh perih, "Chanyeol adalah yang paling baik dari semua yang pernah kualami."
Lelaki di depannya tidak menjawab.
"Dia bahkan tidak pernah membuka sekaleng soda di hadapanku, dan kau berharap dia akan mencekcokiku dengan minuman keras?"
Itu adalah percakapan terpanjang yang pernah mereka miliki soal Park Chanyeol. Yang tidak sama sekali meruntuhkan pendirian Luhan soal lelaki yang sudah tiga tahun ini menjadi kekasihnya. Luhan tetap membenci lelaki itu sebanyak yang ia bisa, walaupun Chanyeol tidak pernah ambil hati pada perkataannya yang seringkali pedas.
Baekhyun mengerjapkan mata dan segera membilas tubuhnya, tidak enak untuk membuat lelakinya menunggu lama di balik pintu. Ia keluar setelah melilitkan jubah mandi di tubuhnya, lalu menaiki kasur dan duduk di samping Chanyeol yang juga hanya memakai boxer sebagai penutup—Oh, lelaki itu menggunakan kamar mandi tamu, sepertinya.
"Kau menjadi lebih diam sejak tadi," Chanyeol membuka suara setelah sepuluh menit mereka terdiam tanpa percakapan apapun, "Ada sesuatu yang kau pikirkan?"
"Aku sedang berpikir tentang alasan orang-orang begitu membenci dirimu," Baekhyun menghela nafas dan bersandar pada dada kekasihnya yang bidang. Membiarkan lelakinya mengeringkan helai rambut miliknya yang basah, "Apa kau tidak lelah dibicarakan?"
"Kau lelah mendengar mereka membicarakanku?"
".. Tidak juga."
"Berarti aku juga tidak." Chanyeol tersenyum, menatap pada leher jenjang kekasihnya yang terekspos membuatnya tidak bisa untuk menahan diri dari memberikan sebuah kecupan ringan disana.
"Aku baik selama aku memilikimu."
Baekhyun mengerjap, bertanya mengapa kalimat itu terdengar begitu familiar di telinganya. Fokusnya segera teralih saat Chanyeol mengubah kecupan ringan itu menjadi gigitan kecil, "Ahh—"
"Apa kau tidak lelah?" Bisik Chanyeol di telinganya saat jemari kasarnya menelusup di celah jubah mandinya, "Apa kau merasa baik untuk melakukannya malam ini?"
Baekhyun berbalik, menatap Chanyeol dengan maniknya yang berkabut.
"Kenapa aku bisa lelah? Uhh—" Baekhyun menghindar ke kanan saat Chanyeol akan mengingit kecil ujung telinganya, namun gagal menghindari kuluman Chanyeol pada tempat yang sama, "Yang baru tampil semalaman disini adalah—hh, kau."
Chanyeol tersenyum, alisnya terangkat ; "Benarkah?"
"A—Aku baik.. Ahn—" Ia melenguh kecil, meyakinkan. "Aku selalu baik untukmu."
...
Selesai mereka bersetubuh, hari sudah gelap dan waktu menunjukkan pukul satu dini hari.
Chanyeol menjadi satu-satunya yang terbangun diantara mereka berdua. Lelaki itu menyisir rambutnya yang basah oleh keringat ke belakang, membiarkan dahinya terlihat, dan menatap pada Baekhyun yang tidur pulas di sampingnya. Lelaki kecil itu melenguh lirih saat Chanyeol memainkan helai-helai hitamnya yang lembut, diam diam mengulas senyum.
"Selamat malam," Bisiknya pelan, "Jangan terbangun untuk menangis seperti kemarin, hm?"—Walau Chanyeol tahu itu adalah harapan yang sia-sia.
Sekarang pukul satu, Chanyeol tahu seharusnya ia memejamkan mata dan menyusul untuk tidur, tapi ia tidak. Semua karena ia tahu sesuatu akan terjadi pada Baekhyun pada pukul tiga. Chanyeol tidak bisa tertidur walaupun ia sesungguhnya lelah dan ingin. Ia tampil di suatu acara dan berbagi desahan dengan Baekhyun dalam satu hari, tentu saja itu membuatnya lelah sekali. Namun, hatinya membiarkan tetap terbangun—dengan satu lengan yang mendekap Baekhyun kuat-kuat.
