Disclaimer : Tsubasa Chronicle (c) CLAMP

Coffee Bar Story © Ken

# # # # # # # # #

Kurogane Suwa hanyalah seorang wiraswastawan muda. Sumpah! Dia masih muda andai saja ia tak banyak mengerutkan dahi yang membuatnya jadi 10 tahun lebih tua dari usia aslinya. Berani taruhan! Umurnya belum lebih dari 30 tahun.

Di usia segitu, Kurogane sudah jadi pemilik kedai kopi besar dengan cabang di berbagai belahan dunia dengan merk "Coffee Bar". Setara "Starburks" mungkin. Dan ia adalah orang yang berdedikasi tinggi pada pekerjaan. Pemilik saham pada umumnya hanya akan ke tempat jalannya bisnis sekedar untuk mengawasi dan mengecek kinerja karyawan atau tebar pesona pada klien dan sebagainya. Tapi Kurogane tidak. Ia ikut bekerja di kedai kopinya. Di "Coffee Bar" pusat di jantung Negara Jepang ini. Sebagai penyeduh kopinya langsung. Keahlian yang diwariskan mendiang orang tuanya yang sama-sama barista professional sekaligus pemilik "Coffee Bar" sebelumnya.

Tapi Kurogane belum bisa menyandang gelar yang sama berhubung pekerjaan di kedai yang sudah amat menyita waktunya. Toh ia sudah punya sesuatu untuk diandalkan. Indra pembau dan pencecapnya tak perlu diragukan lagi. Bahkan untuk beberapa kesempatan, Kurogane sering diminta untuk hadir sebagai juri tamu dalam kompetisi-kompetisi masak bergengsi. Mengurusi kopi tentunya. Rasanya dengan semua keberhasilan yang ada, tak akan ada yang percaya kalau ia tidak lulus kuliah.

Tapi seberapa pun berhasilnya Kurogane, pemuda itu masih bisa dilanda stress juga. Salah besar kalau kalian mengira hanya jam buka toko yang hamper 24 jam itu satu-satunya pemicunya –mengingat seberapa terkenalnya kedai kopi itu- . Kenyataannya, para karyawan dan sebagian kecil pelanggannya hampir membuatnya gila.

Kenapa?

Karena –hampir dari—mereka semua adalah individu anomali. Mulai dari Sakurazuka Seishirou, mahasiswa tingkat 3 Todai yang membantunya menyeduh kopi. Pemuda itu punya hubungan terselubung dengan salah satu waiter, Sumeragi Subaru. Belum lagi Monou Fuuma –meski ogah-ogahan, Kurogane harus mengakui— yang merupakan waiter dengan wajah paling menawan di kedai itu. Pemuda kelas 2 SMA itu bukan hanya selalu berhasil membuat kedai penuh teriakan histeris cewek-cewek muda setiap hari, tapi ia juga sedang gencar melakukan pedekate dengan salah seorang pengunjung yang belakangan diketahui Kurogane sebagai Shirou Kamui, adik kelas Fuuma di sekolah. Juga si pembuat waffle, Kinomoto Touya, yang malah sudah berpacaran dengan si kasir, Tsukishiro Yukito.

Itu belum terhitung dari para pengunjungnya. Beberapa pasangan dari mereka adalah, Himura Rikuou dan Kudou Kazahaya –pegawai toko obat yang bersebelahan dengan kedai dan selalu mampir ke kedai setelah toko mereka tutup— serta Doumeki Shizuka dan Watanuki Kimihiro –teman Shirou Kamui, incaran Fuuma- . Mereka berempat sudah cukup akrab dengan staff di kedai itu dan bahkan sering meledek Kurogane yang hampir-hampir tak pernah santai itu.

Yang Kurogane pusingkan, kenapa rasanya mereka nyaman sekali dengan pasangan masing-masing. Dan itu semua sudah cukup membuat Kurogane merasa perlu menemui psikiater.

Sebenarnya Kurogane bukannya kontra dengan hal-hal seperti itu. Hanya saja, melihat pemandang sesama jenis begitu membuatnya jadi berpikiran sama dengan mereka. Jangan-jangan dia sama anomalinya dengan mereka. Mengingat selama hidupnya, Kurogane tak pernah naksir cewek. Jangankan naksir! Melirik saja rasanya enggan. Padahal nama Kurogane juga yang termasuk dielu-elukan di kedai selain para waiter-nya itu.

'Mungkin memang sudah saatnya untuk memikirkan itu.', pikir Kurogane pada suatu malam di mana hanya tinggal dia sendirian di kedai. Duduk di salah satu kursi pengunjung yang kebanyakan sudah diangkat terbalik ke meja.

Sudah pukul tiga dini hari. Kedai sudah tutup hampir satu jam yang lalu. Semua sudah selesai dirapikan. Tirai-tirai juga sukses menutup semua jendela kaca tinggi si seluruh sisi kedai. Tapi Kurogane menolak kembali ke apartemennya. Ia tergelitik untuk memikirkan masalah jodoh tadi.

Ia tidak mendambakan seorang anak untuk meneruskan kedai kopinya yang mendunia ini –bukan berarti dia tidak mau punya keturunan- . Tapi rasanya, Kurogane butuh seseorang yang bisa menemaninya di saat ia telah lelah menghadapi kerasnya hari seperti ini.

Kurogane merenggut rambutnya, stress. Ia meraih gelas berisi wine –ia cukup berhasil menyembunyikan minuman itu di kedai dari anak-anak buahnya yang notabene masih di bawah umur— di hadapannya dan menelannya dengan sekali tenggak. Sedikit mengernyit saat minuman beralkohol itu menusuk tenggorokannya.

