Sweets, Secrets, and Chains
Summary: Seorang murid pindahan yang selalu ceria, polos, dan terlihat simpel, ternyata tidak seperti apa yang dilihat orang-orang. Ada satu rahasia yang dimilikinya... Rahasia yang tidak diketahui oleh sahabatnya sekalipun. / "Aku harus segera pulang!" Dia bersikeras; berusaha menemukan celah untuk pergi. / "Atau apa?" / "…Atau?" / SN. School-life AU. Shounen-ai. / Prologue.
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Main Character(s): Naruto U. & Sasuke U.
Rated: T for inappropriate contents
Genre: romance, drama & slice of life
Cover pic source: google; belongs to its original artist
Warning: typo(s), contains -too much- drama (you may get sick of it www), OOC, alur kecepetan, etc.
Enjoy~
.
.
.
Prologue: What's Not Impossible
"Tidak mungkin!"
"Aku tidak percaya ini!"
Kegaduhan mengisi langit-langit ruang kelas 11-4. Di waktu yang masih terbilang pagi, pukul delapan lewat lima belas, murid yang satu per satu mulai berdatangan mulai ribut. Membicarakan perihal yang sejatinya akan dibahas di homeroom empat puluh lima menit lagi oleh wali kelas mereka. Namun seolah tak sabar menunggu, kabar angin dengan cepat tersebar luas—seperti minyak disulut api.
Pintu kelas bergeser untuk yang kesekian kalinya hari itu. Menampakkan sosok tegap seorang pemuda berambut biru dongker dan berwajah muram. Bukan, bukan karena dia mengalami sesuatu yang buruk di awal hari sekolah ini, melainkan karena wajahnya memang seperti itu dari awal. Seolah sudah di-setting seperti itu, dan fix!—tidak bisa diubah lagi.
"Sasuke-kun !" salah seorang gadis di kelas itu ramah menyapa. Senyum terkembang di wajah cantiknya seraya dia menatap sosok itu melangkah memasuki kelas. "Selamat pagi!"
Namun pemuda bernama lengkap Uchiha Sasuke itu mengabaikannya; acuh tak acuh berjalan ke kursi di pojok kelas dan membanting diri di atasnya. Belajar dari pengalamannya, gadis berambut merah muda itu kembali asik dengan percakapan dengan kedua sahabatnya yang sempat terpotong tadi.
Waktu berlalu, semakin banyak murid yang sudah hadir di dalam kelas. Percakapan itu berlanjut—dan semakin berlarut-larut. Awalnya hanya dua, lalu tiga, dan begitu seterusnya hingga langit-langit ruangan dipenuhi dengan dengung lebah—pembicaraan yang berawal dari hanya kabar angin. Tapi kabar angin atau tidak, mereka senang membicarakan hal itu. Mereka tidak akan berhenti.
Sial, berisik sekali di sini, Sasuke memaki dalam hati; menyandarkan kepalanya di atas meja. Sasuke menyukai kedamaian dan kesendirian, tapi sepertinya beberapa orang sudah mencari ribut dengannya dengan bergosip seheboh itu—padahal ini masih pagi di hari Senin. Bayangkan betapa menyebalkannya!
"Yo, Uchiha!" seorang pemuda berjalan mendekati mejanya. Koreksi—bukan mendekati meja miliknya. Pemuda itu memang duduk di depannya.
"Jika kau berbicara kepadaku hanya untuk menguras kesabaranku, sebaiknya kau berhenti, Inuzuka," Sasuke membalas sapaan ramah pemuda dengan rambut cokelat yang acak-acakan itu.
"Whoa, tumben sekali kau berbicara," Inuzuka Kiba berkomentar dengan alis mengernyit. Mendapatkan tatapan tajam dari Sasuke sebagai reaksi. Dia segera mengangkat bahunya, sembari tangannya menaruh tasnya di gantungan tas di mejanya. "Yah, maaf, maaf. Aku tidak berniat seperti itu."
"Aku tahu," Sasuke berkata pelan.
"Lalu?" Kiba duduk di kursinya. "Kenapa kau terlihat begitu suram di pagi yang indah ini?"
"Omong kosong, indah apanya." Sasuke mendelik. Memainkan jemarinya—mengetuk-ngetukannya di atas meja.