Luhan pernah berkata padanya sekali, tentang kebiasaan Baekhyun yang dimulai sejak lima tahun lalu. Walaupun sesungguhnya, jauh sebelum Luhan memberitahunya, ia sudah terlebih dahulu tahu. Chanyeol menghela nafas sedikit dan mengelus lembut punggung telanjang Baekhyun.
"Semua akan baik baik saja.." Chanyeol berbisik, nadanya seakan sedang menyanyikan suatu pengantar tidur ; "Kau tahu kau selalu memilikiku."
Setelahnya, hening. Park Chanyeol menunggu pukul tiga tiba, dalam diam dan gelap.
...
"Ia punya kebiasaan untuk menangis."
Chanyeol terpaksa berhenti melangkah karena Luhan menjegalnya di ujung koridor, menatap sahabat dari kekasihnya itu dengan datar, "Aku tahu."
"Kau bohong. Kau tidak tahu apapun tentangnya, bajingan gila." Luhan mendengus marah, "Dia akan selalu menangis pada—"
"Pukul tiga."
"—Pukul tiga." Luhan lalu terkejut, nyaris seakan Chanyeol baru saja membaca pikirannya. "Bagaimana kau bisa tahu?" Tanyanya dengan pandang iritasi.
"Kau bertanya bagaimana aku tahu sesuatu tentang kekasihku?"
"Seriously, Park?! Dia bukan kekasihmu!"
"Dia kekasihku, kami resmi kemarin sore."
Luhan memutar matanya dengan-amat-sangat jengah, mulai menyadari bahwa keputusannya untuk berbicara dengan seorang Park Chanyeol adalah keputusan yang paling buruk dari semua keputusan sialan yang pernah ia ambil. Oh, sekarang ia benar-benar menyesalinya.
"Baik, apa kau tahu alasan mengapa Baekhyun melakukan itu?" Pancing Luhan, sembari menaruh dua lengannya di pangkuan tangan—bersikap angkuh. Ia yakin bahwa Chanyeol pasti mengetahui kebiasaan Baekhyun itu karena mereka telah tidur di kamar yang sama setelah menjadi sepasang kekasih, jika itu benar, maka lelaki di hadapannya ini tidak mungkin tahu mengapa Baekhyun berlaku demikian.
"Aku tahu," Sialnya, Chanyeol menjawab dengan sangat tenang, "Tapi aku tidak mengapresiasi tindakanmu jika kau akan mengatakannya lagi di koridor terbuka seperti ini."
"Tentu saja aku tidak!" Luhan mendesis, "Kau lebih baik memperlakukannya dengan baik jika kau tahu, brengsek! Karena aku telah berdiskusi dengan Sehun beberapa kali untuk menculikmu lalu menjualmu pada organisasi penjual manusia! We fucking hate you, don't you know that?!"
Chanyeol terkekeh miring, "Ya, terserah kalian saja."
"Apa?!"
"Aku akan menjaganya baik-baik. Tidak perlu khawatir." Ujarnya sebelum berjalan pergi, mengabaikan Luhan yang menyerukan namanya keras-keras di belakang punggung.
...
Alasan.
"Huks—Aku tidak—Aku tidak! Huks—"
Chanyeol tersentak, ia tertidur, shit. Tapi ia tidak punya waktu untuk mengumpat, Chanyeol segera menatap pada Baekhyun dan jam di dinding secara bergantian—Pukul tiga lima belas. Chanyeol membiarkan kekasihnya menangis sendirian selama lima belas menit.
"Kau—Huks, Kau tidak mencintaiku—hh—Benar?"
"Sayang, sayang, tenang. Aku bersamamu, aku mencintaimu." Perlahan ia berbisik, mendekap tubuh kecil itu yang bergetar sekujur tubuh ;
"Aku—Huks.. Aku tidak..—aku tidak ingin kau pergi—"
Chanyeol menepuk pundak itu pelan, "Shh, tenang sayang. Tidak ada yang akan pergi darimu."
"J—Jangan pergi," Isakannya terendam di dalam dekapan Chanyeol, "J—Jangan.."
"Ya, aku tidak akan pergi. Mereka tidak akan pergi. Kau akan baik-baik saja."
Hening beberapa saat, ia segera melirik pada jam di dinding. Pukul tiga dua puluh.
