Boboiboy tersenyum senang. Begitu puas dengan apa yang dibuatnya dengan susah payah selama beberapa jam.
Harum berbagai makanan menggugah selera nan menggoda untuk segera dimakan menyeruak masuk ke indra penciuman. Siapa pun yang mencium aromanya bisa dipastikan akan segera mengelus perut yang bergetar keroncongan.
Wajah dipenuhi tepung yang bercampur keringat. Mata mengantuk akibat terlalu lelah. Jemari tangan kanan pun sedikit teriris pisau dan terkena cipratan minyak panas. Boboiboy merasa perjuangannya tak sia-sia.
Suara dentingan oven sedikit mengejutkan Boboiboy yang terhanyut dalam lautan pikirannya. Kue berbahan dasar coklat yang terlihat begitu sedap dikeluarkan dari oven dalam keadaan panas. Berguru dengan Tok Aba selama liburan kemarin kini membuahkan hasil, walau harus melirik buku resep berkali-kali.
Lilin dihidupkan. Semua persiapan telah siap di meja makan.
Boboiboy melirik dapur rumahnya. Penuh tepung dan buku resep yang berserakan.
Boboiboy sedikit meringis. Ia pasti akan diceramahi ibunya kalau tak segera membereskan semua kekacauan ini.
Baru saja ingin beranjak membereskan dapur, dering telepon rumah terdengar nyaring. Sedikit berlari sebentar menuju ruang keluarga, Boboiboy mengangkat telepon masuk tersebut.
"Ya, waalaikum salam ibu! Ada apa?"
Wajah yang tadinya berseri, berubah menjadi suram. Bibir yang melengkung ke atas, perlahan turun melengkung ke bawah.
"Ah, ya.. Boboiboy tidak apa-apa. Boboiboy bisa menjaga rumah sendirian kok. Itu kan sudah biasa. Ya, waalaikum salam."
Panggilan telepon itu berakhir begitu saja. Begitu cepat, begitu singkat, begitu mengecewakan hati seorang Boboiboy.
Orang-orang pasti hanya menganggapnya sepele. Tapi, bagi Boboiboy, ini begitu menyakitkan. Selalu saja berhasil membuatnya meloloskan setetes demi setetes air mata yang akan diusap dengan cepat.
Tahun demi tahun berlalu. Tapi keadaan seolah terus berulang. Tak ada yang berubah. Sikap orang tuanya terus saja berulang terhadap dirinya.
Boboiboy selalu merasakan hampa yang begitu besar. Cinta seorang putra tunggal dari duta penting justru disia-siakan begitu saja. Semakin besar cintanya, semakin besar pula rasa kekecewaan yang akan timbul.
Boboiboy mencoba mengerti. Logikanya jelas begitu mengerti. Tapi, hatinya seolah tak mau mengerti. Yang diinginkan hanyalah sebuah kasih sayang dari orang tua. Cinta orang tua yang lebih besar dari cintanya sendiri.
Boboiboy lelah. Bertahun-tahun terus saja merasakan rindu dan sakit hati yang berpadu menjadi satu. Lelah akan bibir yang berucap menunjukkan kalau dirinya itu kuat, walau sebenarnya begitu lemah dan haus akan kasih sayang.
Boboiboy kini harus memutuskan, apakah ingin tinggal dan terus bertahan sekuat tenaga atau pergi mencari kehidupan dengan penuh cinta dan kasih sayang yang mengelilingi.
Dan Boboiboy memutuskan.
Ia harus pindah ke Pulau Rintis segera setelah orang tuanya pulang ke rumah.
. . . ~*oOo*~ . . .
FIN
. . . ~*oOo*~ . . .
Pasti banyak yang nanya, kenapa saya malah bikin yang family duluan daripada yang romance.
Karena.. saya gak ada rasa tertarik lagi untuk buat romance.
Kenapa?
Karena saya merasa... saya ini minim pengetahuan tentang begituan. Gak pernah ada pengalaman hahaha XD Paling saya tahu dari bacaan doang. And.. kalo ada pengalaman juga paling-paling cinta monyet.
Saya juga bukan tertarik sama genre sih. Lebih ke ceritanya aja.
Dan di sini, saya buat cerita tentang kenapa Boboiboy mutusin untuk tinggal di kota yang lebih kecil daripada kota tempat orang tuanya yang mungkin lebih besar. Dan tentunya ini cuma imajinasi pengaraaannggg~~
Yak, mungkin segitu aja. Sampai jumpa di karya saya yang lain~!
Salam,
IntonPutri Ice Diamond