"Hei, hei, itu hanya tambahan saja." Kiba memelototi Sasuke. Separuh tak percaya, separuhnya lagi jengkel karena perbedaan sosok Sasuke dari biasanya. "Sejak kapan sih kau menjadi sensitif seperti ini?"
"Sejak orang-orang itu tak mau berhenti berbicara," Sasuke menjawab pelan; tanpa bahkan melirik Kiba sama sekali.
"Oh, itu…" Kiba manggut-manggut. Mulutnya membentuk huruf 'o'. "Hei, aku yakin kau belum mendengar kabar itu, makanya kau kesal tanpa alasan yang pasti seperti ini." Dia menghentikan Sasuke yang terlihat hendak memotong kalimatnya—yang jelas hendak membela dirinya sendiri. "Kita kedatangan murid baru."
Sasuke mengernyit. "Apa? Bagaimana bisa?" Pertanyaan itu lolos dari mulutnya tanpa dia sadari.
"Tuh kan, kau sendiri penasaran. Makanya itu, satu sekolah lagi pada ribut," Kiba menjawab; mengedarkan pandangannya. Tidak melihat raut wajah Sasuke yang berubah menjadi tatapan datar—alias kipa. Kiba memelankan volume suaranya, "Aku tak tahu pasti, tapi mungkin dia salah satu dari orang yang melakukan KKN, Sas."
"Tidak baik untuk—"
"Aku tahu, tidak baik untuk berprasangka—apalagi yang buruk pula! Tapi ini boleh jadi benar." Kiba memotong kalimat Sasuke seraya menatapnya sok serius. Wajahnya seperti seorang detektif yang sedang membuat analisa terhadap pelaku tindakan kriminal. "Kau tahu betapa sulitnya masuk ke sekolah ini. Dan sekolah juga biasanya tidak menerima murid di tengah tahun ajaran."
Sasuke terdiam. Apa yang dikatakan Kiba benar. Tapi itu jelas sekali bukan urusannya. Memangnya lalu kenapa kalau orang itu memang melakukan tindakan tidak terpuji itu? Tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Dan itu tidak akan memberikan perbedaan terhadap hidup mereka.
Seorang guru berambut putih—bukan dikarenakan umur maupun penyakin turunan, berjalan memasuki kelas di saat yang tepat—ketika Sasuke mulai bertanya-tanya dalam hati siapakah gerangan murid pindahan itu yang mencetak rekor masuk ke sekolah di tengah semester untuk pertama kalinya sejak sekolah itu dibangun. Wali kelas mereka, Hatake Kakashi, berdiri di depan kelas sambil memegang sebuah map berwarna biru tua. Seluruh murid otomatis segera kembali ke mejanya masing-masing, masih belum terbiasa dengan kebiasaan guru yang satu ini masuk lima belas menit sebelum waktu yang seharusnya. Bahkan bel tanda pelajaran dimulai belum berbunyi.
Kakashi berdeham. Ketua kelas—yang merupakan Sasuke, dimintanya secara khusus untuk tidak memberikan salam terlebih dahulu sebelum dia memulai homeroom. Pengecualian. Katanya, dia tidak menyukai hal yang berlebihan seperti itu. Dia jelas tidak mengajar sastra maupun filosofi—jika memang ada mata pelajaran itu di Sekolah Menengah Akhir, karena definisinya mengenai kata 'berlebihan' tidak pernah ditemukan di tempat lain.
"Sebelum aku mengabsen kalian," dia memulai—berbicara dengan gaya kasual khas-nya yang tidak pernah dipakai guru manapun, "ada hal penting yang harus aku bicarakan." Dia menatap wajah murid-muridnya satu per satu. Seluruh pasang mata di ruangan itu membalas tatapannya dengan tatapan penasaran. Separuh mulai menduga-duga apa yang akan dibicarakannya. "Aku yakin kalian pasti sudah mengetahui tentang rumor yang beredar itu. Murid yang masuk di tengah tahun ajaran memang terdengar gila, bagaimanapun juga. Setidaknya di sekolah ini. Tapi apapun keputusan yang dibuat oleh Kepala Sekolah adalah absolut. Kuharap kalian tidak memperlakukannya berbeda dari murid lain."