Mengernyit sedikit, dan menghembuskan nafas. Chanyeol bersiap untuk keadaan terburuk ;
"K—Kris—.."
Chanyeol terdiam,
"—Jangan.. Jangan pukul aku lagi—hh." Baekhyun menggeleng pelan di antara dengusan nafas dan bahunya yang mulai bergetar, mulai mengigil ketakutan.
"Aku takut, aku takut, aku takut, aku—"
Chanyeol merendahkan wajahnya dan mengulum bibir milik si mungil. Menghentikan perkataan dari bibir merahnya. Meraihnya kepada lumatan yang ia buat sedalam-dalamnya. Hingga ia merasa nafas milik yang lebih kecil tidak lagi menderu, melainkan datang putus-putus. Menerpa sebagian wajahnya. Chanyeol melepaskan pangutannya dan menatap wajah Byun Baekhyun yang damai kembali. Seakan tidak terjadi apapun.
"Tiga lewat tiga puluh lima," Chanyeol berbisik kecil setelah melempar lirikan pada jam di dinding, "Sama seperti kemarin?"
Tentu saja, tidak ada satupun yang menjawabnya. Ia menghela nafas pelan dan mendekap Baekhyun, lagi. Sebelum ia mengecupnya di sekujur wajah, membisikkan 'aku mencintaimu' di setiap langkah bibirnya. Chanyeol tidak pernah mengerti mengapa mencintai seseorang bisa menjadi sesakit ini, namun ia merasakannya sekarang.
Mencintai seorang di dekapannya ini, yang mana pernah hancur remuk karena mencintai seseorang yang lain. Yang bahkan tidak bisa lepas dari bayang masa lalunya sendiri,
Semua membuat hatinya sakit.
...
Chanyeol tidak tahu pasti kapan ia punya kebiasaan untuk menyakiti seseorang secara seksual.
Mungkin pada saat umurnya lima belas? Ah, ia tidak yakin. Kejadian yang sangat lampau, kau tahu? Bahkan lelaki itu tidak dapat lagi menghitung berapa gadis yang ia kencani karena aset mereka yang menarik gairah—baik dada maupun bokongnya, Chanyeol menyukai itu. Orang orang yang ia tinggalkan setelah pertemuan satu malam juga begitu, sudah melebihi jari-jari di tangannya hingga ia tidak bisa lagi mengira-ngira hitungannya.
Ia punya kebiasaan untuk menyakiti seseorang, secara seksual.
Chanyeol akan memaki mereka—melontarkan verbal-verbal yang menyakitkan, lantas mendorong tubuh wanita malang yang ia miliki ke dinding, namun tetap membenturkan kepala mereka keras-keras. Ia akan mulai memanggil mereka dengan kata-kata kotor yang jauh dari kasih sayang, menyetubuhi mereka keras-keras hingga bahkan hanya bisikan yang dapat mereka keluarkan sebagai ganti tangis. Kadang-kadang Chanyeol hanya akan mengikat mereka dengan rantai berkarat yang ia temukan entah dimana, membiarkan kaki putih mereka terbuka seperti pelacur kotor sebelum Chanyeol datang dan menghabisi kesadaran mereka.
Tapi kebiasaan itu pudar, bersama dengan datangnya Baekhyun.
"Aku sering melakukannya dengan kasar," Chanyeol memperingati ketika Baekhyun dengan mantap meloloskan celana dalamnya—pakaian terakhir yang melekat di tubuh rampingnya. Yang lebih tinggi dan besar mendengus tidak mengerti. Ini hari pertama mereka menjadi sepasang kekasih, seharusnya mereka bercandaan sambil mengunjungi cafe atau apalah. Tapi, dari sekian juta tempat yang ada di dunia, Byun Baekhyun dengan mantap menarik tangannya untuk memasuki motel.
Baekhyun menoleh, "Tidak apa, kau bisa melakukan apapun padaku."
Diam diam Chanyeol mengumpat dalam hati, "Apa?"
"Aku terbiasa," manik kecil itu menabraknya, tatapan kosongnya, entah bagaimana membuat Chanyeol kesulitan mencari oksigen.
Namun lelaki itu tidak munafik, jangankan menyuruh Baekhyun untuk memakai pakaiannya kembali. Ia bahkan sudah terpancing sejak Baekhyun melepas kaos polosnya. Masa bodoh dengan etika berpacaran, nyatanya Chanyeol tetap menjatuhkan si mungil ke kasur dengan mulutnya yang merobek bungkus kondom—yang ia temukan di atas laci, dengan gigi-giginya.