Ia hampir terseret lagi dalam lamunannya kalau saja tak ada yang membuka pintu depan kedai yang membuat lonceng –tanda ada pengunjung— di atas pintu berdenting memenuhi kedai.

Kurogane sedikit tersentak. Ia bangkit dari duduknya. Sedikit terhuyung karena alkohol mulai bekerja, tapi ia masih menguasai kesadarannya 100%.

Lelaki bermata kecil itu menyesal tidak segera mengunci pintu depan dan mematikan lampu. Harusnya ia nyalakan yang perlu saja. Dengan merengut, ia menuju pintu depan.

Sesampainya di sana, Kurogane tertegun. Seseorang –Kurogane belum tahu gendernya— berdiri membelakangi pintu masuk. Perawakannya tinggi ramping. Rambut pirangnya hampir menyentuh bahu. Wajahnya sedikit kebarat-baratan. Kulitnya pucat dan wajahnya terlihat gelisah. Yang lebih menarik perhatian Kurogane adalah perban yang membebat di balik poni dan menopang lengan kanan –yang digips— si pengunjung.

"Buatkan aku sesuatu!", katanya cepat.

Kurogane sadar dari kegiatan pengamatannya. Yang keluar adalah suara laki-laki, meski terdengar kecil.

"Maaf. Kami sudah tutup.", kata Kurogane.

"Kumohon! Buatkan aku sesuatu!", sahut si pirang lagi.

"Sudah kubilang–"

"Akan kubayar tiga kali lipat!"

Kurogane melotot. Memangnya aku mata duitan.

"Tidak!", kata Kurogane ketus.

"Aku tidak akan pergi", Pengunjung itu duduk di depan meja bar, "sebelum kau buatkan aku sesuatu!"

"Kau!", Kurogane mendesis.

Pengunjung itu tak merespon gertakan Kurogane. Ia duduk dengan gelisah. Seolah sedang menguatkan diri sendiri. Jari-jari tangan kirinya yang sehat mengetuk-ngetuk meja bar.

Kurogane berusaha mengontrol emosinya. Ia masuk ke dalam bar dan mencoba bersikap professional dengan melayani tamu di luar jam itu.

"Apa maumu?", Oke! Kurogane gagal dalam usahanya menyembunyikan emosi.

"Latte.", jawab pengunjung itu lirih.

Tanpa banyak bicara, Kurogane kembali mengenakan celemek dan berkutat dengan mesin pembuat kopinya lagi.

Tak perlu waktu lama sampai kopi dengan susu itu tersaji di hadapan sang pemesan.

Kurogane bersedekap setelah menyelesaikan tugasnya. Mengamati si pirang dalam diam.

Sementara sang obyek pengamatan memandang Latte di hadapannya dengan takut-takut. Ia menghela nafas sebelum mengaitkan telunjuk dan jari manis kirinya ke telinga cangkir dan mengangkatnya sejajar dagu kemudian menghirup aromanya. Ia mengernyit kecil, seperti tak mengerti. Ia menyorongkan tepian cangkir itu ke bibirnya dan mulai menyeruput isinya.

Si pirang mencecap. Disusul tangannya yang gemetaran saat mengembalikan cangkir pada tatakannya.

"Buatkan aku Espresso!", kata si pirang tanpa memandang Kurogane, "Double shot!"

Kali ini ekspresi wajah si pirang naik satu tingkat. Dari glisah menjadi ketakutan.

Tapi Kurogane memilih bungkam dan mengerjakan tugasnya untuk segera memuaskan pengunjung satu ini agar ia cepat pulang.

"Espresso. Double shot.", kata Kurogane dingin sambil menyajikan pesanan pengunjungnya.

Si pirang segera menyambar cangkir kopi dan meminumnya.

"Uso!", lirih si pirang sambil minum Espresso-nya lagi, "Tidak boleh begini!", Minum lagi, "Tidak!"

Kurogane makin mengerutkan dahi melihat histeria kecil di hadapannya.

Kini si pirang terlihat frustasi. Wajahnya yang dari tadi pucat kini makin memutih, seperti kehilangan aliran darah. Ia merenggut poninya dengan keras (kenapa orang stress hobi melakukan ini ya?) . Bulir-bulir keringat muncul membasahi mukanya.

"Tidak…", bisik si pirang, "Ini tidak benar…"

"Hei! Kau tidak apa-apa?", Kurogane merapat ke bibir meja bar. Menilik si pirang yang langsung pucat setelah minum kopi. Dalam hal ini, kopi buatan tangannya.

"Aku tidak boleh…", Kalimat yang hamper tak terdengar telinga itu menggantung di udara saat tubuh ramping itu oleng ke kiri.

Kurogane terbelalak dan refleks menjulurkan tangan kanannya ke depan untuk menahan tubuh si pirang jatuh ke lantai yang keras itu.

"Hei! Kau!", Kurogane panik, "HEI!"

-To Be Continue-

# # # # # # # # #

Haaaaa…..

Ga' tahu saya lagi buat apaan. Terinspirasi begitu saja pas mandi sore. Mungkin karena saya mayan freak kopi –meski udah dilarang karena penyakit di lambung—dan suka banget sama K-drama "Coffe Prince".

Maunya dibikin one shot. Tapi sepertinya jadi meluas kemana-mana. Jadi diputuskan untuk berseri saja.

Uuuunnn….

Tapi saya mau lihat berapa banyak ripiu yang masuk. Kalo banyak yang penasaran sama kelanjutannya ya berarti saya harus maju lagi untuk episode selanjutnya.

Jadi…

Saya hanya bias duduk manis di sini menanti ripiu.