"Maaf memotong, Sensei," Haruno Sakura, gadis berambut merah muda yang sebelumnya menyapa Sasuke—yang merupakan wali ketua kelas, mengangkat tangannya, "Kukira sekolah tidak menerima murid pindahan." Beberapa murid lainnya mengangguk, menimpali.
"Aku mengerti alasan kalian penasaran, tapi seperti yang kalian tahu, curiosity kills the cat—rasa ingin tahu membunuh kucing itu. Dan aku yakin kalian menginginkan umur yang panjang," Kakashi menjelaskan dengan tampang cuek. Dia selalu menjelaskan dengan cara yang berbeda dari guru lainnya—kebanyakan guru mungkin akan menyuruh muridnya untuk diam dan tidak bertanya hal yang macam-macam, tapi tidak dengannya. "Walaupun arti frasa tak akan seharfiah itu. Setidaknya tidak kepada kalian."
Beberapa murid patah-patah mengangguk mengerti. Baiklah. Penerimaan murid itu bukanlah urusan mereka.
"Sensei, boleh aku bertanya?" Kini giliran Kiba mengangkat tangannya. Kakashi mengangguk singkat. "Anak itu… dia masuk ke kelas mana?"
"Untuk apa aku menjelaskannya kepada kalian jika dia tidak masuk ke kelas ini?" Kakashi mengernyit. Seketika, seisi ruangan menjadi heboh. Murid-murid saling melempar pandangan, tidak percaya. "Untuk pengetahuan kalian saja, walaupun dia asing—oh, dia berasal dari desa, omong-omong, tapi dia telah memenangkan berbagai penghargaan. Apa saja ya… aku lupa. Tapi ya begitulah. Dia anak cerdas yang sering mencetak prestasi."
"Setidaknya sebutkan satu penghargaan yang dia raih, Sensei. Di bidang mana dia paling ahli," Sakura mengeluhkan sikap cuek guru yang satu ini.
"Kau tahu apa, kenapa kalian tidak tanya sendiri." Kakashi yang mulai kehabisan kata-kata akhirnya menyerah. "Uzumaki-san, silahkan masuk."
Pintu kelas bergeser. Menarik setiap pasang mata di dalam ruangan itu—kecuali Kakashi, untuk menatapnya. Sosok seorang pemuda berambut pirang berjalan memasuki ruangan. Tak ragu-ragu apalagi malu-malu. Langkahnya panjang dan cepat, senyum yang tersungging lebar di wajahnya—hampir terlihat seperti cengiran, matanya yang bersinar cerah mencerminkan suasana yang dirasakannya pagi itu.
"Halo, namaku Uzumaki Naruto," orang itu memulai, setelah yakin berada di tempat yang tepat—bagian tengah depan kelas. "Aku pindahan dari desa Suna. Kalian mungkin belum pernah mendengarnya, tapi Suna benar-benar desa yang indah. Konoha adalah kota yang besar dan hebat. Aku merasa beruntung diberikan kesempatan untuk bersekolah di sini. Dan, karena aku dari desa, kuharap kalian tak keberatan jika harus meladeni aku yang kadang agak norak, hehe. Aku harap kalian mau bersikap baik padaku. Mohon bantuannya mulai dari sekarang."
Perkenalan itu diakhiri dengan pemuda itu membungkuk sopan.
"Ya, jadi begitu. Kuharap kalian memperlakukan Uzumaki-san dengan baik," Kakashi berkata acuh tak acuh. Mengedarkan pandangannya sebentar. "Karena seperti yang kalian tahu, jumlah meja di kelas ini pas-pasan, maka aku harus meminta seseorang untuk melihat gudang sekolah apakah mereka masih memiliki cadangan meja. Inuzuka, aku yakin hari ini adalah piketmu?"
"Eeh…" Kiba terlihat seperti ingin protes, tapi tatapan Kakashi mengurungkan niatnya. Kakashi tidak pernah suka seseorang membantah perintahnya. Sial sekali Sasuke yang malah menertawakan penderitaannya itu. Gudang sekolah kan jauh. Belum lagi jika dia harus mengangkut meja, bonus combo damage point! "Baiklah, akan aku cek."