Chanyeol mengocok miliknya yang tegang. Sekali dua kali. Setelahnya menatap Baekhyun sekilas, yang terbaring di bawahnya, menatapnya dengan pandang kosong yang sama. Jika lelaki mungil itu terbiasa untuk disakiti, maka Chanyeol juga terbiasa untuk melihat tatapan itu di kedua matanya. Ia menggeram sedikit, mencengkram kedua tungkai Baekhyun yang ramping ;
"Aku akan memasukkannya."
Baekhyun mengangguk pelan-pelan,, tidak memberikan jawaban tambahan dan tanpa keraguan.
Dan Chanyeol benar-benar akan memasukkannya. Hanya satu senti, maka kepala penisnya akan menyentuh pintu anal milik kekasihnya yang baru resmi hari ini. Namun, gerakan itu tertahan di udara ketika ia mendengar Baekhyun berbisik ; entah pada dirinya sendiri atau pada seseorang di atasnya. Yang jelas, kata kata itu menghentikan gerakannya ;
"Kau akan lebih mencintaiku setelah melakukan ini padaku.." Baekhyun melirih, entah pada siapa, "Dia selalu bilang begitu padaku.. Kau akan mencintaiku, aku akan bahagia. Tak akan ada yang meninggalkanku, kita akan selalu bahagia."
Cengkraman di kedua kakinya terlepas, membuatnya segera terjuntai kebawah. Chanyeol, menatapnya dengan kernyit, tubuh sedikit terjengit.
"Kenapa kau tidak melakukannya?" Baekhyun, seperti menyadari bahwa rasa sakit itu tidak datang, menoleh padanya, "Kau tidak perlu menanyakan apapun, lakukan saja."
Kalian berharap Chanyeol akan mendorong Baekhyun untuk memakai pakaiannya kembali dan kemudian mendekapnya semalaman seperi adegan di film romansa? Hah, mimpi saja. Gairahnya terlanjut melambung, bahkan membuat kepalanya terasa terpukul hingga pening. Ia ada di puncak gairahnya, Chanyeol butuh surga dan pelepasannya.
Ia tetap melakukannya, mereka tetap berbagi saliva satu sama lain—untuk pertama kalinya, bagi kata "mereka". Hanya saja, ada tangis di antara kata-kata terputus, ada rasa sendu di balik kelereng yang biasa menatap para lawan mainnya ganas, ada gumaman dan bisikan penuh cinta, bahkan ada ciuman indah yang selama ini mitos belaka keberadaannya. Chanyeol membuat lelakinya kebingungan.
"Kenapa kau menangis?"
Chanyeol tidak menjawab, konstan melanjutkan dorongan kejantanannya.
"Apa aku tidak cukup untuk membuatmu puas?" Baekhyun memiringkan kepala, "Aku bisa berusaha—"
"Aku merasa brengsek." Chanyeol terkekeh, air matanya lantas jatuh karena getaran bahunya, "Aku brengsek."
Baekhyun tidak mengerti, ia tidak menjawab apapun.
"Apa dia juga menyetubuhimu seperti ini?" Chanyeol bertanya, senyum paksa terpasang sebagai tameng, "Katakan padaku.."
Baekhyun berpikir sebentar, "Dia bergerak sangat cepat."
Chanyeol menelan ludah, tercekat ; "Apa kau diikat di kasurnya?"
Lagi, Baekhyun menatap Chanyeol sambil berpikir. Seakan jawabannya adalah hal yang telah terjadi puluh tahun lalu.
"Dia mengikatku dengan tali. Lalu aku dibawanya untuk telentang di lantai. Dia punya banyak cambuk, dan akan menggunakannya padaku. Melilitnya di leherku, atau pada kedua kakiku.."
".. Apa kau mencintainya?"
Ia terdiam. Bibir merah terkatup. Manik kosong itu melirik liar, kesana dan kemari, seakan seseorang tengah mengawasi jawabannya. Seakan seseorang akan memotong lidahnya apabila ia mengatakan hal yang salah. Chanyeol mengetahuinya, sehingga ia meraih jemari anak itu dan meremasnya, "Katakan dengan jujur. Dia tidak akan bisa mendengar perkataanmu selama kau bersamaku."