"Ikutlah dengannya, Ketua Kelas," ujar Kakashi lagi; menatap Sasuke datar. Sasuke terkejut atas keputusan sepihak Kakashi. Yang pasti Kakashi melihatnya menertawakan Kiba sebelumnya, dan berniat untuk memberikan karma kepadanya. Kini giliran Kiba menyeringai. "Gudang sekolah jauh. Kiba akan butuh bantuan untuk mengangkat kursi dan meja. Dia tidak terlihat seperti orang yang bisa melakukan semuanya sendirian."
Maka tanpa banyak omong, Sasuke beranjak dari mejanya. Sasuke melemparkan tatapan dinginnya kepada Kakashi, seolah mengatakan padanya bahwa dia tidak menyukai sikap Kakashi yang semena-mena terhadap muridnya seperti itu. Enak saja menyuruh. Dia bisa saja meminta pengurus sekolah menyiapkannya dari jauh hari.
Lepas dari tatapannya kepada Kakashi, Sasuke sempat membuat kontak mata dengan murid baru itu. Tunggu, siapa namanya, lagi? Dia tidak mendengarkan ketika anak itu memperkenalkan dirinya tadi. Tapi peduli setan, tidak seperti dia akan memiliki peran penting dalam hidup Sasuke.
Anak itu tersenyum kepada Sasuke, membisikkan—yang dapat direkanya dari pergerakan bibirnya, "Mohon bantuannya, Kaichou-san." Sasuke terhenyak, nyaris tersandung meja temannya—beruntung bisa menghindar di detik terakhir. Sasuke langsung mengalihkan pandangannya, lantas cepat-cepat berjalan keluar dari kelas dan menutup pintunya.
Apa-apaan anak baru itu?
Sasuke berusaha mengatur degup jantungnya yang entah kenapa berpacu dengan sangat cepat. Dia merasakan wajahnya memanas. Dia menyentuh pipinya sendiri. Ya, memang terasa panas. Tapi—mengapa?
Sasuke terbiasa dengan perilaku orang yang sering kali terkesan semena-mena terhadapnya. Menganggapnya serba bisa, hingga melimpahkan semua tugas berat kepadanya. Dalam tugas teori maupun praktek. Kadang hingga melampaui batas kewajaran. Memang mengganggu dan menyusahkan, tapi apa boleh buat.
Dan tidak ada satu orang pun yang pernah mengucapkan hal seperti itu kepadanya, tidak pernah—walau hanya sekali pun, dengan senyum setulus itu.
= TO BE CONTINUED =
A/N:
Eh, sebenernya apapun yang nggak bersangkutan sama cerita itu dilarang lho. Tapi karena saya bener-bener ingin mengungkapkan apa yang saya pikirkan, saya melanggarnya. Ssht, ini rahasia ya.
Sebelumnya, saya berterima kasih banyak kepada seseorang berinisal AM-san, n-san, dan NO-san yang berbaik hati meninggalkan jejak di fanfic saya sebelumnya, Crack. Dan tak lupa keempat orang yang juga memencet opsi favorite serta follow di fanfic tersebut. Walaupun mungkin sebenarnya saya tidak bisa melanjutkan fanfic itu karena keterbatasan ide. Saya menulis cerita itu berdasarkan kisah nyata yang saya alami waktu saya masih duduk di bangku SMP (saya dalam posisi Sasuke-san). Kalau diingat-ingat lagi sekarang, agak absurd sebenarnya haha.
Mengenai fanfic ini, saya merencanakannya untuk menjadi multi-chapter dengan satu konflik—rahasia yang dimiliki Naruto-kun. Ini baru prolog, dan saya rasa masih ada dua atau tiga chapter lagi sebelum epilog. Nggak akan jadi terlalu banyak chapter karena saya nggak kuat nulis sesuatu yang bertema sama dalam waktu yang lama thanks to my ADD (tertawa).
Saya merasa senang dapat menulis ini, maka saya harap para readers juga menikmatinya.
Jangan sungkan meninggalkan jejak, entah itu review singkat seperti 'apdet', atau mungkin favorite atau follow story.
Itu akan sangat berarti dalam memberikan dukungan kepada saya untuk tetap menulis.
Sekian dari saya. Mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan, atau karena saya terlalu banyak omong (haha).
Terima kasih telah membaca.
Salam hangat,
Sakaguchi Midaa