Kata-kata itu terdengar cukup aman sehingga Baekhyun patah patah mulai berkata ;
"D—Dahulu aku selalu bilang kalau aku mencintainya.." katanya pelan pelan, "Tapi ada banyak hal di antara kami—yang Luhan bilang seharusnya tidak kami lakukan. Dia memberiku banyak cinta yang dicampurnya dengan rasa sakit. Dia memberiku rasa aman, sekaligus rasa ingin menyembunyikan diri.."
".. Dia memiliku, tapi aku tidak memiliki dia. Dia tidak pernah mencintaiku, dan akupun seharusnya begitu. Chanyeol, aku pernah mencintainya."
Chanyeol tidak berkomentar, membiarkan si mungil menyelesaikan seluruh perkataannya.
"Tapi cintaku, rasaku, semua mengenai hal itu sekarang sudah tidak ada. Aku kehilangan mereka."
Sejak saat itu, Chanyeol memperlakukan Baekhyun dengan baik, sangat baik. Seakan lelaki itu adalah benda rapuh ratusan tahun. Semua itu ia lakukan, karena ia mengetahui kelamnya lebih banyak daripada kelihatannya. Ia tahu bahwa lelaki itu lebih banyak menangis di hatinya daripada di kedua matanya. Ia tahu, lebih banyak luka di hatinya ketimbang di sekujur tubuhnya.
Maka, bukankah mereka adalah pasangan yang sempurna? Chanyeol yang suka menyakiti dan Baekhyun yang terbiasa untuk itu. Ia tersenyum miris, menghembuskan asap rokoknya. Bahkan jika ia benar-benar ditakdirkan bertemu dengan lelaki mungil itu untuk menyakitinya lagi, Chanyeol akan bersedia untuk menentang takdir itu.
Ia hanya berusaha agar tidak menjadi dia yang kedua bagi Byun Baekhyun—
.. Bahkan jika berakhir gagal.
Rumpang [ Potongan 1 ]
"Oh, dia datang lagi."
Chanyeol melirik acuh saat teman temannya heboh menunjuk pada seorang lelaki kecil yang tengah berjalan memasuki sekolah, "Siapa yang dia?"
"Itu, Byun Baekhyun, kau tidak tahu?"
Gampang saja bagi Chanyeol untuk menggeleng, dia memang tidak tahu apapun tentang nama itu.
"Man, dia itu punya hubungan yang tidak baik dengan kekasihnya," Salah satu dari mereka mendesah, entah bagaimana terdengar cukup simpatik, "Kau lihat memar di leher dan wajahnya itu? Semua itu adalah kekerasan dari kekasihnya, dan tahu bagian yang lebih menyedihkan? Hyori—pacarku, pernah melihatnya di ruang ganti dan seluruh tubuhnya—"
"—Tertutup lembam biru."
Suasana menjadi hening ketika Chanyeol selesai mendengarkan, ia mengalihkan pandangannya pada sosok tadi dan menemukan bahwa apa yang mereka katakan mungkin benar. Ia bahkan dapat melihat memar itu, menjalar melintang seperti sebuah kalung pada leher mulus miliknya. Kemudian, Chanyeol terkesiap ;
.. Mungkinkah, itu adalah bekas dari cengkraman seseorang yang ingin mencekiknya?
"Hubungan racun, kita bisa menyebutnya seperti itu."
TO BE CONTINUED
Aku hanya ingin kalian tahu bahwa setiap orang. Setiap individu yang bahkan hanya kalian temui di jalan, memiliki seruang hampa dalam hatinya. Sebuah luka, atau sebuah rasa sakit yang tidak kunjung hilang. Menumpuk di dada mereka, terbawa dan terseret oleh senyuman paksa di wajah mereka.
Lewat cerita ini, aku hanya ingin kalian mengerti bahwa, tidak hanya karakter Baekhyun yang memiliki rumpang di hatinya, mungkin Chanyeol, Luhan, dan dia pun punya hal yang sama.
Maukah, kalian bersamaku, perlahan menyusuri rumpang itu?
Tolong tinggalkan tanggapan untuk seorang yang menulis ini. Yang belakangan jatuh bangun karena kehidupan yang berubah sulit.
